Senin, 21 September 2020

SUNNAH NABI DALAM BERHUMOR

 Oleh: M. Khaliq Shalha

M. Zaim Muttaqin

Humor termasuk salah satu kebutuhan hidup umat manusia sepanjang masa untuk menyegarkan suasana, memecahkan keseriusan, melenturkan ketegangan, dan menghapus duka lara serta nestapa yang sedang melanda hati.  

Di samping itu pula, humor sebagai metode efektif dalam berdakwah yang sering kali digunakan oleh para penceramah di pelosok negeri untuk memancing antusiasme masyarakat dalam menyimak ceramah yang disampaikan agar tidak terkesan monoton dan membosankan. Hal semacam itu kerap disisipkan oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dalam ceramahnya, bahkan dalam setiap kesempatan, baik di dalam ataupun di luar negeri. Patut kiranya jika guru bangsa itu saya sebut sebagai Kiai Humor Indonesia karena sekian banyak kelakar beliau yang sangat populer yang bila kita menyimaknya membuat kita ngakak terhibur dan tercerahkan.


Humor di kalangan masyarakat pesantren dan NU bukan sekadar menjadi media penyegar suasana, pemecah kebuntuan pikiran, namun juga menjadi dalil (argumentasi) untuk menyangkal dalil-dalil lawan bicaranya sehingga penggunaannya kadang digelontorkan dengan serius, bukan sekadar guyonan belaka sehingga eksistensinya menjadi salah satu identitas mereka selain sarung dan kopiah.

Dalam buku Ulama Bercanda, Santri Tertawa yang ditulis Hamzah Sahal, dituturkan bahwa KH. Abdul Wahab Hasbullah--salah satu pendiri NU--terkenal pandai berkelakar. Ia bukan saja ingin melucu, tapi juga menjadikan humor sebagai dalil. Mbah Wahab, yang terkenal longgar dalam hukum fiqihnya sering diprotes kiai-kiai, ditanya dalilnya kenapa melakukan ini dan itu. Atas protes atau pertanyaan-pertanyaan yang susah dijawab, beliau hanya menjawab, “Kayak Muhammadiyah saja tanya dalil.” Kiai-kiai hanya tertawa mendengar jawaban tersebut, tapi tidak berani bertanya lagi.

Sampai di sini, dari judul tulisan di atas bisa jadi Anda juga bertanya, "Apa dalilnya bahwa berhumor termasuk sunnah Nabi? Satu pertanyaan itu saya jawab dengan dua jawaban. Pertama, meminjam jawabannya Mbah Wahab, “Kayak Muhammadiyah saja tanya dalil.”

Kedua, mari kita amati dalil di bawah ini. Hadits pertama berikut dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn Majah, sedangkan yang kedua dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi yang redaksi dari dua hadits dimaksud saya kutip dari kitab Sunan Abi Daud.

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَلِى أَخٌ صَغِيرٌ يُكْنَى أَبَا عُمَيْرٍ وَكَانَ لَهُ نُغَرٌ يَلْعَبُ بِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ « مَا شَأْنُهُ ». قَالُوا مَاتَ نُغَرُهُ فَقَالَ « يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ».


Anas bin Malik RA berkata, "Rasulullah SAW pernah berkunjung ke tempat kami, sementara saya punya adik yang bergelar Abu Umair. Dia (Abu Umair) punya hobi bermain dengan burung. Suatu ketika burung itu mati sehingga perasaan Abu Umair sedih. Rasulullah masuk dan berkata (kepada keluargaku), 'Mengapa dia bersedih?' Mereka menjawab, 'Burungnya mati.' Maka beliau berkata (menghibur), 'Wahai Abu Umair, apa yang telah diperbuat oleh si burung kecil itu?'"  

Ucapan Nabi, "Apa yang telah diperbuat oleh si burung kecil itu?" merupakan sebuah kelakar yang dimaksudkan untuk menghibur jiwa anak yang sedang murung karena burung kesukaannya telah tewas. Begitulah kebijaksanaan beliau memilih bahasa guyonan dalam menghibur anak yang sedang bersedih yang ada di hadapan beliau.

 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ احْمِلْنِى. قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ ». قَالَ وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلاَّ النُّوقُ ».


Diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik bahwa ada seseorang pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata (memohon kepadanya), "Wahai Rasulullah, berilah aku tumpangan." Nabi SAW menjawab, "Sesungguhnya kami akan mengendarakanmu ke atas seekor anak unta." Lalu orang itu berkata, "Apa yang aku dapat perbuat dengan anak unta itu?" Nabi menjawab (dengan maksud bercanda), "Bukankah unta itu anak dari induk unta?" 

Sikap humoris Nabi SAW yang tersirat dalam hadits tersebut memahamkan orang itu bahwa seekor unta sekuat apa pun dalam membawa muatan tetap saja ia seekor anak unta dari induk unta. Jawaban itu logis dan humoristis.

Dalam mencerna kalimat humor kadang membutuhkan logika yang mumpuni sehingga ditemukan makna humoristisnya. Humor seringkali lahir dari orang-orang yang tingkat intelektualitasnya hebat, semacam Gus Dur itu. Saya berasumsi, semakin berwawasan seseorang mestinya semakin kaya akan daya ledak humornya.

Untuk memperkaya landasan berhumor sebagai bagian dari sunnah Nabi, saya akan kemukakan sebuah hadits yang dikutip oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Munabbihat 'ala al-Isti'dat li Yaumil Ma'ad yang disyarahi oleh Imam Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya Nashaihul 'Ibad.

 

أَحَبُّ العِبَادِ إِلَى اللهِ تعالى أَنْفَعُ  النَّاسِ  لِلنَّاسِ ، وَأَفْضَلُ الأَعْمَالِ إِدْخَالُ السُرُوْرِ عَلَى قَلْبِ المُؤْمِنِ ، يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ  كَرْبًا  أَوْ يَقْضِي لَهُ دَيْنًا. 

Para hamba yang paling Allah cintai adalah manusia yang paling berguna bagi sesamanya. Dan, perbuatan yang paling utama adalah memasukkan kebahagiaan pada hati orang mukmin dengan menghilangkan rasa lapar darinya, menghibur pikiran galau, atau membayari hutangnya.  

Manfaat humor bagi sesama yang sedang dirundung nestapa adalah mampu menghiburnya hingga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan beban pikiran yang menderanya. Di situlah salah satu pentingnya humor dalam kehidupan yang masuk dalam kategori sunnah Nabi.

***

Ilahi, Engkalah tujuanku. Rida-Mu kucari. Anugerahkan kepadaku cinta dan makrifat-Mu. Besar harapan pula semoga kami meraih syafaat Nabi-Mu. Amin.  

Wallah a'lam bish shawab.

***

Sumenep, 21 September 2020

Sabtu, 19 September 2020

KEBAIKAN TAK TERTANDINGI

 Oleh: M. Khaliq Shalha


Relasi pokok manusia dalam menjalankan ajaran agamanya ada dua, yakni berhubungan dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan dengan sesama (hablun minannas). Dua tugas pokok ini merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jika salah satunya ada kesenjengan, berarti dalam diri umat beragama terjadi keeroran. Beriman dan beramal saleh harus berjalan seiya sekata, sebagaimana sekian banyak ayat al-Qur'an dan hadits menggandengkan saleh ritual dan saleh sosial.

Semakin dekat seseorang dengan Tuhannya, semakin berguna pulalah ia pada sesamanya. Atau semakin manusiawi tindakan seseorang semakin dekatlah dirinya dengan Sang Ilahi karena keduanya tidak saling bertentangan tapi saling menguatkan dan berjalan secara padu.  

Imam Ibn Hajar al-Asqalani mengutip sebuah hadits dalam kitabnya, al-Munabbihat 'ala al-Isti'dad li Yaumil Ma'ad berkaitan dengan perkara pokok dalam beragama yang keutamaannya tak tertandingi sebagai berikut.

 

خَصْلَتَانِ لَا شَيْئَ أَفْضَلُ مِنْهُمَا اَلْإِمَانُ بِاللهِ وَالنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ .   

Dua perkara keutamaannya tak tertandingi, yaitu beriman kepada Allah dan bermanfaat bagi kaum muslimin.

Iman sebagai pondasi utama manusia dalam membangun segala tindakan amal salehnya. Oleh karena itu, eksistensinya harus selalu dijaga dengan baik. Sedangkan memberikan kemaslahatan (daya guna, manfaat) bagi sesama ragamnya banyak. Dalam hal ini Imam Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashaihul 'Ibad--sebagai syarah dari kitab karya Imam Ibn Hajar al-Asqalani tersebut--menafsiri an-naf'u lil muslimin (bermanfaat bagi kaum muslimin) dalam hadits tersebut berupa ucapan, jabatan, harta, atau badan.

Mari kita jabarkan ragam daya guna itu untuk sesama. Pertama, ucapan. Dalam kehidupan sosial komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan. Kita bisa membantu orang lain lewat kata-kata yang berguna. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kompetensi diplomasi dan retorika yang mumpuni karena dengan ucapan yang benar dan baik serta padat makna kita bisa menyampaikan kebenaran yang mudah diterima oleh orang lain.

Dalam masalah kompetensi berbicara, Rasulullah SAW memberikan dua alternatif jitu pada kita, yaitu fal yaqul khairan, berbicaralah dengan baik, aw liyashmut, atau diam saja jika tidak bisa. Tentu, memilih alternatif diam termasuk golongan orang yang lemah, namun masih bisa selamat ketimbang tidak bisa menahan diri untuk berbica yang berekses negatif, seperti berbicara bidang ilmu yang bukan bidangnya hingga menyesatkan orang lain, ujaran kebencian, hoaks (bohong), adu dompa, memfitnah, menggibah, dan sejenisnya. Manusia bisa selamat apabila mampu menjaga lisannya. Dalam konteks dunia maya sekarang di media sosial (medsos) ungkapan itu bisa dikembangkan menjadi manusia bisa selamat apabila mampu menjaga jari-jarinya.

Kedua, jabatan. Dengan jabatannya dalam semua skopnya, seseorang akan leluasa menebarkan manfaat untuk orang banyak. Kebijakan yang dibuat akan mampu mengangkat keterbelakangan orang-orang yang dipimpinnya dalam banyak hal. Pemimpin adalah pengayom dan mengemban penderitaan rakyat. Sejatinya para pemimpin dalam membuat kebijakan dan bertindak demi kemaslahan orang-orang yang dipimpinnya. Sejalan dengan kaidah fiqih yang sangat populer berikut ini.

 

تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ .

Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.

 

Dalam kitab al-Asybah wa an-Nazhair karya Imam Suyuthi dituturkan bahwa kaidah tersebut berasal dari ucapan Imam Syafi’i yang bersumber pula dari ucapan Umar bin Khatthab.

مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ .

Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim. (Imam Syafi'i).

 

اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَااسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ .

Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan, apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya (menahan diri padanya). (Sahabat Umar bin Khatthab).

 

Kita berharap, semoga jabatan publik yang diperebutkan oleh banyak orang dewasa ini didasari oleh keinginan tulus mereka demi mewujudkan kemaslahatan umat. Tipe pemimpin yang adil (baik) akan mendapat perlingungan khusus dari Allah kelak di Hari Mahsyar di mana kala itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah SWT.

Ketiga, harta. Dengan hartanya, seseorang akan bisa berbagi manfaat buat orang lain yang membutuhkan. Sudah menjadi rumus kehidupan dunia bahwa ada yang kaya dan ada yang miskin. Adanya kesenjangan itu sungguh memiliki hikmah yang besar sehingga kehidupan ini bisa berjalan dengan dinamis. Orang kaya patut bersyukur karena ada orang miskin sehingga menjadi objek ladang amal. Demikian pula orang miskin layak berterima kasih atas uluran tangan orang kaya sehingga beban hidupnya dapat terbantu. Adanya kewajiban orang kaya untuk membantu si miskin adalah untuk mempersempit kesenjangan itu, bukan membuat yang kaya makin kaya yang miskin makin melarat.

Ada barometer tersendiri masing-masing di antara keduanya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa bagi orang kaya mengamalkan sabda: tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima). Dengan demikian, orang yang berharta termotivasi untuk menginfakkan kekayaannya dan tidak terjangkiti penyakit kikir yang sangat tercela. Sedangkan orang yang miskin mengamalkan sabda Nabi: pandanglah orang yang ada di bawahmu (lebih miskin) dan jangan memandang orang yang ada di atasmu (lebih kaya). Dengan begitu, akan melahirkan sifat kanaah dan tidak haus harta, karena jika haus harta ibarat orang yang meminum air laut. Semakin diminun ia semakin haus.


Perlu diingat. Kaya dan miskin dapat dikatan tidak ada tolok ukur yang jelas. Hal itu kembali kepada rasa masing-masing individu. Dengan demikian, tidak perlu menunggu kaya seperti orang-orang untuk mendermakan hartanya. Setiap orang memiliki peluang untuk menebarkan manfaat bagi orang lain dengan hartanya menurut kadar kemampuan masing-masing.

Keempat, badan. Dengan badan atau fisik yang kuat akan bisa mewujudkan manfaat untuk orang lain. Peradadan bisa dibangun. Fisik adalah aset yang sangat berharga untuk melahirkan karya yang berguna bagi kehidupan. Untuk melatih produktivitas badan dalam menggarap kemanfaatan, kita harus membiasan diri berbuat kebaikan mulai dari perkara kebaikan recehan yang remeh temeh, misalnya menyingkirkan duri  atau rintangan di tengah jalan, membuang sampah pada tempatnya. Jika kita peduli pada kebaikan kecil sangat dimungkinkan kita bisa mampu dan antusias untuk berbuat kebaikan yang lebih besar.

Nah, agenda mulia hidup kita yang utama adalah memelihara keimanan dan menebar manfaat buat sesama. Kedua-duanya harus kita raih sabaik mungkin. Dari agenda itu, pada akhirnya hanya rida Allah yang kita harap dan syafaat Rasulullah yang kita dambakan.

Wallah a'lam bish shawab.

***

Sumenep, 19 September 2020

Senin, 14 September 2020

KESUKSESAN ANAK DIPENGARUHI TIRAKAT ORANG TUA

Oleh: M. Khaliq Shalha

 

Dalam Islam, tidak ada dosa warisan, tapi gen atau watak orang tua memiliki pengaruh terhadap karakter anak. Demikian pula, daya upaya--meminjam istilah tasawuf pesantren disebut tirakat--orang tua sedikit banyak mempengaruhi kesuksesan masa depan anak. Dengan demikian, keberkahan investasi kebaikan orang tua akan terwariskan kepada anak, baik orang tua tersebut mengkhususkan tirakatnya kepada anaknya atau tidak, misalnya hanya semata-mata berbuat baik.

Dari paragraf awal di atas ada dua hal yang perlu saya jabarkan lebih detil dalam tulisan sederhana ini, yaitu tirakat dan kesuksesan. Secara bahasa tirakat bermakna jalan (thariqah), metode atau cara yang ditempuh untuk menggapai sesuatu. Tirakat yang dimaksudkan di sini bukan sekadar bermakna meditasi di tempat sepi dengan beragam wirid yang dibaca untuk menunggu sebuah keajaiban dari langit, tapi mencakup banyak pola laku yang ditempuh manusia untuk meraih rida Allah hingga bisa memantik munculnya karamah dari-Nya. Salah satu contohya; istikamah menjalankan puasa sunnah, shalat tahajud, mengkhatamkan Al-Qur'an, bersedekah, mendidik dan mengayomi para santri dengan telaten, berjasa kepada umat, memperjuangkan hak-hak manusia dan sebagainya.

Kesuksesan banyak ragamnya. Dalam pandangan masyarakat umum, seseorang dikatakan memperoleh kesuksesan apabila yang bersangkutan meraih materi, pangkat, jabatan bergengsi, berpendidikan tinggi, karir mapan, mampu menjalankan amanah dengan baik, punya wibawa di hadapan publik, bahagia bersama keluarga dan sejenisnya. Makna kesuksesan yang lebih sederhana adalah tercapainya kesejahteraan hidup lahir batin.

Orang biasa yang memiliki karir melejit seringkali membuat orang lain dibuat berdecak kagum. Kok bisa? Apa rahasianya? Padahal ia orang biasa, bukan keturunan bangsawan dan bukan pula anaknya cendekiawan! Jika seseorang memiliki kesuksesan dengan latar keluarga orang besar, perlu juga dipertanyakan, mengapa dia juga bisa menjadi orang besar, padahal setiap anak terlahir ke dunia dengan kondisi yang sama, sama-sama telanjang, sama-sama tidak tahu apa-apa, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl [16]: 78:

 

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Dari itulah, perlu kita mencari tahu rahasia di balik kesuksesan seseorang untuk menemukan puspa ragam hikmah, apa kira-kira jerih payah tirakat orang tuanya sehingga bisa mendongkrak kesuksesan anak.

Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim mengutip sebuah hikayat tentang Imam Halwani dengan latar ekonomi di bawah garis kemiskinan. Ia kesehariannya berjualan manisan (halwa). Produk manisan yang ia hasilnyan tidak dijual semua, tapi ia masih menyisakan untuk disedekahkan kepada ahli fiqih dengan harapan berkah sedekahnya dan doa para ahli fiqih mengalir deras kepada anaknya kelak. Ketika Imam Halwani mensedekahkan manisan, ia memohon kepada para ahli fiqih, "Mohon doamu sekalian untuk anakku."

Apa yang terjadi pada anaknya dengan tirakat Imam Halwani tersebut? Berkat kedermawanan, keyakinan dan ketawaduaannya, anaknya meraih apa yang diraih oleh Imam Halwani. Imam Halwani termasuk orang yang rajin mengkaji ilmu. Dengan hartanya ia membelanjakannya untuk mengoleksi banyak kitab kemudian ia juga aktif menulis sehingga ia terbantu untuk sukses belajar sampai menjadi pakar.  

Hikayat lain yang dikupas pula oleh Syekh az-Zarnuji adalah perkataan gurunya, Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin mengutip perkataan para gurunya bahwa ada seorang guru memiliki anak yang alim. Kealiman anak tersebut berkat jasa orang tuanya karena selalu berupaya untuk mencetak para muridnya alim Al-Qur'an.


Hikayat pertama di atas bisa kita tarik lebih dekat pada realitas masyarakat kita masa kini. Orang-orang kampung bisa dibilang lumrah bersedekah demi kepekaan anaknya dalam menyerap pendidikan di bangku madrasah, surau atau masjid. Sedekah itu biasanya dikeluarkan untuk guru ngajinya setiap bulan pada hari kelahirannya. Sedekah itu bisa berbentuk beras dan telur bahkan kadang ayam kampung. Upaya seperti ini tergolong selamatan untuk anak dengan istilah yang lebih populer jailanian. Kebanyakan orang tua melakukan hal demikian apabila anaknya sulit berkembang dalam mengenyam pendidikan karena otaknya lemot dalam menerima sinyal pendidikan dari gurunya. Untuk mempercanggih kepekaan memori otak anaknya maka orang tua menginstalkan perangkat lunak berupa berkah sedekah. Sependek pengamatan saya, cara seperti ini terbukti manjur secara signifikan. Prestasi anak yang asalnya nyaris di bawah standar akhirnya menjadi menonjol ketimbang teman-temannya yang lain.

Kemudian, hikayat kedua di atas dapat pula kita tarik pada realita masyarakat pesantren. Rata-rata putra putri kiai di pesantren prestasinya bagus. Pakar dalam banyak bidang. Apa rahasianya? Sebelum saya bongkar rahasianya, terlebih dahulu saya menyampaikan pengamatan dan penilaian saya terhadap putra putri kiai di pesantren. Banyak--oknum--di antara putra putri kiai sewaktu masih anak-anak bisa dibilang cara belajarnya biasa-biasa saja bahkan banyak yang malas, nakal, mbeling dan kadang menyebalkan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terkadang mengejutkan. Santri-santri dibuat decak kagum. Prestasinya melejit. Belajar tidak butuh waktu lama-lama. Bahkan sebagian putra kiai bisa hapal secara progresif nazaman Alfiah Ibn Malik yang seribu bit itu dalam waktu sekejab. Tak tanggung-tanggung hapal luar kepala: dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan. Menanggapi hal ini para santri mungkin bisa berkata secara diplomatis: maklum, putra kiai!

Ketimbang sekadar tanggapan diplomatis itu, perlu kita buka rahasia di balik kehebatan putra putri kiai itu. Rahasianya adalah karena jasa-jasa orang tuanya kepada para santri yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang. Bagaimana santri-santri itu menjadi orang yang berguna kelak setelah pulang ke masyarakat. Jadi, hari-hari para kiai di pesantren itu dipenuhi dengan pikiran dan usaha-usaha tanpa kenal lelah untuk mengantarkan para santri menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Bisa jadi anaknya sendiri kurang diperhatikan gara-gara memperjuangkan para santrinya. Karena Allah tidak pernah buta terhadap kebaikan seseorang, maka Allah tentu memberikan karamah kepada putra putri kiai tersebut yang salah satu bentuknya membukakan jalan dalam meraih prestasi yang gemilang dengan mudah tanpa diduga-duga. Peribahasa Arab mengatakan, "Man yahshud yazra' (Barang siapa menanam maka ia akan memanen)."

Agar lebih menukik pada anda tentang korelasi kesuksesan anak karena tirakat orang tua, saya akan kemukakan kisah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengantarkannya menjadi Presiden Republik Indonesia karena tirakat sang ayah, KH. Abdul Wahid Hasyim.


Alkisah, dalam buku Bukti-bukti Gus Dur Wali yang ditulis oleh Ahmad Mukafi Niam & Syaifullah Amin di dalamnya diulas bahwa suatu ketika KH. Hasib Wahab, Pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang pernah mendapat cerita dari ayahnya, KH. Wahab Hasbullah tentang KH. Wahid Hasyim yang memiliki cita-cita besar menjadi pemimpin bangsa, entah menjadi presiden atau perdana menteri.

Dalam mewujudkan cita-cita itu, ia diminta oleh seorang kiai sepuh untuk melakukan sebuah tirakat berupa upaya-upaya spiritual (riyadhah). Riyadhah yang harus dijalani adalah melakukan puasa selama lima tahun penuh, di luar hari tasyrik atau hari-hari besar yang dilarang menjalankan puasa.

Kemudian, KH. Wahid Hasyim menjalani riyadhah itu dengan baik. Setiap hari ia melakukan puasa, apa pun kondisinya. Bahkan ia sampai berpura-pura makan bersama tamu untuk menghormatinya. Ketika mengalami kecelakaan di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 di usia 38 tahun, puasa itu sudah dijalaninya selama 3 tahun 8 bulan.

Pada saat meninggal dunia, ia belum sempat menyelesaikan riyadhah-nya atau mencapai cita-citanya. Akan tetapi, putra pertamanya, KH. Abdurrahman Wahid telah berhasil mewujudkan cita-cita orang tuanya dan menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia.

Dalam buku itu dituturkan pula bahwa pada suatu kesempatan di istana, ketika Gus Dur masih menjadi presiden, Gus Hasib pernah mengkonfirmasi kebenaran cerita itu dari Mbah Wahab tersebut, dan Gus Dur mengiyakan.

Wallah a'lam bish shawab.

 ***

Sumenep, 14 September 2020

Jumat, 11 September 2020

SIKLUS KEBUDAYAAN: Dari Gaya Baru Kembali ke Gaya Lama

 Oleh: M. Khaliq Shalha



Siklus merupakan putaran waktu yang di dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur. Begitulah makna siklus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam bahasa teologi (ilmu tauhid) disebut daur, sedangkan dalam bahasa ekonomi kreatif disebut daur ulang.

Dari masa ke masa manusia tidak pernah merasakan kepuasan dalam pencapaian peradabannya sehingga senantiasa berkreasi untuk meraih peradaban yang lebih maju. Dalam laju kebudayaan yang manusia bangun, mereka ternyata mengalami titik jenuh sehingga kerap kali ingin kembali pada budaya lama yang sudah sekian waktu mereka tinggalkan untuk bisa romantisme.

Dalam hal tersebut dapat kita kemukakan beberapa contoh. Pertama, jenis pakaian pelajar. Bagi murid-murid madrasah formal swasta di kampung  tahun 1990-an mereka mengenakan sarung dan sandal sebagaimana lazimnya pakaian para santri sehari-hari di pondok pesantren. Setelah tahun itu para pengelola pendidikan madrasah punya inisiatif untuk mengubah pakaian para murid, yaitu mengkonversi sarung dan sandal ke seragam celana dan sepatu yang di antara pertimbangannya agar murid-murid madrasah swasta terkesan lebih rapi dan maju sebagaimana sekolah-sekolah negeri, juga menghilangkan kesan kampungan, kolot dan tertinggal dari peradaban modern dalam ranah pendidikan. Aganda perubahan ini berjalan lancar hingga kini.

Namun, dewasa ini timbul gejala publik bahwa beberapa pengelola madrasah, khususnya yang berbasis pesantren, mulai merekonstruksi kebijakannya untuk kembali ke pengaturan awal dengan mengkonversi celana sepatu ke sarung sandal. Inisiatif semacam ini menurut saya dilatari beberapa hal. Di samping bosan dengan budaya baru itu yang dulu diadobsi karena keterpaksaan keadaan, juga ada alasan lain yang lebih krusial, yaitu mengembalikan spirit kesalehan para anak didik lewat simbol pakaian setelah lama tercerabut dari kearifan lokal hingga diharapkan moralitas dan spiritualitas mereka lebih bisa terjaga. Dan, dewasa ini pola pikir masyarakat sudah semakin maju bahwa dalam mengapresiasi potensi dan prestasi bukan diukur dari celana dan sepatu, tapi dari kualitas manusianya. Lagi-lagi pakaian sarung sudah tidak dianggap pakaian orang-orang kolot yang ketinggalan zaman, tapi sebagai simbol kesalehan dan kualitas diri. Jangan sampai terlupakan pula bahwa kaum bersarung banyak memberikan kontribusi dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, kaum bersarung sudah saatnya tampil ke publik untuk mengisi tempat-tempat strategis dalam membangun kemaslahat umat, termasuk di istana negara.

Akhir-akhir ini bukan hanya di kalangan pelajar madrasah yang kembali menggunakan sarung pada hari-hari tertertu, tapi juga sebagian para petinggi civitas akademika kampus Islam bergengsi mulai mengenakan sarung pada hari-hari tertentu, misalnya di Universitas Islam Malang (UNISMA), Jawa Timur. Waktu zaman saya kuliah betapa tabunnya jika ada orang kampus mengenakan sarung. Bisa jadi akan dijadikan bahan olokan rekannya atau akan ditegur oleh pihak pengelola kampus.


Kedua
, model pakaian. Sebagai contoh, model rok yang digunakan para murid perempuan. Dulu pernah ngetren model rok cimisan, yaitu potongan rok yang begitu longgar hingga para murid dapat leluasa berjalan menuju madrasah. Setelah itu digeser oleh model rok meksi, yaitu model rok  sepan di mana ruang geraknya sangat sempit sehingga penggunanya tidak bisa leluasa ketika berjalan. Umpama si murid yang bersangkutan dikejar orang gila tentu ia sulit untuk berlari kencang. Dewasa ini sudah kembali ke model lama itu berupa rok cimisan.

Ketiga, dari desa ke kota lalu dari kota ke desa. Di negara berkembang yang sedang membangun dalam berbagai bidang seperti Indonesia tentu mayoritas rakyat berharap negaranya berkemajuan dalam berbagai sektor. Yang menjadi titik kemajuan tentu di kota-kota besar semisal Jakarta dan Surabaya sebagai pusat segala sektor sehingga dalam ilmu sosial ada sebutan migrasi (perpindahan) penduduk yang diistilahkan dengan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota karena kota memiliki daya tarik yang kuat, sedangkan desa memiliki daya dorong penduduknya untuk hijrah. Lagi-lagi terjadi kebosanan budaya yang dialami masyarakat kota yang selama ini diidentikkan dengan kemodernan sehingga sebagian mereka mendambakan suasa desa bisa terangkat ke kota. Lalu, apa yang dilakukan mereka? Sebagian mereka ada yang mendirikan restoran di kota besar--misalnya di Surabaya--dengan suasana pedesaan yang diberi nama Dapur Desa.

Keempat, model kendaraan. Zaman dulu ada motor merek Vespa dengan bentuk yang unik. Dalam perkembangan motor di Indonesia, Vespa tersebut bisa dibilang ketinggalan zaman, baik dalam bentuk maupun kecepatannya sehingga masuk barang antik dan kadang orang menyebutnya motor jadul (jaman doeloe, zaman dulu). Dewasa ini motor jadul itu dirindukan kembali kehadirannya oleh para konsumen setelah bosan dengan model motor baru yang melimpah ruah. Produsen sangat peka dengan selera konsumen sehingga menciptakan Scoopy besutan Honda sebagai solusi kebosanan tersebut. Scoopy bisa disebut sebagai "reinkarnasi" dari Vespa dari segi modelnya.

Kelima, mode kendaraan. Tahun 1990-an dan sebelumnya sepeda ontel atau sepeda gunung menjadi kendaraan primadona rakyat. Sekitar tahun 1997 saya merasakan sendiri gowes Pragaan-Pamekasan (pulang-pergi, tepatnya pergi-pulang) dengan menempuh jarak sekitar 50 kilometer sekitar 4 jam perjalanan. Motor dan mobil kala masih tergolong elite sehingga hanya orang-orang yang beruang tebal sajalah yang memilikinya. Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan meningkatnya perekonomian masyarakat sehingga mereka berbondong-bondong membeli kendaraan bermotor. Sekarang, motor atau mobil bukan kendaraan ilite lagi, malah sebaliknya, sebagian masyarakat kantoran dan sejenisnya yang dilanda kestresan dengan tensi cukup tinggi mulai bosan dengan suana kendaraan motor atau mobil sehingga dalam momen tertentu mereka kembali ke budaya lama dengan gowes bersama sepeda ontelnya.

Begitulah siklus kebudayaan sesuai dengan karakteristik psikologi manusia, yaitu meresa bosan dan jenuh dengan capaian peradabannya sehingga salah satu solusinya meninggalkan budaya baru lalu kembali ke budaya lama dengan kadar tertentu. 

Manusia sebagai makhluk sosial, sedikit banyak terpengaruh dengan siklus budaya tertentu di sekitarnya yang sedang menjadi tren. Ada sebuah prinsip yang penting menjadi pegangan bagi manusia yang berbudaya dan berperadaban agar merasa nyaman dengan kondisi siklus budaya yang terjadi dan tak latah begitu saja tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatannya, yaitu pola pikir proporsional berdasarkan ushul fiqih ala ulama Nusantara, khususnya kalangan nahdliyyin berikut ini.


اَلْمُحَافَظَةُ عَلىَ الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ .

Melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lehih baik.

***

Wallah a'lam bish shawab.

 

Sumenep, 11 September 2020

Jumat, 24 April 2020

MENYAMBUNG SANAD KEILMUAN SECARA OFFLINE DAN ONLINE

Oleh : M. Khaliq Shalha


Dalam tradisi pesantren, memiliki sanad keilmuan pada para ulama sangat penting dan utama untuk menumbuhkan kualitas keilmuan yang sumbernya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan spiritual.

Saat ini untuk menyambung mata rantai keilmuan pada ulama pesantren semakin mudah terhubung lewat pengajian online, baik via facebook, youtube atau media sosial lainnya.

Pada momen bulan suci Ramadhan 1441 H ini para ulama-kiai pesantren semarak menggelar khataman kitab secara online via jejaring media sosial tersebut.  Di antara latar belakangnya, karena bersamaan dengan masa-masa memutus mata rantai penyebaran Covid-19 (Corona Virus Disease 2019)  yang melanda dunia saat ini termasuk Indonesia. Masyarakat dihimbau oleh Pemerintah untuk jaga jarak bergaul dengan sesama (tabā'ud ijtimā'ī, social distancing) untuk sementara waktu hingga belajar pun digelar jarak jauh antara guru dan murid, kiai dan santri. Salah satu hikmah dari musibah besar yang melanda dunia ini dapat membuka akses pada masyarakat untuk bisa belajar secara online kepada ulama-kiai dari berbagai pesantren di berbagai daerah di Indonesia lewat jejaring sosial yang tahun-tahun sebelumnya volumenya lebih kecil ketimbang saat ini.

KH. Anwar Mashur, PP. Lirboyo, Kediri

Pada era ini setidaknya ada tiga syarat agar kita bisa berguru pada ulama secara online dan efeknya relatif hampir sama dengan mengaji secara berhadap-hadapan. Syarat-syarat itu adalah: (1) niat berguru, (2) bersedia mengaji, (3) punya seperangkat media online (hp/laptop plus paketan).

***

Dari hasil permenungan saya, menyambung sanad keilmuan pada guru dapat dilakukan dengan tiga macam: Pertama, berguru secara liqā'. Berhadap-hadapan langsung, misal mondok atau mendatangi rumah guru (bisa ngaji di langgar-langgar walau tidak mondok). Hal ini sangat penting bagi tingkat pemula. Bahkan menjadi keharusan belajar secara langsung kepada guru karena para guru bisa menuntun langsung pada para muridnya.

Kedua, di masa sekarang, sebagai tambahan dari yang pertama, berguru kepada ulama-kiai secara online dimana saja mereka berasal lewat media sosial. Misalnya mengaji kepada Gus Baha' atau kepada ulama-kiai panutan lainnya.

Majunya teknologi kemunikasi ini harus kita syukuri karena lebih mudah terhubung dengan para ulama sehingga yang sebelumnya terhalang jarak geografis yang begitu jauh, untuk saat ini sudah terasa sangat dekat. Konsekuensinya, jika kita punya minat untuk memperbanyak guru dan menambah ilmu saban saat kini sungguh amat mudah.

Ketiga, sebagai pengembangan juga dari yang pertama, yaitu dengan membaca kitab-kitab karangan para ulama. Saya bisa berguru kepada Imam Bukhari karena saya membaca kitab Shahīh Bukhārī. Saya bergu kepada Imam Syafi'i karena saya baca kitab Al-Umm. Saya berguru kepada Imam Ghazali karena saya baca kitab Ihyā' Ulūmiddīn. Saya berguru kepada Imam Fakhruddin Ar-Razi karena saya baca kitab tafsir Mafātīhul Ghaib. Saya berguru kepada Imam Nawawi bin Syaraf karena saya baca kitab Al-Adzkār. Saya berguru kepada Ibn Hajar Al-'Asqalani karena baca kitab Fathul Bārī. Saya berguru kepada Imam Izzuddin bin Abdus Salam (Sulthānul 'Ulamā') karena saya baca kitab Syajaratul Ma'ārif. Saya berguru kepada Imam Suyuthi karena saya baca kitab Al-Asybāh wan Nazhāir. Saya berguru kepada Imam Nawawi Al-Bantani karena saya baca kitab Kāsyifatus Sajā. Saya berguru kepada KH. Muhammad Hasyim Asy'ari karena saya baca kitab Irsyādus Sārī. Saya berguru kepada Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki karena baca kitab Mafāhīm Yajibu an Tushahhah, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kita patut bangga penuh rasa syukur sepenuh jiwa karena ulama mewariskan kitab-kitab kepada kita sebagai tafsir dari warisan agung Rasulullah SAW berupa Al-Qur'an dan Sunnah.

Berguru kepada para ulama dengan menelaah kitab-kitab mereka sangat prospek bagi kita untuk mengasah keilmuan kita tanpa mengenal fase usia dan tanpa dibatasi kurikulum formal. Dalam pengalaman pribadi saya, betapa bangganya bila bisa membuka lembaran demi lembaran kitab-kitab karya ulama terdahulu. Betapa kita masih ditolong oleh Allah berkat terbukukannya ilmu-ilmu ulama walau mereka sudah wafat sekian abad lalu tapi mereka masih amat dekat dengan kita. Kadang terlintas dalam benak saya, andaikan para ulama tidak mewariskan karya-karya mulia mereka tentu kita akan menjadi generasi yang jahlun murakkab. Bodoh sebodoh-bodohnya.


Tiga alur ini saya sudah lakukan semua demi menyambung sanad keilmuan kepada para ulama hingga pada akhirnya dari guru ke guru tersambung kepada Nabi Muhammad SAW, Malaikat Jibril lalu kepada Allah SWT.

Wallah a'lam bish shawāb.

Sumenep, 1 Ramadhan 1441 H / 24 April 2020

Senin, 06 April 2020

LEVEL SUMBER ISTINBĀTH (Mengupas Istilah Ilhāq dalam Empat Mazhab)


M. Khaliq Shalha

Dalam ushul fiqih disuguhkan komposisi hukum Islam (al-ahkām asy-syar'iyyah) sebagai berikut: (1) al-hukm (hukum), (2) al-hākim (pembuat hukum), (3) mahkūm 'alaih (pelaku hukum), dan (4) mahkūm fīh (tindakan hukum).

Suatu hal yang menarik tentang pembuat hukum. Siapakah pembuat hukum? Allah.

Bukan mujtahid?

Bukan. Mujtahid hanya punya tanggung jawab moral dan ilmiah untuk menggali dan menemukan hukum dari sumber-sumbernya. Hukum telah dibuat oleh Allah sejak zaman azali (primordial). Mujtahid tinggal memungutnya atau mengkliknya dari sumber-sumber yang sakral dan semi sakral. Pekerjaan mujtahid itu disebut istinbāth.

Sumber-sumber hukum utama dan sakral adalah nas al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan sumber lainnya sebagai sumber alternatif adalah nas imam mujtahid (intinbāth min nushūshil aimmah), bila tidak ditemukan dalam dua sumber utama tersebut. Karena tidak ada tindakan hukum yang tidak ada hukumnya. Dengan kata lain, setiap tindakan orang mukallaf pasti ada status hukumnya.

Dalam proyek metode istinbāth dari teks (nas) imam mazhab terhadap hal-hal yang furūiyyah dapat disebut metode "ilhāq" (semacam qiyas, hanya pada pendapat ulama (fiqih), bukan pada al-Qur'an dan Sunnah), atau dalam kerangka kaidah fiqih dari ulama mazhab. Di masing-masing empat mazhab memiliki istilah tersendiri dalam menggali hukum dengan metode ilhāq.

Dr. Muhammad Ismail Muhammad Misy'al dalam kitabnya, Atsarul Khilāfil Fiqhī fil Qawā'id al-Mukhtalif fīhā, mengurai istilah yang digunakan dalam internal mazhab berikut ini.

Dalama fiqih Hanafi disebut "al-asybāh" pada leval pertama, dan disebut "ar-rājih" pada level kedua. Al-Asybāh, bermakna "al-aqrab" (lebih dekat dengan nas yang diriwayatkan dari imam mazhab atau pengikutnya).

Dalam mazhab Maliki disebut "takhrīj". Takhrīj lumrah digunakan oleh fuqaha dalam arti sebagai al-istinbāth al-muqayyad, yaitu meng-ilhāq-kan suatu kasus hukum pada hukum yang telah dirumuskan sebelumnya oleh imam mazhab, atau memasukkan pada cakupan kaidah fiqih yang dibangunnya, bila tidak terdapat nas utama (al-Qur'an dan Sunnah) yang meng-covernya.

Dalam mazhab Syafi'i, menyikapi perbedaan pendapat di tubuh mazhab ini, Imam Nawawi dalam al-Majmū': Syarah al-Muhadzdzab, beliau membagi pada tiga bagian: (1) "Aqwāl" (pendapat-pendapat Imam Syafi'i sendiri), (2) "Awjuh" (perbedaan-perbedaan pendapat Syafi'iyyah, ulama pengikut Imam Syafi'i)", dan "Thuruq" (perbedaan pendapat dari para periwayat mazhab Syafi'i dalam menarasikan mazhab Syafi'i).

Dalam mazhab Hanbali disebut "qiyāsul mazhab".

Salah satu contoh berikut ini dari mazhab Maliki. Ibn al-Hallab mengemukakan salah satu ilustrasi kasus hukum: Jika seseorang bernazar untuk beriktikaf pada hari tertentu, lalu pada hari yang ditentukan ia jatuh sakit, maka status hukumnya dapat di-takhrīj (dikeluarkan status hukumnya) dengan dua riwayat. Pertama, orang tersebut wajib qadha (menggantinya pada kesempatan lain). Kedua, tidak usah qadha. Kasus ini di-ilhāq-kan pada orang yang bernazar puasa pada hari-hari tertentu, lalu pada waktu pelaksanaannya ia jatuh sakit.

Ibn Abdil Hakim berpendapat, tidak wajib qadha atasnya kucuali ia niat mengqahanya. Berbeda dengan Ibnul Qasim, beliau berpendapat, ia wajib qadha kecuali sudah ada niat bahwa ia memang tidak ingin mengqhadanya.

Jadi, ilhāq pada pendapat ulama mazhab tentang kasus hukum baru sangat mungkin dilakukan dari waktu ke waktu sejalan dengan dinamika kehidupan sebagai langkah alternatif bila tidak ada celah untuk melakukan qiyās terhadap hukum yang sudah jadi yang berlandaskan sumber utama, al-Qur'an dan Sunnah.

Dengan demikian, sumber intinbāth menjadi kaya, yaitu sumber utama berupa al-Qur'an dan Sunnah, lalu alternatifnya pendapat imam mazhab (nushūshul aimmah).

Wallàh a'lam bish shawāb.

Sumenep, 6 April 2020

Rabu, 26 Februari 2020

KESAKRALAN HUBUNGAN SILATURRAHMI DALAM MENECIPTAKAN HARMONI KEHIDUPAN

Oleh : M. Khaliq Shalha



Dalam Islam, ketauhidan (monoteisme) dan humanisme tak bisa dipisahkan satu sama lain. Ibarat dua sisi mata uang. Sebagaimana terlihat jelas, misalnya, dalam surat al-Ma'un.

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ  .فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ  .وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ  .فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ  .الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ .  الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ  .وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ .

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan (orang) untuk memberi makan orang miskin. Maka, celakalah mereka yang (meski) shalat, (namun) lalai dalam shalatnya;  orang-orang yang riya (shalatnya) dan (bahkan) sedikit pun tak mau menolong (mereka yang membutuhkan). (QS. al-Ma'un [107]: 1-7).

Oleh karena itu, Islam sangat menjunjung tinggi humanisme untuk mewujudkan harmoni antarsesama. Jalinan yang armonis itu kemudian disebut "silaturrahmi" yang tak boleh tidak harus dirawat bersama.

Dalam hadits qudsi disebutkan, sebagaimana dikutip oleh Hafizh Hasan al-Mas'udi dalam kitabnya, Taisirul Khallaq fi 'Ilmil Akhlaq. Nabi bersabda, Allah berfirman, "Aku (Allah) Maha Pengasih (ar-Rahman). Rahim (kerabat) ini Aku derivasikannya dari nama-Ku. Maka, barang siapa bersilaturrahmi, Aku pasti menyambungkannya dan barang siapa memutuskan silaturrahmi, Aku akan putus hubungan dengannya." Konten hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa betapa agungnya nilai silaturrahmi sehingga Allah mengapresiasinya dengan sebutan yang diambil dari salah satu nama-Nya.

Silaturrahmi akan mempererat hubungan kekerabatan, baik kerabat dekat atau kerabat jauh sehingga akan terjalin ukhuwah (persaudaraan): ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), level paling universal; ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan); dan ukhuwah diniyah (persaudaraan seagama).

Manusia, di mana pun berada, jika ditarik nasabnya pada level paling atas (puncak), akan ketemu pada satu nenek moyang, yaitu Nabi Adam. Oleh karena itu, kita ini patut bangga karena kita semua sama-sama keturunan Nabi, yaitu Nabi Adam. Maka, tak ada alasan manusia dengan sesamanya untuk saling sikat dan sikut, saling gasak dan gesek. Semestinya saling asah, asih, dan asuh.

Peristiwa atau tragedi kemanusiaan yang tragis terjadi di buka bumi ini ketika manusia (insan) kehilangan kesadarannya sebagai manusia hingga berganti kesadaran hewan predator. Dalam banyak ayat al-Qur'an, manusia disebut "al-insan" yang jika dirunut dari akar katanya, "a-na-sa" bermakna harmoni. Harmoni inilah yang perlu dijaga eksistensinya dengan silatur rahmi, diplomasi.

Maka, Rasulullah SAW memberikan statemen tentang urgensi silaturrahmi.
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Bagi siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menjalin hubungan silaturrahmi.” (HR. Bukhari Muslim).
Jika suatu personal, kelompok, bangsa ingin lebih langgeng hidupnya dengan kemakmuran, jalinlah silaturrahmi atau diplomasi.

Wallah a'lam bish shawab.

Allahumma shalli 'ala Muhammad.

Sumenep, 26 Februari 2020.

Minggu, 23 Februari 2020

KETIKA NABI MENIKAHI BUDAK (Potret Misi Luhur Profetik Sepanjang Zaman)


Oleh : M. Khaliq Shalha


Suatu hal yang menakjubkan dalam lembaran kehidupan Nabi SAW di antaranya tentang pernikahan beliau dengan hamba sahaya bernama Maria Al-Qibtiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis, Gubernur Iskandariyah, Mesir. Dari pernikahan tersebut beliau berdua dikaruniai seorang putra yang diberi nama Ibrahim yang wafat pada usia anak-anak (ada yang mengatakatan hanya berumur tujuh puluh malam, ada pula yang mengatakan tujuh bulan atau delapan bulan).


Secara kelas sosial beliau berdua tidak selevel; Nabi versus budak. Tapi, di sinilah letak keluhuran profetik beliau untuk membesarkan Islam lewat jalur domestik keluarga dan demi mengangkat harkat martabat wanita serta untuk menghapuskan perbudakan di dunia secara perlahan karena perbudakan--sungguh, sumpah--tidak sejalan dengan perikemanusiaan secara primordial (fitrah, azali). Pembeda manusia dengan manusia lainnya di hadapan Tuhan, Pemilik jagat raya ini adalah kualitas SDM-nya yang dalam terminologi Al-Qur'an disebut takwa dalam arti luas.

Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban Karya Fazlur Rahman

Perkara kemudian dalam perkembangan hukum Islam (fiqih) ulama merumuskan hukum keluarga yang di antaranya ada konsep kafaah atau kufu' (kesetaraan, selevel) dalam berbagai aspeknya. Misalnya, laki-laki kaya menikahi wanita kaya, laki-laki miskin menikahi wanita miskin, laki-laki tampan menikahi wanita cantik, laki-laki terhormat menikahi wanita terpandang. Rumusan ini dibuat untuk menciptakan keharmonisan dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan memanimalisir kecemburuan sosial. Bisa Anda bayangkan sendiri, umpama ada laki-laki non-rupawan menikahi wanita rupawati (kata orang Madura, bisa ekibe ke to'petto', tidak malu-maluin dibawa melayat ke tujuh harinya orang meninggal dunia, tidak memalukan dibawa ke acara undangan), atau sebaliknya, ada laki-laki rupawan kemudian menikahi wanita non-rupawati, dua tipe pasangan itu akan menjadi pembicaraan negatif publik karena tidak kafaah. Perlu menjadi catatan bahwa di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang konsep mukafaah ini, yang perlu diupayakan setara itu dalam aspek apanya.

Hanya, konsep kafaah itu tidak menjadi keharusan. Justru malah "melawan" konsep itu akan menjadi kemaslahatan jangka panjang untuk memperbaiki status sosial, ekonomi, atau keturunan. Ada anekdot yang mengatakan, "Jika Anda ingin kaya mendadak, nikahilah wanita kaya raya." 

Usulan Bapak Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) kepada Menteri Agama Fachrul Razi untuk menerbitkan fatwa perkawinan lintas tingkat perekonomian untuk membendung masalah kemiskinan baru (CNN Indonesia, 19/02/2020), kiranya perlu diapresiasi oleh semua kalangan, khususnya para pegiat hukum Islam kontemporer untuk dilakukan ijtihad baru dalam fiqih keluarga sebagai antitesis dari konsep kafaah atau kufu' sejalan dengan dinamika kehidupan bangsa. Sebagaimana pula disebutkan kaidah ushul fiqih, "Al-Hukmu yaduru ma'a 'illatih wujudan wa 'adaman (Berlaku tidaknya suatu hukum sejalan dengan ada tidaknya ilat hukum).

Bapak Muhadjir Effendy menyarankan bahwa yang miskin wajib mencari pasangan yang kaya dan yang kaya mencari pasangan yang miskin. Dengan alasan, karena jika sama-sama miskin lahirlah keluarga miskin baru, inilah problem di Indonesia. Usalan Bapak Muhadjir Effendy tentu banyak yang menyanggahnya. Itu hal biasa. Termasuk yang disampaikan oleh salah satu aktivis perempuan Yogyakarta yang mengatakan, "Perempuan miskin itu punya harga diri juga."

Saya sendiri menanggapi usulan Bapak Muhadjie Effendy dengan rincian: jangan menggunakan kata "wajib" karena hal itu terlalu ekstrem, tapi cukup "sunnah" (anjuran) bersyarat. Apa syaratnya? Apabila kedua belah pihak sama-sama merasa nyaman dengan pilihan itu. Dalam kitab fiqih, konsep kafaah paling banter hukumnya sunnah, bukan wajib. Jadi, sunnah si kaya menikahi si miskin, demikian juga sebaliknya.

Jika kita memperhatikan peristiwa pernikahan Rasulullah SAW dengan seorang hamba sahaya, Maria Al-Qibtiyah, sebagaimana saya sebutkan di atas, mengajarkan kepada kita bahwa dalam berkeluarga kita amat perlu mempertimbangkan kemaslahatan jangka panjang. Konsep kafaah (kesetaraan) dalam satu sisi perlu, sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fiqih dalam berbagai mazhab, namun hal itu bukan sebuah keharusan, tapi sifatnya kondisional. Hal terpenting dalam berkeluarga adalah adanya niat baik yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam setelah kedua belah pihak merasa ada kenyamanan dan kecocokan perasaan untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang dibangun atas dasar mahabbah wasy-syauqah (cinta serta rindu yang membara).

Allahumma shalli 'ala Muhammad.

Wallah a'lam bish shawab.

Sumenep, 23 Februari 2020.