Jumat, 24 April 2020

MENYAMBUNG SANAD KEILMUAN SECARA OFFLINE DAN ONLINE

Oleh : M. Khaliq Shalha


Dalam tradisi pesantren, memiliki sanad keilmuan pada para ulama sangat penting dan utama untuk menumbuhkan kualitas keilmuan yang sumbernya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan spiritual.

Saat ini untuk menyambung mata rantai keilmuan pada ulama pesantren semakin mudah terhubung lewat pengajian online, baik via facebook, youtube atau media sosial lainnya.

Pada momen bulan suci Ramadhan 1441 H ini para ulama-kiai pesantren semarak menggelar khataman kitab secara online via jejaring media sosial tersebut.  Di antara latar belakangnya, karena bersamaan dengan masa-masa memutus mata rantai penyebaran Covid-19 (Corona Virus Disease 2019)  yang melanda dunia saat ini termasuk Indonesia. Masyarakat dihimbau oleh Pemerintah untuk jaga jarak bergaul dengan sesama (tabā'ud ijtimā'ī, social distancing) untuk sementara waktu hingga belajar pun digelar jarak jauh antara guru dan murid, kiai dan santri. Salah satu hikmah dari musibah besar yang melanda dunia ini dapat membuka akses pada masyarakat untuk bisa belajar secara online kepada ulama-kiai dari berbagai pesantren di berbagai daerah di Indonesia lewat jejaring sosial yang tahun-tahun sebelumnya volumenya lebih kecil ketimbang saat ini.

KH. Anwar Mashur, PP. Lirboyo, Kediri

Pada era ini setidaknya ada tiga syarat agar kita bisa berguru pada ulama secara online dan efeknya relatif hampir sama dengan mengaji secara berhadap-hadapan. Syarat-syarat itu adalah: (1) niat berguru, (2) bersedia mengaji, (3) punya seperangkat media online (hp/laptop plus paketan).

***

Dari hasil permenungan saya, menyambung sanad keilmuan pada guru dapat dilakukan dengan tiga macam: Pertama, berguru secara liqā'. Berhadap-hadapan langsung, misal mondok atau mendatangi rumah guru (bisa ngaji di langgar-langgar walau tidak mondok). Hal ini sangat penting bagi tingkat pemula. Bahkan menjadi keharusan belajar secara langsung kepada guru karena para guru bisa menuntun langsung pada para muridnya.

Kedua, di masa sekarang, sebagai tambahan dari yang pertama, berguru kepada ulama-kiai secara online dimana saja mereka berasal lewat media sosial. Misalnya mengaji kepada Gus Baha' atau kepada ulama-kiai panutan lainnya.

Majunya teknologi kemunikasi ini harus kita syukuri karena lebih mudah terhubung dengan para ulama sehingga yang sebelumnya terhalang jarak geografis yang begitu jauh, untuk saat ini sudah terasa sangat dekat. Konsekuensinya, jika kita punya minat untuk memperbanyak guru dan menambah ilmu saban saat kini sungguh amat mudah.

Ketiga, sebagai pengembangan juga dari yang pertama, yaitu dengan membaca kitab-kitab karangan para ulama. Saya bisa berguru kepada Imam Bukhari karena saya membaca kitab Shahīh Bukhārī. Saya bergu kepada Imam Syafi'i karena saya baca kitab Al-Umm. Saya berguru kepada Imam Ghazali karena saya baca kitab Ihyā' Ulūmiddīn. Saya berguru kepada Imam Fakhruddin Ar-Razi karena saya baca kitab tafsir Mafātīhul Ghaib. Saya berguru kepada Imam Nawawi bin Syaraf karena saya baca kitab Al-Adzkār. Saya berguru kepada Ibn Hajar Al-'Asqalani karena baca kitab Fathul Bārī. Saya berguru kepada Imam Izzuddin bin Abdus Salam (Sulthānul 'Ulamā') karena saya baca kitab Syajaratul Ma'ārif. Saya berguru kepada Imam Suyuthi karena saya baca kitab Al-Asybāh wan Nazhāir. Saya berguru kepada Imam Nawawi Al-Bantani karena saya baca kitab Kāsyifatus Sajā. Saya berguru kepada KH. Muhammad Hasyim Asy'ari karena saya baca kitab Irsyādus Sārī. Saya berguru kepada Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki karena baca kitab Mafāhīm Yajibu an Tushahhah, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kita patut bangga penuh rasa syukur sepenuh jiwa karena ulama mewariskan kitab-kitab kepada kita sebagai tafsir dari warisan agung Rasulullah SAW berupa Al-Qur'an dan Sunnah.

Berguru kepada para ulama dengan menelaah kitab-kitab mereka sangat prospek bagi kita untuk mengasah keilmuan kita tanpa mengenal fase usia dan tanpa dibatasi kurikulum formal. Dalam pengalaman pribadi saya, betapa bangganya bila bisa membuka lembaran demi lembaran kitab-kitab karya ulama terdahulu. Betapa kita masih ditolong oleh Allah berkat terbukukannya ilmu-ilmu ulama walau mereka sudah wafat sekian abad lalu tapi mereka masih amat dekat dengan kita. Kadang terlintas dalam benak saya, andaikan para ulama tidak mewariskan karya-karya mulia mereka tentu kita akan menjadi generasi yang jahlun murakkab. Bodoh sebodoh-bodohnya.


Tiga alur ini saya sudah lakukan semua demi menyambung sanad keilmuan kepada para ulama hingga pada akhirnya dari guru ke guru tersambung kepada Nabi Muhammad SAW, Malaikat Jibril lalu kepada Allah SWT.

Wallah a'lam bish shawāb.

Sumenep, 1 Ramadhan 1441 H / 24 April 2020

Senin, 06 April 2020

LEVEL SUMBER ISTINBĀTH (Mengupas Istilah Ilhāq dalam Empat Mazhab)


M. Khaliq Shalha

Dalam ushul fiqih disuguhkan komposisi hukum Islam (al-ahkām asy-syar'iyyah) sebagai berikut: (1) al-hukm (hukum), (2) al-hākim (pembuat hukum), (3) mahkūm 'alaih (pelaku hukum), dan (4) mahkūm fīh (tindakan hukum).

Suatu hal yang menarik tentang pembuat hukum. Siapakah pembuat hukum? Allah.

Bukan mujtahid?

Bukan. Mujtahid hanya punya tanggung jawab moral dan ilmiah untuk menggali dan menemukan hukum dari sumber-sumbernya. Hukum telah dibuat oleh Allah sejak zaman azali (primordial). Mujtahid tinggal memungutnya atau mengkliknya dari sumber-sumber yang sakral dan semi sakral. Pekerjaan mujtahid itu disebut istinbāth.

Sumber-sumber hukum utama dan sakral adalah nas al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan sumber lainnya sebagai sumber alternatif adalah nas imam mujtahid (intinbāth min nushūshil aimmah), bila tidak ditemukan dalam dua sumber utama tersebut. Karena tidak ada tindakan hukum yang tidak ada hukumnya. Dengan kata lain, setiap tindakan orang mukallaf pasti ada status hukumnya.

Dalam proyek metode istinbāth dari teks (nas) imam mazhab terhadap hal-hal yang furūiyyah dapat disebut metode "ilhāq" (semacam qiyas, hanya pada pendapat ulama (fiqih), bukan pada al-Qur'an dan Sunnah), atau dalam kerangka kaidah fiqih dari ulama mazhab. Di masing-masing empat mazhab memiliki istilah tersendiri dalam menggali hukum dengan metode ilhāq.

Dr. Muhammad Ismail Muhammad Misy'al dalam kitabnya, Atsarul Khilāfil Fiqhī fil Qawā'id al-Mukhtalif fīhā, mengurai istilah yang digunakan dalam internal mazhab berikut ini.

Dalama fiqih Hanafi disebut "al-asybāh" pada leval pertama, dan disebut "ar-rājih" pada level kedua. Al-Asybāh, bermakna "al-aqrab" (lebih dekat dengan nas yang diriwayatkan dari imam mazhab atau pengikutnya).

Dalam mazhab Maliki disebut "takhrīj". Takhrīj lumrah digunakan oleh fuqaha dalam arti sebagai al-istinbāth al-muqayyad, yaitu meng-ilhāq-kan suatu kasus hukum pada hukum yang telah dirumuskan sebelumnya oleh imam mazhab, atau memasukkan pada cakupan kaidah fiqih yang dibangunnya, bila tidak terdapat nas utama (al-Qur'an dan Sunnah) yang meng-covernya.

Dalam mazhab Syafi'i, menyikapi perbedaan pendapat di tubuh mazhab ini, Imam Nawawi dalam al-Majmū': Syarah al-Muhadzdzab, beliau membagi pada tiga bagian: (1) "Aqwāl" (pendapat-pendapat Imam Syafi'i sendiri), (2) "Awjuh" (perbedaan-perbedaan pendapat Syafi'iyyah, ulama pengikut Imam Syafi'i)", dan "Thuruq" (perbedaan pendapat dari para periwayat mazhab Syafi'i dalam menarasikan mazhab Syafi'i).

Dalam mazhab Hanbali disebut "qiyāsul mazhab".

Salah satu contoh berikut ini dari mazhab Maliki. Ibn al-Hallab mengemukakan salah satu ilustrasi kasus hukum: Jika seseorang bernazar untuk beriktikaf pada hari tertentu, lalu pada hari yang ditentukan ia jatuh sakit, maka status hukumnya dapat di-takhrīj (dikeluarkan status hukumnya) dengan dua riwayat. Pertama, orang tersebut wajib qadha (menggantinya pada kesempatan lain). Kedua, tidak usah qadha. Kasus ini di-ilhāq-kan pada orang yang bernazar puasa pada hari-hari tertentu, lalu pada waktu pelaksanaannya ia jatuh sakit.

Ibn Abdil Hakim berpendapat, tidak wajib qadha atasnya kucuali ia niat mengqahanya. Berbeda dengan Ibnul Qasim, beliau berpendapat, ia wajib qadha kecuali sudah ada niat bahwa ia memang tidak ingin mengqhadanya.

Jadi, ilhāq pada pendapat ulama mazhab tentang kasus hukum baru sangat mungkin dilakukan dari waktu ke waktu sejalan dengan dinamika kehidupan sebagai langkah alternatif bila tidak ada celah untuk melakukan qiyās terhadap hukum yang sudah jadi yang berlandaskan sumber utama, al-Qur'an dan Sunnah.

Dengan demikian, sumber intinbāth menjadi kaya, yaitu sumber utama berupa al-Qur'an dan Sunnah, lalu alternatifnya pendapat imam mazhab (nushūshul aimmah).

Wallàh a'lam bish shawāb.

Sumenep, 6 April 2020