Jumat, 09 September 2016

NILAI UBUDIAH UNTUK KEMANUSIAAN (Menelisik Ajaran Mandi Sunah untuk Shalat Jumat)

M. Khaliq Shalha


Dalam Islam, selain ragam ibadah primer (fardu), juga terdapat ibadah sekunder (sunah). Satu sisi ibadah memupuk nurani untuk selalu dekat dengan Tuhan, juga diimbangi dengan terciptanya keharmonisan dengan sesama manusia sebagai efek dari ibadah yang dikerjakan. Tak sempurna jika penghayatan ibadah hanya semata pada sisi kedekatan pada Tuhan tanpa peduli pada sisi sosial yang oleh Tuhan pula diwanti-wanti untuk dihayati secara saksama dan berimbang. Misal, kesetaraan perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam salah satu ayat-Nya. Nabi SAW dalam beberapa haditsnya menyinggung pula bahwa tak sempurna iman seseorang yang tidak memuliakan tetangga atau tamunya.

Di samping kita punya kewajiban harian secara mendasar berupa shalat lima waktu (baik dikerjakan secara individu atau lebih utama dengan berjamaan), juga kita punya kewajiban mingguan berupa shalat Jumat berjamaah yang hanya boleh dikerjakan di masjid, bukan di tempat lain. Hikmah dari shalat Jumat di masjid ini, sungguh luar biasa. Selain mengandung ajaran minimalis bagi umat Islam untuk shalat jamaah walau sekadar seminggu sekali, apalagi bisa berefek maksimal dalam kesehariannya pada shalat lima waktu, pada sisi lainnya dapat memupuk ukhuwah (persaudaraan) yang erat antar tetangga yang andaikan tidak disyariatkan shalat Jumat mingguan bisa dibayangkan betapa sulitnya kita bisa berkumpul dalam satu tempat dengan tetangga. Apalagi di era modern ini yang sudah mengantarkan kita pada kehidupan individualistik.

Shalat Jumat yang bersifat ubudiah publik memiliki pernak pernik yang bisa menciptakan kesempurnaannya, baik secara substansi ketuhanan maupun kemanusiaan. Salah satu penyempurna shalat Jumat adalah mandi sebelum menghadirinya. Mandi sebelum berangkat ke masjid tergolong ibadah sunah dengan pahala yang tak kepalang. Dari Abi Umamah berkata. Rasulullah SAW bersabda, “Mandilah pada hari Jumat. Maka barangsiapa mandi pada hari Jumat akan menjadi penebus dosa antara Jumat ke Jumat dan ditambah tiga hari lagi.” (HR. Thabrani). Dalam banyak riwayat lain dikatakan, di samping mandi dengan sempurna juga dianjurkan memakai pakaian yang baik dan berharum-haruman. Konten hadits tersebut sarat muatan nilai sosial, bahwa kebersihan, kerapian dan penampilan yang elegan sangat disanjung dalam Islam. Sebaliknya, cuek penampilan menjadi sangat tercela.

Menjaga penampilan lahir ketika beribadah semestinya menjadi agenda rutin kita sembari memupuk batin untuk senantiasa elegan juga di hadapan Tuhan. Barangkali ada dua kemungkinan di kalangan orang yang tidak peduli pada kebersihan pada penampilan ketika ibadah. Pertama, beralasan bahwa Tuhan tidak memandang sisi lahiriah kita tetapi pada hati kita. Biarpun penampilan kita modis tapi hati kita kehilangan kekhusyukan dan keikhlasan, tampilan lahir itu kering nilai. Tak ubahnya lipstik belaka. Kedua, lahirnya tak terrawat dan batinnya pun tak karu-karuan. Urusan ibadah bagi kalangan kedua ini masih sangat awam. Sampingan semata. Tapi kalau urusan modis dalam keseharian dianggarkan dengan banyak biaya dan cukup waktu untuk berrias.

Kedua golongan ini saya kira belum bisa berpikir dan bertindak secara berimbang. Masih sama-sama berada di titik lemah. Golongan pertama berdalih yang penting batin mapan, perkara penampilan lahiriah tak menjadi soal. Dalam satu sisi benar tapi dalam sisi yang lain membuang ajaran agama yang mesti dijunjung tinggi, yaitu nilai-nilai kemanusiaannya. Keharmonisan antar sesama nyaris rapuh. Bisa dibayangkan, di tengah-tengah saf umat yang berjejer ketika proses shalat Jumat dengan penuh khusyuk menghayati serangkaian shalat, ternyata ada di antara kita menebar bau tidak sedap gara-gara tidak sempat mandi. Ditambah baju yang dikenakan belum sempat dicuci selama satu minggu lebih. Tentu konsentrasi umat di dekatnya akan pecah. Hidung mereka serasa mau copot. Hal inilah yang diantisipasi oleh Islam dengan mensyariatkan mandi sebelum pergi shalat Jumat. Tak cukup alasan menjaga batin saja dengan membiarkan lahirnya acak-acakan. Dalam ranah sosial, keharmonisan mesti diciptakan. Suasana kondusif hendaknya dipelihara dengan baik. Tak perlu memuja-muja batinnya di tengah-tengah pelaksanaan ibadah yang pelaksanaannya berjamaah. Sementara keberadaan kita mengganggu orang lain. Urusan hati adalah tanggung jawab kita masing-masing di hadapan Tuhan. Sedangkan golongan kedua tersebut pada dua sisinya tak ada yang bisa dibanggakan.

Manusia sempurna adalah manusia yang bisa menjaga keseimbangannya antara kemapanan batinnya dengan menjaga kekhusyukan dan keikhlasannya kepada Allah, serta menjaga penampilan lahirnya dengan penuh elegan dalam setiap saat, baik ketika ibadah, khususnya berjamaah, atau di luar ritualnya. Itulah cermin akhlak mulia seorang muslim. Wallah a’lam.

Sumenep, 09 September 2016