M. Khaliq Shalha
Dalam Islam, selain ragam ibadah primer (fardu), juga terdapat ibadah
sekunder (sunah). Satu sisi ibadah memupuk nurani untuk selalu dekat dengan Tuhan,
juga diimbangi dengan terciptanya keharmonisan dengan sesama manusia sebagai efek
dari ibadah yang dikerjakan. Tak sempurna jika penghayatan ibadah hanya semata
pada sisi kedekatan pada Tuhan tanpa peduli pada sisi sosial yang oleh Tuhan
pula diwanti-wanti untuk dihayati secara saksama dan berimbang. Misal,
kesetaraan perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam salah satu
ayat-Nya. Nabi SAW dalam beberapa haditsnya menyinggung pula bahwa tak sempurna
iman seseorang yang tidak memuliakan tetangga atau tamunya.
Di samping kita punya kewajiban harian secara mendasar berupa shalat lima
waktu (baik dikerjakan secara individu atau lebih utama dengan berjamaan), juga
kita punya kewajiban mingguan berupa shalat Jumat berjamaah yang hanya boleh
dikerjakan di masjid, bukan di tempat lain. Hikmah dari shalat Jumat di masjid
ini, sungguh luar biasa. Selain mengandung ajaran minimalis bagi umat Islam
untuk shalat jamaah walau sekadar seminggu sekali, apalagi bisa berefek
maksimal dalam kesehariannya pada shalat lima waktu, pada sisi lainnya dapat memupuk
ukhuwah (persaudaraan) yang erat antar tetangga yang andaikan tidak
disyariatkan shalat Jumat mingguan bisa dibayangkan betapa sulitnya kita bisa
berkumpul dalam satu tempat dengan tetangga. Apalagi di era modern ini yang
sudah mengantarkan kita pada kehidupan individualistik.
Shalat Jumat yang bersifat ubudiah publik memiliki pernak pernik yang bisa
menciptakan kesempurnaannya, baik secara substansi ketuhanan maupun
kemanusiaan. Salah satu penyempurna shalat Jumat adalah mandi sebelum
menghadirinya. Mandi sebelum berangkat ke masjid tergolong ibadah sunah dengan
pahala yang tak kepalang. Dari Abi Umamah berkata. Rasulullah SAW bersabda,
“Mandilah pada hari Jumat. Maka barangsiapa mandi pada hari Jumat akan menjadi
penebus dosa antara Jumat ke Jumat dan ditambah tiga hari lagi.” (HR.
Thabrani). Dalam banyak riwayat lain dikatakan, di samping mandi dengan
sempurna juga dianjurkan memakai pakaian yang baik dan berharum-haruman. Konten
hadits tersebut sarat muatan nilai sosial, bahwa kebersihan, kerapian dan
penampilan yang elegan sangat disanjung dalam Islam. Sebaliknya, cuek
penampilan menjadi sangat tercela.
Menjaga penampilan lahir ketika beribadah semestinya menjadi agenda rutin
kita sembari memupuk batin untuk senantiasa elegan juga di hadapan Tuhan.
Barangkali ada dua kemungkinan di kalangan orang yang tidak peduli pada
kebersihan pada penampilan ketika ibadah. Pertama, beralasan bahwa Tuhan
tidak memandang sisi lahiriah kita tetapi pada hati kita. Biarpun penampilan
kita modis tapi hati kita kehilangan kekhusyukan dan keikhlasan, tampilan lahir
itu kering nilai. Tak ubahnya lipstik belaka. Kedua, lahirnya tak
terrawat dan batinnya pun tak karu-karuan. Urusan ibadah bagi kalangan kedua
ini masih sangat awam. Sampingan semata. Tapi kalau urusan modis dalam
keseharian dianggarkan dengan banyak biaya dan cukup waktu untuk berrias.
Kedua golongan ini saya kira belum bisa berpikir dan bertindak secara
berimbang. Masih sama-sama berada di titik lemah. Golongan pertama berdalih
yang penting batin mapan, perkara penampilan lahiriah tak menjadi soal. Dalam
satu sisi benar tapi dalam sisi yang lain membuang ajaran agama yang mesti
dijunjung tinggi, yaitu nilai-nilai kemanusiaannya. Keharmonisan antar sesama
nyaris rapuh. Bisa dibayangkan, di tengah-tengah saf umat yang berjejer ketika
proses shalat Jumat dengan penuh khusyuk menghayati serangkaian shalat,
ternyata ada di antara kita menebar bau tidak sedap gara-gara tidak sempat
mandi. Ditambah baju yang dikenakan belum sempat dicuci selama satu minggu
lebih. Tentu konsentrasi umat di dekatnya akan pecah. Hidung mereka serasa mau
copot. Hal inilah yang diantisipasi oleh Islam dengan mensyariatkan mandi
sebelum pergi shalat Jumat. Tak cukup alasan menjaga batin saja dengan membiarkan
lahirnya acak-acakan. Dalam ranah sosial, keharmonisan mesti diciptakan.
Suasana kondusif hendaknya dipelihara dengan baik. Tak perlu memuja-muja
batinnya di tengah-tengah pelaksanaan ibadah yang pelaksanaannya berjamaah.
Sementara keberadaan kita mengganggu orang lain. Urusan hati adalah tanggung
jawab kita masing-masing di hadapan Tuhan. Sedangkan golongan kedua tersebut
pada dua sisinya tak ada yang bisa dibanggakan.
Manusia sempurna adalah manusia yang bisa menjaga keseimbangannya antara
kemapanan batinnya dengan menjaga kekhusyukan dan keikhlasannya kepada Allah,
serta menjaga penampilan lahirnya dengan penuh elegan dalam setiap saat, baik
ketika ibadah, khususnya berjamaah, atau di luar ritualnya. Itulah cermin
akhlak mulia seorang muslim. Wallah a’lam.
Sumenep, 09 September 2016