Jumat, 26 Desember 2014

PLURALISME BERSALAWAT (Memaknai Peringatan Maulid Nabi)


M. Khaliq Shalha



إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا . ( الأحزاب :53 ) .
 Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh hormat kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 53).
*****


Allah bersalawat artinya Dia memberi rahmat kepada Nabi SAW. Malaikat bersalawat artinya memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Orang-orang mukmin bersalawat artinya mereka berdoa kepada Allah supaya diberi rahmat untuknya. Penafsiran ini bisa Anda lacak dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karya Ibn Katsir. Perlu kiranya saya mempertajam ulasan salawat orang mukmin untuk Rasulullah SAW karena hal ini menyangkut posisi kita selaku umatnya. Kita manusia, bukan Tuhan dan bukan pula malaikat. Pesan Al-Qur’an memang diturunkan untuk manusia.
Perintah Tuhan di atas menunjukkan keumuman waktu, dan tempat untuk bersalawat, demikian juga redaksinya. Di mana saja, kapan saja, dalam hal apa saja kita pantas bersalawat dan salam. Di rumah, perjalanan, masjid atau kantor. Ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring. Dalam keadaan senang atau susah. Dalam salat atau luar salat. Individu atau kolektif. Terorganisir atau tidak.  
Bersalawat menunjukkan kecintaan kepada Rasulullah SAW. Salawat hakikatnya adalah hadiah buat beliau. Hadiah adalah sebuah pemberian berupa penghargaan atas jasa-jasa yang telah diberikan kepada umatnya berupa penyampaian ajaran Islam sehingga manusia bisa membedakan yang benar dan yang batil. Orang yang diberi hadiah adalah orang terhormat, bukan karena kekurangan yang layak dibantu, sehingga salawat bukan merupakan sedekah doa buat beliau. Beliau tetap tidak kekurangan rahmat Allah seandainya tidak dimintakan rahmat oleh umatnya. Maka, orang yang bersalawat kepadanya berkahnya akan mengalir kepada orang yang bersangkutan berupa ketenangan jiwa dan syafaat dari Nabi kelak.
Salawat wajib dibaca minimal lima kali dalam sehari semalam pada tiap tahyat akhir dalam salat lima waktu. Selebihnya tergantung pada kapasitas kecintaan umatnya kepada beliau. Allah tidak membatasi berapa banyak salawat yang akan dibaca. Dalam tradisi Islam Indonesia—mungkin juga dalam skop luas, internasional—digelar pembacaan salawat secara terorganisir yang terkemas dalam acara Peringatan Maulid Nabi (Dzikra Maulid al-Rasul)  pada tiap bulan Rabiul Awal. Di tempat-tempat tertentu, di kota atau di desa. Puncak peringatannya secara massal di gelar di masjid pada tiap malam tanggal 12 Rabiul Awal. Masyarakat berkumpul di masjid demi memperingati hari kelahiran Sang Pencerah dunia, Nabi Muhammad SAW dengan membaca salawat bersama untuk beliau. Selainnya, sebelum atau sesudah tanggal itu, banyak masyarakat menggelar secara mandiri di rumah masing-masing dengan mengundang para tetangga, bahkan sampai di luar bulan Rabiul Awal.
Acara Peringatan Maulid Nabi ini masih menimbulkan kontroversi. Ada yang pro dan ada—sekelintir orang yang kaku—kontra. Bagi yang pro memiliki pandangan keagamaan yang lebih luas dalam mengimplementasikan pesan Tuhan dalam ayat di atas sehingga bisa mendarah daging dalam tradisi keagamaan masyarakat. Mestinya memang—menurut saya—spirit ajaran agama itu dibumikan dalam kehidupan, sehingga kecintaan kepada Nabi mengakar kuat yang tak mudah tercerabut dalam kondisi apapun. Islam jangan dianggap sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7, lalu dijadikan sebagai prasasti sejarah yang tidak boleh disentuh dengan peradaban.
Bagi orang yang kontra berpandangan bahwa acara seremonial Peringatan Maulid Nabi dipandang bid’ah, mengada-ada, tidak pernah diajarkan Nabi, alis tidak ada dalilnya. Padahal kalau berbicara dalil, dalil yang melarang Peringatan Maulid Nabi juga tidak ada. Artinya orang yang menyalahkan acara ini juga bid’ah. Bila mendudukkan ajaran agama sebagai prasasti, maka ajarannya akan mudah pudar ditelan waktu. Selama spirit tuntunan Al-Qur’an masih bersifat umum, implementasinya harus dinamis sehingga Islam selalu cocok dalam setiap perubahan zaman, terutama era modern ini yang semakin menjadi-jadi.
Pluralisme cara bersalawat juga perlu disentuh, bukan hanya pluralisme agama yang diperjuangkan mati-matian, kadang sampai kebablasan. Entah apa motifnya. Mungkin demi menjunjung kemajemukan atau sekadar pencitraan—terro alem, Madura-nya—agar pemikirannya dianggap maju dan modern, ha ha. Jangan sinis, jangan salahkan orang yang menggelar Peringatan Maulid Nabi dengan membaca salawat secara kolektif, terorganisir. Salahkan dan sesalkan orang yang tak bersalawat. Umat Islam bisa maju apabila banyak bid’ah (inovasi) yang muncul. Tak semua bid’ah sesat, dan tak semua bid’ah tidak sesat. Bid’ah yang baik contohnya Peringatan Maulid Nabi. Bisa memupuk kecintaan umat pada Nabi hingga mengamalkan ajarannya. Bid’ah yang sesat contohnya menambah rakaat salat Subuh menjadi tiga atau empat. Jumlah rakaat salat adalah ketentuan baku, tidak bisa diganggu gugat. Kalangan liberal pun tidak akan berani mengubah-ubah rakaat salat jika mereka masih ingin hidup lama di dunia sambil bisa makan enak dan tidur nyenyak.
Hikmah dari Peringatan Maulid Nabi banyak lho. Di samping acara intinya membaca salawat kepada Nabi, acara ini sarat nilai-nilai sosial tinggi. Sebagai ajang silaturrahmi antar tetangga, berbagi dengan mereka dengan menyuguhkan makanan. Makan bersama nikmatnya luar biasa walau makanannya sederhana, apalagi sate dan seprangkat makanan lainnya. Al-Qur’an sering menyandingkan hubungan vertikal dengan horizontal, hubungan spiritual dengan sosial. Salah satu contohnya, perintah melaksanakan salat disandingkan dengan perintah menunaikan zakat. Di sinilah bukti bahwa Islam adalah agama rahmat. Wallah a’lam.
*****

Sumenep, 26 Desember 2014/3 Rabiul Awal 1436.



Minggu, 14 Desember 2014

WISATA LITERASI DI MALANG


M. Khaliq Shalha


Menjelang keberangkatan ke Malang, tanggal 4 Desember 2014 dalam rangka berburu buku-buku murah pada pagelaran Malang Islamic Book Fair 2014 ke-21 tanggal 5-11 Desember 2014, SMS dan telpon masuk dari teman-teman yang akan ikut ke acara ini. Intinya menanyakan, jam berapa akan berangkat. Saya jawab, persiapan jam 21.00 WIB. Tak lama dari komunikasi dengan teman, ada telpon masuk dari sepupu bahwa keponakan sepupu saya yang masih kecil sedang sawan dan memaksa saya untuk menjenguknya segera, dan belum ada solusi untuk menyembuhkannya. Saya segera mengiyakan untuk menjenguk. Dalam benakku mengatakan, ini lagi masalah! Tergolong tak disangka-sangka, kalau bahasa santrinya, min haitsu la yahtasib.
Saya bingung, apa yang akan saya lakukan dan berikan untuk kesembuhan keponakan kecil itu? Spontan saya ambil air mineral botolan, saya bacakan Al-Fatihah dengan harapan Allah menjadikannya obat untuk kesembuhan keponakan. Sebenarnya air botolan itu saya konversi dari tujuan awal buat persiapan untuk dibawa ke Malang, mengingat membeli air di terminal harganya luar dari kewajaran, dari Rp1.000,00 di rumah menjadi Rp3.000,00. Sungguh bisnis yang kurang berkah. Sekitar jam 20.30 saya berangkat ke rumah keponakan. Sesampainya di rumahnya ternyata sudah di bawa ke rumah sakit Polindes desa sebelah, langsung saya kejar. Sampai di Polindes, melihat keponakan makin ada perkembangan positif. Bibi butuh air buat kompres si sakit, langsung saya berikan air botolan yang saya bawa tersebut. Saya hanya bisa memberikan sugesti pada para keluarga, Insya Allah sembuh.
Jam 21.00 teman sudah telpon bahwa sudah sampai di rumah. Saya jawab untuk ditunggu sebentar sambil santai di kantor madrasah. Sebenarnya saya getar-getir, jadi apa tidak ke Malang? Sementara sebelumnya saya sudah mencapai kata sepakat dengan tiga teman untuk berangkat malam itu. Saya punya pegangan perkataan seorang guru bahwa apabila punya tujuan baik lalu dalam perjalanannya ada hambatan, itu pertanda akan sukses. Saya pegangi petuah itu. Alhamdulillah, keponakan sudah bisa tidur nyenyak. Teman masih telpon lagi dengan nada sinis, jadi nggak ke Malang? Saya jawab, jadi, tunggu sebentar. Tak lama dari itu saya pamitan pulang.
Menunggu adalah perbuatan yang membosankan. Begitulah kira-kira yang ada di pikiran teman-teman. Mereka khawatir ketinggalan bis malam. Saya sendiri tidak khawatir karena lumayan hapal jadwal bis berdasarkan pengalaman saya sewaktu kuliah ke Surabaya tahun 2009 sampai 2011 pulang-pergi.
Sekitar jam 23 kami sampai di jalan raya yang jaraknya ± 1 km dari rumah. Menunggu bis malam lumayan lama, sampai jam 00.00 lewat sedikit baru datang dari arah timur, Prenduan Sumenep. Kami naik. Tarif bis sudah naik, semula trayek Prenduan-Surabaya Rp36.000,00 perorang menjadi Rp40.000,00. Gara-gara BBM dinaikkan oleh pemerintah. Tapi kata Jokowi, BBM tidak dinaikkan hanya memindahkan subsidi. Itu namanya racun bermerek madu. Ada status lucu dari teman, ada oknum TNI menembak mati warga. Dia katanya tidak membunuh tapi memindahkan kehidupannya dari dunia ke alam kubur. Kacau kalau begini su, kata murid-murid. Jam tigaan kami sampai di terminal terbesar Jawa Timur, Bungurasih Surabaya. Dari segala penjuru, sayup-sayup kiraah mulai terdengar sebagai pertanda waktu Subuh segera tiba. Kami persiapan salat di mushalla pojok barat terminal bagian utara, di belakang tempat antre bis patas jurusan Madura. Mushalla langganan saya ini menunya lengkap, ada kamar mandi, ces HP., dan warung makan. Kami salat Subuh di tempat ini.
Usai salat, teman ngajak cari makan. Saya ajak cari-cari warung di terminal dengan harga termurah. Mutar-mutar sampai agak lama, akhirnya tidak dapat yang cocok. Saya ajak saja teman-teman menuju stasiun kerata api Waru yang tak jauh dari terminal Bungurasih. Ke timur sedikit. Urusan makan nanti saja di kereta atau di Malang. Sesampainya di stasiun Waru saya agak bingung karena jadwal keberangkatan sepertinya ada perubahan. Papan informasinya sepertinya berubah dari sebelumnya. Saya tidak cukup paham dengan jadwal yang ada. Memaksa saya bertanya pada calon penumpang dan petugas. Ternyata jadwal tidak berubah. Langsung saya beli tiket dengan tujuan Malang Kota Baru dengan tarif kelas ekonomi Rp5.500,00 perorang. Hanya naik Rp1.500,00 dari sebelumnya. Kereta berangkat jam 05.00 sampai di Malang jam 07.30. Jadwal keberangkatan dan kedatangan Surabaya-Malang relatif padat, hampir tiap tiga jam.
Biasanya di kereta banyak lalu lalang penjual nasi dan air, ternyata mereka tak satupun ada. Mungkin ada peraturan baru yang melarang pedagang asongan keluar masuk kereta. Saya sangat setuju karena kebersihan lebih terjamin dan suasana lebih kondusif. Sesampainya di stasiun Kota Baru masih cukup waktu untuk mencari makan. Saya mencari warung murah yang kelas ekonomi. Sesuai prinsip dalam perjalanan wisata literasi ini, yaitu berprinsip ekonomi. Semuanya harus serba ekonomi, dari kendaraan, makan dan buku, yang penting tujuan tercapai, yaitu mendapatkan buku-buku murah yang berkualitas. Kami mendapati warung makan di deretan stasiun lengkap dengan menu dan harganya. Nasi pecel dan sejenisnya Rp8.500,00. Kami pesan nasi pecel empat porsi. Pagi-pagi dirasa sangat pas makan yang hangat-hangat apalagi di Kota Malang. Nasi pecel sangat aktual. Semuanya menikmatinya dengan kepedasan, haheho bunyinya. Kami sepakat nanti sore jelang pulang kalau makan lagi pesan selain nasi pecel. Tidak kuat pedasnya.
Beranjak dari warung makan menuju lokasi bazar buku, tepatnya di Aula Skodam Brawijaya, berhadapan dengan Balai Kota Malang. Dari stasiun kami cukup berjalan kaki. Jam masih menunjukkan pukul 8, bazar biasanya buka pukul 9. Kami gunakan waktu buat foto-foto di taman kota yang begitu indah dengan hiasan bunga teratai dan monumen Kota Malang yang menjulang. Sambil saya lihat baleho dan umbul-umbul bazar mengecek kebenarannya, ternyata benar-benar ada. Saya tahu informasi momen ini lewat internet.
Setelah dari taman kota, kami beranjak ke lokasi bazar buku. Para penjual sudah mulai mempersiapkan dagangannya. Di halaman aula didirikan tarup untuk menjual baju-baju dan aneka aksesoris, juga makanan seperti bakso dan lainnya. Di dalam gedung digelar bazar buku. Jam masih belum pukul 9, saya menuju mushalla di pojok barat bagian selatan sambil mengintip-intip harga obral buku, rupanya ada yang Rp5.000,00. Sound sudah mulai berbunyi untuk aneka acara yang akan digelar panitia. Dalam pagelaran Islamic Book Fair aneka ragam acara digelar di pentas utama, seperti lomba kiraah, pentas seni untuk anak-anak, forum kajian ilmiah dan lainnya.
Setalah bazar buku di buka, kami seharian mencari buku. Jelang salat Jumat kami berhenti dulu untuk salat. Setelah selesai salat pembelian dimemulai lagi. Saya membeli buku dalam kesempatan ini untuk perpustakaan madrasah yang saya tangani. Harga perbuku yang saya beli dari Rp3.000,00, Rp5.000,00, Rp10.000,00, dan  Rp15.000,00 dapat dua. Saya belanja dua jutaan dapat lima kardus dan teman saya belanja satu jutaan dapat dua kardus besar. Jadi, semuanya tiga jutaan dapat tujuh kardus.
Suatu hal yang terkesan dalam acara ini bagi saya, selain berbelanja buku dengan harga yang memuaskan, juga nuansanya menyejukkan hati. Sesuai label dari acara ini, Islamic, acara yang disugungkan panitia bernuansa islami. Didukung para pengunjung dan para peserta yang hadir dalam acara yang di gelar setiap sekmennya, mereka menunjukkan manusia yang berperadaban mulia. Seperti inilah contoh kongkret manusia yang berperadaban. Cara berpakaian, bertutur dan berperilaku sampai pada anak kecil sekalipun. Suatu indikasi yang sempat saya baca penuh berkesan, ketika azan Asar tiba, para pengunjung bergegas menuju mushalla untuk salat jamaah. Karena mushallanya kecil sehingga harus antre. Salat Asar digelar empat kali jamaah. Anak-anak kecilpun yang sedang ikut lomba Juz ‘Amma di situ kompak berjamaah. Orangtua dan guru mereka peduli mendidiknya untuk melaksanakan salat jamaah. Di lokasi ini mushalla pria dan wanitia beda tempat. Persediaan air terjamin. Di sinilah enaknya berkunjung ke bazar ini. Saya sudah empat kali hadir ke momen seperti ini. Insya Allah pada acara-acara yang akan datang saya akan hadir untuk tetap menambah koleksi buku perpustakaan dan pribadi.
Jam 16.00 kami sudah mengemas buku-buku ke dalam kardus untuk segera menuju stasiun, karena jadwal kereta tujuan Surabaya jam 17.00. Kala itu hujan turun membasahi persada Kota Malang. Rencana awal buku-buku yang dibeli akan dibawa sendiri ke stasiun untuk menghemat biaya, akhrinya diangkut menggunakan becak karena hujan betah berlama-lama, tak kunjung reda. Di samping itu, kardus yang akan di bawa terlalu banyak, tujuh kardus, sementara kami hanya empat orang. Bukunya saja satu becak penuh ditambah satu orang, Moh. Yusuf. Saya bertiga, Moh. Imron dan Syafi’ie mengendarai becak lain. Tumpang tindih dalam satu becak, semoga becaknya tidak penyok. Ongkos becak yang mengangkut buku plus satu orang Rp15.000,00 dan yang ditumpangi kami Rp10.000,00.
Sesampainya di stasiun kami segera membeli tiket, karena tidak begitu lama lagi kereta akan tiba. Tiket sudah dibeli namun sial, tidak punya jatah tempat duduk. Sudah dipesan oleh para calon penumpang lainnya yang lebih awal. Di Kota Baru Malang memang bisa dibilang stasiun terramai untuk jalur ke selatan Surabaya. Kami pasrah sudah. Selesai beli tiket kami segera mengisi perut, kembali ke warung yang tadi pagi dikujungi dengan memesan nasi campur, tobat dulu untuk sementara nasi pecel. Jam di HP selalu saya perhatikan khawatir ketinggalan kereta. Setelah makan kami langsung bergegas ke stasiun, siap-siap menuju peron. Tak lama pintu masuk ke peron di buka. Kami segera mengangkut buku tujuh kardus itu tergopoh-gopoh. Satu orang ada yang membawa dua kardus dan ada yang satu kardus besar. Siap-siap menunggu kedatangan kereta di jalur tiga. Untuk menuju jalur tiga ini kami dan penumpang lainnya lewat terongongan. Sejauh mata memandang, para calon penumpang di stasiun ini memang ramai, bejibun. Kami sudah siap-siap berdiri sepanjang perjalanan Malang-Surabaya karena tidak dapat jatah tempat duduk.
Jam 17 lewat sedikit kereta Penataran kelas ekonomi yang ditunggu-tunggu datang. Kami siap-siap masuk kereta, memilih gerbong tengah karena kami bebas memilih gerbong yang mana saja karena tidak dapat jatah tempat duduk. Setelah masuk di kereta kursi masih banyak yang kosong. Para penumpang lainnya masih lalu-lalang mencari nomor kursinya. Kami berdiri dulu khawatir diusir orang yang punya jatah tempat duduk. Setelah semuanya tenang, saya lihat di dekat saya kursi masih ada yang kosong, langsung saya duduk, teman saya juga duduk sambil tertawa. Nanti kalau ada orang mengusir kami siap berdiri. Sepanjang berjalanan tidak ada orang yang mencari kursi tempat kami duduk. Artinya, kami dari Malang-Surabaya duduk santai dan kadang terlelap tidur. Kadang antara tidur dan tidak, khawatir kelewat stasiun Waru Sidoarjo.
Sampai di stasiun Waru setelah azan Isyak. Buku dimuat becak dengan Moh. Yusuf. Kami bertiga jalan kaki menuju pintu keluar bis yang tak jauh dari stasion. Sampai di pintu keluar, bis jurusan Madura bergerak dari arah barat. Kami segera mencegatnya. Kardus dimasukkan ke bagasi dan kami naik. Bis Akas ini penuh sesak penumpang. Moh. Imron dan Moh. Yusuf duduk di kursi belakang, saya dan Syafi’ie duduk di kursi bantalan atas mesin, dekat sopir. Baru sampai di Sampang bisa duduk dikursi yang layak karena penumpang sudah mulai banyak yang turun. Sampai di pertigaan selatan rumah sekitar jam 24.00. Syafi’ie segera memarani sepedanya di tempat parkir. Sepedanya setelah dinyalakan sedang ngambek. Agak lama untuk bisa menyala. Maklum sepeda perjuangan yang sudah peteran. Akhirnya menyala juga. Selain itu, seorang teman menjemput kami bolak-balik dua kali. Kami pulang sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillah!
Sebuah perjalanan bisa menarik bila diniati dan dinikmati. Semoga memberikan inspirasi positif kepada Anda. Harapan inilah yang menjadi dasar dari penulisan catatan perjalanan kami, Wisata Literasi di Malang.

*****

Sumenep, 13 Desember 2014

Rabu, 03 Desember 2014

BUTUH MENGOLAH FISIK DAN PSIKIS



 M. Khaliq Shalha

Manusia butuh mencairkan dan menyegarkan unsur dirinya, baik fisik atau psikis sehingga meraih kesehatan dan kebahagiaan. Sehat jasmani dan rohani, perasaan menjadi lega dan bahagia.
Mengolah fisik namanya olahraga dengan ragam bentuknya seperti lari pagi dan lainnya. Bagi para petani, olahraga tidak membutuhkan jadwal dan gerakan khusus karena setiap harinya waktu mereka banyak tersita dengan mengolah lahan pertanian. Secara otomatis mereka berolahraga dengan jam terbang tinggi. Dampak positifnya, rata-rata para petani sehat.
Mengolah psikis berupa olahpikir dengan membaca, menulis, diskusi dan lainnya. Olahpikir dengan rutin, misalnya dengan menulis akan menghasilkan banyak karya yang bisa berguna sepanjang masa sekalipun orang yang bersangkutan telah tiada. Suatu kebanggaan tersendiri. Salah satu contoh, ulama terkemuka Imam Ghazali dan Imam Nawawi al-Banteni al-Jawi. Keduanya sebagai penulis produktif di masanya yang karyanya masih tetap bisa dikonsumsi sampai saat ini. Demikian juga, banyak penulis produktif di era setalahnya sampai sekarang. Itu semua lantaran mereka bisa memaksimalkan olehpikir. Manfaatnya bisa dirasakan juga oleh orang lain.
Sedangkan olahhati bisa dilakukan dengan cara mengerjakan ibadah khusyuk; memaknai dan menjiwai terhadap ibadah yang dikerjakan, bukan sekadar terselenggaranya formalitas tapi dengan target utama sebuah kualitas. Gabungan olahpikir-hati misalnya berupa tafakur tentang hal diri dan jagat raya. Dengan cara ini akan sangat nampak kebenaran Tuhan lewat ciptaan-Nya yang penuh eksotis sehingga memantik menjadi manusia yang bersyukur.
Jangan biarkan unsur diri mampet tak produktif karena tidak terolah. Menterlantarkan unsur itu bagai membiarkan lahan pertanian tak tergarap hingga bisa terjadi krisis pangan. Kesengsaraan yang akan diraup.

*****

Sumenep, 3  Desember 2014




BUKU DAN PRODUKTIVITAS MENULIS

M. Khaliq Shalha  


Buku ibarat pesugihan yang bisa mendatangkan banyak inspirasi bagi pembacanya dan menyuguhkan data-data yang dibutuhkan. Bisa pula sebagai perhiasan yang sewaktu-waktu bisa dipakai dalam setiap kesempatan yang tepat untuk beraksesoris dengannya. Semikin banyak buku, semakin mudah untuk memperkaya gagasan dan data dalam berkreasi.
Para pegiat tulisan membutuhkan banyak referensi untuk mempermudah dan memperoleh hasil tulisan yang relatif memuaskan hingga layak disuguhkan ke publik. Penulis bagai tukang bangunan. Tukang bangunan dikatakan hebat apabila mampu menciptakan model baru hasil kreasinya yang berbeda dengan karya orang lain.
Namun perlu diingat bahwa tukang yang hebatpun sangat tergantung kepada orang lain dalam memperoleh bahan baku. Batu-bata, pasir, semen, kawat, kayu, genting dan bahan lainnya adalah produk orang lain. Tugas tukang adalah bagaimana ia mampu menata bahan-bahan itu menjadi bangunan yang menawan, membuat setiap orang yang melihatnya bertanya-tanya, siapa gerangan tukangnya?
Tetapi ada sedikit perbedaan antara keduanya. Bagi tukang bangunan tidak menjadi soal apabila karyanya persis dengan karya tukang lain. Tidak dianggap tindakan plagit. Justru seandainya pencetus model bangunan itu tahu bahwa karyanya ditiru orang lain maka ia akan bangga. Hanya model bangunan sulit dilacak siapa pencetus murninya. Berbeda dengan penulis, karyanya tidak boleh sama persis--apalagi sampai titik komanya--dengan karya orang lain sebelumnya. Tindakan itu tergolong plagiat yang tidak terpuji.
Plagiat ada dua; murni dan semi. Plagiat murni mengatasnamakan dirinya pada karya orang lain dengan cara mengganti nama. Plagiat murni ini lebih mudah dihindari. Plagiat semi (tidak begitu plagiat), hanya ada beberapa bagian yang mengambil kalimat orang lain, misalnya satu paragraf. Cara menghindari plagiat semi ini adalah dalam membuat tulisan hindari melihat secara total pada buku yang dirujuk. Sebaiknya sebelum membuat tulisan, penulis sudah menelaah buku yang diperlukan sampai paham, lalu menuangkannya dengan redaksi sendiri, dijamin tidak akan sama persis. Ibarat hadis kudsi atau hadis biasa; maknanya dari Allah tapi kata-katanya dari Nabi.
Jika Anda ingin bertanya tentang kekayaan seorang intektual, tanyakanlah berapa buku yang sudah dimiliki dan dibaca? Jika Anda ingin bertanya tentang kekayaan pebisnis, tanyakanlah berapa jumlah uang yang sudah dimiliki? Koleksi buku harus paralel dengan pengembangannya, yaitu tekun dalam membuat tulisan. Penulis adalah pahlawan pena yang dengan karyanya banyak membuat orang menjadi paham arti kehidupan. Salam literasi!

Sumenep, 3 Desember 2014


Jumat, 28 November 2014

PROBLEMA FILOSOFIS DALAM PENDIDIKAN MODERN


Oleh M. Khaliq Shalha




A.    PENDAHULUAN
Dalam kajian dunia Barat, kemunculan teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari konteks peradaban Barat itu sendiri. Banyak literatur yang mengungkapkan tentang hal itu. Secara konvensional, sejarah peradaban Barat dibagi dalam periode: klasik dari Yunani kuno hingga abad ke-5, zaman tengah dari abad ke-6 hingga munculnya periode ketiga, yaitu zaman Renaissance abad ke-15-17 dan abad pencerahan, Aufklarung abad 18 yang merupakan awal dari abad modern hingga saat ini. Dua peristiwa politik yakni keruntuhan Romawi Barat (476 M) dan keruntuhan Romawi Timur (1553 M) dianggap sebagai tonggak pemisah antara zaman klasik dengan zaman tengah dan zaman modern.[1]
Periode pertengahan sering disebut masa kegelapan (the dark ages) karena hampir tidak muncul prestasi besar yang pantas dibanggakan. Secara filosifis, bila pada zaman klasik aspek akal (reason) sama kedudukannya dengan iman, pada pada abad pertengahan aspek iman mendominasi akal. Dimensi ketuhanan (teosentris) menjadi acuan utama dalam hampir segala lini kehidupan. Sedangkan pada era modern, sebaliknya, akal yang mendominasi iman (antroposentris).
Di sisi lain pada abad kegelapan ini, Spanyol sebagai pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang luar biasa dengan pendidikan yang sangat maju dengan dilengkapi perpustakaan yang besar dan lengkap. Kota-kota Cordova, Sevilla Granada, dan Toledo merupakan pusat-pusat pendidikan pada waktu itu. Dengan kemajuan yang luar biasa tersebut menarik para pendeta dan para ilmuan Barat untuk datang minimba ilmu. Lambat laun Barat mulai panin ilmuwan sehingga sampai munculnya gerakan Renaissance (1450-1600).[2] Eropa Tengah pada zaman Renaissance sangat antusias menerima terhadap filsafat dan metode ilmiah sebagaimana dianut oleh Ibn Rush.[3]
Pada masa Renaissance manusia ingin bebas dari ikatan abad pertengahan dan berusaha mencari pedoman baru dalam kebebasan individu. Cita-cita menjadi pendeta diganti dengan cita-cita individu yang diarahkan pada masa jayanya Republik Romawi dan Yunani. Cita-cita inilah yang mendorong untuk mempelajari beberapa macam ilmu pengetahuan. Keinginan untuk kembali ke sejarah masa lalu dan ilmu-ilmu mulai menggeliat. Meraka berasumsi bahwa apa saja yang perlu dibuat pegangan hidup sudah digagas oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Mereka sudah tidak lagi membutuhkan kitab Injil tapi cukup berpegangan pada buku-buku klasik. Gerakan untuk menghasilkan teori pendidikan modern juga sudah mulai dilakukan.
Tulisan ini akan mendeskripsikan tentang kedudukan filsafat dalam penyelenggaraan pendidikan, pertarungan antar filsafat pendidikan di zaman modern, dominasi filsafat Barat di dunia pendidikan modern, dan dampak negatif serta alternatif jalan keluarnya.

B.     KEDUDUKAN FILSAFAT DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
1.      Arti Filsafat
Filsafat menurut pendekatan etimologis berakar dari bahasa Yunani ‘phillein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Arti filsafat secara terminologi ini mempunyai latar belakang yang muncul dari pemikiran Socrates, beberapa abad sebelum Masehi. Socrates berkata bahwa manusia tidak berhak atas kebijaksanaan, karena keterbatasan kemampuan yang dimilikinya. Terhadap kebijaksanaan manusia hanya berhak untuk mencintainya. Pendirian Socrates tersebut sekaligus menunjukkan sikap kritiknya terhadap kaum Sophis yang mengaku memiliki kebijaksanaan.[4] 
Secara sederhana, istilah cinta menunjukkan adanya aksi yang didukung oleh dua pihak. Pihak pertama berperan sebagai subyek dan pihak kedua berperan sebagai obyek. Sedangkan aksi tersebut didorong oleh suatu kecenderungan subyek untuk menyatu dengan obyek. Untuk bisa menyatu dengan obyek, subyek harus mengetahui sifat atau hakikat obyek. Dengan demikian, pengetahuan mengenai obyek menentukan penyatuan subyek dengan obyek. Semakin mendalam pengetahuan subyek maka semakin kuat penyatuannya dengan obyek.
Adapun istilah kebijaksanaan yang akar katanya adalah bijaksana, mendapatkan awalan ke dan akhiran an, menggambarkan pengetahuan hakiki tentang bijaksana. Jadi kebijaksanaan adalah hakikat dari perbuatan bijaksana. Perbuatan bijaksana dikenal sebagai bersifat benar, baik, dan adil. Perbuatan demikian dilahirkan dari dorongan kemauan yang kuat menurut keputusan perenungan akal pikiran, dan atar perimbangan perasaan yang dalam.
Dari pendekatan etimologis tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pengetahuan mengenai pengetahuan. Dapat pula diartikan sebagai akar dari pengetahuan atau pengetahuan terdalam.[5]
Sedangkan pengertian filsafat secara akumulatif adalah pemikiran radikal. Penyelidikan dengan pikiran mendalam atau perenungan mengenai obyek sampai ke akar-akarnya (radix). Maksudnya adalah berpikir mendalam sampai ditemukan unsur-unsur inti yang secara sitematik menjadikan obyek sampai pada hakikat kebenaran hakiki, yaitu kebenaran pada tingkat abstrak-universal yang bersifat mutlak. Ada yang mengatakan bahwa filsafat adalah berpikir ilmiah, tetapi tidak setiap berpikir ilmiah adalah filsafat. Maksudnya, maksudnya metode dan sistem ilmiah kefilsafatan berproses menurut segala segi, sehingga dapat mencapai kebenaran ilmiah kefilsafatan, kebenaran universal, yaitu kebenaran hakiki atau kebenaran absolut (substantif). Sedangkan metode dalam sistem pemikiran ilmiah biasanya berproses menurut sudut pandang tertentu, sehingga akan menghasilkan kebenaran ilmiah (obyektif) yang cakupannya tertentu dan khusus yang bersifat relatif.[6]     
2.      Filsafat Pendidikan dan Peranannya
Bertitik tolak pada pengertian filsafat secara akumulatif di atas jika dikaitkan dengan pemikiran filosofis tentang pendidikan maka selanjutnya dikembangkan menurut keseluruhan segi yang ada di dalam obyek pendidikan. Karena pendidikan adalah masalah manusia, jadi seluruh segi kehidupan manusia akan menjadi tolok ukur pemikiran. Dengan kata lain, pendidikan dipikirkan sejauh hakikat keberadaan manusia.
Manusia sebagai pribadi atau pun sebagai masyarakat, sebagai bangsa dan negara hidup di dalam sosio-budaya. Aktivitas untuk mewariskan dan mengembangkan sosio-budaya tersebut terutama melalui pendidikan. Untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif, menurut Mohammad Noor Syam[7] dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan-landasan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan. Dengan demikian kedua asas tersebut, filosofis dan ilmiah tak dapat dipisahkan, sebab pendidikan sebagai usaha membina dan mewariskan kebudayaan, mengemban satu kewajiban yang luas dan menentukan prestasi suatu bangsa; bahkan tingka sosio-budaya mereka. Sehingga pendidikan bukanlah usaha dan aktivitas spekulatif semata. Pendidikan harus secara fundamental didasarkan atas asas-asas filosofis dan ilmiah yang menjamin pencapaian tujuan, yakni meningkatkan sosio-budaya bahkan martabat bangsa, kewibawaan dan kejayaan negara.
Bidang ilmu pendidikan dengan berbagai cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang secara dinamis. Sedangkan filsafat pendidikan sesuai denga peranannya, merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Kedua bidang di atas harus menjadi pengerahuan dasar (basic knowledge) bagi setiap pelaksana pendidikan. Untuk itu, perlu dipahami secara mendalam arti dan fungsi filsafat pendidikan di samping ilmu pendidikan dengan berbagai cabangnya.
Selanjtunya, proses pendidikan adalah proses perkembagan dengan suatu tujuan. Tujuan proses perkembangan tersebut secara alamiah adalah kedewasaan dan kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah adalah tumbuh menuju ke tingkat kedewasaan dan kematangan. Potensi ini akan berwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, misalnya iklim, makanan, kesehatan, keamanan relatif sesuai dengan kebutuhan manusia.
Apakah makna kedewasaan dan kematangan tersebut bersifat biologis-jasmaniah atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), ataukan secara moral dalam arti bertanggung jawab atau sadar normatif. Realitanya tidak semua manusia berkembang sebagaimana diharapkan. Maka akan lahir dalam pikiran manusia problem-problem beberapa kemungkinan perkembagan potensi manusia itu. Lalu manakah yang lebih menentukan, apakah potensi yang kodrati, faktor-faktor alam sekitar, atau faktor luar khususnya pendidikan.
Adanya aktivitas dan lembaga-lembaga pendidikan merupakan jawaban manusia atas problem itu. Karena diproyeksikan bahwa pendidikan itu mungkin dan mampu mewujudkan potensi manusia sebagai aktualitas, maka pendidikan itu digelar. Timbulnya problem sekaligus solusi alternatifnya adalah bidang pemikiran filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan. Ini berarti bahwa pendidikan adalah pelaksana dari ide-ide filsafat. Dengan kata lain ide filsafat memberikan asas kepastian nilai perenan pendidikan  untuk pembinaan manusia sehingga melahirkan ilmu pendidikan, lembagai pendidikan, dan aktifitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuknya yang lebih terperinci, filsafat pendidikan menjadi ruh dan pedoman asasi pendidikan. 

C.    DOMINASI FILSAFAT BARAT DI DUNIA PENDIDIKAN MODERN
Sebagaimana penulis kupas pada pendahuluan di atas bahwa munculnya teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari konteks peradaban Barat, baik pada periode klasik maupun setelah periode Renaissance. Tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan merupakan ranah praksis di mana berbagai nilai, norma, dan kepentingan bertemu untuk merebut pengaruh. Dalam kondisi seperti ini pendidikan lantas menjadi suatu ladang kompetisi berbagai pandangan, dan tak jarang saling berseberangan dan berkontradiksi.
Ditelisik dari perjalanan sejarah munculnya teori pendidikan, secara teori siklus,[8] Barat menempati posisi strategis setelah nenek moyangnya (Yunani Kuno) meniggalkan warisan luar biasa. Dunia Islam mengalami kemunduran setelah mempergunakan warisan Yunani Kuno dengan baik. Kalangan Barat segera bangun dari tidurnya yang sudah berabad-abad lamanya terpuruk, dengan memberikan kritik dan respon terhadap kondisinya yang menyebabkannya terpuruk di zaman kegelapan. Tawaran teori yang cerdas, pragmatis, menjanjikan, dan rasional yang dibangun di atas filsafat yang mereka anut menjadi laris manis di bursa pasar ide pendidikan hingga saat ini.
M. Jindar Wahyudi mendeskripsikan munculnya teori-teori pendidikan Barat mulai setelah munculnya Renaissance hingga abad 20.[9] Adanya suatu gerakan yang tumbuh pertama kali menghasilkan sebuah teori yang disebut dengan teori Humanisme. Tujuan pendidikan dengan teori ini diarahkan pada pembentukan manusia berani, bebas, dan gembira. Berani berarti manusia percaya pada dirinya sendiri, bukan taat pada kekuasaan Tuhan seperti pada zaman pertengahan. Bebas berarti lepas dari ikatan Gereja dan tradisi. Gembira berarti menunjukkan dirinya pada kenikmatan duniawi bukan pada ukhrawi.
Rasa bebas dan merdeka merupakan ciri khas dari zaman Renaissance yang lambat laun mendorong para ilmuwan melakukan eksprimen-eksprimen dan observasi-observasi sehingga menghasilkan metode ilmiah yang dicetuskan oleh Francis Bacon yang terkenal dengan metode induktif. Perubahan cara-cara berfikir induktif ini berpengaruh pada bidang pendidikan sehingga memunculkan teori baru dalam pendidikan yang disebut teori Realisme. Teori ini berusaha untuk meninggalkan cara-cara dan usaha yang segala sesuatunya dikembalikan pada masa klasik seperti pandangan teori humanisme, akan tetapi Realisme berpegang pada masa lampau dan berorientasi pada masa depan dengan perhatian pada dunia nyata dan realita alam yang ada.
Memasuki abad 18 M muncul usaha-usaha manusia yang segala sesuatunya ditunjukkan pada usaha-usaha pencerahan, Aufklarung terhadap abad kegelapan. Pada abad ini manusia hanya percaya pada akal manusia saja, sehingga abad ini desebut abad Rasionalisme. Pada abad ini paling tidak ada dua teori pendidikan yang satu sama liannya saling mempengaruhi, yaitu teori Empirisme dan terori Rasionalisme.
Empirisme berangapan bahwa sumber dari segala pengetahuan dan kebenaran adalah empiri atau pengalaman. Oleh karena itu, segala sesuatu harus dicari dari bahan-bahan yang telah diperoleh dari pengalaman. Paham ini berasal dari Inggris yang dipelopori oleh Bacon (1561-1626), ajaran ini diperluas oleh kaum empiri bangsa Inggris lainnya seperti John Locke, Berkeley, dan Hume. Sedangkan Rasionalisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika sesuai dengan akal pikiran. Teori ini dipelopori oleh Descartes dari Prancis (1596-1650).
Pada abad ke-19 M peradaban Barat mengalami perkembangan sangat pesat. Pada abad ini muncul teori Liberalisme (Subyektifisme), suatu perkembagan dari Rasionalisme dan Nativisme. Orang ingin bebas, merdeka, dan ingin mengikuti pikirannya sendiri. Pola pikir semacam ini bukan hanya dalam bidang pendidikan, namun juga dalam bidang agama, politik, dan ekonomi.
Memasuki abad ke-20 M muncul teori-teori  dalam pendidikan dan pengajaran sebagai reaksi terhadap Liberalisme tersebut. Teori-teori tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa aliran, yaitu aliran sosial, kepribadian, dan pembaharuan pengajaran. Aliran Sosial muncul sebagai reaksti terhadap teori Subyektifisme (Individualisme) yang terlalu ekstrim dalam mengabaikan unsur-unsur sosial dalam pendidikan.
Aliran Kepribadian memberikan rekasi terhadap pendidikan yang dirasakan terlalu intelektualistik, yang hanya megutamakan pembentukan kecerdasan tanpa mengindahkan pendidikan watak. Sementara itu, aliran Pembaharuan Pengajaran muncul karena ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pengajaran yang sedang berlaku pada waktu itu, melalui aliran ini mereka mulai mengadakan percobaan-percobaan dan mencari jalan baru dalam bidang pengajaran yang dipadukan dalam bidang pisikologi.
Memasuki abad ke-20 M juga muncul teori-teori pendidikan yang menurut Brameld diklasifikasikan menjadi empat aliran: Progressivisme, Esensialisme, Perenealisme, dan Rekonstruksionisme.[10] Progresivisme berpendirian bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menahan atau menggancam keberadaan manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progres). Sedangkan sarana utamanya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman yang dibantu dengan kecerdasan.  Esensialisme berpendirian bahwa pendidikan berfungsi sebagai pemelihara kebudayaan, karena itu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Sedangkan Perenealisme muncul sebagai reaksi terhadap kebudayaan manusia yang sedang krisis. Aliran ini memberikan pemecahan dengan jalan kembali pada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan. Dalam arti, kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas dan nilai dari zaman ke zaman tersebut. Berbeda dengan Perenialisme yang memilih jalan kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan, maka Rekonstruksionisme ingin merombak tatanan hidup kebudayaan yang sama sekali baru, melalui lembaga dan proses pendidikan yang dipandang sebagai suatu kebutuhan mendesak untuk kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang ini.

D.    DAMPAK NEGATIF DAN ALTERNATIF JALAN KELUARNYA
Pendidikan dan kehidupan adalah dua hal yang identik tak terpisahkah, bagaikan air dengan ikannya. Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia. Demikian juga sebailiknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan.
Perkembangan filsafat pendidikan sebagaimana terurai di atas dari waktu ke waktu selalu dinamis. Namun di balik itu, dalam satu sisi memiliki dampak negatif yang cukup serius. Sampai dewasa ini masalah pendidikan tetap menjadi persoalan manusia dan bangsa manapun. Jika pendidikan mengalami krisis, berarti semua orang atau bangsa di dunia ini sedang mengalami krisis kependidikan yang pasti menyebabkan krisis multi dimensi.  Bila disimak secara saksama masalah pendidikan dalam masyarakat, tampak jelas bahwa komersialisasi pendidikan berbanding lurus dengan krisis moral. Hal ini terjadi karena ada pendangkalan orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik ini melekat mulai dari titik kebijakan hingga pada praktik penyelenggaraan pendidikan.
Beberapa abad yang lalu, di Eropa mengalir dua arus revolusi, yaitu revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Prancis. Ketika dua arus revolusi ini bertemu, terbentuklah suatu sistem kekuasaan politik kolonial dan sistem perekonomian kapitalistik. Secara revolusioner pula, kedua sistem itu memfasilitasi potensi nafsu manusia baik secara individual maupun sosial, yang berkembang menjadi watak dan perilaku serakah.[11]
Revolusi industri tersebut mempengaruhi terhadap aliran filsafat pendidikan, misalnya Progressivisme.[12] Era industrialisasi pengaruhnya sangat besar atas sikap manusia terutama pada masalah-masalah kekuatan manusia atas alam dalam rangka eksplorasi alam (bumi) dan penggunaan tenaga mesin untuk produksi. Secara psikologis memberikan dasar kepercayaan pada diri sendiri di mana manusia mempu menguasai alam. Manusia mulai sensitif atas kebebasan dan kemerdekaan dalam sistem ekonomi yang didasarkan pada kompetisi dan persaingan bebas. Ujung-ujungnya akan menciptakan kepribadian manusia ke arah serakah sebagaimana disebut di atas sehingga terciptalah apa yang disebut dehumanisasi dan demoralisasi, sehingga sekarang pun masih dirasakan.
Bertitik tolak dari problematika tersebut maka perlu adanya alternatif jalan keluarnya, yaitu salah satunya merubah orientasi pendidikan. Penulis menawarkan sebuah solusinya, yaitu Ilmu Pendidikan Profetik yang diproyeksikan mampu memberikan keseimbangan bagi manusia dalam menjalankan hidupnya.
Ilmu Pendidikan Profetik penulis derivasi dari gagasan Kuntowijoyo, yaitu Ilmu Sosial Profetik. Gagasan ini muncul untuk transformasi sosial dan memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak sekedar merubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profeti tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang  diidamkan masyarakatnya. Perubahan tersebut didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110, surat Ali Imran :[13]
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ .
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf (humanisasi), dan mencegah dari yang munkar (liberasi), dan beriman kepada Allah (transendensi).
Tiga muatan nilai inilah menurut Kuntowijoyo yang mengkateristikkan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan. Gagasan ini menurutnya diilhami oleh Muhammad Iqbal, khususnya ketika Iqbal bercerita tentang peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, kata Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial , untuk menggarakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai sesuatu transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.[14]
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa era sekarang sudah mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami obyektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politk dan mesin-mesin pasar. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi. Menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa, ingin bebas secara bersama-sama dari belenggu-belenggu yang dibangun sendiri. Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kehidupan ini sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, matearilisme. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.[15]
Gagasan cemerlang inilah sepatutnya kita jadikan sebagai paradigma untuk membangun sebuah orientasi pendidikan ke arah humanisasi, liberasi, dan transendensi.

E.     PENUTUP
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif, dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan-landasan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.
Munculnya teori-teori pendidikan Barat dimulai setelah munculnya Renaissance hingga abad 20
Munculnya teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari konteks pandangan filsafat Barat mulai setelah munculnya Renaissance hingga abad ini masih mendominasi dunia pendidikan.
Bila disimak secara saksama masalah pendidikan dalam masyarakat, tampak jelas bahwa komersialisasi pendidikan berbanding lurus dengan dehumanisasi dan demoralisasi dengan landasan fisafat Progressivisme. Hal ini terjadi karena ada pendangkalan orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik ini melekat mulai dari titik kebijakan hingga pada praktik penyelenggaraan pendidikan. Secara revolusioner pula, kedua sistem itu memfasilitasi potensi nafsu manusia baik secara individual maupun sosial, yang berkembang menjadi watak dan perilaku serakah. Solusinya adalah perlu merubah orientasi pendidikan. Solusi yang penulis tawarkan adalah ilmu pendidikan profetik yang memiliki dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi.

*****

Sumenep, 28 November 2014



DAFTAR PUSTAKA


Azhar, Muhammad, Filsafat Politi: Perbandingan antara Islam dan Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Mustofa, A., Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. 
Shofan, Moh., Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dekotomi Pendidikan. Jogjakarta: IRCiSoD, 2004.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Suhartono, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Wahyudi, M. Jindar, Nalar Pendidikan Qur’ani. Yogyakarta: 2006.
Zubaedi dkk., Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
*****




[1] Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat. (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996), 29-30, M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani. (Yogyakarta: 2006), 13.
[2] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani, 14.
[3] A. Mustofa, Filsafat Islam. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), 287. 
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 37.
[5] Ibid., 37-38.
[6] Ibid., 47-48.
[7] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 39.
[8] Teori Siklus berendapat bahwa sejarah itu bergerak melingkar. Setiap peristiwa historis akan akan selalu berulang kembali. Semboyan terkenal dalam teori ini adalah I’histoire se repete, artinya sejarah itu berulang. Apa yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Teori Siklus kadang juga disebut teori Biologis yaitu bahwa kebudayaan itu memiliki mempunyai fase-fase umur seperti halnya manusia, yaitu masa kanak-kanak, masa remaja dan masa dewasa. Teori Siklus juga disebut Teori Lingkaran Abadi (eternal return), bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam peristiwa sejarah. Segala sesuatunya akan terus berulang secara abadi. Menurut Moh. Ali, sejarah dalam teori Siklus digerakkan oleh sesuatu kekuatan gaib yang disebut fatum (qadar atau nasib). Baca Toto Suhatono, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003), 92-93.
[9] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani, 14-18.
[10] Mohammad Noor Syam, 224.
[11] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 66.
[12] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila., 231.
[13] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. (Bandung: Mizan) 288.
[14] Ibid., 289
[15] Ibid