Rabu, 26 Februari 2020

KESAKRALAN HUBUNGAN SILATURRAHMI DALAM MENECIPTAKAN HARMONI KEHIDUPAN

Oleh : M. Khaliq Shalha



Dalam Islam, ketauhidan (monoteisme) dan humanisme tak bisa dipisahkan satu sama lain. Ibarat dua sisi mata uang. Sebagaimana terlihat jelas, misalnya, dalam surat al-Ma'un.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ  .فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ  .وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ  .فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ  .الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ .  الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ  .وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ .

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan (orang) untuk memberi makan orang miskin. Maka, celakalah mereka yang (meski) shalat, (namun) lalai dalam shalatnya;  orang-orang yang riya (shalatnya) dan (bahkan) sedikit pun tak mau menolong (mereka yang membutuhkan). (QS. al-Ma'un [107]: 1-7).

Oleh karena itu, Islam sangat menjunjung tinggi humanisme untuk mewujudkan harmoni antarsesama. Jalinan yang armonis itu kemudian disebut "silaturrahmi" yang tak boleh tidak harus dirawat bersama.

Dalam hadits qudsi disebutkan, sebagaimana dikutip oleh Hafizh Hasan al-Mas'udi dalam kitabnya, Taisirul Khallaq fi 'Ilmil Akhlaq. Nabi bersabda, Allah berfirman, "Aku (Allah) Maha Pengasih (ar-Rahman). Rahim (kerabat) ini Aku derivasikannya dari nama-Ku. Maka, barang siapa bersilaturrahmi, Aku pasti menyambungkannya dan barang siapa memutuskan silaturrahmi, Aku akan putus hubungan dengannya." Konten hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa betapa agungnya nilai silaturrahmi sehingga Allah mengapresiasinya dengan sebutan yang diambil dari salah satu nama-Nya.

Silaturrahmi akan mempererat hubungan kekerabatan, baik kerabat dekat atau kerabat jauh sehingga akan terjalin ukhuwah (persaudaraan): ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), level paling universal; ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan); dan ukhuwah diniyah (persaudaraan seagama).

Manusia, di mana pun berada, jika ditarik nasabnya pada level paling atas (puncak), akan ketemu pada satu nenek moyang, yaitu Nabi Adam. Oleh karena itu, kita ini patut bangga karena kita semua sama-sama keturunan Nabi, yaitu Nabi Adam. Maka, tak ada alasan manusia dengan sesamanya untuk saling sikat dan sikut, saling gasak dan gesek. Semestinya saling asah, asih, dan asuh.

Peristiwa atau tragedi kemanusiaan yang tragis terjadi di buka bumi ini ketika manusia (insan) kehilangan kesadarannya sebagai manusia hingga berganti kesadaran hewan predator. Dalam banyak ayat al-Qur'an, manusia disebut "al-insan" yang jika dirunut dari akar katanya, "a-na-sa" bermakna harmoni. Harmoni inilah yang perlu dijaga eksistensinya dengan silatur rahmi, diplomasi.

Maka, Rasulullah SAW memberikan statemen tentang urgensi silaturrahmi.
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Bagi siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menjalin hubungan silaturrahmi.” (HR. Bukhari Muslim).
Jika suatu personal, kelompok, bangsa ingin lebih langgeng hidupnya dengan kemakmuran, jalinlah silaturrahmi atau diplomasi.

Wallah a'lam bish shawab.

Allahumma shalli 'ala Muhammad.

Sumenep, 26 Februari 2020.

Minggu, 23 Februari 2020

KETIKA NABI MENIKAHI BUDAK (Potret Misi Luhur Profetik Sepanjang Zaman)


Oleh : M. Khaliq Shalha


Suatu hal yang menakjubkan dalam lembaran kehidupan Nabi SAW di antaranya tentang pernikahan beliau dengan hamba sahaya bernama Maria Al-Qibtiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis, Gubernur Iskandariyah, Mesir. Dari pernikahan tersebut beliau berdua dikaruniai seorang putra yang diberi nama Ibrahim yang wafat pada usia anak-anak (ada yang mengatakatan hanya berumur tujuh puluh malam, ada pula yang mengatakan tujuh bulan atau delapan bulan).


Secara kelas sosial beliau berdua tidak selevel; Nabi versus budak. Tapi, di sinilah letak keluhuran profetik beliau untuk membesarkan Islam lewat jalur domestik keluarga dan demi mengangkat harkat martabat wanita serta untuk menghapuskan perbudakan di dunia secara perlahan karena perbudakan--sungguh, sumpah--tidak sejalan dengan perikemanusiaan secara primordial (fitrah, azali). Pembeda manusia dengan manusia lainnya di hadapan Tuhan, Pemilik jagat raya ini adalah kualitas SDM-nya yang dalam terminologi Al-Qur'an disebut takwa dalam arti luas.

Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban Karya Fazlur Rahman

Perkara kemudian dalam perkembangan hukum Islam (fiqih) ulama merumuskan hukum keluarga yang di antaranya ada konsep kafaah atau kufu' (kesetaraan, selevel) dalam berbagai aspeknya. Misalnya, laki-laki kaya menikahi wanita kaya, laki-laki miskin menikahi wanita miskin, laki-laki tampan menikahi wanita cantik, laki-laki terhormat menikahi wanita terpandang. Rumusan ini dibuat untuk menciptakan keharmonisan dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan memanimalisir kecemburuan sosial. Bisa Anda bayangkan sendiri, umpama ada laki-laki non-rupawan menikahi wanita rupawati (kata orang Madura, bisa ekibe ke to'petto', tidak malu-maluin dibawa melayat ke tujuh harinya orang meninggal dunia, tidak memalukan dibawa ke acara undangan), atau sebaliknya, ada laki-laki rupawan kemudian menikahi wanita non-rupawati, dua tipe pasangan itu akan menjadi pembicaraan negatif publik karena tidak kafaah. Perlu menjadi catatan bahwa di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang konsep mukafaah ini, yang perlu diupayakan setara itu dalam aspek apanya.

Hanya, konsep kafaah itu tidak menjadi keharusan. Justru malah "melawan" konsep itu akan menjadi kemaslahatan jangka panjang untuk memperbaiki status sosial, ekonomi, atau keturunan. Ada anekdot yang mengatakan, "Jika Anda ingin kaya mendadak, nikahilah wanita kaya raya." 

Usulan Bapak Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) kepada Menteri Agama Fachrul Razi untuk menerbitkan fatwa perkawinan lintas tingkat perekonomian untuk membendung masalah kemiskinan baru (CNN Indonesia, 19/02/2020), kiranya perlu diapresiasi oleh semua kalangan, khususnya para pegiat hukum Islam kontemporer untuk dilakukan ijtihad baru dalam fiqih keluarga sebagai antitesis dari konsep kafaah atau kufu' sejalan dengan dinamika kehidupan bangsa. Sebagaimana pula disebutkan kaidah ushul fiqih, "Al-Hukmu yaduru ma'a 'illatih wujudan wa 'adaman (Berlaku tidaknya suatu hukum sejalan dengan ada tidaknya ilat hukum).

Bapak Muhadjir Effendy menyarankan bahwa yang miskin wajib mencari pasangan yang kaya dan yang kaya mencari pasangan yang miskin. Dengan alasan, karena jika sama-sama miskin lahirlah keluarga miskin baru, inilah problem di Indonesia. Usalan Bapak Muhadjir Effendy tentu banyak yang menyanggahnya. Itu hal biasa. Termasuk yang disampaikan oleh salah satu aktivis perempuan Yogyakarta yang mengatakan, "Perempuan miskin itu punya harga diri juga."

Saya sendiri menanggapi usulan Bapak Muhadjie Effendy dengan rincian: jangan menggunakan kata "wajib" karena hal itu terlalu ekstrem, tapi cukup "sunnah" (anjuran) bersyarat. Apa syaratnya? Apabila kedua belah pihak sama-sama merasa nyaman dengan pilihan itu. Dalam kitab fiqih, konsep kafaah paling banter hukumnya sunnah, bukan wajib. Jadi, sunnah si kaya menikahi si miskin, demikian juga sebaliknya.

Jika kita memperhatikan peristiwa pernikahan Rasulullah SAW dengan seorang hamba sahaya, Maria Al-Qibtiyah, sebagaimana saya sebutkan di atas, mengajarkan kepada kita bahwa dalam berkeluarga kita amat perlu mempertimbangkan kemaslahatan jangka panjang. Konsep kafaah (kesetaraan) dalam satu sisi perlu, sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fiqih dalam berbagai mazhab, namun hal itu bukan sebuah keharusan, tapi sifatnya kondisional. Hal terpenting dalam berkeluarga adalah adanya niat baik yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam setelah kedua belah pihak merasa ada kenyamanan dan kecocokan perasaan untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang dibangun atas dasar mahabbah wasy-syauqah (cinta serta rindu yang membara).

Allahumma shalli 'ala Muhammad.

Wallah a'lam bish shawab.

Sumenep, 23 Februari 2020.

Jumat, 21 Februari 2020

PEREBUTAN WACANA SALAF

Oleh : M. Khaliq Shalha


Dalam dunia pesantren yang berkultur NU dikenal istilah "salaf". Akhir-akhir ini istilah salaf diperebutkan di kalangan umat Islam sebagai paradigma dan aksi keagamaan mereka.

Pengertian dan substansi salaf dalam tradisi pesantren yang berkultur NU sangat berbeda dengan salaf dalam versi pengertian kaum modernis Islam atau kelompok Islam radikal. Pesantren salaf, misalnya, dalam pengertian NU dimaksudkan sebagai pesantren yang mengikuti dan mengajarkan pemikiran ulama terdahulu (salaf) yang tertera dalam kitab-kitab rujukan (al-kutub al-mu'tabarah) yang lazim disebut kitab kuning, atau dalam istilah yang lebih sensitif disebut kitab gundul.

Sedangkan salaf dalam pengertian kaum modernis atau Islam radikal ialah aliran gerakan pemurnian Islam yang bermaksud membersihkan Islam dari tradisi yang dianggap menyimpang dengan jargon (semboyan) kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Gerakan salaf tipe kedua inilah yang banyak melahirkan radikalisme, termasuk terorisme, tindakan sadis atas nama membela agama.

Kok bisa begitu? Mereka tersesat di jalan yang salah karena bangunan paradigmanya dalam semboyan kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah berpijak pada pondasi pemahaman yang dangkal dan labil. Ironisnya, para pengikut salaf versi kedua ini mereka memiliki loyalitas tinggi namun miskin ilmu. Akibatnya, mereka gampang diperalat untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Mereka mudah terlena dengan label, simbol, bendera tanpa tahu substabsi ajaran Islam yang sejati, yaitu rahmatan lil alamamin.

Sayang, bila kita menyaksikan aktivis salaf tipe kedua itu, termasuk golongan ustaz tivi, ustaz karbitan dan sejenisnya, ketika menyuarakan ayo kembali kepada Al-Qur'an. Ketika ditelisik aspek kapasitas ilmu keislamannya, referensinya hanya Al-Qur'an terjemahan, tapi hebatnya, sudah berani berfatwa dan menilai ulama-ulama beneran dengan berbagai tradisi keagamaannya dianggap salah, tidak ada dalilnya, bid'ah, dan semacamnya. Lucu bukan?

"Ayo kembali kepda Al-Qur'an...!!"

"Memangnya selama ini saya menjauh dari Al-Qur'an? Jangan-jangan Anda sendiri yang bingung karena jauh dari pemahaman Al-Qur'an yang komprehensif!"

Supaya tidak bingung untuk berada di jalan yang benar, ikutilah manhaj kultur keagamaan para ulama-kiai di pesantren-pesantren NU. Anda akan lebih terjamin dalam ber-Al-Qur'an dan ber-Sunnah.

Produk-produk pemikiran ulama salaf versi NU yang tertera dalam kitab-kitab kuning dengan konten tauhid, fiqih dan tasawuf merupakan bentuk konkret dari pemahaman dan pengamalan Al-Qur'an dan Sunnah.

Suatu contoh berikut dari aspek fiqih saja supaya mudah. Orang yang berwudhu bisa sah bila ia tahu fardhunya. Untuk tahu fardhunya wudhu secara praktis sebagaimana diterapkan kita saat ini, itu dapat dari mana? Dari Al-Qur'an dan Sunnah? Kalau Anda menjawab terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah secara mentah-mentah, Anda berarti jauh dari Al-Qur'an dan Sunnah. Karena fardhunya wudhu itu produk pemikiran ulama yang diolah secara kombinasi antara Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam mazhab Syafi'iyyah fardhunya wudhu ada enam: (1) niat, (2) membasuh muka, (3) membasuh kedua tangan sampai siku, (4) mengusap sebagian kepala, (5) membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, dan (6) tertib.  Nomor 1 terdapat dalam Sunnah (hadits) riwayat Bukhari Muslim: Innamal a'malu binniyyat..., nomor 2-5 terdapat dalam Al-Qur'an (Al-Maidah [5]: 6), sedangkan nomor 6 hasil kesimpulan dari pemahaman terhadap ayat Al-Qur'an tentang wudhu itu yang menyiratkan adanya tuntutan untuk berurutan.

Jadi, mengamalkan fardhunya wudhu yang enam tersebut memang sedang mengamalkan Al-Qur'an dan Sunnah. Begitulah caranya ulama yang kita ikuti. Bukan dibuat gampang-gampangan secara serampangan "ayo kembali kepada Al-Qur'an" padahal modalnya hanya Al-Qur'an terjemahan tanpa mengerti kandungan Al-Qur'an ditinjau dari ilmu keislaman dengan berbagai aspeknya. Tidak bisa "kor meddel" (asal bunyi).

Saya pribadi risih dengan slogan "Ayo kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" yang dilontarkan oleh oknum yang sok-sokan agamis dengan maksud menyalahkan ulama-kiai yang sudah mapan keilmuannya dengan tuduhan bid'ah dan semacamnya. Baru saya manggut-manggut dan me-like bila slogan itu datang dari ulama dengan kapasitas keilmuan yang betul-betul mumpuni, semisal, Sulthanul Auliya' (Pemimpin Para Wali), Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (470-561 H) dalam kitabnya, Futuhul Ghaib. Beliau menghimbau untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Beliau moderet lho sekalipun ungkapan-ungkapannya berdosis tinggi dalam mengajak para salik untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi efek negatif dunia sejauh-jauhnya.


Maka, sebagaimana tradisi pesantren salaf dalam beragama dengan mengikuti ulama-kiai dengan referensi kitab kuning tentu lebih selamat caranya dalam kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Rujukan mereka lebih bisa dipertanggungjawabkan secara ilahiah dan ilmiah.

Dalam konteks sosiologi agama orang Madura lebih sederhana lagi. Ada anekdot, orang Madura ditanya oleh orang Jawa, "Agamamu apa?"

Si Madura menjawab, "Agamaku NU."

Jawaban ini bagi oknum kalangan salaf tipe kedua akan diklaim sesat, bid'ah, bahkan kafir. Tapi bagi kalangan pesantren sendiri yang alim ilmu balaghah, jawaban itu sangat diplomatis dan amat tawadhu, karena maksud si Madura itu adalah Islam 'ala thariqati (berdasarkan pola pikir dan amaliah) NU yang secara ilahiah dan ilmiah bisa dipertanggungjawabkan.

Anda berminat pada tipe salaf yang mana?

Wallah a'lam bish shawab.

Sumenep, 21 Februari 2020

Jumat, 14 Februari 2020

HARI JUMAT HARI KASIH SAYANG

Oleh : M. Khaliq Shalha


أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ .
Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.
(QS. Ibrahim [14]: 5).


Pada zaman Jahiliyah, hari Jumat (al-Jumu'ah) disebut al-Arubah yang berarti hari kasih sayang. Orang pertama kali yang menamakan hari al-Arubah menjadi hari Jumat adalah Ka'ab bin Lu'ai, nenek moyang Rasulullah SAW.

Dinamakan hari Jumat karena kala itu orang-orang Quraisy berkumpul untuk bermusyawarah tentang berbagai urusan mereka. Dan, orang yang pertama kali berkumpul adalah Ka'ab bin Lu'ai tersebut.

Pada hari Jumat Ka'ab senantiasa berkhutbah pada kaumnya dengan khutbah yang memukai. Dalam khutbahnya ia menuturkan kabar gembira akan terutusnya Nabi SAW dan ia mengingatkan pada masyarakat untuk mengikuti Nabi dimaksud.

Dalam salah satu isi khutbahnya Ka'ab berucap, "Ketahuilah dan pahamilah bahwa bumi dalah milik Allah sebagai hamparan, gunung sebagai pasak, langit sebagai bangunan, dan bintang-bintang sebagai tanda." "Akan datang kepada kalian berita besar dan akan keluar kepada kalian nabi yang mulia."

Selanjutnya, pada masa Islam, orang pertama yang memperhatikan urgensi hari Jumat adalah As'ad bin Zurarah. As'ad memberikan sinyalemen (isyarat) kepada Mus'ab bin Umair untuk menunaikan shalat Jumat dalam beberapa kesempatan. Karena orang-orang Anshar mengatakan bahwa orang-orang Yahudi memiliki suatu hari dan mereka berkumpul setiap tujuh hari sekali, yaitu hari Sabtu. Begitu pula orang Nashrani memiliki hari Ahad. Lalu, kenapa kita tidak menjadikan suatu hari untuk berkumpul, berzikir, dan bersyukur kepada Allah, kata mereka.

Konon kabarnya, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, di kota tersebut telah digelar shalat Jumat secara amatiran oleh Mus'ab bin Umair bersama dua belas orang laki-laki. Baru pada bulan Rabiul Awwal tahun pertama Hijriyah shalat Jumat diwajibkan bagi seluruh umat Islam laki-laki (dengan syarat dan ketentuan tertentu) hingga akhir zaman.

Mengapa hari Jumat termasuk hari istimewa? Rasulullah SAW bersabda, riwayat Abu Hurairah, "Sebaik-baik hari saat matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari Jumat Adam diciptakan oleh Allah. Adam diturunkan (ke bumi) dari surga pada hari Jumat. Pada hari Jumat pula, diterima tobat Adam dan ia diampuni. Pada hari Jumat, adam diwafatkan. Pada hari Jumat pula terjadi kiamat. Selain anak Adam, setiap hewan di muka bumi ini selalu menjerit pada dini hari Jumat hingga terbit matahari karena takut akan terjadi kiamat. Pada hari Jumat, ada saat ketika seorang hamba yang beriman sedang menunaikan shalat dan meminta sesuatu kepada Allah, maka Allah pasti mengabulkan permintaannya itu." (HR. Ahmad).

Dalam hadits lain, Rasulullah menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat pada hari Jumat. Dalam riwayat Anas bin Malik Rasulullah SAW bersabda, "Perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari Jumat atau malam hari Jumat. Barang siapa berbuat demikian, niscaya aku akan menjadi saksi dan pemberi syafaat baginya di hari kiamat kelak." (HR. al-Baihaqi).

Nah, Jumat adalah hari rahmat, hari kasih sayang karena umat Islam bisa berkumpul dalam momen shalat Jumat di masjid setelah seminggu mereka super sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Hari Jumat memang termasuk dari ayyamullah (hari-hari Allah) terkait dengan peristiwa-peristiwa besar sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, termasuk permulaan hadirnya manusia ke muka bumi ini untuk membangun peradaban dan menebar kedamaian.

Di hari Jumat ini pula merupakan momen super mantap untuk shalawatan kepada junjungan kita, Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai investasi jangka panjang kita demi menadah telaga kasih sayang beliau berupa syafaatnya yang tak diragukan lagi bagi siapa saja yang menginginkannya.

Wallah a'lam bish shawab.

Sumenep, 14 Februari 2020

Senin, 10 Februari 2020

SYAIKH AHMAD KHATIB SAMBAS (Mengenal Perintis Kolaborasi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah)

Oleh : M. Khaliq Shalha


Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875 M), Kalimantan Barat, sejak mudanya memiliki semangat menggebu-gebu untuk belajar ilmu-ilmu keislaman hingga beliau menjatuhkan pilihan untuk bermukim lebih lama di Makkah al-Mukarramah, mengingat iklim politik di Nusantara waktu itu tidak kondusif untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Syaikh Ahmad Khatib Sambas muncul sebagai tokoh sufi dan perintis kombinasi autentik dua tarekat besar: Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

Tarekat Qadiriyah asal mulanya digagas oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Zangi Dost al-Jailani (w. 1166 M), yang pepuler dengan nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tarekatnya mengacu pada tradisi mazhab  Iraqi yang dibangun oleh Imam al-Junaid.

Sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah dibangun oleh Syaikh Muhammad ibn Muhammad Baha'uddin al-Uwaisyi al-Bukhari al-Naqsyabandi (w. 1389 M) yang didasarkan pada tradisi al-Khurasani yang dipelopori oleh al-Busthami.

Kedua jenis tarekat inilah yang dengan brilian diramu dan diracik oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas dalam satu kesatuan yang bulat seperti dikenal di kalangan umat Islam sekarang ini. Kitabnya, Fathul 'Arifin, menunjukkan integritas keilmuan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di lingkungan masyarakat Islam.

Tarekat Ahmad Khatib Sambas diamalkan oleh masyarakat Islam di belahan dunia, terutama di negara-negara yang bermazhab Syafii dan bertasawuf ala Imam al-Junaid dan Imam al-Busthami.


Demikian serpihan konten buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial gubahan KH. Said Aqil Siraoj. Semoga menambah pengetahuan bagi para pemula tentang tarekat (organisasi tasawuf) ini, karena bisa jadi sebagian para pengamal tarekat kolaborasi ini belum tahu asal muasal tarekatnya.

Saya sendiri bukan anggota resmi dari berbagai tarekat muktabarah yang ada, tapi sebagai simpatisan saja. Berdiri di atas semua golongan.

Ada ungkapan yang maknanya begitu mendalam dalam tarekat kolaborasi ini: Ilahi, anta maqshudi wa ridhaka mathlubi. A'thini mahabbatika wa ma'rifatak (Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan ridha-Mu kucari. Anugerahkanlah cinta dan makrifat-Mu).

M. Khaliq Shalha
Sumenep, 6 Februari 2020

Minggu, 09 Februari 2020

IMAM AL-GHAZALI BERGURU PADA PENYAMUN (Memetik Puspa Hikmah dari Patualangan Ilmiah Sang Hujjatul Islam)

Oleh : M. Khaliq Shalha


Dalam khazanah santri ada ungkapan populer: Unzhur ma qala wala tanzhur man qala (Pandanglah apa yang terucap, jangan pandang siapa yang berucap).

Ungkapan hikmah ini menekankan pada kualitas konten pembicaraan tanpa mempersoalkan siapa yang berbicara. Dalam banyak hal ungkapan ini dapat diterapkan. Dan, dalam hal tertentu harus dilihat dari kedua aspeknya; apa konten pembicaraannya dan siapa yang mengatakannya, misal, dalam periwayatan hadits tempo dulu. Apa konten (matan, teks) haditsnya (disebut Ilmu Riwayah), juga siapa yang meriwayatkannya, menyangkut hal-ihwal kualitas perawinya (disebut Ilmu Dirayah). Kedua hal itu dibutuhkan dalam periwayatan hadits untuk menjaga jaminan mutu autentisitas (keaslian) hadits dimaksud.

Kaitannya dengan ungkapan di atas--di luar ranah periwayatan hadits--dalam konteks kehidupan sehari-hari, cukup layak untuk diapresiasi dalam menemukan puspa ragam hikmah untuk kemaslahatan hidup yang berkemajuan. Dalam sabda Rasulullah SAW malah ditegaskan bahwa hikmah merupakan barang berharga yang hilang milik orang mukmin, di mana saja ia mendapatkannya, pungutlah. Bisa kita analogikan, sesuatu yang keluar dari dubur ayam kalau itu telur, ambillah. 

Ulama besar yang pernah mengambil ibrah (pelajaran) dari ungkapan penyamun (perampok) adalah Imam al-Ghazali, ulama multitalenta dalam bidang ilmu keislaman dengan 69 karya gemilangnya.

Alkisah, al-Ghazali merupakan anak dari keluarga sangat miskin, buruh kasar, tukang tenun kain wol. Sang ayah bercita-cita ingin memondokkan al-Ghazali kepada ahli agama agar ia menjadi alim. Namun cita-cita itu kandas karena ayahnya mendahului meninggal dunia. Akhirnya, al-Ghazali diasuh seorang sufi selaku teman ayahnya. Al-Ghazali disekolahkan di kampung halamannya, di Madrasah Thus, Khurasan, untuk mengenyam pendidikan dasar keagamaan.

Setelah merampungkan pendidikan di kampung halamannya, al-Ghazali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Madrasah Jurjan yang berjarak sekitar 250 mil dari Thus.

Dalam menempuh pendidikan ke Jurjan, al-Ghazali sering berangkat bersama-sama kafilah para pedagang agar aman dari gangguan penyamun. Terkadang ia harus menumpang tidur di serambi masjid atau terpaksa tidur di tempat terbuka. Perjalanan berat itu terus ia lalui hingga akhirnya sampai ke kota Jurjan, tempat idaman menuntut ilmu. 

Suatu waktu, al-Ghazali pulang ke Thus. Di tengah jalan ia dihadang oleh gerombolan penyamun. Mereka merampas seluruh barang bawaan al-Ghazali yang tak seberapa, sampai kantung wadah kertas dan buku-bukunya pun ikut digasak.

Al-Ghazali membujuk para penyamun itu untuk menyerahkan kantong yang berisikan kertas dan buku yang sekian lama ia gunakan untuk menulis dan belajar. Tapi, malah salah seorang penyamun menghardiknya dan melontarkan kritikan pedas: "Apa artinya pengetahuan kalau hanya tertulis dalam kertas. Ketika kertasnya hilang, pengetahuan itu ikut raib bersamanya!" Rupanya penyamun ini cerdas. Sebut saja penyamun-filsuf.

Al-Ghazali mendapat pelajaran berharga dari peristiwa itu. Ia terdorong untuk menghapal dan menjaga hapalannya. Gara-gara penyamun dan kekhawatirannya yang besar akan hilangnya kertas dan buku-bukunya kedua kali, al-Ghazali pun menghapal seluruh pelajaran di luar kepala. Kebiasaan ini tetap berlanjut ketika beliau berguru ke Imam al-Juwaini atau dikenal dengan Imam al-Haramain (karena beliau pernah belajar di Makkah Madinah), di kota Naisabur, ibu kota Khurasan.

Nah, saat itulah al-Ghazali memiliki dua wadah keilmuan secara sempurna. Di samping ia memiliki catatan lengkap, ia juga menghapal semua pelajarannya luar kepala.

Ungkapan penyamun dalam satu sisi memang benar, sejalan dengan peribahasa Arab yang juga populer di kalangan santri: "Al-'Ilmu fish shudur la fis suthur (Ilmu itu di dalam dada, bukan dalam tulisan)." Ilmu mestinya dihapal, dikuasai, bukan sekadar tertata rapi dalam buku catatan tapi tidak dikuasai.

Perlu pula diperhatikan dengan saksama peribahasa pengimbangnya yang juga populer di kalangan santri: "Al-'Ilmu shaidun wa qaiduhu al-kitabah (Ilmu itu gesit, sedangkan ikatnya adalah tulisan). Sebab, bisa saja seseorang pada waktu tertentu hapal dan menguasai materi, namun pada saat berikutnya sangat mungkin lupa. Pada saat semacam itu, buku atau catatanlah yang menyelamatkan raibnya ilmu dari seseorang.

Sekaleber al-Ghazali telah melakukan kedua-duanya dengan sempurna, yang salah satu faktornya karena disentil oleh penyamun, sebagaima kisah di atas. Jika pakar pendidikan kontemporer mengatakan bahwa hapalan itu tidak penting bagi anak didik, saya kira pernyataan itu ahistoris, dangkal, dan terlalu pragmatis.
M. Khaliq Shalha. Lokasi Foto di Stasiun Kota Baru Malang, 31 Januari 2020
Walhasil (meminjam ciri khas Ketua Umum PBNU., KH. Said Aqil Siroj), untuk menyuburkan kepakaran dan mengamankan keilmuannya, al-Ghazali menghapal-menguasai materi juga mencatatnya agar keilmuannya awet. Terbukti kepakaran al-Ghazali tertulis dengan tinta emas dalam sejarah.

Wallah a'lam bish shawab.


Sumenep, 9 Februari 2020