Kamis, 27 Juni 2019

MENGGALI RAGAM PEMIKIRAN

Maqbarah Sunan Muria di pucuk gunung

M. Khaliq Shalha

Para pegiat sosial, khususnya ulama-kiai, cendekiawan-akademisi--yang fatwanya dinanti--perlu menggali dua sumber pemikiran keilmuan yang berbeda agar bijaksana menyikapi geliat fenomena sosial yang beragam yang mungkin membutuhkan koreksi atas kekurangan bahkan kesalahan yang mungkin terjadi.

Fanatik pada salah satu corak pemikiran sama halnya membonsai kreativitas kebijaksanaan yang akan ditelurkan. Corak pemikiran kanan sepantasnya dikaji, pemikiran kiri perlu dipertimbangkan.

Tidak ada corak pemikiran yang benar-benar sempurna, tidak didapat pemikiran yang betul-betul tak ada benarnya. Tidak sepaham dengan corak pemikiran tertentu sangat manusiawi. Setiap kepala punya ide, selera dan prinsip berbeda walau warna rambut mungkin sama.

Kalangan ekstremis-fanatis buta--menurut saya--lebih sering keliru dan tidak bijak menyikapi warna sosial yang majemuk, karena melihatnya dari satu kacamata. Bagai berdiri dengan kaki selaya.

Dua corak pemikiran bila dipahami secara baik akan mengantarkan seseorang bijak dalam memberikan koreksi terhadap problem yang ditangkapnya. Tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap duduk persoalan suatu perkara, mana mungkin bisa meluruskannya. Paling banter hanya menduga-duga yang sama halnya dengan menggosip bahkan memfitnah. Jauh dari sikap profetik dan ilmiah. Al-Ghazali pernah mengkritik kalangan filosof karena beliau mengerti filsafat.

Akan menaiki ratusan tangga menuju Maqbarah Sunan Muria

Di samping kita giat mengkaji secara teks tentang corak pemikiran, kita perlu pula membaca secara langsung dalam lapangan sosial agar banyak tahu fenomena sosial. Di antaranya traveling, berwisata ke berbagai tempat karena di sana kita akan mengasah kematangan mental untuk menerima dengan bijak suatu keragaman.




Wallah a'lam.
__________
Maqbarah Sunan Muria, Ujung Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah, 27 Juni 2019

Rabu, 26 Juni 2019

BAHASA MELAYU MENJADI BAHASA NASIONAL

Maqbarah Sunan Giri, Geresik
M. Khaliq Shalha

Menurut Koenjaranengrat,  pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional karena dipengaruhi oleh enam hal. Pertama, berkembangnya suasana kesetiakawanan yang mencapai momentum puncak yang menjiwai pertemuan antar pemuda cendekiawan Indonesia yang penuh idealisme pada 28 Oktober 1928.

Kedua, adanya anggapan bahwa bahasa Melayu sejak lama merupakan lingua franca, bahasa perdagangan, bahasa komunikasi antarorang Indonesia yang melintas batas suku bangsa  dan bahasa yang digunakan untuk penyiaran agama.

Ketiga, adanya pengaruh media massa dalam bahasa Melayu.

Keempat, berkembangnya kebiasaan penggunaan bahasa Melayu dalam rapat-rapat organisasi gerakan nasional.

Kelima, tidak adanya rasa khawatir dalam diri bangsa suku non-Jawa terhadap risiko terjadinya dominasi kebudayaan dari suku bangsa mayoritas.

Keenam, karena para cendekiawan Jawa sendiri mengecam struktur bahasanya sendiri.

Langgar Kayu Sunan Drajat, Lamongan
Dan, Islam mudah tersebar di Nusantara ini, di antara faktornya karena para pedagang dalam menyebarkan agama Islam menggunakam media bahasa Melayu.


***
Maqbarah Sunan Drajat, Lamongan, 26 Juni 2019

Selasa, 25 Juni 2019

MENGUBAH TAKDIR

Anak istriku pada suatu senja di perbatasan Sentol Daya - Larangan Perreng, Sumenep
M. Khaliq Shalha

Suatu waktu Umar bin Khatthab membatalkan lawatannya ke Syam (Suriah, Palestina dan sekitarnya) karena di sana sedang terjadi wabah.

Ketika itu tampil seseorang penanya. "Atafirru min qadarillah (Apakah engkau menghindar dari takdir Allah)?"

"Afirru min qadarillah ila qadarillah (Saya menghindar dari takdir Allah kepada takdir-Nya yang lain."

Ketika Ali bin Abi Thalib sedang duduk bersandar ke tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain.  Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali intinya sama dengan jawaban Umar.

Potensi berupa daya upaya yang dimiliki manusia sebaik mungkin digunakan secara maksimal guna meraih prestasi dan kemaslahatan hidup yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Dalam peribahasa Arab dikatakan, "An-Insan fit tafkir wa Allah fit tadbir. Manusia bisa merencanakan, namun Allah yang mengaturnya." Allah tentu akan memberikan takdir terbaik pada manusia di balik jerih payah usahanya. Tak perlu resah dan gelisah menyikapi segala sesuatu asal selalu aktif, bukan pasif.

Wallah a'lam.

Sungguh indah ciptaan Allah. Aku menikmatinya
Sumenep, 25 Juni 2019

Senin, 24 Juni 2019

TREN SEBUAH NAMA

Kafe Sawah, Pujon Kidul Malang

M. Khaliq Shalha

Ada nama-nama yang diganderungi oleh banyak pihak ketika nama itu sedang naik daun karena suatu hal yang melatarinya, baik nama itu sekadar nama atau ada korelasi dengan yang dinamainya.

Dulu pernah tren nama ABC untuk nama baterai, toko, kecap dan lainnya. Beberapa tahun terakhir ini judul buku novel banyak menyematkan kata "cinta". Dimulai dari novel Kang Abik berjudul Ayat-ayat Cinta, dan akhirnya banyak judul yang sejenis itu. Sekarang yang sedang booming pada jurusan kuliah dengan nama "syariah". Dari Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah dan sejenisnya.

Tren sebuah nama untuk memudahkan menyebutkan sesuatu, dalam satu sisi, dan dalam sisi yang lain sebagai indikasi sebuah kemajuan peradaban, misalnya ekonomi syariah itu.

Selanjutnya, akan menyusul nama-nama populer lainnya.

Minggu, 23 Juni 2019

MENUMBUHKAN MINAT BACA DI PEDESAAN

Oleh: M. Khaliq Shalha

KEMAJUAN teknologi informasi dan transportasi menyebabkan tersingkapnya era globalisasi, era kampung dunia. Dunia bagai satu kampung saja. Desa dan kota sama saja dalam satu sisi. Ibarat slogan KB; ... laki-laki dan perempuan sama saja. Namun kecenderungan masyarakat desa dominan mengakses informasi TV. Tentang akses sumber pengetahuan lewat membaca masih jauh dari harapan. Sedikitnya ada dua faktor dalam masalah ini; minimnya bahan bacaan utamanya buku, atau karena minat baca belum terbentuk oleh lingkungan.

Lalu tanggung jawab siapa untuk membuat tradisi positif (sunnah hasanah) ini? Orang tua dan lembaga pendidikan. Ya, bisa jadi. Orang tua banyak tidak sadar pentingnya membaca. Bermasalah juga. Maka tugas lembaga pendidikan dominan untuk menciptakan tradisi ini terutama dalam bentuk penyediakan perpustakaan sekolah yang profesional. Strategi pengelolaannya harus cerdas hingga bisa diminati oleh masyarakat sekolah.

Saya melakukan survei ke lembaga yang kabarnya maju namun ketika diamati perpustakaannya amburadul. Isinya acak-acakan. Tidak mendukung dalam menumbuhkan tradisi membaca. Sangat ironis dan menyedihkan. Pelat merah kok masih begitu.

Bagi sekolah yang pelat hitam (swasta) tak perlu risau karena dana minim. Banyak cara yang bisa dilakukan bila punya niat bulat. Prinsip ekonomi harus dipakai.

MENCOBA RESEP LELUHUR

Oleh: M. Khaliq Shalha

Resep leluhur tentang kesehatan sudah teruji dari masa ke masa. Resep yang muncul sebagai hasil riset begitu lama prosesnya dengan cara menyatu dengan alam lalu diwariskan secara turun-temurun.

Setiap kebutuhan manusia pada masanya selalu saja tersedia di alam, termasuk dalam hal pemulihan kesehatan.

Generasi sekarang selayaknya rajin mencari info kesehatan ala leluhur kita yang sepertinya nyaris terkubur oleh penemuan baru yang rentan efek samping.

Saya sempat nguping tentang resep mengatasi gangguan lambung (mag) yang membuat tidak enak makan hingga makanan tertolak oleh selera di bibir saja dan ditambah rasa perih dalam tubuh tak kepalang, kadang sampai merengek menahannya.

Berawal dari telat makan karena kesibukan sehingga pencernaan terganggu, akhirnya merugikan kesehatan. Itulah yang dialami saya. Untuk bisa mengembalikan kesehatan ke khittah (pengaturan awal), saya coba ramuan ala leluhur.

Untuk mengatasi gangguan lambung, menurut leluhur, cukup mudah. Rebuslah dengan air secukupnya temulawak (saudaranya temuireng, sepupunya kunyit) yang sudah diiris halus, lalu minumlah airnya. Kalau bulan puasa minimal tiga kali semalam: waktu berbuka, setelah tarawih dan sahur).

Insya Allah, secara perlahan gangguan lambung akan hilang. Nafsu makan mulai bersemi kembali dan badan terasa segar bugar.

Jamu itu memang pahit, tak seenak minum sprite, tapi nyatanya jamu itu nyegerin.

Begitulah khotbah jamu yang dapat saya sampaikan pada Jumat ini. Semoga berguna. Dan, buat almarhum leluhur kita, Al-Fatihah.

Wallah a'lam.

Sumenep, 23 Juni 2017