M. Khaliq Shalha
Dunia
dengan semua ragamnya cukup menggoda manusia. Bisa membuat mata dan hati
menjadi buta. Maka, sangat tepat jika banyak ayat dan hadits memberikan
peringatan kepada manusia untuk tidak terlena dengannya hingga lupa diri.
Walau
demikian, tak mudah begitu saja manusia tersadarkan dari keterhanyutannya pada
dunia. Menurut agama, dunia tak seberapa nilainya ketimbang kehidupan akhirat.
Dunia adalah panggung permainan dan senda gurai saja. Agama menggiring manusia
untuk zuhud.
Apa itu
zuhud? Zuhud bukanlah sifat dan sikap anti dunia. Bukan pula berbetah-betah
dengan kondisi hidup miskin. Zuhud adalah kondisi batin yang memalingkan cinta
pada yang hina kepada yang mulia. Maksudnya, mengkonversi cinta dunia ke cinta
akhirat.
Seseorang
dapat merasakan zuhud jika ia memiliki harta dunia. Semakin kaya seseorang
secara materi, semakin teruji kualitas kezuhudannya. Imam al-Ghazali dalam
kitabnya, Ihya’ ‘Ulumiddin mensyaratkan bahwa orang akan memiliki sifat zuhud
apabila ia memiliki harta dunia. Mustahil orang hidup di bawah garis kemiskinan
dibilang punya sifat zuhud.
Suatu
ketika Ibn al-Mubarak dipanggil oleh seseorang dengan panggilan “Ya zahid
(Hai orang zuhud).” Beliau menjawab, “Orang yang layak dipanggil zahid adalah
Umar ibn Abd Aziz, dia bergelimang dunia, Tapi dia cuek padanya, sementara
saya, apa yang layak saya zuhudkan?!”
Abu
Sulaiman ad-Darani mengatakan–sebagaimana dikutip oleh al-Baihaqi dalam Kitab az-Zuhd
al-Kabir–bahwa seorang zuhud sejati adalah dia tidak mencela dunia, tidak
memujinya, tidak memandangnya, tidak gembira apabila ia datang dan tidak sedih
apabila ia pergi. Saya berasumsi, bagi orang yang punya iman kokoh, makin kaya
ia, akan menjadikan dirinya makin zuhud. Apa yang ia miliki, makin bisa menebar
manfaat untuk dirinya dan orang lain. Wallah a’lam.
***
Tulisan ini bisa dikunjungi pula di
https://www.harakatuna.com/ujian-kezuhudan.html