Sabtu, 28 Desember 2019

BERWISATA KE TAMAN SURGA Memaknai Kesementaraan sebagai Bekal Menuju Keabadian (Kado Akhir Tahun 2019)

Masjid Menara Kudus

Oleh : M. Khaliq Shalha

Di zaman super sibuk dan serba cepat ini menimbulkan kestresan manusia dengan tensi tinggi sehingga sewaktu-waktu mereka membutuhkan rekreasi untuk refreshing, berpelesiran ke tempat-tempat eksotis. Berwisata bukan lagi sekadar gaya hidup tapi kebutuhan hidup bagi setiap kalangan, baik para elitis atau kalangan populis.
Para pengusaha penat dengan mengelola perusahaannya; pekerja letih dan bosan dengan pekerjaannya dengan sederetan tuntutan dan tekanan dari atasannya di mana mereka bekerja; ulama, kiai, ustadz, guru dan dosen sering jengkel melihat polah tingkah anak didiknya yang mbeling dan menyebalkan hingga membutuhkan kesabaran ekstra dalam mendidikanya; para pelajar jenuh dengan belajarnya karena menghabiskan hari-harinya bersama setumpuk mata pelajarannya demi menata masa depannya. Mereka semua butuh rekreasi pada hari-hari tertentu, khususnya di hari libur.    
Menuju Kota Malang
Fenomena ini direspons positif dan sigap oleh kalangan pengembang obyek wisata untuk menyediakan fasilitas lengkap demi kenyamanan para pengunjung agar mereka punya daya tarik untuk berkunjung. Kedua belah pihak diuntungkan. Pengunjung puas dengan layanannya dan pengembang akan meraup keuntungan dari usaha wisatanya.
Geliat penggarapan obyek wisata bukan hanya di kota-kota, tapi juga di desa dengan andalan wisata alam atau beragam obyek wisata menarik lainnya semakin digalakkan. Dan, obyek wisata alam di desa malah menjadi jujukan dan primadona orang-orang yang kesehariannya beraktivitas di kota. Sementara orang-orang desa tertarik berkunjung ke kota. Begitulah mobilitas masyarakat desa-kota sebagai khazanah sosial negeri kita tercinta.
Makbarah Sunan Kudus
Dalam lembar memori masa kecil saya dulu, sebagian masyarakat mengkonotasikan obyek wisata, misalnya di pantai, sebagai tempat maksiat, tempat mesum muda mudi sehingga orang yang berkunjung ke situ diklaim tak berakhlak, muruahnya luntur. Ibarat—seandainya pada masa periwayatan hadits— seorang parawi hadits jika berkunjung ke obyek wisata, status hadits yang diriwayatkannya menjadi dhaif. Ampun…!!
Candi Tikus Trowulan Mojokerto
Saya kaget, kok begitu cap yang diberikan masyarakat? Mungkin ada benarnya, melihat beberapa oknum melakukan hal-hal yang melanggar norma di tempat dimaksud. Hal itu saya kira sangat bijak jika dikembalikan kepada masing-masing individunya saja, mengingat di tempat-tempat suci pun rawan kemaksiatan, misalnya di suatu masjid yang saya tahu, pernah kehilangan uang (kas amal jariah), isi kotak amalnya raib digondoli maling pada siang bolong lagi.
Coban Rondo Malang
Seiring perjalanan waktu, dengan semakin baiknya masyarakat dalam menata peradabannya dan semakin dalam meresapi pesan agamanya, paradigma negatif itu sudah pudar secara perlahan sehingga memunculkan kesan baru bahwa berkunjung ke tempat-tempat wisata seakan-akan “sunnah”, karena masyarakat sudah mampu menyandarkan motifnya untuk ibadah dengan menghayati keindahan ciptaan Tuhan dan keragaman fenomena sosial sebagai anugerah Tuhan yang sangat indah dan penuh makna.
Banyak ayat Al-Qur’an secara tersurat maupun tersirat menganjurkan manusia untuk berwisata sehingga hati mereka tersentuh menjiwai kebenaran, keagungan dan keindahan ayat-ayat Tuhan yang terbentang di jagat raya ini maupun dalam diri mereka sendiri sehingga meneguhkan hatinya tentang kebenaran Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ .
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fushshilat [41]: 53).

Tebuireng Jombang
Ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam semesta ini akan berarti dalam menggugah kesadaran setiap manusia manakala mereka berusaha memanfaatkan segala potensi pancainderanya. Dalam konteks pembahasan ini, manusia semakin mesra dengan Tuhannya apabila mereka beranjak menuju obyek-obyek wisata. Karena aktivitas kehidupan dunia ini diciptakan oleh Tuhan bersifat dinamis dan global. Dunia ini tak sesempit daun kelor. Manusia harus menemukan jati diri dan aktualisasi dirinya sehingga nasib hidupnya tak seperti katak dalam tempurung dan tak bagaikan lalat dalam toples kaca.
Suatu hal yang perlu diperhatikan oleh wisatawan adalah motifnya dalam berwisata, sebagaimana sedikit disentil di atas. Karena tentu banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa berwisata pada hakikatnya jika dilihat dari kacamata tasawuf memiliki makna yang signifikan untuk kemajuan hidupnya lahir batin. Jika motif mereka sekadar ingin berlibur, latah, menghabiskan sekian banyak uang recehan dan motif tak jelas lainnya, tentu aktivitas liburannya sekadar refreshing sebentar, ikut-ikutan orang lain dan menghabiskan sekian banyak pundi-pundi rupiah, setelah itu tidak memiliki pengaruh perubahan spiritual dan kedewasaan sosial. Gambaran kondisi berwisata seperti itu tergolong dilakukan oleh orang-orang dengan tingkat kualitas dirinya masih rendah. Oret-oretan sederhana ini mengajak kita untuk menjadi wisatawan yang berkualitas tinggi.
Bukit Cinta (Jabal Rahmah) Pamekasan
Sebelum berpatualangan, kita tentu menyiapkan berbagai bekal. Semakin jauh perjalanan yang akan kita tempuh semakin banyak pula bekal yang harus kita siapkan. Modal utama manusia dalam melakukan safar adalah persiapan bekal dengan berbagai macamnya. Pada era kekinian hal utama yang kita cek kembali ketika dalam detik-detik keberangkatan setelah meluruskan motif (niat) adalah dompet dan isinya (uang, ATM yang ada saldonya), HP lalu dilanjutkan membaca basmalah dan doa perjalanan.
Ngadem di ATM Prenduan
Ada kisah hikmah seorang penguasa cerdas dan zuhud yang patut kita simak dengan saksama sebagai bahan permenungan dalam penutupan tahun 2019 berikut ini.
Abdul Aziz bin Abdullah al-Humaidi dalam bukunya, Umar bin Abdul Aziz: Sosok Pemimpin Zuhud dan Khalifah Cerdas menorehkan kisah dari Ibnu Abdul Hakim bahwa suatu ketika Umar bin Abdul Aziz bersama Sulaiman bin Abdul Malik pergi berwisata. Setibanya di obyek wisata yang dituju, masing-masing mengeluarkan bekal makanan yang dibawa dan masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan. Kebetulan Sulaiman sekamar dengan Umar. Tiba-tiba keberadaan Umar tidak diketahui oleh Sulaiman. Sulaiman yang pada waktu itu menjabat sebagai khalifah memerintahkan pengawalnya untuk mencari. Sang pengawal menemukan Umar sedang berada di bawah pohon dan bersedih.
Berita itu kemudian disampaikan kepada Sulaiman. “Apa yang membuatmu sedih wahai Umar?” tanya Sulaiman. “Yang membuatku sedih adalah aku ingat hari kiamat nanti. Siapa yang membawa bekal maka akan mendapatkan bekalnya, sedangkan aku sekarang tidak membawa bekal maka aku tidak bisa makan,” jawab Umar.
Demikian kecerdasan dan kecepatan Umar mengaitkan situasi yang dia alami dengan kondisi besok pada hari kiamat. Saat itu ia tidak bisa mengeluarkan bekal karena dia tidak membawa, sedangkan teman-temanya mengeluarkan bekal yang mereka bawa. Pikiran Umar lebih cepat terpental menangkap sinyal peristiwa mahadahsyat yang akan terjadi kelak daripada meminta bekal kepada Sulaiman.
Kafe Sawah Pujon Kidul Malang
Begitulah hati yang bersih selalu ingat keadaan akhirat, terutama saat sedang sulit. Ketika riang gembira di obyek wisata yang eksotis, terbesit dalam lubuk hatinya suatu tanya, akankah kelak ia meraih surga yang keindahannya sungguh tak mampu dibayangkan oleh siapa pun di dunia ini.  Hatinya mampu memaknai kesementaraan sebagai bekal menuju keabadian. Sementara, hati yang buram akan lupa diri dan lupa daratan. Kenikmatan dunia disangka kesenangan di atas segala-galanya, padahal hakikatnya, kata Al-Qur’an, tiadalah kehidupan dunia itu kecuali sekadar perhiasan yang menipu. Banyak manusia yang terlena dan terpana hingga melupakan kenikmatan dan kepedihan akhirat yang tak bertepi lagi.
La haula wala quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya hamba ini untuk meraih yang terbaik kecuali dengan pertolongan Allah.
Wallah a’lam bis shawab.
***
Sumenep, 28 Desember 2019

Senin, 12 Agustus 2019

UZLAH SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Lokasi; Sunan Kudus


Dalam tasawuf dikenal istilah 'uzlah (uzlah) sebagai salah satu rukun mujahadah. Uzlah oleh sebagian pakar dimaknai sebagai sebuah sikap mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah dengan berzikir dan bertafakur kepada Allah SWT.

Uzlah dengan tujuan tersebut dapat dibenarkan dan mulia. Pada saat-saat tertentu memang dianjurkan menyendiri, di antaranya sewaktu bermunajat atau berzikir melantunkan wirid. Kala itu bagi penempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (salik) sangat dianjurkan menjauhkan diri dari orang banyak dan kebisingan. Hal ini disebut zikir khafi. Mereka berlandaskan firman Allah sebagai berikut.

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ .
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS. Al-'Araf [7]: 205).

Sikap mengasingkan diri tersebut pada momen tertentu dalam agenda kehidupan sehari-hari sebagai perenungan untuk introspeksi diri. Bukan pengasingan secara permanen dengan motif menghindari hiruk pikuk kehidupan sosial dan tak mau tahu tentang tanggung jawab urusan sosial kemasyarakatannya.

Dalam sejarah kehadiran gerakan tasawuf ke dunia ini bermula sebagai upaya mengatasi krisis akhlak yang menimpa masyarakat Islam di masa lalu, tepatnya pada rentang 650-1250 M ketika umat Islam bergelimang harta dan kemewahan sehingga terjerumus pada kehidupan berfoya-foya, berbuat durjana dan berlumuran dosa. Mereka lupa pada tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Mereka tak sanggup lagi memikul beban tugas untuk membangun masyarakat seutuhnya. Dalam keadaan sakit mental demikian, datanglah serbuan bangsa Mongol pada tahun 1258 M dan berhasil mengalahkan umat Islam dengan meluluh lantahkan kota Bagdad secara menyedihkan, memilukan dan memalukan.

Kondisi bahaya semacam ini memantik umat Islam segera introspeksi diri dengan membangun etos kerja kembali dengan dipandu oleh akhlak mulia yang dibangun dari tasawuf. Namun, faktanya terjadi ketidakseimbangan dalam pengamalannya. Umat Islam cenderung lebih menangkap aspek ritualitas lahiriah dari tasawuf tersebut. Mereka asyik berzikir dan berwirid tanpa memberikan pengaruh ke dalam gerakan sosial kemasyarakatan. Mereka malah semakin jauh dari realitas masyarakat, tidak peduli pada lingkungannya sehingga akhirnya keadaan umat Islam semakin mundur sekian langkah ke belakang. Dalam keadaan demikian, wajar apabila muncul tuduhan bahwa tasawuf merupakan biang keladi keterpurukan umat Islam.

Uzlah dengan motif menghindar dari problematika hiruk pikuk kehidupan sosial bukanlah alternatif yang baik dan elegan bagi kaum muslimin pemakmur kehidupan. Dengan demikian, pengertian dan penghayatan uzlah secara arif dan produktif perlu dirumuskan. Uzlah bukan berarti seseorang harus bertapa dan meninggalkan hiruk pikuk aktivitas positif dalam lingkungan sosial di mana ia menjalani hidupnya. Karena ketika semua orang bersikap memilih minggat dari kehidupan nyata, siapa lagi yang bisa diharapkan mengurusi masyarakatnya?

Tugas untuk mengelola segala sumber daya kehidupan di muka bumi ini dibebankan kepada manusia, bukan kepada makhluk halus seperti malaikat dan jin. Menghindar dari tanggung jawab berarti membangkang terhadap kehendak Allah dalam menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi.  Seorang muslim harus mampu hidup tegar di tengah-tengah masyarakatnya, seperti yang telah dicontohkan oleh junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa ayat, Al-Qur'an menuturkan pemberdayaan umat yang dilakukan oleh beliau dan pada saat yang sama beliau mampu mengukur jarak dengan mereka sehingga ekses negatif mereka tidak mengefek kepadanya. Mengenai ayat dimaksud, akan saya kemukakan di bawah nanti.

Untuk menghadirkan gambaran menarik tentang perjalanan Rasulullah SAW sebelum dan sesudah dinobatkan menjadi rasul perlu kiranya kita membuka kembali lembaran sejarah beliau yang nantinya kita kaitkan dengan pengamalan uzlah yang produktif untuk membangun umat seutuhnya. Sebagaimana pula belakangan ini muncul reinterpretasi terhadap istilah-istilah tasawuf untuk dipahami, dihayati dan diamalkan dimensi spiritualitasnya sekaligus dinamikanya sehingga menjadi penggerak terjadinya perubahan sosial yang mengarah pada terwujudnya keagungan Tuhan.

Abul Hasan 'Ali Al-Hasani An-Nadwi dalam bukunya, Sirah Nabawiyah memaparkan tentang krisis moral yang melanda bangsa Arab pada masa Jahiliyah. Mereka dijejali oleh khamar (minuman keras). Mereka sudah sampai pada titik kekejaman dan kebiadaban tinggi, seperti mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup dan kadang pula melemparkannya dari tempat yang lebih tinggi karena takut menjadi aib pada keluarganya dan takut jatuh miskin. Penipuan merajalela dan sudah menjadi kebiasaan. Perampokan terhadap para kafilah dagang. Diskriminasi pada kalangan wanita sangat kentara. Derajat wanita telah jatuh. Wanita diwariskan kepada keturunan seperti halnya barang perhiasan dan barang tunggangan. Di masyarakat Jahiliyah Arab terdapat makanan yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, dan diharamkan bagi wanita. Laki-laki dapat beristri semaunya tanpa ada batasan jumlahnya. Fanatisme kesukuan dan keturunan sangat menonjol. Bangsa Arab Jahiliyah suka berperang. Menyenangi hiburan dan pelampiasan hawa nafsu yang kadang menyebabkan terjadinya keributan dan berakhir dengan peperangan. Perzinahan bukan perbuatan yang tabu. Perjudian dengan mempertaruhkan harta dan istrinya sudah menjadi kebiasaan. Di samping itu, khurafat dan penyembahan berhala sedang menjadi-jadi.

Saat itulah Muhammad bin Abdillah genap berumur 40 tahun. Dia menyaksikan dunia bagai berada di jurang neraka. Perjalanan manusia melangkah cepat menuju kebinasaan. Sederat kedurjanaan masyarakatnya menimbulkan kegelisahan dalam benak Muhammad hingga mencapai puncaknya. Kala itu, seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya sehingga beliau senang menyendiri. Tidak ada yang lebih disukai selain menyepi seorang diri. Beliau sering meninggalkan Makkah. Beliau meninggalkan rumah, merambah ke celah-celah bukit di Makkah, cekungan-cekungan dan lembah-lembahnya. Setiap batu dan pohon yang dilaluinya merucap, "Assalamualaika ya Rasulallah (Salam sejahtera untukmu wahai utusan Allah)." Muhammad menoleh ke sekitarnya, ke sebelah kanan dan kirinya, serta ke belakangnya. Tapi ia tidak melihat siapa pun selain bebatuan dan pepohonan.

Waktu beliau banyak dihabiskan menyepi di Gua Hira. Beliau tinggal di sana beberapa malam berturut-turut dengan membawa bekal. Beliau beribadah dan berdoa menurut cara agama Ibrahim yang lurus dan fitrah murni yang kembali kepada Allah. Dalam suatu kesempatan, datanglah kepada beliau hari yang telah ditetapkan sebagai waktu pengangkatan beliau sebagai utusan Allah. Saat itu tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran beliau, bertetapan dengan tanggal 6 Agustus 610 Masehi.

Masa-masa menyepinya Muhammad bin Abdillah di Gua Hira tersebut bukanlah semata-mata menghindar dari kedurjanaan kaumnya, tetapi sebagai sebuah strategi mengatasi persoalan-persoalan dahsyat itu dengan cara merenung, menyusun konsep, metode, teknis, taktik, serta mengumpulkan segala daya dan upaya untuk didayagunakan secara maksimal bagi perubahan masyarakat dari akar rumput persoalan yang menderanya secara bertahap dan totalitas.

Solusi itu pada akhirnya tiba dengan diturunkannya Al-Qur'an setahap demi setahap sesuai kebutuhan masyarakatnya. Dakwah beliau awalnya mengalir pelan tapi pasti dengan cara sembunyi-sembunyi lalu secara terang-terangan. Secara garis besar dakwahnya dibagi menjadi dua periode, yaitu pada periode Makkah dengan agenda utamanya pada pembinaan iman lalu beranjak ke periode Madinah dengan aganda lanjutan berupa pembentukan pranata sosial yang baik.  

 Bagaimana sikap Rasulullah ketika berbaur dengan masyarakatnya yang akhlak mereka busuk? Al-Qur'an menuturkan sikap yang harus dipegangi beliua ketika berkiprah di tengah-tengah mereka. Beberapa ayat Al-Qur'an memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk beruzlah dengan tipe yang elok dan elegan. Misalnya, Nabi diperintah untuk berpaling dari kaum musyrik dan dari orang-orang yang picik, dan pada saat yang sama, beliau tetap diperintahkan menyampaikan ajaran Islam dan memberikan tuntunan pada umatnya.

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ .
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (QS. Al-An'am [6]: 106).

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ .
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-'Araf [7]: 199).

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ .
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (QS. Al-Hijr [15]: 94).

لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا .
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An-Nisa' [4]: 95).

Nabi SAW bersabda:

Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar menghadapi gangguan mereka, lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan mereka dan tidak bersabar menghadapi gangguan mereka. (HR. Ahmad).

Jadi, menghayati uzlah lebih tepat dipahami sebagai berpaling atau tidak terlibat dalam hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat. Sikap demikian akan melahirkan sikap kehati-hatian dalam bergaul dengan masyarakat hingga selamat dari imbas arus negatif, di samping itu, pada saat yang sama, ia tetap hidup di tengah-tengah masyarakatnya guna memberikan keteladanan serta bimbingan yang baik pada mereka.[]

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Minggu, 11 Agustus 2019

DESAKU ADALAH SURGAKU

Koleksi Pribadi
Desa identik dengan keterbelakangan ketimbang kota. Itu dulu, kalau sekarang tidak terlalu begitu. Bahkan desa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kota.

Desa memiliki udara segar, tak terkontaminasi asap kendaraan. Desa memiliki suasana tenang, tak bising dengan bunyi kendaraan.

Selain itu, memiliki kesamaan dengan kota dari aspek fasilitas. Akses jalan semakin memadai, sinyal kuat, PLN terang benderang dan pendidikan cukup berkembang.

Kalau mau memilih, jika sama-sama kaya; hidup di desa kaya dan hidup di kota kaya, mendingan hidup di desa. Jika sama-sama miskin, mendingan hidup miskin di desa karena biaya hidup jauh lebih murah.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengusik ketenangan orang-orang yang sudah hidup di kota. Tapi untuk memberikan gambaran bagi kawan-kawan di desa agar tidak terlalu berambisi untuk mengadu nasib di kota. Terutama bagi yang punya SDM baik untuk dapat mengembangkan desanya agar lebih maju.

M. Khaliq Shalha

Selasa, 06 Agustus 2019

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (Solusi Mengentaskan Krisis Multidimensi)


Betapa bingung dan sibuknya negeri ini merevisi kurikulum dari kurikulum ini ke kurikulum itu sesuai kebutuhan yang mendesak. Tiada lain untuk mencetak lulusan yang baik (sebagai tujuan utama) dan pandai. Mengingat SDM anak negeri ini kurang membanggakan, khususnya keringnya spiritual hingga menimbulkan krisis multidimensi.

Tergerusnya nilai-nilai akhlak yang mungkin dominan melanda kalangan birokrasi dan anak kota memantik pemangku kebijakan mencarikan solusi lewat dunia pendidikan dengan menyajikan kurikulum yang aktual.

Munculnya persoalan (kasuistik) terjadi di jauh sana namun berimbas ke sini dari penyeragaman kurikulum. Namanya kurikulum nasional, tentu berlaku se-nasional.

Bagi kalangan madrasah yang berbasis pesantren, penekanan pendidikan akhlak di atas kecerdasan bukanlah porsi yang baru, tapi itu lagu lama yang senantiasa dijunjung tinggi dalam keseharian selama 24 jam. Setidaknya kompetensi yang diusung Kurikulum 2013 (K13) yang utama Kompetensi Inti (KI 1) berupa kecakapan spiritual, lalu KI 2 berupa kecakapan sosial yang keduanya oleh kalangan pesantren/madrasah disebut hablun minallah dan hablun minannas, dapat membangunkan sebagian kalangan pesantren/madrasah yang mulai kehilangan rasa bangga pada almamaternya, padahal orang luar mulai mengadopai model pendidikannya.

Munculnya wacana Full Day School bagi kebanyakan masyarakat Jawa Timur (khususnya kalangan pesantren) terkesan lucu, karena sepertinya pelampiasan kebingunan orang atas sana mencari model pengajaran dan pendidikan ala pesantren tapi tanggung.

Kembali pada persoalan moral. Generasi orang tua kita benar-benar mewanti-wanti pada anaknya untuk memelihara moral dan mengamalkan ilmunya hingga sampai kehilangan keseimbangan dalam berwejangan. "Walau punya ilmu sedikit yang penting diamalkan." Mereka berfatwa demikian bukan tanpa alasan, tapi menyikapi realita. Banyak orang berilmu tapi moralnya tidak karuan. Orang pandai banyak tapi orang baik sedikit.

Ungkapan ini dalam satu sisi baik, tapi dalam sisi lain kurang memotivasi generasi muda untuk meningkatkan keilmuannya. Idealnya ungkapan yang optimis, ilmu selalu ditingkatkan sambil diamalkan.

Pendidikan yang mapan akan menjadi pilar kokohnya kebangsaan, sebagaimana visi Ki Hajar Dewantara dalam membangun bangsa ini tempo dulu.

Persoalan bangsa ini semakin komplit. Maka, perpaduan unsur dari target pendidikan antara afektif (akhlak), kognitif (kecerdasan) dan psikomotorik (keterampilan) sebagai bentengnya. Semoga saja tumbuh jiwa-jiwa santri-akademisi.

Modal utama dari kombinasi capaian itu adalah kehadiran sang guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Dibutuhkan kesiapan lahir batin.

Ingat, warning Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno, "Musuhku lebih ringan ketimbang musuhmu karena musuhku penjajah, sedangkan musuhmu bangsa Indonesia sendiri."

Merdeka!

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Minggu, 04 Agustus 2019

SERBA DOA

Salah satu ajaran Islam yang monumental adalah doa. Doa disyariatkan dalam berbagai aktivitas manusia. Memanjatkan doa merupakan wujud ketergantungan hamba yang maha lemah dalam berbagai aspeknya kepada Zat Maha Kuasa, Allah SWT Sang Maha Pemurah lagi Penyayang.

Dua macam doa yang dapat dipanjatkan; pertama, doa ma'tsur (terredaksi dalam Al-Qur'an dan hadis). Kedua, bukan ma'tsur, yaitu doa yang redaksinya dibuat oleh sesama atau diri sendiri, baik menggunakan bahasa Arab atau bahasa lainnya, termasuk bahasa daerah.

Pemilihan redaksi doa tidak menjadi persoalan. Ma'tsur atau bukan, bahasa Arab atau bukan tidak apa-apa. Karena yang terpenting dalam doa adalah paham dan menghayati terhadap apa yang diminta. Dan sangat aneh bin ajaib meminta sesuatu tapi tidak pernah paham terhadap apa yang diminta sekalipun secara global.

Keterkabulan doa ada tiga macam; terwujud apa yang diminta, sebagai penebus dosa (gali lobang tutup lobang) dan diberikan di akhirat. Keterkabulan doa yang tampak tidak lantas instan (seketika) seperti merebus mie instan (jarang terjadi), tapi masih ada korelasi dengan usaha nyata untuk menjembut keterkabulan doa tersebut. Minimal yang dapat diterima langsung oleh pendoa adalah ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa adalah hal utama dalam kehidupan untuk mengantarkan kesuksesan.

Wallahu a'lam.

M. Khaliq Shalha

Sabtu, 03 Agustus 2019

PENDIDIKAN KEMANDIRIAN ANAK

Kasih orang tua kepada anak tak terhingga sepanjang masa. Dalam peribahasa lain dikatakan, kasih sayang orang tua kepada anak sepanjang jalan dan kasih sayang anak kepada orang tua sepanjang galah. Bila anak terjatuh ke dalam sumur, orang tua tanpa berpikir panjang, langsung meloncat ke sumur untuk menyelamatkan anaknya, tapi bila orang tua terjatuh ke sumur, anak masih sibuk mau mencari tangga.

Betapa agung, tak tertandingi dan tak terbantahkan kasih sayang orang tua kepada anak. Namun kasih sayang orang tua hendaknya jangan sampai menghambat proses pendewasaan mental anak. Layanan orang tua jangan sampai memanjakan anak, terutama ketika sudah  mulai remaja, keperluan anak sebaiknya tidak serba diladeni; tidur, makan, mandi, mencuci, berbelanja dan lain-lain. Bila potensi negatif kepribadian anak tumbuh lebih subur ketimbang potensi positifnya, alamat orang tuanya cenderung dijadikan budak. Kecenderungan anak selalu menggantungkan urusannya pada orang tua, sampai tumbuh kawin pun.

Sebaiknya bagi orang tua sejak dini memberikan pendidikan kemandirian pada anak. Dengan cara modeling atau memberikan teladan dalam berbagai aspeknya lalu mengajak anak berpartisipasi di dalamnya. Bersih-bersih, menanak, mencuci, membaca, menulis, bersedekah dan lainnya hendaknya melibatkan anak, sehingga anak terbiasa berkiprah dalam ranah kehidupan nyata dengan penuh tanggung jawab.

Kadang anak-anak dari keluarga di bawah garis kemiskinan lebih siap menghadapi kehidupan dewasa dalam berbagai aspeknya yang serba kompetitif. Mereka sudah biasa hidup malarat saban harinya. Mereka punya kesiapan menyongsong masa depan penuh harap dan semangat. Mereka siap peras keringat banting tulang dalam menjalankan misi kemanusiaannya.

Salah asuh bisa berakibat relatif fatal bagi masa depan anak. Memanjakan anak semanja-manjanya bukanlah wujud dari kasih sayang yang hakiki untuk jangka panjang. Tindakan bijak orang tua adalah memberikan pendidikan kemandirian kepada anak sejak dini. Itulah kasih sayang yang sebenarnya.

Wallahu a'lam.

M. Khaliq Shalha

Jumat, 02 Agustus 2019

KEAJAIBAN SILATURRAHMI


Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambung tali persaudaraan.” (HR. Bukhari Muslim).

Menyambung tali persaudaraan atau populer dengan sebutan silaturrahmi, yang dalam Islam tergolong salah satu ajaran yang urgen. Memutuskan tali persaudaraan merupakan bagian tindakan yang berbuah dosa.

Jalinan persaudaraan dilakukan antar kerabat, teman, saudara seagama (akhun fillah) atau dengan sesama manusia secara umum, memantik kedamaian di antara mereka hingga melahirkan ragam manfaat. Misalnya, lahirnya kepekaan tolong-menolong antar sesama dalan hal kebaikan dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di antara mereka.

Jaminan baku buah dari silaturrahmi, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih tersebut, dapat kita pahami dalam dua pemaknaan. Pertama, bagi pegiat silaturrahmi, umurnya dan rezekinya akan ditambah secara kualitas. Artinya, keberkahan umur dan rezeki akan ditambah.

Kedua, bertambahnya umur dan rezeki secara kualitas dan kuantitas. Itulah ajaibnya. Hal itu urusan mudah bagi Allah, Sang Pemilik umur dan rezeki.


Apakah umur bisa bertambah? Mungkin bisa bertambah. Dengan silaturrahmi dapat menjadi solusi terhadap suatu persoalan yang sebelumnya mengendap dan beku dalam pikiran sehingga bisa mencair. Dalam silaturrahmi pula, suasana keakraban, riang gembira dan gelak tawa menjadi pecah. Kondisi seperti itulah memungkin kejiwaan seseorang menjadi lebih sehat sehingga menambah panjang umur.

Kemudian mengenai makin murahnya rezeki, lebih logis lagi. Dengan silaturrahmi terbangun komunikasi muamalat yang relatif sama-sama menguntungkan semua pihak di dalamnya hingga bisa membuka pintu peluang rezeki dengan mudah.

Cara bersilaturrahmi dapat dilakukan secara individu keluarga (domestik), seperti pada momen hari raya. Dan, bisa pula secara terorganisir (publik) secara berkala, misal ada perkumpulan tahlilan dan sejenisnya. Efek silaturrahmi bisa efektif dan efisien bila didasarkan pada ketulusan hati, bukan karena modus tertentu.

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Kamis, 01 Agustus 2019

MENUJU TAKDIR BAIK DENGAN DOA

Sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: "Tiada seorang muslim yang berdoa kecuali doanya pasti dikabulkan. Kadang disegerakan di dunia ini, kadang sebagai simpanan buat di akhirat kelak, dan kadang sebagai penebus dosa-dosa yang telah diperbuatnya."

Doa bisa merubah takdir jelek seseorang berganti takdir baik. Hal ini telah dibuktikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani untuk takdir orang lain. An-Nabhani dalam kitabnya, Jami' Karamatil Auliya' mengisahkan bahwa Abul Mudhaffar diprediksi oleh guru Jailani, Syekh Hammad Ad-Dabbasi, akan ditimpa musibah (pembunuhan dan perampokan atas Mudhaffar) bila melakukan perdagangan ke Syam (Syiria). Prediksi itu disampaikan oleh Mudhaffar kepala Jailani.  Jailani berjanji bisa menjamin keselamatannya, dan menyuruhnya untuk meneruskan rencana dagangnya.

Setelah sampai di Syam, dagangan Mudhaffar laris manis. Di sana ia pergi ke WC dan uang hasil daganganya tertinggal di tempat itu. Baru ia ingat keesokan harinya setelah semalam ia bermimpi bahwa ia dan kafilahnya dirampok dan dibunuh oleh penjahat, hingga efek mimpi itu masih membekaskan darah di lehernya dan terasa sakitnya bagai digorok pisau ketika ia terbangun. Seketika ia ingat bahwa uangnya tertinggal di WC.

Prediksi itu hanya berganti mimpi. Uangnya masih ada di WC itu dan jiwanya selamat. Sepulangnya dari berdagang, Mudhaffar sempat bingung, apa mau sowan ke Syekh Hammad dulu atau ke Syekh Jailani. Mudhaffar secara tak sengaja bertemu Syekh Hammad di pasar. Ia langsung berkomentar atas kebingungannya dalam benak Mudhaffar dengan menyuruh Mudhaffar sowan terlebih dahulu ke Jailani karena ia katanya kekasih Allah yang telah mendoakan Mudhaffar 17 kali hingga selamat dari maut dan perampokan.

Ketika Mudhaffar menemui Syekh Jailani, Jailani berkata sebelum Mudhaffar berkata bahwa ia mendoakan Mudhaffar sebanyak 70 kali hingga Mudhaffar benar-benar selamat dari musibah.

Wallah a'lam.


M. Khaliq Shalha

Rabu, 31 Juli 2019

AKTIVASI SPIRITUAL DENGAN ZIARAH KUBUR

Ziarah kubur dianjurkan oleh Nabi SAW. Hikmah yang bisa didapat adalah aktivasi spiritual untuk bisa mengingat mati. Mengingat mati memiliki efek besar untuk mengontrol perilaku seseorang agar tidak mudah menyimpang.

Selain itu, sebagai wujud balas jasa kepada mereka yang sudah wafat. Balas jasa yang dibutuhkan oleh mereka adalah doa dari orang yang masih hidup. Salah satu indikasi saleh tidaknya seseorang bisa dilihat dari berdoa atau tidaknya untuk sesepuh yang sudah wafat. Anak saleh sebagai penyambung keterputusan amal mereka.


Dalam hadis disabdakan bahwa apabila manusia mati amalnya menjadi terputus kecuali tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak saleh yang mendoakannya. Mendoakan orang yang sudah wafat kapan saja, di mana saja tidak masalah. Cuma sewaktu-waktu perlu datang langsung ke pusara sesepuh yang dimaksud, misalnya ketika dalam momen hari raya, Kamis sore atau lainnya.

Banyak orang berkelit ziarah ke kuburan sesepuhnya dengan ragam alasan; sudah mendoakan di rumah, di masjid dan di tempat lain, tidak sempat karena sibuk dengan aktivitas lain jadi dicukupkan mendoakan di rumahnya saja. Boleh saja dengan cara begitu dan alasan seperti itu tapi belum dapat kredit poin berupa hikmah di balik ziarah kubur.

Generasi muda di era globalisasi ini tidak cukup diperkenalkan dengan cara aktivasi kartu seluler, diperkenalkan dengan aktivasi media online lainnya, tapi yang lebih krusial lagi sangat perlu dilakukan sosialisasi tentang aktivasi spiritual dengan cara ziarah kubur, diperkenalkan pada pusara orang-orang terdahulu yang telah berjasa, khususnya garis genetika jasmani dan rohaninya, guna senantiasa mendoakan mereka di alam baka.

Jika Anda mengharapkan generasi saleh, perlu Anda menanam kebaikan pada orang-orang terdahulu. Generasimu adalah cermin dari salah satu jejakmu. Wallahu a'lam.

M. Khaliq Shalha

Selasa, 30 Juli 2019

MENJAGA KEKOKOHAN POHON GENETIKA

Kekeluargaan akan bisa langgeng manakala kebersamaan menjadi acuan di tengah-tengah keberagaman. Tak sedikit cabang pohon keluarga tumbang satu persatu karena meruncingnya kebencian disebabkan iri hati dan kelas sosial.

Dalam cabang-cabang keluarga, kadang ada oknum yang menyelinap menjadi ulat (provokator) yang bisa menggoyahkan tegaknya pohon itu. Waspadalah agar Anda tidak digerogoti oleh ulat kehidupan.

Pertemuan keluarga jangan dijadikan ajang pameran untuk mempertunjukkan kelebihan masing-masing. Memamerkan kendaraan, perhiasan, baju, gaya hidup dll adalah tindakan sangat tercela dan hina. Sama halnya menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Tujuan silaturrahmi tidak tercapai, malah dampak negatif yang akan terjadi.

Asas silaturrahmi adalah kebersamaan; sekeluarga, sama-sama punya dedikasi hidup, sama-sama punya harga diri, sama-sama punya prestasi sesuai bidangnya. Pembedanya adalah nasib; mujur dan kurang mujur. Ingat, perbedaan nasib adalah sunnatullah. Tindakan arif yang semestinya kita tempuh adalah saling menghormati dan menyayangi. Menyalahgunakan nasib mujur akan menyulut keretakan hubungan kekeluargaan.


Tumbangnya pohon kekeluargaan penyebab awalnya adalah tak berfungsinya hati nurani karena virus keserakahan, keangkuhan dan kebanggaan berlebihan. Suatu hal dirasa ampuh menyirami nurani untuk tetap bisa hidup, yaitu melihat tamsil bayi yang baru dilahirkan di sekitar kita dalam keadaan telanjang. Kita dulu persis bayi itu. Jika Anda sekarang sudah hebat, bersyukurlah.

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Senin, 29 Juli 2019

ALA BISA KARENA MEMAKSA

Setiap manusia terlahir dengan membawa benih bakat masing-masing. Benih bisa tumbuh dan berkembang lewat proses alamiah. Baik tidaknya pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh proses yang dilalui. Tidak ada seseorang secara tiba-tiba menjadi hebat di bidangnya.

Sebuah tamsil, kupu-kupu yang indah disenangi banyak orang. Ia sudah melalui tahapan panjang untuk aktualisasi diri. Dari ulat, kepompong lalu menjadi kupu-kupu.

Dalam berproses akan bisa berjalan lancar apabila bisa melepaskan selimut kemalasan. Sifat malas memiliki energi yang cukup kuat. Banyak orang gagal atau kinerjanya kurang produktif karena tidak mampu menyingkirkan monopoli rasa malas. Malas memang mengasyikkan dalam waktu sesaat. Tapi akan mewariskan penyesalan berkepanjangan di kemudian hari. Beruntunglah orang yang bisa menaklukkan rasa malas.

Pada waktu saya sekolah di tingkat dasar, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada guru tentang bagaimana caranya untuk bisa menguasai disiplin ilmu. Saya kala itu pengagum semua guru yang hebat di bidangnya. Kok bisa? Jawaban beliau simpel, hanya satu kata, "memaksa."

M. Khaliq Shalha

DESAKU SURGAKU

Keluarga yang dinamis bukan sekadar bisa makan bersama di luar rumah sebagai ajang refresing, tapi juga yang asasi sangat perlu dipenuhi berupa kekompakan dan keistikamahan bermunajat pada Tuhan.

Jika malam minggu dicap sebagai malam yang panjang, malam yang asyik buat liburan, maka malam Jumat merupakan malam yang nikmat buat menutrisi spiritual. Di samping itu pula, bagi penganut tradisi pesantren, malam Jumat sebagai malam berlibur, malam melepaskan penat yang sungguh melegakan.

Di segala penjuru sana ramai-syahdu (bukan bising) dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an dan shalawat Nabi dalam nuansa sunyi senyap dari bunyi kendaraan, tak berlebihan jika dikatakan, "Qaryati jannati (Desaku Surgaku)". Dan, yang lebih sempit lagi, "Baiti jannati (Rumahku surgaku)".

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Senin, 08 Juli 2019

WARISAN LELUHUR PINGGIRAN

Begitu banyak karya leluhur pinggiran yang bisa diambil manfaatnya pada era ini. Hasil penelitian yang meraka lakukan cukup berguna. Kearifan mereka patut ditiru.

Leluhur pinggiran yang dimaksud adalah mereka yang tidak populer pada masanya dan setelahnya dengan hasil penelitian dan pemikiran serta kearifannya, namun karya mereka nyata walaupun tidak diketahui siapa yang punya inisiatif awal, alias anonim. Mereka tak terekam oleh sejarah. Berbeda misalnya dengan Plato, Aristoteles dengan filsafatnya yang bisa terekam oleh sejarah sehingga mereka berdua tergolong leluhur populer, bukan pinggiran.

Salah satu contoh; bagi orang yang masuk angin terapinya cukup melakukan kerokan pada sekujur tubuhnya dengan menggunakan uang logam dan pelumas minyak tanah atau kalau sekarang lation (bedak cair). Cara ini sangat efektif, murah meriah dan tanpa efek samping. Hal ini merupakan hasil penelitian leluhur yang tak terbukukan tapi terwariskan secara turun-temurun.

Contoh kearifan leluhur; bila seseorang ingin membangun rumah serba dilakukan dengan cara kehati-hatian secara spiritual. Malam hari menjelang dilakukan peletakan batu pertama pada keesokan harinya, mereka melakukan selamatan (istighatsah) bersama untuk diberi keselamatan oleh Allah bagi penghuni rumah tersebut dan proyek berjalan lancar. Ketika pada tahap selesai pemasangan genting (atap) mereka melakukan istighatsah lagi sore harinya dengan maksud penghuni rumah ini selamat dan tasyakur atas terselesaikannya pekerjaan pada tahap primer. Bagi orang yang punya anggaran pas-pasan apabila sudah mampu membangun rumah sampai pada tahan pemasangan genting, mereka sudah menganggap selesai dalam tahapan primer dan tahapan selanjutnya skunder lalu tersier bisa menyusul. Ketika akan menempati rumah baru ini mereka istighasah lagi untuk meraih keselamatan dalam menempati rumah dan sebagai bentuk rasa syukur mereka.

Itu salah satu sampel dari sekian banyak peninggalan leluhur yang berguna bagi kehidupan. Genarasi muda tidak sepantasnya meremehkan atau keburu menyalahkan pada peninggalan-peninggalan mereka dengan persepsi kurang ilmiah, tidak ilmiah, metos dan lain sebagainya. Bisa jadi pihak penilai tidak paham betul maksud leluhur. Kalau begitu bisa memalukan. Ibarat cerita fauna; kelelawar mengatakan matahari tidak ada, yang ada itu bulan. Pernyataan itu menunjukkan kepicikan kelelawar karena ia bisanya hanya keluar pada malam hari.

Warisan leluhur patut kita aprisiasi dan tak mudah meremehkan karya mereka selama tidak mengandung efek samping yang fatal dan kemusyrikan. Resep-resep mereka bisa bertahan selama berabd-abad karena terbukti keampuhannya.

M. Khaliq Shalha

Bisa dikunjungi juga di:
https://www.kompasiana.com/m-khaliq-shalha/5d22e30e097f36213f26a062/warisan-leluhur-pinggiran

Minggu, 07 Juli 2019

TERLANJUR BASAH DALAM KEBAIKAN

Terlanjur basah mandi sekali. Kalimat motivasi itu saya kira cocok diberlakukan dalam hal kebaikan saja, bukan keburukan. Kalimat itu mengajarkan untuk tidak setengah hati dalam berbuat tapi menyelami secara maksimal.

Apapun profesinya, dasar yang dijadikan pijakan adalah pengabdian (dedikasi). Dasar dedikasi inilah yang bisa menyulut semangat hingga produktif dan bisa membabat habis semua rintangan yang menghadang.

Dengan jiwa dedikasi tak bisa dilemahkan oleh minimnya finansial yang diperoleh karena prinsipnya mendulang manfaat untuk semua. Ada apa dan siapa atau tidak ada apa dan siapa bukanlah target pertama dan utama.

Contoh nyata di negeri ini, para pejuang bangsa dulu berjuang habis-habisan semata-mata untuk kemaslahatan bangsa ini. Mereka bukanlah para pejuang demi meraup finansial yang selalu hitung-hitungan nominal. Mereka tetap tegar menghadapi kenyataan.

Harus disadari pula, para pengabdi dengan jiwa mulianya akan dimudahkan oleh Tuhan kebutuhan hidupnya. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. Tak perlu banyak menoleh.

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Kunjungi pula di:
https://www.kompasiana.com/m-khaliq-shalha/5d211a5b097f3648fc438cc3/terlanjur-basah-berlaku-dalam-kebaikan

Kamis, 04 Juli 2019

MEMESRAKAN ANAK DENGAN AL-QUR'AN

Dengan metode baru yang sudah lumrah dipakai di mana-mana, sangat efektif dan produktif bagi anak untuk cepat membaca Al-Qur'an. Metode Iqra', Qira'ati dan sejenisnya dengan penekanan pada membaca langsung, bukan dieja, membuat anak umur enam tahunan atau di jenjang TK Nol Kecil sudah bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar. Berbeda dengan metode lama, berupa metode eja, efektifitasnya sangat lamban. Untuk bisa membaca dengan lancar membutuhkan waktu lama. Setingkat kelas enam MI baru lancar membaca.

Tugas orang tua dan guru selanjutnya untuk anak kecil yang masih ingusan yang sudah lancar membaca Al-Qura'an, mengajarkan memahami makna Al-Qur'an. Untuk era sekarang, banyak faktor pendukung untuk mengakrabkan anak pada makna Al-Qur'an, di antaranya Al-Qur'an yang dilengkapi dengan makna mufradat secara lengkap sudah terbit. Ini sangat membantu anak untuk mengenal makna kata dan kalimat.

Dengan bekal kebahasaan yang cukup, dalam perkembangan selanjutnya ketika anak sudah remaja dapat dilabuhkan pada pemahaman tafsir Al-Qur'an yang sudah ditulis oleh para ulama. Misalnya kitab tafsir Mafatihul Ghaib, karya Ar-Razi dengan analisa yang tajam. Diharapkan anak ini memiliki analisa yang mumpuni dan tajam terhadap kandungan Al-Qur'an setajam silet.

Bekal yang cukup pada pemahaman Al-Qur'an, akan begitu mudah untuk dapat menghayatinya dalam berbagai aspek. Kekhusyukan shalat lebih terjamin. Misalnya shalat Subuh dengan kiraat surat Al-Ghasyiyah yang berisi tentang dahsyatnya hari kiamat, akan membuat terharu pembacanya bahkan bisa mengucurkan air mata lantaran bisa menghayati kandungannya. Bagi orang yang tidak paham kandungannya jelas tidak mungkin terharu apalagi menangis, kalau toh menangis mungkin karena faktor lain di luar konteks ayat itu.

Al-Qur'an tidak cukup sekadar dipelajari untuk dapat sekadar lancar membaca. Sebagaimana paradigma orang-orang kampung dulu. Yang penting anaknya sudah bisa lancar membaca sudah cukup. Cukup sebagai salah satu bekal untuk menikah. Bila diundang tetangga tidak menolak sehingga tidak malu pada mertua dan pihak pengundang. Setelah selesai undangan, Al-Qur'an diletakkan pada tempat semula sebagai azimat. Ya, masih lumayan untuk era itu.

Dengan kondisi sekarang yang sudah memungkinkan untuk pendalaman Al-Qur'an pada anak, hendaknya harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mengakrabkan, bahkan memesrakan anak pada Al-Qur'an.

Sumenep, 4 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
__________
Ngepos tulisan 2014 yang tersimpan di facebook. 

Rabu, 03 Juli 2019

MENGAKRABKAN ANAK DENGAN BAHASA ASING

Bersama Pengasuh Pesantren-Masjid-Gua Perut Bumi, Tuban, 26 Juni 2019
Era globalisasi sudah nyata dalam kehidupan kita, yaitu era kampung dunia. Menuntut kita dan generasi kita siap menghadapi dalam berbagai aspeknya, termasuk bekal bahasa asing yang juga sudah mengglobal. Tanpa meninggalkan bahasa kita, bahasa Indonesia.

Mengakrabkan anak dengan bahasa asing (Arab dan Inggris) adalah tindakan yang cukup bijak. Sejak TK anak selayaknya diperkenalkan dengan kosa kata (mufradat) dengan cara menghapal, baik dengan cara mengulang-ulang atau dinyanyikan. Dengan metode ini, anak cepat menyerap tanpa terbebani. Kosa kata adalah modal dasar untuk langkah selanjutnya. Ada kata bijak mengatakan, "Didiklah anakmu dengan pendidikan yang berbeda dengan pendidikanmu, karena ia akan hidup di masa yang berbeda dengan masamu." Dulu bahasa asing tak begitu penting dipelajari, tapi sekarang berbeda.

Memahami bahasa bukan meruapakan tujuan, tapi sebagai alat untuk dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Termasuk keperluan studi. Bahasa Arab dan Inggris mulai intens digunakan sejak S1 ke atas. Referensi yang harus ditelaah banyak yang berbahasa asing. Walaupun buku terjemahan sekarang juga banyak, namun kurang afdal apabila tidak merujuk pada buku induknya dengan bahasa asal. Tapi tak semua buku yang dibutuhkan didapat terjemahannya dengan mudah. Hal ini menjadi penghambat atau kendala serius bagi kelancaran studi.

Suatu waktu, di Perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, ketika saya membaca buku Timur Tengah sebagai bahan untuk membuat makalah, ada seorang ibu yang masih semester awal menghampiri saya, beliau bilang, "Dik, sampean paham buku itu?" Saya jawab, "Lumayan Bu." "Di mana tempat kos sampean Dik?" "Di selatan pesantren Al-Jihad." Kata saya. Saya mengerti maksud ibu ini mau meminta bantuan saya untuk menterjemahkan buku yang berbahasa Arab sebagai bahan makalah beliau. Beliau kelihatannya memang sejak tadinya cari-cari referensi di sebelah saya. Saya hanya bisa memberikan solusi alternatif, bila butuh buku terjemahan bisa datang ke perpustakaan pusat. Saya tidak bisa membantu beliau menjelaskan maksud bukunya karena juga sibuk membuat makalah sendiri. Jadwal presentasi sudah dekat. Semoga ilmu ibu ini manfaat dan berkah. Saya salut dengan semangatnya.

Bahasa bagian dari keterampilan. Untuk bisa terampil membutuhkan ketekunan sejak anak-anak.

Sumenep, 3 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama yang terarsip di facebook.

KHUSYUK ITU MENIKMATI

Maqbarah Sunan Kudus, 27 Juni 2019
Khusyuk dalam shalat, menurut guru saya adalah menterjemahkan bacaan shalat ke dalam hati. Kalau dalam dunia puisi pengertian ini sama dengan menjiwai. Menurut pengertian saya, khusuk itu menikmati. Menikmati apa saja yang dikerjakan atau dirasakan. Menikmati angin sepoi-sepoi di pagi hari itu khusuk.

Menikmati apa yang dikerjakan membuat seseorang menjadi nyaman dan tak terbebani. Lebih terjamin meraih kualitas kerja, bukan hanya kuantitas. Menikmati shalat tarawih akan terasa enak tanpa beban walau rakaatnya lumayan banyak. Di Masjidil Haram katanya, kiraat shalat tarawih tiap malam satu juz. Jamaah cukup menikmati, tidak menjadi beban. Seperti pengalaman kakak sepupu saya waktu umrah. Beliau jadi ketagihan. Ia bilang, "Pengen kembali lagi."

Pekerjaan apa saja bila bisa dinikmati akan terasa nyaman dan lancar. Walau waktunya relatif lama. Contoh yang paling mudah; bagi bola mania, menonton siaran Piala Dunia 90 menitan tak terasa payah walau malam hari, bahkan merasa kurang. Lebih lama lagi, bagi penganten baru, waktu semalam itu terasa kurang panjang. Bahkan kalau bisa mau meminta kepada malaikat untuk diperpanjang. Bahasa puitis pun keluar, seperti dalam pelajaran sastra Arab (balaghah); "Ya lailu, thul. Ya naumu, zul. Ya shabhu, qif la tathlu' (Wahai malam, perpanjanglah waktumu. Wahai rasa ngantuk, pergilah. Wahai subuh, berhentilah, jangan terbit)." Itu gambaran orang yang khusyuk (menikmati) proyeknya. Bagaimana dengan Anda?

Selamat menikmati!

Sumenep, 3 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama yang terarsip di facebook.

Selasa, 02 Juli 2019

DARI NASI MERAH KE NASI PUTIH

Maqbarah Sunan Kalijaga, Demak, 27 Juni 2019
Ada cerita menarik dari guru alif saya. Seorang santri disuguhi nasi merah (jagung) dan nasi putih. Santri ini menyantap nasi jagung dengan lahap. Nasi putihnya dibiarkan dulu dengan maksud sebagai penutup. Waktu itu nasi putih sangat istimewa karena jarang ada, kecuali ketika hari raya. Itu pun jatahnya sangat terbatas. Masing-masing orang dalam sebuah keluarga biasanya mendapat jatah segumpal saja.

Santri ini ditanyakan oleh pemberi nasi tadi karena nasi putihnya tidak dimakan. Ia hanya menangis, begitu menyesal karena tidak bisa makan nasi putih yang diidolakan. Perutnya sudah kenyang betul dengan nasi merah. Sudah tidak bisa menampung makanan lagi. Kasihan!

Pada tahun 1990-an, di kampung saya masih terbiasa dengan nasi merah. Jarang dicampuri beras, kalau ada jatahnya hanya sebagian kecil. Tak jauh berbeda dari cerita di atas. Saya ingat waktu masih anak-anak. Setalah pulang ke rumah, selesai mencari jangkrik di ladang, biasanya langsung makan nasi jagung asli dengan lauk ikan asin. Tapi nikmatnya luar biasa, sepertinya berasa sampai sekarang. Ingin masa dulu diputar kembali, walau kata ahli nahwu keinginan ini tergolong tamanni (mengharap sesuatu yang mustahil tergapai). Di zaman nasi jagung dulu kenikmatan juga mengalir santer.

Masa sekarang, nasi jagung sudah jarang ada, apalagi nasi jagung asli tanpa campuran. Dalam keseharian di mana saja menu nasi putih sudah biasa. Tidak harus menunggu hari raya atau ada orang mati. Fakta ini merupakan indikasi bahwa perikonomian bangsa ini (khususnya daerah saya dan sekitarnya) di bidang pangan makin meningkat. Untuk sekarang, hasil jagung petani sudah banyak diproduksi untuk pakan ternak.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan menigkatnya pangan masyarakat; faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam berupa cuaca dan lahan mendukung, dan faktor manusia dengan ketersediaan pupuk yang diproduksi dan obat pembasmi hama. Anugerah Tuhan begitu besar.

Bagi saya, nasi jagung tak kalah istimewanya dengan nasi putih. Bahkan kelebihannya untuk konsumsi makan sahur akan lebih tahan lama keyangnya ketimbang nasi putih. Paling tidak nasi merah putih (nasi kebangsaan) lebih kenyal rasanya.

Sumenep, 2 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama, 2014 dengan foto terbaru, 2019.

KUN FAYAKUN VS SIMSALABIM

Masjid Menara Kudus, 27 Juni 2019

Banyak kalangan memahami kalimat "kun fayakun" dengan bahasa sulap, simsalabim, abrakadabra. Sebuah kejadian secepat kilat tanpa proses yang rasional.

Pemahaman semacam itu, menurut saya, kurang tepat, walau Tuhan sangat bisa bertindak demikian. Dalam ilmu sharaf (morfologi Arab), konsep waktu untuk fi'il amar (kun) dan fi'il mudhari' (fa-yakun) adalah istiqbal, bermakna akan terjadi. Tentu butuh proses yang bisa dinalar. Misal, penciptaan langit dan bumi butuh proses panjang, sebagaimana disampaikan Tuhan dalam Al-Qur'an.

Kita mengharap anugerah Tuhan tak perlu banyak ilusi dengan berpegang pada pemaknaan kun fayakun yang tidak produktif itu. Kita rugi sendiri. Usaha harus dijalankan sebagai sebuah proses zahirnya dan doa harus dipanjatkan sebagai sebuah proses lunaknya.

Dunia ini bukanlah negeri dongeng, tapi realita dengan hukum alam (sunnatullah).

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha