Kamis, 01 Desember 2016

PENISTAAN AGAMA DALAM KESEHARIAN


M. Khaliq Shalha


Eksistensi agama bukanlah simbol-simbol kesalehan semata, tapi yang terpenting berupa nilai-nilai kesalehan yang mewujud dalam tindakan keseharian, baik dalam perbuatan, perkataan atau sikap yang bisa membuat dirinya dan orang lain merasa teduh, nyaman dalam bergaul di bawah lindungan rida-Nya. Saleh ritual dan sosial merupakan identitas muslim yang hakiki hingga terhindar dari penistakaan terhadap agamanya.

Namun, meraih kesalehan yang hakiki tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak seringan menyeruput secangkir kopi. Tak semantap menyantap semangkok bangso. Tak seringan mengunyah agar-agar. Membutuhkan pengorbanan mental dan kesabaran. Apa masalahnya? Setiap bentuk kebaikan diliputi oleh hal-hal yang tidak disukai perasaan. Sedangkan segala hal yang menjurus ke neraka diliputi oleh perasaan yang digandrungi hawa nafsu.

Kita maklum bahwa shalat khusyuk akan memiliki dampak positif dalam kehidupan individu dan sosial. Tapi mengapa shalat aktif namun perilaku kita tidak karu-karuan? Hal itu merupakan indikasi shalat yang kita kerjakan jarang khusyuknya hingga kering spiritual. Kita tahu pula bahwa dalam ranah komunikasi ada dua pilihan yang membuat kita selamat, yaitu berkata dengan baik, dan jika tidak bisa, diam saja. Itu aman. Sayang seribu kali sayang, urusan mengerem pembicaraan bukan hal yang mudah. Faktor kerusakan hubungan sosial dominan karena kesalahan atau ceroboh dalam menggunakan jurus-jurus pembicaraan ketika bersilat lidah. Berapa banyak manusia mengingkari nuraninya ketika asyik berbicara dengan memutarbalikkan fakta.

Pada tiap kita melakukan shalat, dalam doa iftitah kita ucapkan komitmen kita pada diri kita sendiri, yang artinya: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata karena Allah, Tuhan semesta alam. Banyak di antara kita tidak konsisten dengan komitmen yang kita ucapkan sendiri ketika shalat.

Para pemangku amanat umat (rakyak) di awal jabatannya berjanji dengan nama Tuhannya—dengan saksi bisu Kitab Suci Al-Qur’an di dekat kepalanya—untuk menjalankan amanat dengan baik. Godaan HTW (Harta Tahta Wanita) mampu menghipnotis sehingga idealisme sumpahnya tak ubahnya formalitas belaka. Berapa banyak orang menyalahgunakan wewenangnya demi HTW itu.

Kita seringkali menistakan agama yang kita anut tanpa kita sadari. Bahayanya jauh lebih menghanyutkan ketimbang penistakaan agama secara fulgar. Nyaris tak ada yang menegur kesalahan kita karena sudah menjadi lazim. Orang yang menistakan agama secara fulgar dapat dihitung dengan jari. Jarang (bahkan tidak pernah) kita temukan orang yang menginjak-injak Al-Qur’an secara visual, tapi cukup banyak kita amati dan rasakan orang yang menginjak-injak ajaran agamanya tanpa ada beban merasa bersalah. Tak banyak kita temukan orang yang menghujat kesakralan agama kita, namun tak sedikit di antara kita keluar ucapan yang melecehkan ajaran agama kita sendiri tanpa kita merasa punya beban moral. Kita mengakui dan meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa shalat lima waktu adalah tiang agama, ibadah pokok teratas. Namun, begitu mudahnya di antara kita absen shalat. Contoh kongkretnya, bila pertandingan sepak bola digelar di stadion waktu Asar atau Magrib, berapa banyak di antara suporter yang absen shalat Asar atau Magrib dengan euforia tanpa ada yang menyalahkan. Inilah contoh nyata penistaan agama yang menjamur di tengah-tengah kita.

Sejenak kita konsentrasi pada firman Tuhan yang menukik pendusta agama dalam sebuah pertanyaan dengan maksud pernyataan. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7).

Bentuk-bentuk penistaan terhadap agama yang diilustrasikan Al-Qur’an secara fulgar tersebut seringkali luput dari konsentrasi koreksi kita terhadap diri kita sendiri atau umat pada umumnya. Mestinya kita patut merasa malu besar bila dibilang beragama tapi di balik itu sebagai pendusta agama karena kelakuan kita sendiri tidak mencerminkan orang beragama. Tak punya belas kasihan pada anak yatim. Tak peduli pada orang miskin. Shalatnya tak berisi kekhusyukan, motif ibadahnya hanya pencitraan (bukan semata bermunajat pada Tuhan). Tak ada minat menolong orang dalam hal kebaikan. Itulah contoh-contoh penistaan agama dalam keseharian yang paling menghanyutkan. Wallah a’lam.

Sumenep, 01 Desember 2016