Kamis, 28 April 2016

MEMBUANG GENGSI BERLEBIHAN (Menyiapkan Generasi Siap Hidup dan Siap Pakai)


M. Khaliq Shalha


Tugas sekolah (madrasah), di samping tugas pokoknya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM), juga perlu menyematkan pendidikan kewirausahaan sebagai tindak lanjut dari KBM tersebut, guna menyiapkan anak didik sejak dini memiliki kesiapan mental dan keterampilan dalam menghadapi kehidupan riil di masyarakat kelak.

Merupakan kegagalan lembaga pendidikan manakala hanya mencetak anak didiknya mampu berhitung, berbahasa dengan baik dan sejenisnya, tapi hampa nilai-nilai pengabdian (dedikasi) dalam jiwanya. Akibatnya, anak didik cenderung bergaya hidup elitis, dipenuhi sifat gengsi berlebihan yang bisa mengkebiri kreativitas hidup sehingga enggan untuk terlibat dalam pekerjaan kasar yang dilakukan orangtua, guru dan masyarakat. Condong memilih hidup mewah tanpa diimbangi kerja keras. Betapa ironisnya sikap hidup suka bermodel tanpa bermodal.

Tipe kecenderungan seperti ini akan berpengaruh negatif pada masa depan mereka. Anak tidak siap hidup dan tidak siap pakai. Akibatnya, pengangguran semakin menjadi-jadi. Dengan demikian, peranan lembaga pendidikan, dalam satu sisi, tidak begitu banyak berarti dalam memajukan suatu bangsa. Maka, wajar apabila ada pernyataan sumbing bahwa sekolah/perguruan tinggi hanya mencetak lulusan/sarjana pengangguran.

Suatu tawaran solusi saya, menyikapi hal tersebut, di antaranya, pertama, pada tiap sekolah/perguruan tinggi (apapun jurusannya), perlu diberikan materi kewirausahaan sebagai bekal dasar menghadapi masa depan yang penuh tantangan dan membutuhkan pengorbanan besar.

Kedua, membiasakan anak didik peduli pada kebersihan sekolah. Mereka sewaktu-waktu diberi tugas membersihkan lingkungan sekolah sesuai kebutuhan: menyapu lantai dan halaman, menyabit rumput dan membersihkan selokan di sekitar sekolah, sekalipun sekolah tersebut memiliki tukang sapu (kebun). Dengan cara ini, anak didik mulai terbiasa berpeluh-peluh dan berkotor-kotor, sehingga memantik kesadaran bahwa hidup ini butuh pengorbanan.

Pembiasaan dalam pengabdian di lembaga pendidikan akan memberikan kesiapan bagi anak didik untuk siap hidup dan siap pakai di masa yang akan datang. Perlu menjadi kesadaran pula bahwa di balik kemegahan dunia ini dengan teknologi modern yang dari masa ke masa dilakukan penyempurnaan, karena ada aktor intelektual yang rela mengorbankan hidupnya untuk kemajuan publik dalam berbagai sektor. Di samping bidang perangkat kasar yang diciptakan manusia, juga tak kalah berartinya peran para pegiat etika-spiritual masyarakat, sehingga di balik kemajuan yang bersifat material, tidak kering nilai-nilai etika dan spiritual yang menghiasi gerak hidup manusia secara utuh.

Generasi sekarang tentu kebablasan bila melupakan jasa-jasa mereka dengan tidak mengembangkan hal-hal yang dibutuhkan manusia di era kekinian. Menumpang beken di balik kesuksesan orang lain merupakan sikap mundur sekian langkah. Sikap sekadar menikmati kemajuan yang dibangun orang lain inilah tergolong generasi kacangan.

Indikasi sehat tidaknya pengembangan peradaban dapat dilihat dari produktivitas generasi penerusnya, khususnya generasi muda, dalam hal ini kalangan pelajar sebagai miniatur kehidupan di masa yang akan datang. Mendidik mereka jangan sampai memanjakannya bagai anak mama yang semua kebutuhan hidupnya disuapi. Hidup butuh pemikiran, dan tindakan nyata, setelah itu tawakal pada Tuhan Maha Kuasa. Wallah a’lam.

Minggu, 24 April 2016

RAKYAT MAKIN ASING DENGAN LINGKUNGANNYA (Ogah dengan Kondisi Prasarana Umum)


M. Khaliq Shalha


Krisis multidimensi sangat terasa di negeri ini sampai ke akar rumput, akibat lunturnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah sehingga rakyat kehilangan antusiasme dalam mendukung pembangunan negeri ini. Mendukung pembangunan dimaksud adalah ikut serta memelihara fasilitas umum, minimal yang ada di lingkungan sekitar, seperti jalan umum desa, selokan, jembatan dan sejenisnya.

Sangat ironis bila rakyat tidak punya rasa memiliki pada fasilitas umum desa. Sepertinya hal itu milik pemerintah, dan rakyat hanya sebagai tamu di daerahnya sendiri. Bila rakyat ogah pada lingkungannnya sendiri, mana mungkin daerahnya makin berkembang cepat. Memasrahkan semua urusan fasilitas desa kepada pemerintah merupakan bentuk pemasrahan yang salah besar. Karena semakin dipasrahkan kepada pemerintah, semakin lamban fasilitas umum itu makin baik dan terpelihara.

Rakyat begitu enggan dan tega membiarkan jalan umum rusak begitu saja ketika diguyur hujan terus menerus. Tak ada kepedulian dari mereka untuk sekadar membuatkan selokan supaya air tidak menggenangi di jalan umum. Sepertinya bukan urusan mereka, tapi urusan pemerintah desa dan kebupaten.

Bukanlah solusi jika rakyat hanya bisa memaki-maki pemerintah karena fasilitas umum di desa cepat rusak, sementara mereka sendiri berpangku tangan. Memelihara fasilitas umum tidak bisa hanya dengan kritikan pedas kepada pemerintah, sementara mereka abai pada kewajibannya selaku rakyat yang baik. Ibarat genting rumah mereka bocor tapi dibiarkan begitu saja, cuma menunggu uluran tangan dari orang lain. Tentu hal tersebut tergolong tindakan tidak bijak.

Faktor merosotnya gairah rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dengan bentuk ikut memelihara fasilitas yang sudah ada, setidaknya ada dua. Pertama, lunturnya budaya gotong-royong, dan menguatnya budaya baru berupa individualistik, sehingga terlalu mematen segala job (tugas) hanya urusan orang yang bersangkutan. Tak mau tahu dengan kondisi di luar job-nya, padahal cara berpikir yang demikian bukanlah sikap orang-orang dewasa. Tak ubahnya anak kecil yang merasa bahwa segala urusan kehidupannya sepenuhnya di bawah pengawasan orang tuanya, sehingga untuk sekadar membersihkan tiga butir nasi yang hinggap di pipinya ia abai.

Kedua, menjamurnya krisis kepercayaan dari rakyatt terhadap pemerintah gara-gara banyak oknum melakukan penyimpangan dengan menyalahgunakan wewenang demi kepentingan sendiri dan kelompoknya. Program yang dikucurkan ke pelosok tak ubahnya drama kurang menarik bagi rakyat. Mereka beranggapan bahwa anggaran yang ideal terlalu banyak disunat oleh pihak-pihak terkait. Alasan tersebut logis, karena kualitas dari fasilitas yang dibangun semakin tidak berumur. Kadang, sebelum pekerja proyeknya pulang, tembok yang dibangun di pinggir jalan kena senggol sedikit sudah mengelupas cukup serius. Lain lagi pengaspalan yang pengerjaannya sekadar formalitas. Yang penting selesai walau aspalnya ibarat gincu tipis menempel di bibir perempuan. Kena gerimis saja mudah luntur.

Kondisi semacam ini memantik kuat lunturnya kepercayaan rakyat terhadap program pemerintah. Akhirnya rakyat cuek. Rusak tidaknya fasilitas umum bukanlah urusan mereka, tapi urusan pemerintah dan metra kerjanya yang memborong proyek tersebut. Jarak antara pemerintah dan rakyat makin lebar. Akibatnya, laju pembangunan di negeri ini menjadi tidak kondusif.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, pertama-tama pemerintah harus memberi teladan yang baik dengan menjalankan program yang ideal dan adanya transparansi pembangunan. Sebagai suatu saran, hendaknya orang-orang baik penentu kebijakan mengganti oknum-oknum bermasalah dengan orang-orang baik. Niscaya akan tercipta nuansa saling sadar dan menyadara terhadap hak dan kewajiban antara rakyat dengan pemerintah. Wallah a’lam.

Sabtu, 23 April 2016

MENGABDI SEPENUH HATI (Di Balik Profesi Guru)


M. Khaliq Shalha


Berjiwa dedikasi merupakan salah satu anugerah Tuhan. Tak semua orang punya bekal cukup dalam hidupnya dengan jiwa pengabdian, sehingga dalam berkarya cenderung banyak perhitungan untung rugi buat dirinya, bukan kepuasan orang banyak baru dirinya.  Tegaknya suatu peradaban bermula dari para perintis dengan jiwa besar untuk kemaslahatan sosial. Mereka tak pernah menggerutu pada orang-orang sebelahnya, atau pada generasi berikutnya dengan capaian jasa yang diraih.

Mengabdi paralel dengan ikhlas. Mirip iman dan malu. Mengabdi dalam bidang apa saja harus didasarkan pada keikhlasan. Sifat ikhlas sama artinya dengan profesionalisme, mempersembahkan yang terbaik, baik ada apa atau siapa atau tidak ada apa atau siapa. Bekerja dengan bekal keahlian mengantarkannya menggapai karya yang relatif memuaskan. Bekerja sepenuh hati membuat pelakunya menikmati pekerjaannya sehingga sangat mungkin bisa produktif.

Pengabdian tidak serta merta dimaknai sebagai aktivitas tanpa pamrih. Bisa dengan pamrih dan bisa pula tanpa ada pamrih. Tergantung di mana seseorang menambatkan pengabdiannya. Salah satu contoh menarik adalah pengabdian yang bergerak dalam bidang jasa, yaitu profesi guru untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Status kepegawaian guru ada yang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan ada yang NonPNS. Keduanya sama-sama memiliki tugas mulia, yaitu memanusiakan manusia.

Guru yang berstatus PNS disebut pula sebagai ‘abdi negara’. Di sebuah toko kain di Pamekasan, waktu saya mencari kain seragam siswa, teman bertanya tentang salah satu motif batik yang diletakkan di tempat khusus. Tuan toko menjawab dengan mantap, ‘Itu baju seragam khusus abdi negara. Tidak saya jual secara umum dengan harga berapa pun.” Wah!!

Guru PNS kesejahteraannya lebih terjamin. Dapat gaji pokok rutin setiap bulan plus tunjangan. Bagi mereka ada hak dan kewajiban. Di tengah-tengah melaksanakan kewajibannya, butuh jiwa pengabdian untuk mendidik para siswa sepenuh hati, bukan sekadar formalitas. Mengerahkan segala kemampuan sepenuh hati untuk memberikan yang terbaik kepada negara sesuai bidang yang diampu, baik ketika diperhatikan oleh atasannya atau tidak. Sebaliknya, ada yang hanya sebatas berjiwa formalitas. Mengisi absen, bekerja sekenanya, kerja tidak produktif kecuali sebatas penampilan luarnya saja. Jiwa-jiwa pendidik tipe ini tidak bisa diharapkan banyak menggugah jiwa besar para anak didiknya.

Sedangkan guru NonPNS, misal di madrasah, tak ada jaminan kesejahteraan menentu. Pengabdian di jalur ini betul-petul menguji nyali mereka. Membuktikan jiwa besar mereka. Profesionalisme tetap diutamakan. Kepentingan diri dan keluarga tidak menjadi pertimbangan. Pasrah yang menjadi handalannya bahwa mengajar dan mendidik adalah amal baik yang oleh Tuhan akan diberi balasan setimpal. Banyak guru senior yang saya tahu bahwa lama pengabdiannya sudah puluhan tahun tanpa kenal lelah. Murid-muridnya sudah banyak yang menjadi dosen dengan bergelar doktor. Betapa banyak dan besar jasa para guru lewat jalur ini.

Apapun karirnya merupakan sebuah pilihan. Menjatuhkan pilihan seyogiyanya didasarkan pada nilai-nilai pengabdian. Suatu hal yang jangan sampai dipahami keliru tentang pengabdian bahwa pengabdian itu artinya profesionalisme-produktif. Sungguh tidak diinginkan bila kita menjatuhkan pilihan, misal, mengabdi di madrasah yang minim anggaran kesejahteraan, kita setengah hati bekerja, sesempatnya dan semaunya. 
Madrasah sebagai kendaraan sosial, idealnya dijalankan oleh orang-orang yang punya dedikasi tinggi. Bagi pengelola, hendaknya selektif dalam merekrut guru atau karyawan. Keterbukaan di awal-awal perekrutan, penting untuk disampaikan tentang kondisi madrasah yang sebenarnya, termasuk kondisi sumber dana. Masalah dominan yang dihadapi madrasah, khususnya di pedesaan, adalah rendahnya kedisiplinan guru. Faktornya, mereka kurang punya jiwa mengabdi secara total. Di samping itu, kesejahteraan mereka kurang terjamin. Bila Kepala Madrasah sudah tepat dalam memposisikan hak-hak para guru, hendaknya melakukan teguran dan pembinaan. Guru ibarap sopir kendaraan umum. Bila sopirnya tidak disiplin, maka yang dirugikan para anak didiknya. Kepala madrasah harus berani melakukan penonaktifan guru yang rendah disiplin setelah terlebih dahulu dilakukan pembinaan, namun tidak ada respons.

Namun, kadang kala rendahnya kedisiplinan—sebagai buah dari jiwa dedikasi—karena faktor Kepala Madrasah tidak profesional secara luas. Sikap tidak transparan, khususnya tentang keuangan, menjadi faktor dominan rusaknya kesemangatan para guru untuk menjalankan kewajiban. Suatu hal yang diminta oleh guru adalah keterbukaan. Bila ada anggaran untuk guru, berikan pada mereka, bila mimang tidak ada, katakan tidak ada. Sikap seperti ini tidak akan mengganggu pada semangat pengabdian guru. Sebaliknya, bila madrasah yang dikelola sebagai sarana memperkaya diri sendiri dan keluarganya, ini yang menjadi penyakit. Dana cukup, namun acuh tak acuh pada kesejahtaraan guru. Tunjangan dari pemerintah ada, misalnya, namun sebagian digelapkan untuk kepentingan pribadi. Tak ada apresiasi pada guru. Guru ibarat sapi perah yang hanya diambil hasilnya tanpa diberi pakan yang seimbang, atau ibarat sapi kerap yang dipaksa lari tanpa diimbangi pakan dan jamu. Kepala seperti ini tergolong orang zalim.

Pemupupak kader-kader tegana pendidik dengan memiliki jiwa pengabdian tinggi, bagi kalangan pengelola madrasah swasta bisa memanfaatkan alumninya yang dipandang mampu dan punya kepribadian mulia. Para alumni memiliki banyak kelebihan ketimbang lainnya. Di antaranya, memiliki hubungan emosional yang erat dengan lembaga. Hubungan emosional inilah yang bisa memicunya untuk mengembangkan lembaga sepenuh hati tanpa kenal lelah. Wallah a’lam.

Jumat, 22 April 2016

SISI LAIN KEHARAMAN MEROKOK


M. Khaliq Shalha



Hukum me(rokok) sudah benderang di kalangan kita, tapi hukum yang satu ini kadang saling ditarik-ulur dalam tubuh antar organisasi pegiat sosial keagamaan. Dari mubah menjadi haram, dari haram menjadi mubah. Gayung bersambut inilah dalam satu sisi menarik disimak yang terskesan cerdas plus lucu. Namun tulisan remeh-temeh ini akhirnya akan mengulas sisi keharaman merokok dalam sisi lain.

Kita lihat sekelumit tentang hukum rokok dalam pandangan bahtsul masail NU. Permasalahan rokok hampir tidak dibahas dalam forum penetapan hukum pada level pusat organisasi, kemungkinan besar status hukum rokok, menurut NU, tidak perlu dibahas lagi. NU memahami sepenuhnya bahwa status rokok telah dibahas oleh para ahli fiqih melalui karya-karya tulisnya yang tertuang dalam kitab kuning sejak sebelum NU lahir. Pada muktamar Makassar tahun 2010, Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah, KH. Saefuddin Amsir menyatakan bahwa NU tak perlu meninjau kembali hukum merokok karena tidak ada ilat (alasan) baru yang menyebabkan perubahan hukum.

Keputusan Muktamar NU ke-2 di Surabaya, 9 Oktober 1927 memutuskan jual beli mercon (petasan) hukumnya sah. Hukum petasan ini dianalogikan (ilhaq) pada hukum rokok, dengan landasan beberapa kitab yang di antaranya Al-Jamal ‘ala Fithil Wahhab: “Dan yang benar dalam ta’lil, bahwa rokok itu bermanfaat sesuai dengan tujuan dibelinya yaitu untuk menghisapnya, dan mengingat rokok itu termasuk barang mubah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka saling memberi rokok berarti memanfaatkannya dalam bentuk yang mubah.”

Alkisah, tahun 1990-an di kota Kretek Kudus digelar bahtsul masail oleh para kiai NU yang ditempatkan di Masjid Menara Kudus. Seorang kiai kharismatik, Mbah Tur (Turaichan Adjhuri, 1915-1999) yang disegani mendatangi forum bahtsul masail yang sedang berlangsung itu. Ketika mengetahui bahwa yang dibahas adalah hukum rokok, Mbah Tur langsung meminta rokok, menyalakan api dan menghisap, kemudian beliau berkata, “Kalau begitu, ayo silakan dibahas.” Apa yang dilakukan oleh beliau merupakan aksi simbolis bahwa rokok bukan perkara haram. Dalam forum itu tidak ada kiai yang berpendapat bahwa rokok itu haram. Entah segan dengan Mbah Tur, atau memang tak ada kiai dalam forum tersebut yang berpendapat bahwa rokok itu haram.

Sebenarnya hukum rokok ini sudah tergolong lagu lama dan hukumnya sudah benderang dengan beberapa kategori, tapi pada tahun 2010 menjadi isu aktual kembali terkait adanya “kriminalisasi kretek” (pinjam bahasanya penulis buku NU Smoking). Apa itu? Di Indonesia terjadi polemik hukum rokok terkait rentetan kampanye antirokok (kretek) yang sudah lebih dulu diawali sejak tahun 1980-an. Beberapa lembaga swadaya masyarakat pada tahun 2009 dan 2010 terlibat dalam proyek kampanye antirokok tersebut. Kampanye tersebut terkait rentetan antirokok pada tingkat global. Banyak lembaga donor mengucurkan dana ke Indonesia untuk membiayai kampanye antirokok itu, beberapa sudah berjalan sejak 2007. Di antara lembaga donor internasional yang turut membiayai gerakan antirokok di Indonesia adalah Bloomberg Initiative, sebuah yayasan yang didirikan mantan walikota New York, Michael Bloomberg pada tahun 2006 yang mengelontorkan dana 125 juta dolar AS—dana itu ya, bukan daun—untuk secara khusus membiayai kampanye antirokok di negara-negara berkembang, temasuk Indonesia.

Ada beberapa LSM dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia ikut andil dalam kampanye antirokok, termasuk organisasi keagamaan untuk digunakan pengaruhnya dalam mendorong kepentingan kampanye tersebut, salah satunya mengeluarkan fatwa haram rokok. Salah satunya yang menuai polemik hukum rokok adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat. Tahun 2009, MUI menggelar pertemuan (ijtima’) di Padang Panjang Sumatera Barat, guna membuat fatwa haram merokok.

Muhammadiyah, kata penulis NU Smoking, merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang mendapat kucuran dana dari Bloomberg untuk proyek “Mobilisasi Dukungan Publik Terhadap Fatwa Agama untuk Pengendalian Tembakau dan untuk Mendukung Petisi FCTC (Fremework Convention on Tobacco and Contol)”. Pada Kongres Muhammadiyah tahun 2010 di Malang, organisasi ini mengambil keputusan melalui Majelis Tarjih tentang hukum haram merokok. Ada hal lucu setelah kongres tersebut, yaitu teman saya guyonan dengan Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur. Prof. Syafiq, dosen saya ini, merokok di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Teman saya menegurnya, “Kok merokok Pak?” “Supaya tidak dianggap Muhammadiyah, he he he,” jawab beliau.

Terkait dengan semaraknya keputusan MUI tersebut, ada satu forum kegamaan lain yang jusru melawan arus, lewat forum bahtsul masail para kiai NU di Surabaya tahun 2010. Forum ini katanya diinisiasi oleh KH Aziz Masyhuri, seorang ulama kharismatik, ketua PBNU dan pengasuh pesantren Al-Aziziyah, Denanyar Jombang. Keputusan hukum dalam forum ini bahwa rokok hukumnya mubah. Ada beberapa hukum yang dilontarkan oleh para peserta di hotel Surabaya ini: wajib, mubah, makruh, dan haram. Tidak ada yang sunah ya, he he he.

Pada dasarnya (asal) rokok itu mubah. Dengan kata lain, secara dzati (inheren) rokok itu mubah. Sedangkan mengenai varian hukum lainnya, sesuai situasi dan kondisi atau bersifat sababi (sebab yang melatarinya). Haram, misal, bila ada keyakinan kuat bahwa dengan merokok akan merugikan kesehatan. Ibarat orang yang mengidap penyakit hipertensi, haram mengkonsumsi daging kambing. Orang yang menderita kencing manis, haram mengkonsumsi gula. Ingat, bahaya rokok dilihat hanya sebatas dugaan (mawhum), karena data tentang bahaya merokok lebih banyak didasarkan pada riset yang bersifat hospital-based, bukan populatian-based.

Contoh lainnya, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok atau membayar biaya pendidikan anaknya, ternyata digunakan untuk mengkonsumi rokok. Sebaliknya, rokok menjadi wajib, misal, ketika orang tidak merokok, tidak bisa berpikir dan beraktivitas dengan normal. Kasus KH. Hambali ketika menyela waktu bahtsul masail di Kudus tahun 1990-an, sebagaimana tersebut di atas bahwa beliau bila tidak menghisap rokok tidak bisa mengajar. Menanggapi hal tersebut, Mbah Tur mengatakan bahwa jika seperti itu kondisinya maka merokok wajib hukumnya bagi KH. Hambali.

Jadi, sudah kril bahwa pada dasarnya me(rokok) mubah hukumnya, sedangkan varian hukum lainnya sesuai kondisi konsumen yang bersangkutan. Selanjutnya, sisi lain dari keharaman merokok, sebagaimana dalam judul tulisan sederhana ini adalah lain dari yang disebutkan di atas, yaitu karena faktor tidak bertanggungjawabnya konsumen rokok pada orang lain dan lingkungan sekitar. Sebagaimana peribahasa mengatakan bahwa habis manis sepah dibuang. Banyak dari para perokok di sekitar kita kurang pertanggung jawab atas perbuatanya. Pertama, tidak ada toleransi bagi orang lain selaku perokok pasif, alis orang yang hanya ketiban asap dari semburannya. Misalnya dalam acara undangan yang bertempat di ruang tertutup, para perokok seenaknya merokok sehingga ruangan tebal dari asap, dan membuat orang lain sesak napas. Tak ada toleransi pada orang lain. Kedua, perokok aktif seenaknya membuang kotoran rokok di sembarang tempat. Ketika di kantor, misal, lolong rokoknya dikocar-kacirkan di bawah laci, sebelah komputer, di pojok ruangan dan semacamnya. Bahkan ironis, ketika ada acara di emper masjid, salah seorang jamaah merokok dan membuang lolong rokoknya ke kramik masjid. Lantai masjid itu dijadikan asbak, lalu ditinggalkan tunggang langgang. Semua hal itu terlaknat, haram. Hal-hal semacam inilah kurang begitu mendapat perhatian oleh produsen dan konsumen hukum. Padahal lebih krusial ketimbang memperdebatkan hukum yang sebenarnya sudah dulu klir. Wallah a’lam.

Sumenep, 22 April 2016

***



Referensi

Badruddin dkk, NU Smoking: Kedaulatan Islam Nusantara dalam Fatwa Kretek. Yogyakarta: Cakrawala Media, tt.
Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Kuputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1927-1999 M). Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN)) Jawa Timur, 2005.

Kamis, 21 April 2016

PENYIMPANGAN SOSIAL BERPAHALA (Fenomena Perempuan Desa Menyetir Motor)


M. Khaliq Shalha



Penyimpangan sosial dapat dimaknai sebagai perilaku yang oleh sebagian banyak orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Penyimpangan terhadap norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem tersebut untuk memperbaikinya. Tindakan yang diambil ini disebut pengendalian sosial.

Tak semua penyimpangan pada akhirnya berdampak negatif dalam tatanan sosial, bahkan akan menimbulkan tren baru yang mengandung kemaslahatan, baik secara domestik (keluarga) atau kolektif (publik). Jenis penyimpangan semacam ini tidak menyalai norma agama yang baku, tapi sekadar menyalai norma kesopanan yang dianut oleh masyarakat tertentu sesuai tingkat intelektualitas dalam memahami perkembangan realitas sosial. Jika suatu masyarakat kehidupannya tertutup, mungkin banyak hal yang ditentang yang datangnya dari luar. Sejalan dengan perkembangan pemikiran, kebutuhan dan pergaulannya semakin mengglobal, apa yang sebelumnya dianggap saru, pada akhirnya diterima dengan baik.  

Benar-salah, baik-buruk atau pantas-tidaknya sesuatu, sangat ditentukan oleh diskursus masyarakat atau episteme yang dipakai mereka. Salah satu contoh, pada periode awal Islam, Rasulullah SAW dianggap orang gila dan dukun oleh kafir Quraisy. Kehebatan bahasa Al-Qur’an di atas nalar bahasa orang Arab kala itu, oleh mereka dianggap sihir Muhammad. Beliau dianggap sosok menyimpang menurut persepsi mereka. Pada akhirnya, persepsi itu berubah. Rasulullah yang sebelumnya dianggap orang gila, ternyata sang pencerah yang dapat mengangkis mereka dari jurang kehinaan menuju kemuliaan  (dalam bahasa Al-Qur’an, min az-zhulumat ila an-nur).

Di lingkungan masyarakat desa saya, tahun 2000-an, perempuan yang menyetir sepeda motor dinilai melakukan tindakan menyimpang. Betapa masyarakat menghujat dengan pedas tindakan tersebut. Pada waktu itu pula, perempuan yang berboncengan dengan tukang ojek, dianggap tidak bermasalah, berada dalam batas toleransi. Secara agama mungkin mereka menghukuminya darurat. Dalam kaidah fiqih dikatakan: Ad-Dharurah tubih al-mahzhurat (Kondisi darurat menyebabkan kebolehan perkara-perkara terlarang). Kala itu hanya orang-orang tertentu yang memiliki sepeda motor, dan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Dengan kondisi itu pula, tensi kecemburuan suami terbilang rendah, walau ada sebagian yang menimbulkan gejolak gara-gara istrinya naik ojek.

Lain lagi kondisinya sekitar lima tahun terakhir ini. Perempuan menyetir sepeda motor bukan lagi dianggap penyimpangan sosial, tapi kemajuan sosial. Faktor pendukungnya, karena meningkatnya taraf ekonomi masyarakat sehingga nyaris setiap rumah mampu membeli sepeda motor. Hal itu memantik kalangan perempuan untuk belajar menyetir, khususnya dengan sepeda motor matic. Di samping itu, masyarakat sudah berpandangan lebih global, melihat perkembangan perempuan masyarakat lain. Persepsi bergeser, maka menilaian pun berubah.

Jika dilihat secara substansi, perbandingan antara perempuan naik ojek dengan menyetir motor, kira-kira lebih pantas yang mana? Dilihat dari aspek sosiologi agama, perempuan yang menyetir motor sepantasnya diapresiasi. Perempuan juga punya tanggung jawab penuh sesuai batas kodratnya dalam menciptakan kehidupan yang nyaman dan kebutuhan tertangani dengan lancar.

Setidaknya ada dua kemaslahan dari perempuan bisa bermotor. Pertama, meminimalisir perempuan naik ojek pada lain jenis yang bukan mahram. Tak ada alasan darurat yang bisa digunakan, kecuali dalam kondisi tententu. Naik ojek berbeda dengan naik mobil umum. Risiko naik ojek relatif sensitif dan besar, karena berduaan di atas kendaraan. Rawan menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat. Dengan banyaknya perempuan bisa menyetir motor akan menjadi alternatif bagi kaum hawa untuk meminta hatar kepada sesamanya menuju tempat tujuan.

Kedua, tidak mengganggu tugas suaminya.  Perempuan terbilang manusia yang padat aktivitas sesuai fitrah dan peranannya di lingkungan di mana ia berkiprah. Dari urusan berbelanja ke pasar, undangan, arisan dan sejenisnya. Seorang istri yang tidak bisa menyetir motor, rawan mengganggu tugas suami, misal, ketika suami sedang mengajar, secara tiba-tiba istrinya meminta hantar ke undangan di desa sebelah, karena teman-temannya sudah berangkat. Dan, bagi pelajar perempuan, bisa mengurangi risiko pergaulan bebas dengan lain jenis gara-gara berboncengan.

Kondisi kemajuan yang positif ini, bisa menciptakan berkendaraan syar’i.  Ketidaktergantungan kaum perempuan dalam bermotor pada lain jenis yang bukan mahramnya, akan tercipta pergaulan yang sehat dalam pandangan agama. Sementara kebutuhan berkendaraan bisa terpenuhi.

Selanjutnya, hal yang harus diperhatikan oleh perempuan bermotor adalah etika berkendaraan. Misalnya, memanggil salam pada pejalan kaki, atau minimal pamitan. Memacu kendaraan sewajarnya sehingga orang lain tidak merasa terganggu. Berbusana sesuai aturan agama, dan lain-lain. Wallah a’lam.

Sumenep, 21 April 2016

Rabu, 20 April 2016

MENIMBANG MAKNA AMAL DAN KERJA



M. Khaliq Shalha


Kata amal berasal dari bahasa Arab, sedangkan kerja bahasa Indonesia. Makna keduanya kurang lebih sama: berbuat, mengerjakan, melakukan atau sejenisnya. Meliputi hal-hal baik dan buruk. Amal sering dikonotasikan dengan perilaku yang menghasilkan pahala, sedangkan kerja dikonotasikan dengan aktivitas yang menghasilkan uang. Amal berarti aktivitas ibadah, balasannya pahala, sedangkan kerja aktivitas ekonomi, hasilnya uang. Pemetakan seperti ini kadang tidak menguntungkan bila dihitung-hitung dari entri ajaran Islam (akidah, fiqih dan tasawuf), karena tiga ajaran pokok tersebut melingkupi semua bentuk amal (kerja/aktivitas) manusia, tanpa ada dikotomi.

Pendikotomian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, berdampak pada besar-kecilnya apresiasi mereka pada amal-kerja tersebut. Yang paling mencolok—sependek pengamatan saya—ekspresi orang tua ketika anaknya melanjutkan pendidikan. Mereka melihat secara kasat mata pada jurusan yang akan diampu, bukan pada niat yang harus ditambatkan. Salah satu contoh, orang tua yang fanatik sempit pada agama, akan mengapresiasi anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliah (MA), yang bercitrakan agama, dan kurang memberi restu bila melanjutkan ke Sekolah Teknik Mesin (STM) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berorientasi pada keterampilan kerja. Hal demikian, saya kira kurang tepat. Apapun sekolah yang dipilih dan jurusan yang diampu, tidak menjadi soal. Tidak mengurangi kualitas pahala di sisi Allah, asal niatnya baik.

Alasan orang tua mungkin khawatir terhadap penghayatan keagamaan anaknya kurang mapan. Jika itu alasannya, ada alternatif lain, dengan memberikan tambahan belajar di luar sekolah.. Bahkan sekarang begitu mudah didapat SMK plus yang dimiliki pondok pesantren. Di samping para murid dibekali keterampilan kerja sesuai jurusannya, mereka juga diwajibkan mengikuti kajian kitab kuning secara intens. Dalam suatu kesempatan, saya pernah berbincang dengan guru tugas dari salah satu pondok pesantren terkemuka di Pamekasan. Ketepatan dia alumni SMK pesantren dimaksud. Saya bertanya tentang pengajaran kitab kuning bagi murid-murid SMK. Dia menuturkan bahwa di lembaganya, kitab kuning tetap menjadi program wajib secara intens. Alumni di lembaga ini bisa siap kerja dan siap pakai, termasuk pula kehandalan kitab kuningnya. Mantap!!

Suatu hal yang menurut saya juga kurang tepat dalam pemetakan sekolah yang berorientasi amal atau kerja. Sekolah yang berorientasi keterampilan kerja bukan berarti kering spiritual dan pahala. Demikian pula, sekolah agama bukan berarti pula subur spiritual dan kaya pahala. Kedua-duanya tergantung pada niat para orang tua dan murid. Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’limul Muta’allim, menuturkan secara gamlang niat yang benar dalam menuntut ilmu, yaitu untuk mendapat rida Allah, selamat di akhirat, menghilangkan kebodohan diri sendiri dan orang lain, juga menghidupkan dan melanggengkan agama. Merawat agama, zuhud dan takwa bisa dicapai bila punya landasan ilmu. Niat ini harus menjadi motivasi setiap murid dari lembaga pendidikan apapun, baik MA, SMK dan lainnya.

Tipe dan jurusan lembaga pendidikan hanyalah sekadar mengasah kompetensi murid sesuai bidangnya supaya fokus, bukan sebagai penentu bernilai ibadah atau tidak. Semuanya akan bernilai ibadah bila niatnya tepat. Demikian pula, apapun jurasannya jika niatnya tidak tepat, hanya mungkin mendapat prestasi pragmatis dan kesementaraan.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ». (رواه البخارى و مسلم) .
Dari Ibn Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) pada apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa dia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim). 

Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, menyitir bahwa hadits tersebut dilatari oleh seseorang yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah dengan maksud untuk menikah dengan seorang perempuan bernama Ummu Qais, bukan bermaksud mendapat fadilah hijrah. Dari itulah, menjadi jelas bahwa tuntunan niat karena Allah dalam setiap aktivitas apapun menjadi urgen dan penentu kualitas keberagamaan seseorang. Ada sandaran vertikal yang pertama dan utama dalam membangun kesempurnaan hidup dalam berbagai aspeknya, termasuk dalam hal mencari jodoh dan nafkah.

Iman Nawawi mengatakan dalam Syarh An-Nawai ‘ala Muslim, bahwa kandungan hadits ini mencakup perang dan perbuatan-perbuatan lainnya. Lebih lanjut beliau mengatakan, ulama telah sepakat (ijmak) bahwa hadits ini memiliki obyek yang besar dan sarat faedah melimpah. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, hadits ini meliputi sepertiga ajaran Islam, dan 70 bab fiqih dilingkupinya.
Niat adalah pembeda dari setiap aktivitas seseorang. Iman Suyuthi telah membahasnya dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair bahwa fungsi niat setidaknya ada dua. Pertama, memperjelas atau membedakan antara perbuatan ibadah dengan tradisi. Kedua, membedakan rangkaian suatu ibadah dengan ibadah lain sesuai dengan urutan dan batas-batas yang ditentukan dalam hukum Islam. Salah satu contoh, tidak makan dan minum di siang hari ada kemungkinan karena puasa, pantangan atau untuk diet. Hal tersebut dapat dibedakan dengan niat. Anjuran saya, sekalian bila anda ingin diet, sebaiknya berpuasa saja agar dapat pahala puasa dan secara otomatis diet juga terlaksana. Contoh lainnya, duduk di dalam masjid kadang untuk iktikaf atau untuk beristirahat, tergantung pada niatnya.

Mengenai perkara makna kerja yang berorientasi mencari uang atau nafakah, bukanlah hal yang tercela dan kering pahala. Hal itu tergolong amal saleh pula. Amal saleh bukan hanya terbatas pada ibadah ritual (mahdhah), tapi juga segala kegiatan untuk memenuhi hajat hidup. Hadits berikut memberi spirit kerja, dalam artian mencari nafakah dengan pahala yang menggiurkan
عن أبي هريرة قال قال رسول الله : إن من الذنوب ذنوبا لا يكفرها الصلاة ولا الصيام ولا الحج ولا العمرة قالوا فما يكفرها يا رسول الله قال الهموم في طلب المعيشة . (رواه الطبرانى) .
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Ada dosa dari sekian banyak dosa yang tak terampuni dengan shalat, puasa, haji dan umrah. Para sahabat bertanya: ‘Apa yang bisa mengampuninya wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Kesengsaraan dalam mencari penghidupan.’” (HR. At-Thabrani).

Amal sama dengan kerja. Jika keduanya dikonotasikan berbeda oleh sebagian masyarakat, tidak masalah. Yang penting kita punya prinsip bahwa amal dan kerja sama-sama bernilai ibadah bila dibangun di atas niat yang baik. Setiap amal (kerja) yang kita lakukan, sandaran utamanya adalah rida Tuhan. Setiap aktivitas yang kita lakukan harus mengandung kemaslahatan dunia akhirat. Ingat, tak ada nilai amal akhirat bila keliru niat, dan tak akan sia-sia kerja dunia bila dilandasi niat baik. Wallah a’lam.

Sumenep, 20 April 2016

Selasa, 19 April 2016

SIANG ABRAR, MALAM MUQARRABIN (Dua Akses Menuju Profesi Spiritual Produktif)


M. Khaliq Shalha



Dalam perspektif sufi, ada dua kategori menuju profesi spiritual. Pertama, golongan abrar, yaitu para pengabdi (sukarelawan). Golongan ini meliputi ‘abidin dan zahidin, yaitu mereka yang mencurahkan seluruh potensi dan minat untuk beribadah dan beramal saleh (dalam arti luas) demi mendapat pahala dan derajat tinggi di surga. Peranan ‘abidin dan zahidin adalah pengabdi kepada Allah dengan setulus-tulusnya dalam berbagai bentuk pengabdian. Ada yang mengambil kiprah dalam dakwah yang disebut dai. Ada pula berkiprah dalam mengatur penduduk negeri yang disebut umara. Ada lagi berkiprah dalam kesehatan disebut dokter. Demikian pula, ada yang berkiprah dalam pendidikan yang disebut guru, dan lain sebagainya.

Kedua, golongan muqarrabin, yaitu para orang dekat dengan Allah. Golongan ini meliputi muhibbin dan ‘arifin, yaitu mereka yang bersuluk dalam bentuk mengerahkan seluruh potensi dan minat untuk beribadah demi memenuhi hak-hak Allah semata dan mendapat curahan rida-Nya. Golongan muhibbin dan ‘arifin memerankan dirinya untuk mencurahkan seluruh cintahnya kepada Allah, hingga memasuki medan makrifat dan syuhud.

Golongan pertama dan kedua di atas berjalan sesuai kecenderungan masing-masing sebagai anugerah dari Allah. Menyikapi dua pemetaan manusia menuju kedekatan dengan Tuhan, kita perlu menyikapi secara berimbang, supaya dapat meraih prestasi gemilang dan relatif padu di antara keduanya. Sepertinya, jarang adanya dalam diri seseorang dua karakter yang sedikit berbeda konsentrasinya tersebut, berjalan secara berimbang dan sejajar, tapi ada yang dominan di antara kedunya, kecuali dalam diri Rasulullah SAW. Meminjam istilah sistem ekonomi dunia, ada negara yang menerapkan sistem ekonomi liberal (kapital) dan ada pula negara lainnya menganut sistem ekonomi sosial (komando). Kenyataannnya, tidak ada negara yang murni menerapan salah satu sistem ekonomi tersebut. Tapi sistem ekonomi campuran, namun memiliki kecenderungan yang dominan.

Sebagai kiblat pencerahan lahir batin, Rasulullah SAW adalah sosok insan kamil nomor wahid. Di samping beliau sebagai tokoh golongan pertama, juga sebagai tokoh golongan kedua. Salah satu buktinya, dalam peristiwa mikraj, beliau masih mau kembali ke dunia setelah beliau berhasil menemui Tuhannya di Sidratil Muntaha. Kata Muhammad Iqbal, sebagaimana dikutip oleh Kuntowijoyo dalam bukunya, Ilmu Sosial Profetik, bahwa andai Nabi itu seorang mistikus murni, niscaya beliau tidak akan mau kembali lagi kedunia, tapi karena beliau punya misi mulia untuk merubah jalannya sejarah manusia di muka bumi, maka beliau berkenan untuk kembali lagi ke bumi. Peristiwa inilah, menurut saya, sangat pas menjadi pijakan kokoh para calon abrar dan muqarrabin agar memiliki keseimbangan yang relatif setara.

Golongan pertama dan kedua, menurut Ibn Athaillah As-Sakandari, merupakan anugerah tak terhingga dari Allah yang salah satu dari keduanya tidak boleh dipandang sepele. Saya kira benar, tapi kita perlu bijak cara mengamininya supaya kita memiliki peran ganda, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sepanjang hayatnya. Periodisasi dakwah Rasulullah SAW sangat menyentuh semua aspek yang dibutuhkan manusia. Dari periode penanaman keimanan yang kokoh, yang sangat intens ketika di Mekah, hingga pranata sosial yang mapan di Madinah.

Pendidikan spiritual-sosial ala Rasulullah SAW begitu bersahaja (aktual dan logis), penuh berimbang untuk mencetak generasi abrar plus muqarrabin atau muqarrabin plus abrar. Hadits sahih berikut secara benderang menuturkan hal itu.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه يقول جاء ثلاث رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه و سلم يسألون عن عبادة النبي صلى الله عليه و سلم فلما أخبروا كأنهم تقالوها فقالوا أين نحن من النبي صلى الله عليه و سلم ؟ قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أما أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر أنا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال  أنتم الذين قلتم كذا وكذا ؟ أما والله أتي لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني . (رواه البخارى و مسلم) .
Dari Anas ibn Malik RA berkata: “Ada tiga kelompok orang datang ke rumah istri-istri Nabi SAW, mereka bertanya tentang ibadah Nabi SAW. Terjadi perbincangan di antara mereka. Mereka berkata: Di mana (level) kualitas ibadah kita dibandingkan ibadah Nabi SAW? Allah sudah mengampuni dosa beliau, baik yang sudah berlalu atau yang akan datang.” Salah seorang di antara mereka berkata: “Kalau saya selalu ibadah pada waktu malam.” Satunya berkata: “Saya berpuasa selama satu tahun suntuk.” Satunya lagi mengatakan: “Saya membujang, saya tidak akan kawin selamanya.” Maka Rasulullah SAW datang kemudian bersabda: “Engkau semua mengatakan begini dan begitu? Eh, demi Allah, saya paling takut dan paling takwa kepada Allah ketimbang engkau semua, akan tetapi saya berpuasa, berbuka, shalat, tidur, dan saya beristri. Barangsiapa tidak senang pada sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”  (HR. Bukhari Muslim).

Mengkampanyekan pencerahan dua sisi ini pada masyarakat kita merupakan langkah mulia dan akurat. Perlu memasyarakatkan profesi abrar dan meng-abrar-kan masyarakat, demikian pula memasyarakatkan profesi muqarrabin dan meng-muqarrabin-kan masyarakat. Bila siang, mereka berkhidmat di berbagai lini kehidupan guna menggerakkan sejarah secara dinamis untuk mencapai peradaban mulia nan diridai Ilahi, sedangkan di kala malam, mereka bermunajat secara intens penuh khusyuk dengan Tuhannya. Sekelumit segmin aktivitas manusia: siang, mereka memagang cangkul di sawah, sebagian yang lain menggerakkan jari-jemarinya di atas keyboard laptop di sebuah perkantoran atau lainnya, sedangkan malamnya memutar tasbih berwirid sambil sesaat mengusap linangan air mata karena curhat sendunya dengan Tuhan. Hidup menjadi berkah. Wallah a’lam.

Sumenep, 19 April 2016

Senin, 18 April 2016

LEMBAGA PENDIDIKAN KECIL DI DESA BAGAI MUARA


M. Khaliq Shalha


Secara maknawi, muara adalah tempat berakhirnya aliran sungai di laut. Apa yang anda bayangkan tentang muara? Secara kasat mata, orang memandangnya indah mungkin, tapi secara substansi, apa yang ada di muara sungguh kadang mengerikan dan menjijikkan. Sebagai terminal akhir dari aliran air sungai, muara adalah tempat yang menampung segala hal yang di bawa air. Duri, lumpur, berbagai kotoran bercampur di dalam air suci dan menyucikan (thahir muthahhir) itu. Seperti hal itu pulalah kondisi lembaga pendidikan kecil yang ada di pelosok desa.

Sumber daya manusia tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan (karyawan) lembaga pendidikan desa saat ini rupanya sudah mengalami perkembangan cukup pesat, karena ditopang oleh banyaknya putra daerah yang sudah memiliki galar sarjana dalam berbagai jurusan, setelah mereka menempuh jenjang pendidikan di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Hal itu berbeda jauh dengan kondisi tahun 1990-an. Kala itu, jumlah sarjana desa masih bisa dihitung dengan jari. Dari segi sarana dan prasarana mulai bagus juga, walau terbangun dengan tertatih-tatih, mengingat sumber daya modalnya minim. Suatu hal yang sulit diatasi adalah kondisi karakter sebagian murid-muridnya yang mbeling (nakal).

Lembaga pendidikan desa memiliki beban lebih berat ketimbang lembaga pendidikan besar dan maju, baik milik pemerintah, misalnya MTsN dan MAN atau milik pondok pesantren besar. Dengan jumlah murid yang sangat sedikit, ketika diadakan tes masuk, bukan menentukan lulus tidaknya, tapi sekadar mengetahui secara sepintas sejauh mana penguasaan calon murid terhadap mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang sebelumnya. Semuanya diluluskan (bukan lulus). Tak leluasa memilih dan memilah. Tak berdaya menyaring dengan murni, karena jumlah muridnya sangat terbatas.

Dengan demikian, murid-muridnya sangat bervariasi. Dari segi motivasi belajar, ada yang punya semangat tinggi, sedang dan ada pula yang tidak memiliki semangat belajar sama sekali. Dari segi perilaku dan moral, ada yang mapan, setengah-setengah dan banyak yang bergelagat nakal. Urusan minimnya intelektualitas mudah diatasi, tapi masalah kenakalan tak mudah diselesaikan. Murid nakal umumnya mereka yang tidak memiliki minat belajar. Ketika minat belajar tidak ada, timbul tingkah laku menyimpang, misalnya tempat duduk dibuat ayunan, bangku dibuat reyot, pintu digelantungi, kipas angin dilempari penghapus, tombol lampu dipereteli, dan sejenisnya.

Lembaga pendidikan desa sungguh dilema. Tipe murid mbeling jika dikeluarkan dari sekolah, apa jadinya masa depan mereka nanti? Siapa yang akan mendidik di luar sana? Sekolah-sekalah besar dan favorid jelas tidak mau menerima murid semacam itu. Mereka tak mau ribet dengan murid-murid bermasalah. Masih banyak urusan lain yang krusial yang harus mereka selesaikan untuk meningkatkan kualitas lembaganya. Begitulah kira-kira alasan pihak lembaga favorid.

Kondisi seperti itu bagai masyarakat jahiliah pada awal-awal dakwah Rasulullah SAW di Mekah. Tensi konfliknya agak mirip. Jika Rasulullah berhasil merubah sejarah jahilian min az-zhulumat ila an-nur, maka lembaga pendidikan desa juga optimis akan berhasil, karena perjuangan pihak lembaga pendidikan sebagai bentuk perjuangan dalam melanjutkan dakwah beliau pada masa kini.

Menyikapi kondisi seperti ini, pihak lembaga pendidikan desa harus punya strategi jitu melebihi sekolah-sekolah favorid. Komunikasi intens dengan berbagai pihak harus dilakukan secara istikamah dengan berbagai pihak. Peranan guru, orang tua dan masyarakat harus sama-sama diaktifkan sepenuh hati. Pihak lembaga harus sigap menyikapi gelagat kenakalan murid, sehingga dapat mengantisipasinya sejak dini. Perlu diingat bahwa kenakalan tercipta dalam suatu lingkungan berawal dari kenakalan satu orang tapi dibiarkan sehingga menjalar pada orang-orang lain. Murid jangan diberi kesempatan berperilaku nakal.

Bila upaya-upaya sudah dilakukan dengan penuh kesabaran, tapi masih saja ada satu murid, misal, tidak bisa diatur, malah mempengaruhi pada murid-murid yang lain, tak berlebihan kiranya bila pihak lembaga mengambil tindakan tegas dengan cara murid yang bersangkutan tidak dinaikkan kelas, bahkan kalau perlu dikeluarkan dari lembaga. Lebih baik membuang satu murid perusak, demi menyelamatkan murid-murid yang lain. Barangkali murid yang dikeluarkan itu tidak jodoh dengan lembaga yang dimaksud, mungkin bisa berjodoh dengan lembaga lain. Lembaga pendidikan bisa disebut rumah rehabilitasi mental untuk mencetak insan yang beriman, berilmu dan berakhlak. Apabila mental murid makin tidak karu-karuan di lembaga itu, perlu dirujuk ke rumah sakit lain. Takdirnya mungkin untuk menjadi orang baik perlu belajar di tempat lain.

Lain halnya mengelola lembaga pendidikan besar, misal, MTsN dan MAN atau milik pondok pesantren terkemuka, tentu tak serumit lembaga pendidikan desa tersebut. Penerimaan muridnya melalui tahap seleksi ketat, terutama MTsN dan MAN. Berbagai tes dilakukan, misalnya tes potensi akademik. Banyak calon siswa yang hanya gigit jari karena tidak lulus. Pendaftar yang lulus pun bila dikemudian hari bertindak nakal, pihak sekolah begitu gampang untuk mengeluarkannya. Lagi-lagi murid “rongsokan” dari lembaga-lembaga favorid yang tak masuk ukuran tersebut, alternatifnya kembali ke desa, sehingga pengelola lembaga pendidikan desa benar-benar punya beban berat sebagai lembaga muara. Mari bantu para pahlawan pengelola lembaga pendidikan kecil di desa! Wallah a’lam.

Sumenep, 18 April 2016

Minggu, 17 April 2016

MEMFORMAT KEPRIBADIAN ANAK (Menyuguhkan Menu Makanan Halal)


M. Khaliq Shaliq


Orang tua adalah sosok guru pertama dan utama untuk memformat kepribadian anak. Madrasah rumah tangga merupakan lembaga informal yang sangat krusial sebelum dan sesudah anak menginjak pendidikan PAUD dan seterusnya. Kata guru saya, “al-baitu madrasatul ula (rumah adalah madrasah pertama).”

Nilai-nilai akhlak orang tua perlu disemaikan sejak kedua pasangan sedang memproses memasuki jenjang rumah tangga, bahkan ketika masih jomblo, mengingat karakter anak merupakan fotokopi dari kedua orang tua. Kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, kata orang bijak dulu. Namun setelah jatuh bisa saja sangat jauh dari pohonnya bila dihanyut banjir. Itu artinya, perkembangan anak juga bisa diwarnai oleh lingkungan di luar kehidupan orang tua.

Target orang tua bukan sekadar memiliki anak cerdas secara intelektual, tapi juga secara emosional dan spiritual. Mencetak anak berintelektual unggul dan fisiknya sehat bisa diupayakan oleh orang tuanya dengan mengkonsumsi makanan bergizi. Tak cukup hanya dengan makanan bergizi, tapi juga halal. Dalam bahasa Al-Qur’an, halalan Thayyiba (halal dan bergizi). Saya kadang dihadapkan oleh perilaku orang tua terhadap anaknya yang mengundang hati kontroversi dan kadang terinspirasi. Kasus kontroversi yang pernah saya lihat dengan kedua mata saya adalah orang tua sedang mengantarkan anaknya ke sekolah, ia melakukan tindakan tidak terpuji karena mencuri jajan milik penjual di sekolah, lalu jajan tersebut diberikan kepada anaknya. Anaknya yang tak berdosa diberi makanan yang tak seberapa harganya, yang sebenarnya makanan tersebut adalah racun bagi kepribadian anaknya. Kok tega? Dilihat dari segi taraf ekonominya, orang itu bukanlah termasuk kere, tapi biasa-biasa saja. Sama dengan ibu-ibu lainnya yang juga mengantarkan anaknya. Masalah mencuri, faktor utamanya bukanlah soal terhimpit ekonomi saja, tapi yang lebih dominan karena faktor krisis mentalitas. Imannya sedang kelepek-kelepek (dhai’if). Ampun Tuhan!!

Kasus lain yang menggugah saya, di depan salah satu swalayan, Jumat petang, 15 April 2016 lalu. Ada anak kecil sekitar berumur 3 tahun memegang susu botolan ke luar dari swalayan menghampiri bapaknya yang menunggu di luar, setelah baru saja anak itu dari ibunya di dalam toko. Susu itu oleh anaknya disuruh kuliti untuk diseruputnya. Sontak bapaknya dengan nada agak tegas menanyakan kepada ibu si anak yang membuntuti anak tersebut. “Sudah bayar?” “Belum,” kata si ibu. “Sana bayar ke dalam dulu!” timpal si bapak. Susu itu gagal dikuliti sebelum dibayar di kasir.

Secara etika, sebagian kita mungkin kalah dengan sikap si bapak ini. Misalnya, anak kita kadang mengkonsumsi camilan sebelum ibunya selesai membayar ketika sedang berbelanja, sebelum semua apa yang akan dibeli selesai terkumpulkan, baru setelah itu dibayar total.

Sadar atau tidak, prinsip si Bapak itu bukan sekadar berdasarkan fiqih, tapi tasawuf. Fiqih lebih dangkal ketimbang tasawuf. Sebagai batas minimal. Tapi bertindak dengan menggunakan perspektif fiqih sudah tidak berrisiko, jelas halal, cuma lebih afdalnya, perspektif tasawuf juga dipakai. Bila nilai-nilai tasawuf bisa kita terapkan dalam kehidupan, berarti kita mengantarkan diri kita pada golongan elitis dalam penghayatan terhadap agama.

Kita jangan menyepelekan mengkonsumsi barang haram, baik yang dzati, seperti khamar, atau yang sababi (karena caranya tidak benar), seperti mengkonsumsi makanan hasil curian atau korupsi. Mengkonsumsi barang haram sama halnya meracuni keberkahan hidup kita dan anak cucu kita. Kemungkinan risikonya sangat besar. Selain membentuk karakter jahat, juga menimbulkan krisis pahala amal ibadah yang primer, dalam hal ini shalat dan doa tertolak oleh Allah.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ نَهَرِ الْخَبَالِ قِيلَ وَمَا نَهَرُ الْخَبَالِ قَالَ صَدِيدُ أَهْلِ النَّار ِ(رواه أحمد) .
Dari Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa minum khamar, shalatnya tidak diterima 40 malam. Jika ia bertobat, Allah menerima tobatnya. Jika ia mengulanginya, maka hak Allah untuk memberi minum padanya dari sungai khabal. Ditanyakan (oleh sahabat), ‘apa khabal itu?’ Nabi menjawab, ‘nanah penghuni neraka.’” (HR. Ahmad).
مَنْ أَكَلَ لُقْمَةً مِنْ حَرَامٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، وَلَمْ تُسْتَجَبْ لَهُ دَعْوَةٌ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ، وَإِنَّ اللُّقْمَةَ الْوَاحِدَةَ مِنَ الْحَرَامِ لَتُنْبِتُ اللَّحْمَ . (رواه الديلمى عن ابن مسعود) .
“Barangsiapa memakan sesuap barang haram, shalatnya tidak diterima 40 malam, dan doanya tidak diijabat 40 pagi. Dan, setiap daging yang tumbuh dari barang haram, neraka layak baginya. Sesuap barang haram niscaya tumbuh menjadi daging.” (HR. Ad-Dailami dari Ibn Mas’ud).

Jika shalat dan doa tertolak, apa yang akan bisa kita harapkan pada masa depan kita dan anak cucu kita. Hal ini cukup memberi kesadaran kepada kita bahwa kita jangan mengejar butir tapi melupakan tumpeng. Akhrinya, defisit berkah yang kita terima. Bukan sengsara membawa nikmat, tapi nikmat membawa sengsara. Sebelum terlambat, solusinya tobat nasuha, bukan tobat sambal.

Dalam Islam, dosa warisan itu tidak ada, tapi karakter warisan (genetika) secara otomatis nyata adanya. Sebagai sebuah prinsip pula: mewarisi karakter dan jejak rekam yang baik kepada anak, jauh lebih berharga ketimbang tahta dan harta benda melimpah. Apalah artinya sebuah tahta dan harta benda melimpah di balik keroposnya mentalitas. Memberi konsumsi yang halal pada anak lebih bernilai ketimbang menyematkan perhiasan berjejer dan kendaraan mewah, tapi abai pada perkara yang prinsipil. Wallah a’lam.

Sumenep, 17 April 2016