Minggu, 12 Juli 2015

BANG TOYIB INGIN MUDIK


M. Khaliq Shalha



Bang Toyib
 Bang Toyib
Mengapa tak pulang pulang
 Anakmu anakmu panggil panggil namamu

Bang Toyib
Bang Toyib
 Kapankah Abang kan pulang
Anakmu anakmu rindu ingin bertemu
Bang Toyib
Bang Toyib

Tiga kali puasa
Tiga kali lebaran
 Abang tak pernah pulang
Sepucuk surat pun tak datang

Sadar sadarlah Abang ingat anak istrimu
Cepat cepatlah pulang semua rindukan dirimu
Kalau di jalan yang benar selamatkanlah dia  
Kalau di jalan yang salah sadarkanlah dirinya.

(Ade Irma)


Mudik sudah menjadi khazanah bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Nusantara. Agenda pulang kampung jelang lebaran menyita perhatian serius bagi para perantau di berbagai akses: “dalam pulau dalam provinsi”, “dalam pulau antar provinsi”, “antar pulau dalam provinsi”, “antar pulau antar provinsi” dan “antar negara”. Tak pelak media massa ikut andil meramaikannya dengan mengambil segmen khusus mudik lebaran yang penuh warna untuk diliputnya, khususnya di tempat-tempat strategis dan jalur padat Pantai Utara (Pantura) Jawa yang bergerak dari pusatnya, ibukota Jakarta.

Kegiatan mudik adalah kegiatan integritas kemanusiaan dari berbagai aspeknya: jiwa, raga dan ekonomi. Dengan tujuan mengembalikan ke khitthah spirit tumpah darahnya di mana mereka dilahirkan dulu, sehingga tidak kehilangan wajah kemanusiaannya. Mereka rela mengorbankan banyak biaya, waktu dan tenaga. Hendaknya hati-hati sepenuhnya, menghindari terjadinya korban kecelakaan dan semacamnya.

Merayapnya para pemudik sejak H-7 bisa dimaknai sebagai bentuk ekspresi panggilan jiwa untuk segera menuju kampung halaman setelah mereka diberi cuti kerja oleh instansi di mana mereka bekerja atau setelah mereka berkelut dengan dunia usaha pribadinya. Target utama mereka bisa sampai ke kampung halaman dengan selamat dan bisa berkumpul bersama kerabat, tetangga dan teman sepergurauan dulu pada masa kecil.

Kampung halaman merupakan hakikat mendasar dan akar rumput dari slogan “Indonesia Tanah Airku”. Di kampung halamanlah mereka punya tanah sendiri di mana gubuknya mereka dirikan, dan air bersih begitu mudah didapat dengan gratis. Belum tentu di rantau sana kondisinya demikian. Lazimnya tempat tinggal mereka ngontrak dan air harus membeli.

Namun, tak semua perantau mudah untuk pulang kampung. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Suatu hal yang tak bisa dipungkiri oleh kita bahwa kehidupan ini dalam satu sisi misterius. Perolehan rezeki antara manusia yang satu dengan lainnya tidak sama. Pekerjaan boleh sama, namun untungnya belum tentu sepadan. Usaha orang lain mudah ditiru, tapi keberhasilan amat sulit disamkan. Orang kampung mengatakan: “Mun pangara padha, tape pangaro tak padha (Keinginan sama, tapi bejo tidak sama).” Jatah rezeki tergolong a misterius problem (perkara misteri). Tak percaya? Betapa banyak orang yang begitu getol berusaha, tapi selalu gagal. Banyak pula orang yang tak segetol itu, namun rezekinya lancar-lancar saja. Statemen ini saya maksudkan sekadar membaca fenomena sosial, bukan mengajak Anda untuk bermalas-malasan. Justru dengan ketidakpastian ini membuat kehidupan berjalan dinamis.

Pada saat-saat belum bejo dalam merintis usaha di rantau nan jauh di sana, kadang menjadi faktor utama bagi seseorang tidak bisa mudik, padahal sangat menginginkannya. Siapa yang tidak ingin mudik? Sekadar ongkos pulang tidak punya cukup anggaran. Terpaksa berhari raya di perantauan. Dia berusaha menahan jeritan jiwa dengan pikiran hampa, dan getir di momen di mana orang-orang lazimnya setelah turun dari shalat Idul Fitri segera beranjak ke rumah famili bersama keluarga, bersilaturrahmi dengan penuh riang gembira dan canda tawa. Sementara dia, mungkin hanya bisa menatap langit mendung dari celah jendela gubuk reot kontrakannya. Sudah tiga kali puasa, tiga kali lebaran tidak pulang pulang. Heks, heks…!!! *) Tisu, mana tisu?  Dalam kesunyiannya mungkin dia hanya bisa berdoa: “Tuhan, jadikan anak cucuku kelak murah rezeki.”

Lirik lagu Bang Toyib, gubahan Ade Irma  di atas, bukan sekadar lagu, tapi syarat kritik sosial dan nilai moral. Menampilkan sebuah potret kehidupan yang sangat mungkin masih dirasakan oleh sebagian saudara-saudara kita di rantau dan di kampung. Merindukan kedatangan sosok kepala rumah tangga, sebut saja Bang Toyib, dari rantau sana yang sudah begitu lama tidak pulang. Di tambah lagi putus kontak. Sepucuk surat pun tak melayang, SMS pun tak terkirim, apalagi pesan lewat inbox facebook. Mungkin Bang Toyib gagap teknologi. Keluarga yang baik di rumah tak putus harap mendoakannya dengan penuh dedikasi. Bila berada di jalan yang benar, semoga diselamatkan, mungkin dia tidak punya ongkos untuk pulang. Dan, bila berada di jalan yang salah, semoga disadarkan. Kondisi seperti ini membuat istrinya mati langkah. Tidak ada angin tidak ada hujan, ke mana dia hendak mergerak?! Sementara anaknya menangis terisak-isak di pangkuannya sambil memanggil nama bapaknya.

Bagi para perantau yang tidak memungkinkan mudik, apa pun alasannya, setidaknya tidak putus komunikasi dengan keluarganya di kampung. Menyapa lewat SMS, atau berbicara lewat telepon. Mengirim uang jika mungkin, walau kiriman materi tak cukup mengobati rasa rindu mereka, tak bisa sepadan kesempurnaannya ketika ia di sisi mereka. Jalinan komunikasi amat berarti dalam perantauan. Sebisa mungkin kondisinya tak separah nasib Bang Toyib.
  
Merupakan suatu kebahagiaan apabila di hari raya bisa berkumpul bersama keluarga besar dari masing-masing anggota keluarga dengan menampilkan dan menikmati apa adanya. Dan, merupakan suatu keironisan yang memilukan manakala hari fitri digunakan sebagai ajang pameran kekayaan yang diperoleh dari rantau sana. Pameran kendaraan, baju, perhiasan, gadget dan sebagainya. Momen hari raya tak ubahnya fashion show hampa nilai. Jika seperti itu suasananya, nilai-nilai silaturrahmi menjadi pupus berantakan, nyaris tak berkeping. Maka akan banyak sekat antara perantau yang bejo dengan yang tidak, demikian pula dengan penduduk yang bukan perantau.

Momen Idul Fitri mengembalikan jati diri kemanusiaan yang fitrah (alami) menjadi fitrah kembali, yang selama ini mungkin sudah terkontaminasi oleh sifat, sikap dan perilaku keangkuhan, keserakahan, kemunafikan di tengah-tengah memperjuangkan kepentingan pribadinya. Dulu, waktu kecil, di kampung halaman ini, kita hidup fitrah: polos, tak berdosa, apa adanya. Di saat Idul Fitri, kita mengembalikan kepolosan itu bersama keluarga tercinta, tetangga dan kawan lama. Dari itulah arti penting mudik menjadi sangat nyata. Wallah a’lam.   
***

Sumenep, 25 Ramadan 1436 H/12 Juli 2015 H

Sabtu, 11 Juli 2015

MENGKONVERSI INSPIRASI DARI SHALAT DAN WC


M. Khaliq Shalha


Wahyu secara bahasa memiliki banyak cakupan dilihat dari subjeknya. Pertama, ilham fitrah (al-ilham al-fithri) untuk manusia biasa, seperti yang diberikan Allah pada ibu Nabi Musa. “Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibunya Musa: ‘Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil)...’.” (QS. Al-Qashash [28]: 7).

Kedua, ilham naluri (al-ilham al-gharizi) untuk hewan, seperti pada lebah. “Dan Tuhanmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’.” (QS. An-Nahl [16]: 68).

Ketiga, isyarat cepat berupa suatu petunjuk, seperti yang dilakukan Nabi Zakaria pada kaumnya. “Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia mewahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.” (QS. Maryam [19]: 11).

Keempat, rayuan negatif setan dalam jiwa manusia. “Sesungguhnya setan-setan akan mewahyukan (membisikkan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu…” (QS. Al-An’am [06]: 121).

Kelima, suatu instruksi Allah kepada para malaikat-Nya untuk melakukan sesuatu. “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman...”. (QS. Al-Anfal [08]: 12).

Sedangkan wahyu menurut istilah, Muhammad Abduh mengatakan, pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya dan orang itu yakin bahwa ia dari Allah, baik dengan perantara atau tidak. Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani mengartikan, pemberitahuan Allah pada hamba-hamba pilihan-Nya atas setiap yang Dia kehendaki untuknya berupa ragam hidayah dan ilmu secara cepat serta rahasia di luar kebiasaan manusia.

Di atas juga disebut kata ilham, artinya pentransferan sesuatu ke dalam hati yang membuat dada menjadi lapang yang Allah khususkan pada hamba pilihan-Nya. Ilham dimaksudkan pada setiap sesuatu yang tertransfer ke dalam hati, baik berupa makna-makna atau pikiran. Menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an dikatakan, transfer sesuatu yang khusus ke dalam hati, datangnya dari Allah atau malaikat.

Lalu apa perbedaan antara wahyu dan ilham? Secara umum keduanya merupakan jalan pengajaran Allah pada hamba-Nya. Secara khusus, wahyu tertentu pada para nabi dan rasul-Nya, sedangkan ilham berlaku umum pada setiap mukmin menurut kadar dan tingkat keimanannya, seperti halnya ulama dan aulia. Begitulah menurut sebagian ulama.

Wahyu secara istilah, terbatas pada para nabi dan rasul. Apabila masa kenabian dan kerasulan telah selesai pengangkatannya, secara otomatis wahyu tersebut selesai. Dengan terutusnya Nabi SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, maka wahyu Tuhan rampung pula sampai di situ. Kumpulan wahyu Nabi SAW termuat dalam Al-Qur’an dan hadis sebagai warisan beliau untuk pedoman umat manusia sampai kiamat tiba. Sedangkan ilham dengan bahasa lain: gagasan, ide, inspirasi atau yang semakna dengannya tetap diturunkan hingga akhir zama. Melihat makna wahyu secara bahasa di atas, ada al-ilham al-fithri (selanjutnya saya sebut inspirasi) untuk manusia secara umum. Hal ini penting untuk dibahas, melihat turunnya untuk siapa saja dan di mana saja. Walaupun kesimpulan di atas hanya pada hamba Allah yang beriman, seperti ulama dan ualia, namun kenyataannya tidak, mengingat cakupan inspirasi itu umum dan berlaku umum bagi semua manusia selaku hamba Allah, baik yang taat atau tidak.

Salah satu bukti inspirasi ini berlaku umum, misal, munculnya para penulis atau peneliti dengan karya monumental mereka dari kalangan muslim dan non muslim. Inspirasi bisa muncul secara tiba-tiba atau karena dicari melalui observasi yang dilakukan, namun keinginan untuk melakukan observasi tersebut termasuk inspirasi pula. Dengan begitu, cara pandang teologis Qadariyah dan Jabariyah harus kita kolaborasikan agar tidak bingung di tengah-tengah kenyataan, sehingga apa yang tampak merupakan pertautan Kuasa Tuhan dan kuasa manusia yang diberikan Tuhan berupa suatu potensi dalam dirinya. Terciptanya berbagai teori ilmiah dan teknologi mutakhir dengan berbagai bentuknya merupakan buah dari inspirasi. Tak terbayang hebatnya, misal, penemuan di bidang alat transportasi (darat, laut dan udara) dan alat informasi juga komunikasi yang ada di depan mata kita, lagi-lagi, itu karena inspirasi tiada henti diberikan kepada manusia.

Selanjutnya, pembahasan saya arahkan pada aktivitas sepele umat Islam sehari-hari. Ada dua hal secara otomatis memantik derasnya inspirasi, yaitu ketika sedang shalat dan di WC. Yang pertama, muncul tidak pada tempatnya. Hal ini mengherankan, kenapa sebelum shalat pikiran tidak ke mana-mana, namun ketika mulai takbiratul ihram, hati dan pikiran langsung menonton “tayangan layar lebar” berbagai peristiwa? Bisa pikiran langsung terbayang ke pasar, tegalan, toko, kampus dan sebagainya. Bisa pula muncul sebuah gagasan untuk merintis usaha dan lainnya. Tidak ada kaitannya dengan kemaslahatan shalat. Apakah inspirasi semacam ini termasuk inspirasi liar versi setan, seperti pada nomor empat di atas, atau malaikat pada nomor satu itu? Inspirasi dalam shalat yang bukan kepentingan shalat tergolong inspirasi negatif. Inspirasi itu dari setan yang disebut yuwaswis (bisikan). Hendaknya segera tepis jauh-jauh. Jika konten inspirasinya baik dan bisa ditindaklanjuti, bukan sebatas lamunan belaka, hal itu tetap setan yang membawanya, hasil mencuri data (copy paste ilegal) dari malaikat, lalu “diputar” pada benak orang yang sedang shalat. Perlu diingat, melaksanakan shalat itu bukan untuk mencari inspirasi, tapi murni taqarrub pada Allah dengan penuh khusyuk. Shalat adalah barometer utama kualitas seorang muslim. Allah mengecam celaka pada orang-orang yang lalai dalam shalatnya, seperti yang terdapat dalam surat Al-Ma’un [107]: 5.

Demikian pula halnya ketika sedang di WC. Heran! Inspirasi lancar mengalir, bahkan membuat orang betah di dalamnya, jauh lebih betah ketimbang iktikaf di masjid. Lumayan untuk mengonsep puisi, cerpen, novel atau karya tulis ilmiah, atau agenda kerja lainnya.  Berlama-lama di WC itu makruh, terutama di WC umum. Banyak orang antre di luar. Afdalnya, bila sudah selesai “print out” secara sempurna, segeralah keluar.

Inspirasi yang mucul di WC yang dominan berupa lamunan, sulit ada tindak lanjutnya, dan ada kemungkinan pula inspirasi bagus dari malaikat, karena tidak kontroversi dengan ritual syariat lainnya, beda dengan ketika shalat. Seandainya Anda mendapat inspirasi jitu di WC lalu Anda tindak lanjuti dengan menulis buku, ketika diadakan acara bedah buku, tak terlalu malu bila Anda mengatakan: “Inspirasi awal buku ini saya peroleh ketika saya sedang di WC,” ketimbang “sedang shalat.” Versi terakhir, Anda berarti lalai dalam shalat.

Suatu hal yang perlu saya tawarkan dalam tulisan sederhana ini, yaitu upaya mengkonversi kondisi psikologi dalam shalat dan WC yang kaya inspirasi liar pada tempat yang benar, yaitu ke depan laptop, tablet, HP, buku harian dan lainnya, sehingga bisa produktif berkarya ataupun bijaksana dalam menyikapi persoalan hidup yang membutuhkan penanganan serius. Selamat mencoba! Wallah a’lam.

***

Sumenep, 24 Ramadan 1436 H/11 Juli 2015 M

Kamis, 09 Juli 2015

RIWAYAT HIDUP


Nama                                       : M. KHALIQ, M.Pd.I
Tempat dan Tanggal Lahir         : Sumenep, 20 Juli 1984
Alamat                                     : Tenggina Larangan Perreng Pragaan Sumenep 69465
HP. 085258858840 / 081945859101
Ayah                                        : M. Shalha
Ibu                                           : Rusniyah


Pengalaman-pengalaman
A.     Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a.       MI  Miftahul Huda Larangan Perreng Pragaan Sumenep, lulus tahun 1996.
b.      MTs Al-Wathan Larangan Perreng Pragaan Sumenep, lulus tahun 1999.
c.       MA Keagamaan Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, lulus tahun 2002.
d.      S1 Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA), Jurusan Mu’amalat (Hukum Ekonomi Syariah), lulus tahun 2006.
e.       S2 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Konsentrasi Pendidikan Agama Islam/Fiqih, lulus tahun 2011.

2. Pendidikan Nonformal
a.       Masjid ar-Ridhwan Larangan Perreng Pragaan Sumenep, Belajar al-Qur’an, kitab Sullamut Taufiq dan Safinatun Najah di 1990-1999 diasuh oleh K. Mahfuzh Abu Shiri, 1990-1999.
b.      Pondok Pesantren Annuqayah Latee 1999-2007.
c.       Madrasan Diniyah Annuqayah Latee, lulus tahun 2002.
d.      Orientasi Pendidikan Kampus (ORDIK) Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah, 1-5 September 2002.
e.       MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) PMII Pengurus Komesariat Guluk-Guluk di DKS Pangarangan Sumenep, 23-25 Oktober 2002.
f. PKD (Pelatihan Kader Dasar) PMII UIM Pamekasan & STIKA Guluk-Guluk Sumenep di Madrasah Siratul Islam Pordapor Guluk-Guluk Sumenep, 26-28 Februari 2003.
g.       Pembinaan dan Teknis Pengelolaan Perpustakaan Pondok Pesantren oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Kab. Sumenep, di Hotel Sumekar Sumenep, 28-29 April 2008
h.       Kursus Bahasa Inggris di Lembaga Pendidikan dan Kursus Development Education Centre (DEC) Pamekasan, 2008.
i.   Diklat Keguruan Se-Madura dengan tema “Meningkatkan Kualitas Guru dalam Proses Belajar Mengajar” oleh Gerakan Intelektual Mahasiswa Islam Sumenep (GARMIS) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komesariat STKIP PGRI Sumenep di Gedung Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep, 19 April 2009.
j. ESQ Leadership Ttraining oleh Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, di Hotel Bandara Surabaya, 27-28 Juni 2010.
k.      Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, tahun 2011.

B.     Mengajar
1.     Madrasah Diniyah Annuqayah Latee (MADAL), Guluk-Guluk Sumenep, tahun 2002-2007.
2.     MTs Al-Wathan, Larangan Perreng Pragaan Sumenep, tahun 2003-2015
3.     MA Al-Azhar, Kertagena Daja Kadur Pamekasan, tahun 2009-2015.
4.     MI Al-Ihsan II/A, Larangan Perreng Pragaan Sumenep, tahun 2011-2015.

C.     Organisasi
1.      Ikatan Santri Putra Pantai (IKSPUP) PP. Annuqayah Latee Guluk-Guluk Sumenep (1999-2007). Rincian jabatan: Anggota tahun 1999-2001, Ketua tahun 2002, dan Penasehat tahun 2003-2007.
2.      Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komesariat Guluk-Guluk Sumenep (2002-2006). Rincian jabatan : Anggota tahun 2002, Pengurus Komesariat tahun 2003, dan eks Pengurus tahun 2004-2006.
3.      Purpustakaan MTs Al-Wathan Sumenep, sebagai Kepala 2005-2015.
4.      Gerakan Solidaritas Pemberdayaan Masyarakat (GSPM) Aliansi Pemuda Larangan Perreng Pragaan Sumenep, sebagai Pendiri dan Ketua Dewan Pembina 2015.
5.      LAKPESDAM MWC NU Pragaan, sebagai Anggota tahun 2015.
6.      Gusdurian PC NU Sumenep, sebagai Anggota tahun 2015.
7.      Kepala MTs Al-Wathan 2015-2020. Nomor SK: 17/E.01/YARA.TB/01/VII/2015 dengan tanggal terbit 08 Juli 2015.

D.    Forum Ilmiah
1.      Bedah Buku Se-Madura Kapitalisme Pendidikan Karya Francis Wahono Penerbit Pustaka Pelajar Jogjakarta oleh OSIS MA Annuqayah Keagamaan, 3 Juli 2001, sebagai Peserta.
2.      Seminar Sehari dengan tema ”Dampak Narkoba & Pornografi/Porno Aksi”  oleh Persatuan Purnawirawan Polri Wilayah Jawa Timur Cabang Sumenep di Gedung Nasional Indonesia (GNI), 17 Juni 2006, sebagai Peserta.
3.      Seminar dan Lokakarya Penyusunan Rencana Kerja Madrasah (RKM) se-Induk KKM MTsN Sumenep, 25 Desember 2008, sebagai Peserta.
4.      Dialong Peringatan Maulid Nabi dengan tema ”Internalisasi Nilai-nilai Maulid Nabi dalam rangka Meningkatkan Moralitas Remaja” oleh OSIS MA Al-Wathan, 23 Maret 2008, sebagai Pemateri.
5.      Seminar Internasional dan Bedah Buku dengan Pemateri Prof. Dr. Wahbah Zuhaili (Guru Besar dari Syiria sekaligus penulis buku) oleh oleh Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya di Gedung Self Acces Centre (SAC), Selasa, 15 Maret 2010, sebagai Peserta.
6.      Seminar Pendidikan dengan tema ”Potret Pendidikan Indonesia di Era Globalisai antara Tantangan dan Harapan” oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) MA Al-Wathan bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IDIA Prenduan, 18 Maret 2015, sebagai Pemateri.

E.     Karya Tulis
1.      Skripsi: Tinjauan Hukum Islam Tentang Kuis Berhadiah Via SMS: Studi Kasus di Radio Swara Karimata FM Pamekasan (2006).
2.      Tesis: Konsepsi Fiqih Seksual ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan: Studi Analisis tentang  Sistematika  Materi  Pendidikan Seks  untuk Anak dalam Kitab  Tarbiyatul Awlad   fil Islam   Pasal  Mas’uliyat   At-Tarbiyah  Al-Jinsiyah.
3.      Buku: Nahwu Kontekstual: Upaya Akulturasi Tata Bahasa Arab-Indonesia (2008).
***
Sumenep, 09 Juli 2015


M. KHALIQ, M.Pd.I

MENANTIKAN PENCAIRAN LAILATUL QADAR


M. Khaliq Shalha


Tak bisa dipungkiri bahwa Islam begitu getol memberikan sensasi bernas pada umatnya lewat pedoman andalannya, Al-Qur’an dan hadis. Hal itu menjadi nyata bahwa ajaran Islam itu manusiawi-transenden yang kontekstual untuk membangkitkan ghirah (gairah) keberagamaan mereka. Tak pelak bila di pusat-pusat perbelanjaan banyak dijumpai diskon-diskon istimewa, lebih-lebih jelang hari raya, walau versi ini kadang hanya kemuflase, untuk memantik gairah para konsumen berbelanja di situ. Salah satu contoh sensasi yang diberikan Tuhan adalah paket istimewa berupa Lailatul Qadar (LQ). LQ adalah malam istimewa yang apabila manusia bisa memperolehnya, nilai kebaikannya sama dengan ibadah seribu bulan. Tak berlebihan bila kita katakan, woow...!!!

Turunnya LQ mengalami perubahan jadwal dari semula ketika Al-Qur’an diturunkan pertama kali secara utuh dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul ‘Izza di Sama’ Al-Dunya dan dari Sama’ Al-Dunya ke Gua Hira’ untuk paket surat Al-‘Alaq [96]: 1-5, yaitu tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan turunnya LQ. Bisa Anda perdalam lagi kajiannya dalam kitab-kitab tafsir tentang surat Al-Qadr yang menuturkan turunnya Al-Qur’an di malam LQ, salah satu contoh dalam Tafsir Ibn Katsir, banyak menjelaskan itu lewat riwayat sahabat ahli takwil, Ibn Abbas. Berdasarkan literatur hadis sahih bahwa LQ tidak lagi “cair” pada malam 17 Ramadan, tapi sekitar malam sepuluh terakhir bulan Ramadan. Dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Carilah ia pada sepuluh terakhir (Ramadan), yakni Lailatul Qadar. Jika salah seorang dari Anda tidak mampu, maka jangan lewatkan tujuh malam terakhir.” (HR. Muslim). Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Incarlah Lailatul Qadar di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadan.” (HR. Bukhari).

Selanjutnya, yang terpenting dari itu bagi kita tentang penghayatannya. Bagaimana cara menantikan pencairan LQ yang lebih tepat? Turunnya paket istimewa LQ merupakan suatu kepastian dalam ketidakpastian. Pasti diturunkan, cuma kapan akan turun, tidak tentu. Dalam banyak hadis sahih diceritakan mengenai hal ini, secara umum ada tiga penekanan pada saat-saat malam siaga, yang dapat dijelaskan melalui teori batas (pinjam istilah Muhammad Syahrur): batas maksimal, sedang dan minimal. Batas maksimal pada semua malam sepuluh terakhir Ramadan, batas sedang pada malam-malam ganjilnya, sejalan dengan banyak hadis yang memberi penekanan pada malam ganjil, dan batas minimal pada malam ke tujuh, tepatnya tanggal 27 Ramadan, bagi orang-orang yang tak berdaya memaksimalkan semua malam.

Pada masa-masa penungguan inilah, menurut saya, signifikansi LQ diturunkan. Meraih LQ tak semudah membalikkan telapak tangan, tak seringan menyantap semangkok bakso dan tak sesantai menyeruput secangkir kopi. Tapi butuh daya upaya untuk mengincarnya dengan berproses yang benar dengan begadang (saharul layali), lalu mengisinya dengan bermunajat kepada Allah berupa shalat malam, zikir, baca Al-Qur’an, salawat atau bentuk taqarrub lainnya. Bagi yang memungkinkan datang ke masjid untuk iktikaf dalam rangka munajat itu, bukan numpang tidur gratis. Bila tidak memungkinkan, sah-sah saja munajat di rumah masing-masing.

Sebuah penantian dengan proses munajat inilah inti ajaran sensasi LQ itu disyariatkan. Dengan proses yang benar akan terbentuk jiwa-jiwa besar yang bisa menggerakkan transformasi spiritual dan sosial, sebagaimana Nabi SAW melakukannya, dan keberhasilan beliau begitu mantap dalam membangun sebuah tatanan kehidupan lahir batin umatnya. Sangat naif tentu bila penantian LQ sekadar dimaknai bagai menantikan pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Pemerintah di dekat pintu Kantor Pos, atau Tunjangan Hari Raya (THR) dari juragan. Suatu penantian yang kering nilai. Setelah cair habis perkara! Tuhan tidak main-main, lebay apalagi alay dalam menggelar paket amat istimewa ini tanpa adanya maqashidus syari’ah (tujuan utama syariah) yang ditargetkan pada kemaslahatan hamba-Nya. Adanya batas-batas di atas cukup menggugah kita sebenarnya untuk senantiasa berproses. Ketidakpastian turunnya merupakan sebuah ajang uji nyali manusia meraih kecerahan spiritual. Hidup ini butuh proses, proses merupakan sebuah perjuangan. Pemenangnya adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dan tepat dalam berproses, bukan orang-orang yang bermalas-malasan yang berjiwa konsumtif belaka. Wallah a’lam.

Sumenep, 21 Ramadan 1436 H/8 Juli 2015 M

Senin, 06 Juli 2015

JEMAAH TARAWIH VERSUS PENGUNJUNG PASAR


M. Khaliq Shalha



Sekelumit Shalat Tarawih Masa Awal
Pada masa Nabi, ibadah sunnah Ramadan disebut qiyamu Ramadhan, bukan shalat Tarawih, demikian juga pada masa tabi’in. Imam Malik dalam kitabnya, Muwaththa’ menyebutnya dengan qiyamu Ramadhan. Sekitar tiga abad setelah Imam Malik, Imam Bukhari dalam kitabnya, Al-Jami’ Ash-Shahih menyebutnya dengan shalat Tarawih.

Nabi menyukai ibadah sunnah ini. Beliau bersabda: “Dari Abu Hurairah bahwa Nabi menyukai qiyamu Ramadhan namun beliau tidak menegaskan (mewajibkan) untuk dikerjakan. Sabda beliau: ‘Barangsiapa qiyamu Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, niscaya dosanya yang telah lalu akan diampuni’.” (HR. Malik bin Anas). Dalam Syarah Muwaththa’ yang ditulis oleh Abdul Hayyi Al-Kanawi, Imam Nawawi menjelaskan tafsir para pakar fiqih (fuqaha) mengenai hadis ini bahwa dosa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa besar, tapi sebagian ulama mengatakan sah-sah saja (yajuz) meringankan dosa besar bila dosa kecilnya sudah terampuni.

Dalam sejarah awal qiyamu Ramadhan (selanjutnya shalat Tarawih), Nabi SAW hanya mengerjakan dua malam di masjid yang diikuti oleh para sahabat. Dalam sebuah hadis dikatakan: “Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat (Tarawih) di masjid kemudian para sahabat juga mengerjakannya mengikuti Nabi shalat. Malam kedua para sahabat semakin banyak mengerjakannya. Pada malam ketiga atau keempat, para sahabat lebih banyak lagi yang berkumpul, namun Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka. Setelah tiba waktu Subuh beliau bersabda: ‘Tadi malam sungguh saya melihatmu ambisius untuk shalat bersamaku, sungguh saya berkeinginan menghampirimu, cuma saya khawatir shalat itu akan diwajibkan atasmu’.”. (HR. Malik bin Anas).

Ibn Syihab mengatakan bahwa setelah Rasulullah wafat, shalat Tarawih tetap dikerjakan sebagaimana beliau mengerjakannya; di masa kepemimpinan Abu Bakar dan berlanjut pada periode awal kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada pemerintahan Umar selanjutnya, shalat Tarawih mulai terorganisir. Abdurrahman bin Abdul Qari’ mengatakan: “Pada bulan Ramadan saya blusukan bersama Umar ke masjid (Nabawi, tahun 14 hijriyah), ternyata orang-orang bercerai-berai, melaksanakan shalat sendiri-sendiri beberapa rakaat, memantik Umar berreaksi, ia berkata: ‘Demi Allah, tak terbayang (indahnya) di benakku andai mereka berjemaah dalam komando satu imam, niscaya mirip dengan shalat Tarawih awal zaman Nabi (yang dua malam itu). Kemudian umar menghalau jemaah untuk bermakmum pada Ubai bin Ka’ab. Di lain malam, saya blusukan lagi—kata  Abdurrahman—bersama Umar, orang-orang sedang shalat Tarawih berjemaah dengan komando satu imam mereka. Umar berkata: ‘Ni’matul bid’ah hadzih (Inilah sebaik-baik bid’ah). Orang-orang yang tidur setelah mengerjakan shalat Tarawih ini lebih utama ketimbang orang-orang yang shalat Tarawih di akhir malam nanti.’ ”. (HR. Malik bin Anas). Umar memerintahkan pada Ubai bin Ka’ab untuk shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat. Para sahabat pada zaman Umar mengerjakannya sebanyak 23 rakaat. Jumlah yang terakhir inilah yang berlaku sampai sekarang.

Demikian sekelumit sejarah shalat Tarawih yang bisa saya tulis. Silakan Anda kaji lebih detil lagi dalam kitab Muwaththa’. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa shalat Tarawih pada zaman Nabi dinamakan qiyamu Ramadhan. Dalam literatur kitab hadis hukum, Muwaththa’, nama itu tetap digunakan. Sekitar tiga abad berikutnya, Imam Bukhari menyebutnya shalat Tarawih. Nabi pernah mengerjakan shalat Tarawih di masjid cuma dua malam yang diikuti oleh para sahabat. Malam ketiga dan seterusnya Nabi sudah shalat di rumah beliau, karena khawatir shalat Tarawih akan diwajibkan pada umatnya. Malam kedua jemaah makin bertambah banyak dan malam ketiga atau keempat jemaah semakin membeludak lagi. Sampai di sini, terkait dengan tema tulisan ini, ketika dikaitkan dengan kondisi jemaah kita di masjid-masjid dan mushalla-mushalla, apakah dari malam pertama, kedua dan seterusnya jemaah semakin membeludak? Bagaimana pula dengan kondisi pengunjung pasar selama Ramadan, lebih-lebih saat-saat menjelang hari raya, apakah semakin surut atau semakin pasang? Bandingkan jemaah Tarawih dengan pengunjung pasar dari awal sampai akhir Ramadan! Jika terjadi kontroversi, mengapa bisa terjadi?

Fenomena Jemaah Tarawih Versus Pengunjung Pasar
Suatu hal yang riil dalam masyarakat kita bahwa pasang surut jemaah Tarawih lazim terjadi. Sepuluh malam pertama jemaah sangat ramai, ibarat babak penyisihan dalam suatu perlombaan. Sepuluh malam pertengahan jemaah semakin surut, sebagai babak semi final. Dan, sepuluh malam terakhir jemaah semakin bertambah surut, sebagai babak final.

Banyak kontroversi yang terjadi kala shalat Tarawih. Sebagian jemaah dari kalangan pemuda yang tegar-tegar, suka gempor di belakang yang semestinya lebih fit ketimbang kakek-nenek, bapak-ibu pekerja keras itu. Idealnya pemuda, dengan badan yang masih standar dan darah mudanya masih segar, merebut barisan depan full time sampai Tarawih tuntas hingga akhir bulan. Bonus besar bagi pemuda yang penting diketahui, kata Nabi, bahwa pemuda yang hatinya terpaut pada masjid—untuk ibadah tentu, bukan untuk gempor-gemporan—kelak di mahsyar mendapat naungan dari Allah ketika tidak ada naungan sama sekali kecuali naungan-Nya.

Tarawih maknanya istirahat. Generasi awal Islam dulu istirahat di antara shalat ke shalat dan mereka mengisinya dengan berzikir, mengaji Al-Qur’an, atau tawuf bagi mereka yang ada di Masjidil Haram. Kalau pemuda kita istirahatnya digunakan main HP, online mungkin, atau sekadar parkir biar tidak banyak shalat supaya tidak capek. Dari 23 rakaat bisa mengambil separuhnya atau lebih sedikit lagi. Sepertinya ada fenomena “mazhab baru” di kalangan masyarakat kita mengenai jumlah rakaatnya. Masih lumayan ketimbang tidak sama sekali.

Hal ini menjadi kontroversi lagi dengan zaman Nabi, malam kedua lebih banyak ketimbang malam pertama, ketiga lebih banyak lagi, sebagaimana di urai di atas. Fenomena semacam ini apa latarnya? Faktor motivasi dan target yang akan dicapai. Motivasinya adalah iman. Iman itu putus-nyambung, naik-turun (yanqush wa yazdad). Iman yang kokoh akan melahirkan cinta. Bila orang jatuh cinta pada sesuatu, tidak ada kata capek dan menyerah. Semuanya indah saja sudah. Tapi cinta ibadah itu jarang-jarang sekuat sinyal cinta pada lain jenis. Mencintai sesuatu yang abstrak tak semua orang bisa nyambung. Di sinilah diperlukan pendidikan keimanan dan pembiasaan diri. Dua objek sederhana perlu menjadi konsentrasi, yaitu meraih kebaikan dunia dan akhirat. Shalat Tarawih sudah jelas berbuah kebaikan dunia dan akhirat. Hanya masalahnya, kebaikan itu tidak bisa dirasakan secara instan. Hal yang paling diganderungi manusia pada umumnya adalah sesuatu yang riil, instan. Dunia ini memang penuh dengan pragmatis-kongkret, tensinya mengalahkan pragmatis-abstrak. Seandainya manusia tahu secara kongkret keutamaan Ramadan, niscaya mereka akan menginginkan setahun dijadikan Ramadan semua. Andai Tarawih langsung dapat mobil, pasti masjid penuh sesak dengan jemaah. Mungkin takmirnya harus menggelar tikar di halaman masjid karena di dalam tidak muat. Andai pula ada tingkatan-tingkatan hadiah sesuai tingkat kekhusyukannya, niscaya manusia berlomba-lomba untuk khusyuk. Yang tak biasa khusyuk akan berusaha mengkhusyuk-khusyukkan diri sampai nangis pun bisa diciptakan. Ibarat calon bintang sinetron yang belajar ekting menangis. Coba bayangkan! Misal bonus yang tiwarkan Tuhan: yang khusyuknya minim dapat becak motor Viar,  yang khusyuknya setengah-setengah dapat mobil Carry, yang khusyuknya sangat bagus dapat mobil Avanza, yang di atas itu lagi dapat mobil Innova. Tak terbayang, masjid akan ramai penuh sesak seperti sesaknya Kantor Pos ketika sedang pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Harus dijadikan kesadaran bagi setiap kita bahwa kematian itu nyata. Tarawih adalah salah satu pesangon ke alam kubur, alam penantian menuju akhirat, entah sampai berapa abad lamanya. Kemudian kehidupan di alam akhirat tak akan mengenal ujung lagi, hanya ada dua hunian: surga atau neraka. Target ibadah dengan mengharap surga dan takut neraka, masih sangat efektif dan efisien untuk dipropagandakan pada masyarakat awam dalam menggugah nurani mereka. Mempropagandakan konsep sufinya Rabi’ah Al-Adawiyah dirasa sangat sulit untuk digubris, karena paradigma penghayatan keagamaan mereka masih pragmatis-materealistis-imbalan. Level Rabi’ah sudah pada al-hubb (cinta). Ibadahnya berlandaskan cinta Tuhan, bukan apa-apa. Andai ia beribadah karena ingin surga-Nya, ia memohon untuk tidak dimasukkannya, dan bila ia beribadah karena takut pada neraka-Nya, ia memohon untuk dimasukkan ke dalamnya. Target ibadahnya hanya demi yang dicintai, yaitu Tuhan. Tuhan mau memberi balasan apa saja padanya, dia rela menerima. Itulah gambaran cinta sejati seorang hamba pada Tuhannya. Tak seperti cinta muda-mudi yang rada-raga gombal dan modus: ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.

Selanjutnya, konsentrasi kita arahkan pada hal-hal yang pragmatis-kongkret, ke pasar. Pada awal-awal Ramadan, volume pengunjung pasar normal, seperti biasanya. Harga-harga pun relatif normal. Semakin tua umur Ramadan, pengunjung pasar makin ramai. Data statistiknya tentu naik. Andai dibagi tiga juga seperti Ramadan akan menunjukkan kekontrasan. Pada sepuluh terakhir Ramadan, pengunjung pasar makin membeludak. Sepertinya pasar memiliki daya pikat yang luar biasa. Tak peduli panas, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja berbagai kebutuhan hari raya, dari kebutuhan dapur hingga baju baru buat fashion show massal di hari raya nanti. Hari raya lazimnya sebagai momen serba fitri: jiwa fitri dengan Ramadan dan zakat fitrah, dan raga pun difitrikan dengan baju baru.

Daya tarik masyarakat untuk berbelanja baju baru jauh lebih menggoda ketimbang keistimewaan pahala Tarawih yang abstrak. Mereka rela mengelurkan pundi-pundi rupiahnya demi memborong baju baru. Hal ini menjadi kesempatan baik bagi para pedagang untuk meraup untung besar. Pedagang kadang menjahili pembeli yang rada-rada tidak tahu perkembangan harga barang dan keceplosan ketika menanyakan harga baju. Saking ambisinya, salah cara menawar: “Ada baju yang mahal?” Kesalahan inilah kadang dimanfaatkan oleh pedagang untuk mengelabuhi pembeli. Mestinya: “Ada baju yang bagus dan murah?”.

Bisa dibayangkan, andai di hari raya sebagian masyarakat tidak punya baju baru, khususnya kaum hawa, betapa galaunya dia. Nyaris tidak punya kebanggaan diri. Sepertinya dunia ini tak memberi kebebasan banyak untuk berlambai-lambai di hari raya. Puasanya seakan  gagal parah. Serasa tidak kembali ke fitrah. Ditambah lagi kesan: hari raya tak punya baju baru, apa kata tetangga? Kesan semacam ini sudah mendarah-daging. Inilah salah satu yang memotivasi masyarakat untuk berbondong-bondong berbelanja ke pasar. Pasar ibarat musim haji di Mekkah, penuh sesak. Bahkan jadwal buka pasar ditambah dari hari biasanya. Seumpama hari raya jatuh pada hari Jumat, dan pasar itu jadwal bukanya hari Rabu, maka hari Kamis pasar tersebut digelar kembali, sehari jelang hari raya. Orang kampung menamainya Pasar Katok. Kecenderungan konsumtif itu saya kira normal, manusiawi, yang penting bisa mengukur diri.

Begitulah fenomena sebagian banyak masyarakat kita. Belum mencapai keseimbangan antusiasme kebutuhan rohani dengan menghidupkan ibadah Ramadan secara maksimal bibandingkan kebutuhan jasmani untuk berbelanja ke pasar. Terjadi kontroversi pasang surut di antara keduanya. Shalat Tarawih makin hari makin ditinggalkan jemaah, sedangkan pasar makin dipenuhi pengunjung. Langkah untuk menggapai keseimbangan di antara keduanya harus membangun kesadaran bahwa kita makhluk jasmani-rohani dan makhluk dunia-akhirat. Ingat, kefitrahan seseorang tidak ditentukan oleh baju baru, tapi oleh bertambahnya ketakwaan. Ada sebuah ayat sebagai pegangan dan pilihan: Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [07]: 96). Wallah a’lam.


Sumenep, 19 Ramadan 1436 H/6 Juli 2015 H.

Sabtu, 04 Juli 2015

SELAMAT ULANG TAHUN AL-QUR’AN


M. Khaliq Shalha


Memori Nuzulul Qur’an
Sebagaimana kita maklum, dalam literatur Ulumul Qur’an dan Sejarah Islam bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan dua tahap penurunan. Pertama,  diturunkan oleh Allah sekaligus (secara lengkap) pada 17 Ramadan malam Lailatul Qadar dari Al-Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izza di Samaid Dunya (Langit Dunia). Kedua, diturunkan dari Langit Dunia ke Dunia secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari suatu surat atau berupa satu surat pendek lengkap. Permulaan turunnya pada malam itu juga.

Selama bulan Ramadan, sekitar tahun 620 M, seorang pedagang asal Mekkah mengalami sesuatu luar biasa yang akan mengubah sejarah dunia. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah. Pada setiap tahun, Muhammad bersama istri dan keluarganya pergi ke gua Hira’ di lembah Mekkah untuk berkhalwat. Hal ini merupakan kebiasaan umum di Jazirah Arab pada saat itu. Muhammad Mengisi waktu sebulan itu dengan berdoa dan memberi sedekah kepada kaum miskin yang mengunjunginya dalam penyucian itu.

Sebagian orang Arab percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang juga dipuja oleh orang Yahudi dan Nasrani. Namun berbeda dengan penganut Injil, orang Arab sadar bahwa Tuhan tidak pernah mengirim mereka suatu wahyu atau kitab sendiri, meskipun mereka memiliki tempat suci-Nya—berupa Ka’bah—di tengah-tengah mereka sejak waktu yang tak dapat diperkirakan. Orang Arab yang berhubungan dengan orang Yahudi merasa rendah diri: kesannya Tuhan menyisihkan bangsa Arab dari rencana Agung-Nya. Namun kesan ini berubah pada malam ke-17 Ramadan, ketika Muhammad terbangun dari tidurnya di gua Hira’ dan merasakan kehadiran sesuatu yang agung. Pada saatnya nanti dia akan menjelaskan pengalaman yang sukar dilukiskan ini dengan mengatakan bahwa sesosok malaikat telah menyelubunginya dalam pelukan yang erat sehingga terasa sesak nafas. Malaikat itu memberikan perintah tegas: “Iqra! (Bacalah!): Muhammad memprotes karena dia tidak dapat membaca, dia bukan kahin (orang pintar), bukan pula Nabi Arab. Namun, katanya, malaikat itu terus memeluknya sampai batas ketahanannya hampir habis, kata-kata suci seperti wahyu keluar dari mulutnya. Kalam Tuhan terucap pertama kalinya di Arab dan Tuhan akhirnya mewahyukan kepada bangsa Arab dengan bahasa mereka.

Pelukan erat malaikat Jibril kepada Muhammad—kalau dibahasakan dengan bahasa teknologi kontemporer sekarang—ibaratnya Jibril sedang mengaktifkan perangkat bluetooth Muhammad untuk selanjutnya dilakukan transfer data (wahyu) dalam benaknya. Karena data itu kapasitasnya amat besar, maka perangkat diri Muhammad hampir kehilangan kekuatan untuk menerimanya. Pada waktu itu wahyu pertama yang berhasil ditransfer surat Al-‘Alaq [96]: 1-5: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” Dengan turunnya wahyu pertama ini, Muhammad telah resmi dilantik Tuhan menjadi Nabi, “Nabi Muhammad”, tapi belum menjadi Rasul karena belum ditugaskan untuk menyampaikan apa yang ia terima. Baru setelah turun wahyu kedua beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, berupa surat Al-Muddatstsir [74]: 1-7: “Wahai orang yang berkemul (berselimut)! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan agungkanlah Tuhanm, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) dosa yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” Dengan turunnya wahyu kedua ini Muhammad resmi dilantik oleh Tuhan sebagai “Muhammad Rasulullah”.

Turunnya Al-Qur’an kadang kala dilatarbelakangi oleh sesuatu (asbabun nuzul) kadang kala tidak. Ayat-ayat yang memiliki asbabun nuzul pada umumnya berupa ayat-ayat hukum (tasyri’iyyah). Turunnya ayat-ayat itu adakalanya berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam, adakalanya pertanyaan dari kalangan sahabat Nabi atau dari kalangan lainnya yang ditujukan pada Nabi. Sedangkan ayat-ayat yang turun tanpa didahului asbabun nuzul lebih banyak jumlahnya, misalnya ayat-ayat tentang ihwal umat-umat terdahulu beserta para Nabinya, menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, menceritakan hal-hal yang gaib yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksa neraka. Sedangkan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 12 tahun, 5 bulan, dan 13 hari ketika Nabi masih tinggal di Mekah, sebelum hijrah ke Madinah (Yatsrib) dan 9 tahun, 9 bulan, dan 9 hari ketika beliau hijrah ke Madinah.

Mengenal Al-Qur’an Lebih Dekat
Selamat ulang tahun (happy birthday) untuk Al-Qur’an tidak lumrah kita dengar. Tidak lazim kita ucapkan: “Selamat ulang tahun Al-Qur’an. Semoga panjang umur!” Al-Qur’an dijamin oleh Tuhan berumur panjang, unlimited sampai akhir zaman kelak. Berbeda dengan umur manusia yang sangat terbatas (limited). “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9). Keterpeliharaan Al-Qur’an dapat dilihat secara antropologis: dengan banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang mampu menjaga keotentikan Al-Qur’an; banyaknya mushaf standar yang dicetak dan dikenal secara mutawatir seantero dunia di kalangan umat Islam hingga tidak ada peluang adanya pemalsuan dari orang-orang yang sengaja jahil sekalipun. Kemudian secara teologis: bahwa Tuhan tidak akan membiarkan orang-orang yang ingin memalsukan dan memusnahkan Al-Qur’an di muka bumi ini. Usaha manusia ke arah itu akan sia-sia belaka. Aspek antropologis memiliki korelasi yang kokoh dengan teologis, di antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Itulah wujud pemeliharaan Tuhan terhadap Al-Qur’an.

Sudah menjadi budaya di kalangan umat Islam bahwa setiap tanggal 17 Ramadan diperingati hari ulang tahun turunnya Al-Qur’an yang disebut dengan Peringatan Nuzulul Qur’an. Tujuannya, saya kira, untuk memupuk kecintaan umat pada ajaran Al-Qur’an. Secara fisik, Al-Qur’an terjamin keberadaannya, tetapi secara penghayatan pada ajarannya perlu selalu dipupuk agar kecintaan umat padanya tidak pupus di tengah-tengah globalisasi dengan pernak-perniknya yang semakin menjadi-jadi.

Tak cukup Al-Qur’an sekadar pajangan di rumah, sebagai azimat pengusir jin dan kuntilanak, dan baru dibaca apabila ada undangan di tetangga pada acara selamatan empat bulan kehamilan, misalnya, sementara perilaku umat semakin jauh dari tuntunannya. Nilai-nilai Al-Qur’an perlu dibumikan, karena tujuan pokok Al-Qur’an memang untuk penduduk bumi sebagai petunjuk hidup dalam persoalan akidah, akhlak dan hukum, sebagaimana disimpulkan oleh ulama tafsir Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an. Nilai-nilai Al-Qur’an bisa mendarah-daging bila Al-Qur’an itu dicintai oleh manusia. Semakin dalam cinta manusia padanya, semakin hidup nilai-nilai Al-Qur’an dalam dirinya. Saya rasa energi cinta itu luar biasa menggerakkan jiwa dan raga manusia dalam situasi dan kondisi apa pun.

Bagaimana menumbuhkan rasa cinta pada Al-Qur’an? Banyak cara. Konsepnya sederhana dan populer. Peribahasa lama mengatakan “Laisal mahabbah bi ghairit ta’aruf (Tak kenal maka tak sayang).” Pengertian baliknya, untuk bisa mencintai sesuatu harus mengenalnya. Mengenal profil Al-Qur’an dalam berbagai aspeknya akan menumbuhkan kecintaan pada Al-Qur’an.

Dari mana akan dimulai perkenalan dengan Al-Qur’an? Dari doktrin dulu pada anak semenjak usia dini bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci sebagai pedoman hidup. Bersamaan dengan itu anak diajari membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai kaidah yang berlaku. Setelah itu anak sudah bisa belajar Ulumul Qur’an dari berbagai aspeknya.

Kalangan kita paling populer berkenalan dengan Al-Qur’an pada level minimalis, yaitu mahir membaca. Itu sudah untung, ketimbang tidak mengenal sama sekali. Membaca Al-Qur’an tanpa tahu maknanya—apalagi paham—sudah bernilai ibadah. Efeknya pun besar pada kepribadian dan kesehatan daya pikir seseorang sampai tua renta. Ibarat dalam dunia komputer, membaca Al-Qur’an itu bagai anti virus yang menjaga keeroran otak. Bahkan orang yang istikamah membaca Al-Qur’an selama hidupnya, mayatnya di alam kubur akan awet, tak dimakan ulat dan tanah. Ada bukti—kasuistik, butuh penelitian lebih lanjut—pada mayat guru ngaji Al-Qur’an generasi kakek-nenek saya, ketika keburannya diperbaiki karena puruk (lubang akibat air hujan) dan akan diganti batu nisan yang permanen, ternyata mayat itu masih utuh. Di samping itu pula, membaca Al-Qur’an bisa mendatangkan ketenangan jiwa.

Untuk menambah rasa cinta, setelah bisa rajin membaca, walau tidak tahu pada artinya, selayaknya ditingkatkan pada pemahaman makna. Bisa mengambil cara instan, jika tidak punya kesempatan, atau secara lebih detil bagi kalangan pelajar atau santri yang masih punya banyak waktu mempelajari ilmu Al-Qur’an. Cara instan dimaksud, menggunakan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan terjemahnya. Zaman sekarang mempelajari makna Al-Qur’an dengan cara ini sudah sangat mudah, asal mau saja. Banyak terbitan Al-Qur’an yang kontennya komplit. Dari terjemah perkata, perkalimat dan tafsirnya. Selain itu pula dilengkapi panduan tajwid dan warna-warni untuk kata-kata tertentu. Sangat membantu pecinta Al-Qur’an untuk lebih mengenalnya secara dekat.

Bagi kalangan yang masih cukup banyak waktu mempelajarai sastra Arab dan Ulumu Qur’an, hendaknya gunakan waktu sebaik-baiknya. Sangat diperlukan pula kemampuan membaca kitab-katab tafsir dengan ragam jenisnya, baik kitab tafsir yang menggunakan metode (manhaj) tafsir bil ma’tsur (riwayat) atau tafsir bir ra’y (penalaran) yang bentuk-bentuknya meliputi metode tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Selain metodenya beragam, juga aspek kecenderungan (ittijah) beragam pula, misalnya kecenderungan pada lughawi (Nahwu-Sharaf, misal), tasawuf, hukum, filsataf, logika, ilmiah (sains) atau lainnya. Salah satu contoh, Tafsir Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhruddin Ar-Razi, metodenya tahlili-muqaran dan kecenderungannya pada filsafat, logika dan ilmiah.

Ada salah satu cara pula yang sangat mungkin ditempuh, dengan mengkaji buku-buku tafsir dan kajian Al-Qur’an karangan M. Quraish Shihab, seperti Tafsir Al-Mishbah, 1-15, Membumikan Al-Qur’an, 1-2, Mukjizat Al-Qur’an, Wawasan Al-Qur’an, Secercah Cahaya Al-Qur’an, dan Lentera Al-Qur’an. Buku-buku ini sangat membantu secara mudah mengenal Al-Qur’an lebih dekat. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana, namun sangat argumentatif, informatif sekaligus inspiratif mampu membuat pengkaji buku-buku ini menjadi betah membacanya, sekalipun beratus-ratus halaman. Dijamin tensi cinta Anda pada Al-Qur’an makin dalam dan kokoh. Menghasilkan karya-karya seperti itu bukan pekerjaan yang mudah hingga bisa dikonsumsi secara instan oleh masyarakat umum.

Bila setiap kita bisa menginstal nilai-nilai Al-Qur’an dalam jiwa dan raga, niscaya hidup kita menjadi berkah. Haqqul yaqin. Demikian tulisan sederhana ini sebagai kado Peringatan Nuzulul Qur’an tahun 1436 H. Wallah a’lam.

Sumenep, 17 Ramadan 1436 H/04 Juli 2015 M













Jumat, 03 Juli 2015

MENYIBAK MAKNA PUASA RAMADAN: DARI BAHASA KE AKSI NYATA


M. Khaliq Shalha


Makna Ramadan
Ramadan adalah nama dari salah satu bulan hijriyah. Ramadan berasal dari bahasa Arab (Ramadhan), secara bahasa, ada dua makna yang dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja:  Pertama, menurut Utsman dalam Tuhfatul Habib, Ramadhan nama bulan, diambil dari kata al-ramdh, dengan makna al-ihrak (membakar), karena di bulan ini dosa-sosa dibakar. Menurut al-Muqri dalam al-Mishbah, dikatakan, al-ramdh sama dengan syiddah al-harr (sangat panas), karena penamaan bulan ini bertepatan dengan cuaca yang sangat panas.

Jadi dalam arti bahasa, Ramadhan bermakna membakar atau sangat panas. Makna pertama sesuai dengan konteks pelaksanaan ibadah umat Islam pada bulan tersebut, berupa ibadah puasa Ramadan yang apabila dikerjakan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa berpuasa Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Abu Daud). Sedangkan makna kedua dikaitkan dengan iklim ketika penamaan bulan tersebut.

Ragam Kelas Puasa
Puasa juga memiliki kelas, seperti halnya kelas pendidikan, hotel, rumah makan, tempat perbelanjaan dan lain sebagainya. Pengkelasan puasa dikaitkan dengan tingkat penghayatan orang yang melaksanakannya. Terdapat tiga kelas puasa, sebagaimana kutipan yang dipaparkan oleh Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam Kasyifatus Saja pula. Menurut Ahmad al-Fasyni, dikatakan oleh ulama, puasa memiliki tiga ragam: Pertama, al-‘umum (umum/populer): menahan perut (tidak makan atau minum) dan kemaluan dari kehendak hawa nafsu. Kedua, al-khushush (istimewa/elitis): menahan telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari berbuat dosa. Ketiga, khushush al-khushush (super elitis): memalingkan hati dari rayuan-rayuan dunia dan mencegahnya dari segala sesuatu selain Allah.

Kelas pertama sebagai kelas minimalis yang paling diganderungi oleh mayoritas muslim. Kelas ini sudah cukup memenuhi kebutuhan primer, yaitu sekadar melunasi kewajiban dengan terpenuhinya syarat serta rukun puasa. Sudah cukup memenuhi syarat pula untuk disebut sebagai muslim dalam memenuhi salah satu rukun Islam yang lima.

Kelas dua bukan sekadar memenuhi kebutuhan primer, tapi juga sekunder. Tak semua orang bisa menempuhnya. Menjaga hal-hal yang sepele untuk tidak berbuat dosa, nyatanya tidak sepele, tapi justru sulit. Menjaga telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan seluruh anggota badan untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya, tidak mudah. Maka, pantas Rasulullah SAW memberikan barometer bagi status muslim-tidaknya seseorang: “Orang Islam adalah orang yang bisa membuat orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.” (HR. Muslim).

Penyebutan lidah (mulut) dan tangan sebagai sebuah simbol minimal yang maknanya mencakup segala potensi yang dimiliki manusia yang berpotensi merugikan orang lain. Konteks kejahatan lisan tergolong manual yang mulai zaman dulu, sekarang dan akan datang tetap berlaku secara efektif dan efisien. Lidah tak bertulang, maka begitu mudahnya manusia bersilat lidah. Hal ini rawan menimbulkan salah lirik dalam komunikasi sehari-hari. Akhirnya, berbuah komunikasi negatif yang meresahkan orang lain. Makanya ada salah satu ceramah KH. Zainuddin MZ—guru retorika dan moral saya—yang mengatakan, kurang lebih: “Jika pedang lukai tubuh gampang dicari obatnya, jika lidah lukai hati, ke mana obat hendak dicari.”

Kemudian, kejahatan tangan bervariasi bentuknya, dari memukul, mencuri, mencopet dan sejenisnya. Itu ragam klasik yang tetap eksis hingga akhir zaman. Di era teknologi informasi dan komunikasi ini, tangan makin mendapatkan peluang lebar untuk menyalahgunakan wewenangnya. Kadang, dua tangan cukup diwakili oleh tangan kanan, dan tangan kanan cukup diwakili oleh jempol. Jempol begitu lincah menari-nari di atas layar smartphone (HP pintar). Bahaya jempol yang bertulang dan bersendi tidak kalah dengan lidah yang tak bertulang. Dengan majunya teknologi komunikasi, manusia dimanjakan untuk berselancar di dunia maya, online di internet dengan menggunakan fasilitas jejaring sosial, misal, facebook, twiter dan sejenisnya. Apapun bisa ditulis, foto apa saja bisa diunggah walau tidak layak dikonsumsi oleh orang yang waras imannya. Pencemaran nama baik mudah dilakukan. Fasilitas teknologi komunikasi canggih ibarat pisau tajam. Ada dua potensi yang bertautan: baik dan buruk. Tergantung orang yang menggunakannya. Ibadah puasa yang benar memiliki peranan penting pada psikologi manusia untuk tidak menyalahgunakan wewenang dari semua potensi yang dimiliki di sekujur tubuhnya.

Kelas puasa super elitis bukan sekadar level primer dan sekunder, tapi tersier. Dalam perspektif ilmu ekonomi, terpenuhinya kebutuhan mewah. Hanya bedanya, dalam konteks puasa, kelas tersier ini tidak menjadi rebutan mayoritas muslim untuk menggapainya, tidak seperti kebutuhan ekonomi pada barang mewah, seperti mobil mewah, rumah mewah, vila, emas dan sebagainya. Justru bertolak belakang dari rayuan-rayuan material. Inilah yang membuat banyak orang tidak merebutnya. Puasa kelas super ilitis ini konsentrasinya pada level hati, level terdalam, yaitu memalingkan hati dari rayuan-rayuan dunia dan mencegahnya dari segala sesuatu selain Allah. Dengan bahasa lain, puasa kelas ini berada di level zuhud.

Konsep zuhud perlu dipahami secara proporsional dan produktif, bukan asketis fatal, sehingga tidak terjadi kecelakaan dalam ranah kehidupan sosialnya. Zuhud itu lawannya hubbud dunya  (cinta buta pada dunia). Persoalan ini adalah urusan hati. Hubbud dunya tergolong penyakit hati kelas berat yang sangat membahayakan. Dampaknya luar biasa. Bisa jadi menghalalkan berbagai macam cara demi mencapai tujuan. Kawan jadi lawan, dan sebaliknya. Sikut dan senggol kanan-kiri. Sikat atas, tendang bawah. Kejahatan yang ditimbulkan oleh penyakit ini, misal, yang fenomenal di Indonesia adalah korupsi, kolusi, nepotisme. Hal itu terjadi akibat kering kerontangnya sifat zuhud.

Zuhud jangan dimaknai pemiskinan dan marjinalisasi diri dari kemewahan dunia. Tetapi mengkondisikan hati untuk tidak tergoda oleh kemilau dunia yang bisa membuat orang lupa diri, lupa daratan, lupa tetangga, dan lupa Tuhan. Zuhud adalah mentransendenkan detak hati pada Tuhan, di samping kita berjalan normal sebagai makhluk sosial dalam upayanya humanisasi (pemberdayaan) dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada, dan liberasi (pembebasan) dari kemaksiatan, kebodohan, ketertindasan, kemiskinan dan sejenisnya. Sebagaimana konsep Prof. Dr. Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dalam bukunya, Paradigma Islam yang digali dari kandungan surat Ali ‘Imran [03]: 110.

Umat Islam boleh kaya materi, bahkan harus berusaha untuk kaya. Karena dengan kaya kita bisa terjamin untuk zuhud. Sulit kita zuhud bila kondisi ekonomi dalam keadaan krisis, paceklik. Bahkan seorang teman mengatakan ketika tidak tepat janji dalam membayar hutang bahwa orang itu sulit jujur apabila dalam keadaan kepepet. Lalu saya sempat merenung. “Betul, betul, betul...!!!” dalam benakku. Saya cukup merespon terhadap sebuah atsar: “Nyaris kefakiran menjadikan seseorang kufur.” Umat Islam sangat pantas punya mobil mewah, tapi mobil itu diparkir di garasinya, bukan di hatinya. Umat Islam pantas banyak emasnya, tapi emas itu ditaruh di lemarinya, bukan di hatinya. Umat Islam pantas banyak uangnya, tapi uang itu ditabung di bank, bukan di hatinya. Entar, kalau cukup bisa dibuat biaya naik haji. Naik haji dari Indonesia butuh biaya banyak. Masa mau jalan kaki? Mampus...!!!

Meraih kualitas puasa dari jenjang ke jenjang membutuhkan nyali yang tangguh. Memang hikmah puasa mendidik manusia untuk punya nyali yang mumpuni dengan membiasakan bersabar pada hal-hal yang sebelumnya halal menjadi terlarang, apalagi pada hal-hal yang memang terlarang. Dibutuhkan keinginan tulus meraih kualitas puasa terbaik dengan latihan-latihan setahap demi setahap. Puasa merupakan ibadah lahir dan batin. Diharapkan membawa dampak transformasi sosial dengan predikat takwa yang produktif dalam ranah domestik dan publik. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 183). Wallah a’lam.

Sumenep, 16 Ramadan 1436 H/03 Juli 2015