Jumat, 24 Mei 2019

WALLAH A'LAM BUKAN SEKADAR PEMANIS BAHASA

M. Khaliq Shalha

Teks Kifayatul Akhyar
Salah satu contoh seorang ulama yang sangat tawadhu dalam berpendapat tentang nalar fiqih adalah Imam Taqiyuddin, ulama abad kesembilan Hijriyah.

Bisa kita lihat dalam kitabnya, Kifayatul Akhyar. Hampir pada tiap akhir paragraf beliau menutup dengan kalimat "Wallah a'lam (Allah-lah yang lebih tahu).

Ungkapan kalimat itu bukan sekadar pemanis bahasa, tapi memiliki makna yang sangat berharga bahwa argumentasi yang beliau gelontorkan sifat kebenarannya relatif. Sama sekali beliau tidak menunjukkan klaim kebenaran terhadap pendapatnya sendiri atau pendapat ulama yang beliau jagokan.

Kitab ini berisi banyak pendapat ulama yang sengaja dipaparkan dan dibenturkan oleh beliau dalam membahas sebuah tema. Anggap saja "perdebatan pasif". Beliau memposisikan atau meranking pendapat para ulama sehingga bisa terbaca mana yang dipandang lebih kuat dari sekian pendapat.

Tapi, pada akhirnya beliau berucap: Wallah a'lam.

Sumenep, 24 Mei 2019 M/19 Ramadhan 1440 H

Kamis, 23 Mei 2019

BUKU MENJADI UMAT TERBAIK


Judul: Menjadi Umat Terbaik: Visi Keseharian Muslim Sejati
Penulis: M. Khaliq Shalha
Editor: Ngainun Naim
Halaman: xii+173 halaman
Ukuran: 14 x 20,3 cm
Cetakan: Pertama, 2018
ISBN: 978-602-6706-22-5
Penerbit: Akademia Pustaka, Tulungagung
Info Buku: 085258858840

***

Buku sederhana ini merupakan kumpulan tulisan dari hasil renungan, refleksi keseharian sekaligus cita-cita untuk menumbuhkan dan memupuk kesadaran dalam menghayati pesan mulia agama guna meraih predikat umat terbaik (khaira ummah) untuk kemaslahatan hidup jangka pendek dan jangka panjang.

Uraian pada masing-masing tulisan relatif pendek. Anda hanya butuh waktu sekitar tiga-lima menit untuk membacanya. Barangkali bisa menjadi salah satu alternatif menendang kejenuhan atau mengisi waktu luang di sela-sela kesibukan sehari-hari yang kadang begitu menjemukan.

Dalam kapasitasnya sebagai hasil renungan, buku ini diharapkan menginspirasi, membuka pikiran dan mengetuk hati para pembaca untuk meraih kualitas terbaik dalam hidup karena menyalanya potensi pikiran dan hati dapat mendorong manusia dengan dahsyat untuk aktif berbuat kebaikan serta menutup segala kemungkinan perbuatan tak berguna apalagi merugikan.

Selamat membaca.


Minggu, 19 Mei 2019

RABI'AH AL-ADAWIYAH PECINTA SEJATI

M. Khaliq Shalha


Buku bergizi dalam memotret para pecinta sejati
Rabiah al-Adawiyah adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ia lahir dari keluarga amat miskin. Pada malam kelahirannya, orang tuanya tidak punya persediaan minyak tanah sebagai bahan bakar lentera sehingga rumahnya gelap gulita, dan terpaksa mencari pinjaman ke tetangganya namun belum dapat juga. Demikian pula, tidak punya minyak kelapa untuk dioleskan ke pusar jabang bayi itu.


Rabi'ah lahir di Kota Basrah, Irak, sekitar abad ke-8 tahun 713 M dan meninggal di kota yang sama pada 801 M.

Pada masa kecilnya, Rabi'ah dan tiga saudaranya ditinggal wafat kedua orang tuanya sehingga mereka yatim. Untuk menopang hidupnya mereka bekerja keras karena tidak ada harta peninggalan orang tuanya. Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu untuk menyeberangkan orang dari Sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain. Saudaranya yang lain bekerja sebagai penenun kain dan pemintal benang.

Mulai sejak kecil, tanda-tanda keistimewaan Rabi'ah mulai terlihat. Dia suka termenung. Dan, pernah ketika ada jamuan makan dalam keluarnya, ia tidak bergabung. Ketika ditanya alasannya, ia mengutarakan pertanyaan, apakah makanan yang tersedia jelas-jelas dari barang halal? Lalu dijawabnya, iya, oleh keluarganya. Barulah Rabi'ah mau memakannya.

***

Faktor keterbatasan ekonomi bukanlah penghambat untuk menjadi orang besar. Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang tokoh sufi besar. Sampai saat ini menjadi ikon cinta. Tokoh sufi perempuan ini  barangkali paling banyak ditulis dan dikaji, baik oleh kalangan sufi sendiri maupun para penyair, misalnya Abu Amr al-Jahizh (Bayan wa al-Tibyan), Abu Thalib al-Makki (Qut al-Qulub), Abu Qasim al-Qusyyairi (al-Risalah), Abdurrahman al-Sallami (Dzikr al-Niswah), Farid al-Din al-Atthar (Tadzkirah al-Awliya) dan lainnya.

Berikut ini syair Rabi'ah yang sangat terkenal.

Ilahi, jika aku menyembah-Mu karena takut pada neraka-Mu, maka bakarlah aku dengan api neraka itu.

Dan, jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, tutup saja pintunya!

Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta, maka bukalah tirai wajah-Mu sehingga aku bisa memandanginya.

Cinta para pecinta sejati adalah jenis cinta paling halus dan suci. Hanya Allah yang pantas dicintai, selainnya dusta!

Jalaluddin Rumi menegaskan bahwa cintalah yang merubah segalanya. Orang yang kuat perkasa menjadi tak berdaya karena cinta; orang yang lemah tak berdaya menjadi semangat bertenaga karena cinta; orang bisa menangis karena cinta, orang bisa senyum dan tertawa karena cinta. Energi cinta sedemikian dahsyatnya dalam mempengaruhi dan merubah kehidupan.

Ada ritme tersendiri dalam mencintai selain Allah, yaitu cinta sewajarnya saja. Demikian pula benci. Karena keadaan keduanya silih berganti. Apalagi ada udang di balik batu dari cinta atau bencinya. Tidak murni atau tidak ikhlas. Maka, akan lahir respons: ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang.

Maka, kiblat cinta sejati itu adalah Allah. Seperti halnya dalam sebuah lagu: "Cintai aku karena Allah. Sayangi aku karena Allah."

Wallah a'lam

Sumenep, 19 Mei 2019 M/14 Ramadhan 1440 H

Sabtu, 18 Mei 2019

MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH DENGAN MEMANUSIAKAN MANUSIA

M. Khaliq Shalha

Dari waktu ke waktu terkadang terdengar konflik yang merugikan sesama, khususnya orang-orang yang lebih lemah. Konfik itu muncul, salah satu pemicunya, karena perbedaan pemahaman terhadap persoalan keagamaan. Orang tega mengucilkan sesamanya dengan mengatasnamakan membela agama, membela Tuhan.

Apakah Tuhan perlu pembelaan dari manusia? Kata Gus Dur, "Tuhan tak perlu dibela." Allah Maha Sempurna dan Kuasa. Justru yang memerlukan pembelaan adalah manusia untuk senantiasa bisa hidup aman dan nyaman.

Adalah kewajiban manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Sejatinya manusia semakin dekat dengan Tuhannya, semakin baik pula hubungan dengan sesamanya. Bukan malah sebaliknya. Jika terjadi sebaliknya, berarti ada yang konslet dalam diri manusia itu.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, "Ada dua perkara yang tak tertandingi keutamaannya, yaitu iman kepada Allah dan bermanfaat kepada orang-orang Islam." Dalam hadits lain dikatakan, "Barang siapa di pagi hari tidak punya maksud untuk menzalimi seseorang, Allah akan mengampuni dosa yang telah diperbuatnya. Barang siapa di pagi hari berniat menolong orang yang terzalimi dan mau memenuhi kebutuhan muslim lainnya, maka ia memperoleh pahala bagai pahalanya haji mabrur."

Dari saking pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Allah menyandingkan keimanan kepada-Nya dengan berbuat baik kepada sesamanya. Bahkan dalam hadits lain dikatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia mencintai saudaranya seperti halnya mencintai diri sendiri.

Jadi, indikasi kesalehan seseorang bisa dilihat dari bakti sosialnya. Jika dalam kesehariannya senantiasa menebar manfaat dengan sesamanya, berarti ia dekat dengan Tuhannya. Tapi bila kesehariannya membuat orang lain tidak aman dan tidak nyaman dengan ucapan dan perbuatannya, berarti ia sedang jauh dari Tuhannya meskipun sering kali ia mengumbar kata-kata membela agama.

Wallah a'lam.

Sumenep, 18 Mei 2019 M/13 Ramadhan 1440 H

Senin, 13 Mei 2019

TIDUR PAGI KEBIASAANNYA ORANG LEMAH

M. Khaliq Shalha


Suatu saat Rasulullah SAW mendapati Fatimah tengah tiduran usai shalat shubuh.

"Wahai Fatimah, bangun dan saksikanlah rezeki Tuhanmu dan jangan sampai masuk golongan orang lalai, karena sesungguhnya Allah membagi rezeki hamba-Nya sejak habis munculnya waktu fajar hingga terbit matahari.” (HR. Baihaqi dan Ibn Hibban).

Orang yang tidur pagi mengindikasikan mentalnya lemah. Orang yang bermental lebih tidak memiliki semangat pagi untuk berkarya. Padahal waktu pagi merupakan momentum untuk menyusun konsep atau memulai pekerjaan dan lebih terjamin produktif.

Bagi anak sekolah, belajar setelah Subuh akan mendapatkan kenyamanan tersendiri karena otak masih segar. Bagi seorang penulis, waktu pagi lancar-lancarnya datangnya inspirasi. Bagi seorang petani, bekerja di pagi hari lebih adam, menyehatkan dan lebih produktif.

Alkisah, ada seorang guru yang petani mengetrapkan semangat pagi untuk mencangkul di sawah. Dia mulai mencangkul habis shalat Subuh dan berhenti pukul 07.30 WIB untuk pergi mengajar. Mengajarnya aktif dan disiplin. Sedangkan tetangganya lazimnya berangkat ke sawah pukul 07.00 ke belakang. Si guru sudah menyelesaikan mencangkul sekian-sekian lebarnya, tetangganya masih mau berangkat dan sebentar lagi matahari akan terik menyulut badan secara perlahan.

Menurut hipotesa saya, orang yang suka tidur pagi biasanya orang itu rendah disiplinnya dalam berbagai hal karena semangat hidupnya padam, tidak menyala.

Orang-orang tua berpesan kepada anaknya, "Jangan tidur pagi supaya rezekimu tidak dipatok ayam." Hal itu sejalan dengan hadits Nabi SAW tersebut.

Lalu timbul pertanyaan, mengapa banyak orang berpuasa di bulan Ramadhan punya kebiasaan tidur pagi? Salah satu jawabannya karena semangat (ghirah) mereka lemah. Mereka termasuk muslim yang lemah walaupun mereka punya dalil bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah (Naumus shaim 'ibadah). Dalil itu tentu cocok bagi orang-orang Islam yang lemah. Karena mafhum mukhalafah-nya, jika tidur saja bernilai ibadah, apalagi bekerja menjemput rezeki Tuhan.

Wallah a'lam.

Sumenep, 13 Mei 2019

Sabtu, 11 Mei 2019

ULAMA PUNYA BEBAN MORAL BERAT

M. Khaliq Shalha


Mengaji Kitab Minhajul 'Abidin bersama Prof. Dr. KH. Abd. A'la, M.Ag di PP. Annuqayah Latee

"Dikira gampang apa jadi ulama. Masya Allah...!" (KH. Said Aqil Siradj).

Di Indonesia akhir-akhir ini heboh dengan perebutan opini tentang ulama. Masyarakat awam kita begitu mudah memberi merek ulama pada seseorang karena sering tampil di televisi dengan modal vokal bicara dan beraksesoris ala ulama tanpa tahu kapasitas dan latar belakang keilmuannya. Padahal banyak di antara mereka suka menebar kebenciaan, sarkastis, provokatif. Sementara mereka yang memang betul-betul berkompetensi di bidang agama, oleh kalangan awam dituduh sesat.

Jadi, ada semacam fenomena keterbalikan persepsi. Dunia seakan terbalik. Hal yang semestinya sekadar jadi tontonan malah dijadikan tuntunan, dan begitu sebaliknya.

Umat tidak cukup sekadar memiliki ketaatan dan loyalitas tinggi dalam beragama, tapi juga sangat perlu berpengetahuan memadai sehingga tidak mudah dibodohi oleh siapa pun dengan mengatasnamakan membela agama, tapi malah semakin jauh dari nilai-nilai agama.

Di awal-awal kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menyitir hadits Nabi SAW yang isinya sangat menukik. Nabi bersabda, "Ada yang saya lebih khawatirkan atas kamu daripada Dajjal." Para sahabat bertanya, "Siapa gerangan dia ya Rasulullah." "Ulama'us su' (Ulama jelek)," jawab beliau. Ulama jelek itu, ulama abal-abal.

Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Maraqil 'Ubudiyah (syarah dari Bidayatul Hidayah) menjelaskan makna "uluma'us su'", yaitu setiap orang munafik yang amat vokal lisannya tapi amal dan hatinya hampa. Ilmunya sekadar dijadikan penggenjot profesi untuk mencari makan dan popularitas sehingga publik terpana dan terpikat. Mengajak orang-orang mendekatkan diri kepada Allah sementara dirinya lari tunggang langgang dari Allah.

Imam Nawawi menambahkan riwayat Ahmad dari Abu Hurairah. Nabi bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku takuti atas umatku adalah setiap orang munafik yang vokal bicaranya ('alimul lisan). Riwayat lain dari Imam Ahmad dan Imam Thabrani melalui Sahabat Abu Dardak, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku takuti atas umatku adalah para imam yang menyesatkan."

Beban moral ulama memang berat. Selain kualifikasi keilmuannya harus betul-betul memadai, juga harus diimbangi dengan pengamalannya dan suri teladan yang baik.

Tanpa kualifikasi itu, sangat mengkhawatirkan; dapat menghanyutkan umat pada muara kesesatan. Hal semacam inilah lebih membahayakan ketimbang Dajjal. Dajjal sudah nyata menyesatkan, sementara ulama abal-abal membuat orang tertipu. Nyatanya menghanyutkan.

Wallah a'lam.

***

Menasehati diri.

Sumenep, 11 Mei 2019 M/6 Ramadhan 1440 H

Kamis, 09 Mei 2019

SERBA QASAR (Ngaji dalam Perjalanan Jember-Surabaya-Sumenep)

M. Khaliq Shalha*)


Bus Ladju
Tiga malam saya bermalam di rantau, tepatnya di Keting, Jombang, Jember. Dari malam pertama Ramadhan 1440 H/2019 dalam rangka silaturrahmi dan mengantar anak dan istri berlibur Ramadhan di rumah mertua.

Rabu, 8 Mei 2019 pukul 04.30 WIB saya sudah siap pulang ke Sumenep, Madura. Pukul 05.00 baru berangkat menuju jalan raya Kencong-Surabaya. Dapat bus pukul 05.30; bus Ladju. Kupesan karcis Yosowilangun-Surabaya Rp35.000.

Menikmat pemandangan indah Lumajang
Menjelang SPBU dekat terminal Wonorejo, Lumajang bus berhenti di halte JLT untuk menaikkan-menurunkan penumpang. Kulihat di halte ini ada mobil angkutan khusus anak sekolah, gratis...! Saya salut dengan kepedulian pemerintah setempat pada pendidikan anak dengan menyediakan fasilitas transportasi gratis.

Bus bergerak lagi lalu menepi ke SPBU itu. Kuduga sekadar isi solar, ternyata penumpang dioper ke bus lain, bus Sabar Indah. Jika bus Ladju tadi melaju dengan cepat, pun bus Sabar Indah tak kalah cepatnya, bahkan masih lebih cepat. Penumpang yang akan naik di terminal Wonorejo harus tergopoh-gopoh, lari-lari kecil karena bus ini tidak tumakninah. Rupanya bus Sabar Indah ini kurang sabar memberikan pelayanan terbaik pada penumpang. Gaya pacunya bagai gaya bus-bus jurusan Surabaya-Yogyakarta, semisal Sumber Kencono alis Sugeng Rahayu alias Sumber Selamat. Doa keselamatan harus betul-betul kupanjatkan.

Dalam taksiran, dengan laju cepat ini akan segera sampai di Surabaya. Tak disangka, ada hambatan di tikungan di jalan raya Banjar Sawah, Tegal Siwalan, Probolinggo, yaitu tabrakan dahsyat bus Anggun Krida jurusan Surabaya-Jember versus truk bermuatan jeruk dan buah naga full. Menurut saksi mata, sopir kedua kendaraan itu wafat. Semoga mendapat ampunan Allah.
Insiden kecelakaan truk vs bus
Proses evakuasi agak lama. Kondektur bus Sabar Indah memerintahkan para penumpang tujuan Surabaya untuk pindah bus di belakang. Kami pindah lagi ke bus Restu. Terjadi barter penumpang; penumpang jurusan Probolinggo ikut Sabar Indah. Para penumpang sedang diuji kesabarannya. Sabar itu indah dan mudah mendapatkan restu Tuhan.

Setelah bus Krida di badan jalan raya selesai diderek, kendaraan-kendaraan dari arah timur dan barat yang sudah menyemut berjalan lancar lagi. Pukul 08.45 bus Restu yang saya tumpangi berangkat melaju lebih trengginas lagi. Sebelah barat inseden tadi, Restu ini nyaris menyeruduk motor yang mau menyeberang hingga membuat penumpang di bagian depan berteriak histeris.

Bus Restu mengejar waktu untuk sampai ke Surabaya sehingga memilih jalur tol panjang dengan meminta tambahan ongkos Rp5.000 per orang untuk karcis tol. Bus ini mengqasar jarak tempuh yang biasanya lewat di jalur biasa akhirnya diqasar via tol panjang Probolinggo-Surabaya.

Di samping kiri saya duduk seorang nenek, namanya Siyam, kalau tidak saya salah dengar, asal Surabaya yang baru saja dari rumah anaknya, katanya. Sewaktu kondektur perempuan meminta tambahan ongkos, si nenek mengeluarkan duitnya yang diikat sapu tangan. Saya lirik uangnya kisaran Rp15.000.  Kuteringat nenek saya. Tak lama kuberpikir untuk saya bayari karcis si nenek. Si nenek membalas dengan doa; semoga dimurahkan rezeki oleh Allah. Amin, responku. Dia berpesan, kalau sudah hampir tiba di Medaeng untuk diberi tahu. Dia mau turun di sana. Hampir tiba di Medaeng, kuberitahukan, dan kuberi  ia sebungkus sabun Giv.
Bersama Ibu Siyam di bus Restu
 Pukul 10.30 bus sudah tiba di terminal Bungurasih. 10.45 saya sudah selesai ambil wudhu lalu munuju ruang tunggu sambil menanti masuknya waktu shalat Zuhur. Kuagendakan jamak qasar takdim Zuhur-Asar--menurut mazhab Syafii, rukhshah (dispensasi) safar lebih utama dimanfaatkan--hingga tenang-tenang saja menuju Madura sambil ngabuburit (nyare malem). Waktu buka puasa kan masih lama. Waktu azan Zuhur kusadari betul bahwa ia azan Zuhur, tak kusangkakan sebagai azan Asar apalagi Magrib.

Usai shalat, saya mengemas barang-barang bawaan. Tiba-tiba dari belakang ada orang menyapa. Bikin kaget saja. Sungguh saya tak punya hati luar.

"Mau ke mana Mas?"

"Sumenep."

"Sumenep itu terus ke barat di Jawa ini ya?

"Bukan, di Pulau Madura."

"O...!!"

Baru tahu dia.
Mushalla di ruang tunggu lantai I bagian barat
Di terminal megah ini bisa membuat penumpang betah istirahat sambil menunggu bus yang akan dinaiki, karena full musik. Sesuai momennya, lagu-lagu yang didendangkan bernuansa islami oleh penyanyi profesional, seperti lagunya Nissa Sabyan. Suara penyanyinya bagus bak suara Nissa Sabyan. Layanan lagu-lagu ini sepertinya diprogram oleh pihak pengelola terminal karena menggunakan sound milik terminal yang menggema di ruang tunggu. Para penumpang di ruang tunggu dihampiri satu per satu oleh penyanyinya untuk dimintai duit seikhlasnya. Saya menyebutnya hiburan ini ngamin modern-profesional dalam ruangan. Saya menikmatinya sambil menulis artikel ini.
Penyanyai berkerudung oren pegang mic tanpa kabel
Bus Akas NR ber-Ac tarif ekonomi sudah nangkring di lajur pemberangkatan jurusan Madura. Saya segera menujunya. Pas masuk sambil mencari tempat duduk yang aman dan nyaman, saya langsung disapa seseorang asal Sumenep dan bertanya tujuan saya. Saya bilang, Prenduan. Dia akan membayari karcis saya Rp15.000. Berarti saya tinggal bayar sisanya, Rp25.000. Dia bilang, sudah dari tadi dia mencari orang untuk dibayari ongkosnya. Ternyata saya ketiban subsidi. Tapi saya tak perlu lebay dengan mengatakan: "Rezeki anak saleh...!"
Di terminal Bungurasih
Lalu, pikiran saya terpental pada si nenek tadi. Uang Rp5.000 plus satu sabun Giv yang kuberikan padanya sudah diganti oleh Allah Rp15.000 dalam waktu sekejab lewat seseorang. Inilah bukti nyata bahwa sedekah akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah. Tapi, penting untuk diingat, berbagi kepada orang lain adalah dalam rangka memberikan manfaat pada sesama. Urusan balasan, itu hak prerogatif Allah. Cara pandang beramal saleh jangan selalu menggunakan paradigma pedagang; yang jadi pertimbangan selalu untung rugi. Paradigma pedagang dalam kaca mata tasawuf masih kelas bawah ketimbang paradigma seorang pecinta. Bagi seorang pecinta, berbuat semata-mata karena yang dicintainya. Cinta Allah, cinta Rasul dan cinta sesama manusia akan menjamin kebahagiaan sejati dalam ridha dan rahmat-Nya.
Azan Magrib tiba. Bus yang kutumpangi masih melaju cepat di dekat masjid Sodok. Kuberbuka seadanya. Tahu Rp1.000 cukup untuk menu berbuka. Pukul 18.15 saya tiba di rumah dengan selamat.

Surabaya-Sumenep, 8-9 Mei 2019
_________
*) Hobi traveling, suka naik bus, suka baca, suka menulis dan suka belanja buku. Selaku orang NU, tokoh idola: KH. M. Hasyim Asy'ari, KH. Said Aqil Siradj, Gus Muwafiq.

Selasa, 07 Mei 2019

BERTAWAF MENIKMATI KEINDAHAN PEDESAAN DI RANTAU

M. Khaliq Shalha


Di siang hari, Selasa, 7 Mei 2019 saya, istri dan dua anak saya jalan-jalan berputar di sekitar desa Keting-Jombang, Jember, menikmati indahnya alam desa yang asri.

Tawaf desa di siang hari ini motif dominannya untuk mengapusi anak laki-laki saya yang rewel nangis. Mungkin karena cuacanya sedang panas.
Bagi orang yang dapat banyak kesempatan traveling akan merasakan bahwa bumi Allah amat luas nan indah, sebagaima firman-Nya, "Sesungguhnya bumi-Ku luas. Maka, hijrahlah di dalamnya."

Keindahan alam akan memantik semangat hidup untuk mencintai lingkungan hidup. Padi-padi di petak-petak sawah masih sedang menghijau. Baru saja ditanam oleh para pahlawan kehidupan; para petani.
Tanah Jawa memang seakan-akan tanah surga. Sungai-sungai mengalir. Sepertinya saya betah berlama-lama menikmati keidahan itu. Diri ini tak kuasa melukiskan keindahan alam.

Di samping itu, saya ingin menanakan pluralisme sosial untuk diri sendiri dan keluarga, agar menyikapi hidup tidak seperti katak dalam tempurung, tidak bagaikan lalat dalam toples kaca.

Dalam perjalanan berharga ini saya banyak menjumpai masyarakat menggelar bisnisnya di pinggir jalan raya. Misalnya ada pasar kecil-kecilan jual beli ikan laut dan ikan sungai. Di Jawa sudah biasa dijual ikan air tawar. Di Madura kurang diminati walaupun stoknya sangat terbatas.

Ada pula jualan siwalan dengan kulitnya juga legen. Mirip dengan di Madura. Hanya, rata-rata siwalan di Madura sudah dikuliti, siap saji.

Ada pula relawan jalan raya pengumpul dana pembangunan masjid. Persis dengan di Madura.  Kesukaan anak saya melempar uang untuk amal ini. Upaya pengumpulan dana dengan cara ini merupakan khazanah Islam Nusantara.

Itulah catatan sederhana pendidikan di alam bebas dan jalan raya.

Jember, 7 Mei 2019

PERNAK-PERNIK QIYAMU RAMADHAN

Qiyamu Ramadhan salah satunya shalat Tarawih dan dilanjutkan taraddur Al-Qur'an.

Pernak-perniknya masing-masing daerah bisa saja ada perbedaan dalam mengekspresikan sekian ragam kebaikan.

Selama tiga malam saya berkesempatan shalat Tarawih di daerah Keting, Jombang, Jember, yaitu tanggal 1-3 Ramadhan 1440 Hijriyah. Ada hal baru yang saya jumpai di mushalla tempat saya shalat Tarawih, yaitu usai  Tarawih plus Witirnya ada puji-pujian shalawat kepada Rasulullah SAW dikumandangkan oleh salah seorang jemaah perempuan dan diiringi pemukulan beduk oleh seorang jemaah laki-laki. Dur, dur, dur, dur.

Khazanah Islam Nusantara memang sangat akrab dengan budaya sebagai wujud pribumisasi Islam sehingga muncul kearifan lokal yang memiliki nilai islami. Mendarah daging dalam kesadaran umat dalam membentuk gairah keberagamaan yang senantiasa dijunjung tinggi.

Wallah a'lam.

Jember, 7 Mei 2019

KENDURI SEBAGAI PEMANASAN MENGHADAPI RAMADHAN

M. Khaliq Shalha
Foto sekadar ilustrasi, pemanis tampilan. Dikopi dari NU Online
Malam puasa pertama tahun ini, 1440 H/2019 M saya ada di rantau, Keting, Jombang, Jember untuk silaturrahmi. Saya memotret geliat keberislaman masyarakat di daerah yang saya kunjungi ini menunjukkan progresnya melebihi daerah asal saya.

Sudah menjadi tradisi ubudiah daerah ini tiap mengawali bulan Ramadhan masyarakat berbondong-bondong pergi ke pusat ibadah, yaitu masjid, mushalla (surai/langgar) dengan membawa sedekah berupa seperangkat nasi selengkapnya untuk saling berbagi antar sesama. Terjadilah barter makanan karena semuanya membawa sedekah. Acara seperti ini mereka menyebutnya "kenduri".

Pada acara kendurian ini, di samping membawa sedekah, diisi pula dengan taushiyah singkat tentang persiapan puasa dan pembacaan tahlil bersama yang pahalanya untuk almarhum almarhumah mereka, sebagaimana lazimnya tradisi NU. Itulah ciri anak saleh.

Kenduri ini saya memaknai sebagai pemanasan (simulasi) mental menyambut bulan puasa Ramadhan agar umat Islam setempat benar-benar siap mendirikan ibadah Ramadhan hingga mencapai esensi puasa, yaitu la'allakum tattaqun; memperoleh prestasi takwa.

Wallah a'lam.

Jember, 7 Mei 2019 M/2 Ramadhan 1440 H

Senin, 06 Mei 2019

LIBURAN RAMADHAN 1440 H ( Catatan Tafsir Jalan Raya; Antara Kelucuan dan Kepiluan )


Di Bus Akas NR Patas
Menurut seorang ulama, sebagaimana dikutip oleh al-Ghazali dalam Ihya’Ulumiddin bab Safar dikatakan bahwa safar ibarat air yang mengalir, airnya akan jernih. Begitulah gambaran kejiwaan manusia. Sewaktu-waktu manusia butuh nuansa baru di liur rumah, di tempat lain untuk menghilangkan kepenatan setelah berjibaku dengan kegiatan sehari-hari.

Bulan Ramadhan 1440 H / 2019 M ini, istri dan anak saya berkomitmen berlibur di ramah mertua, di Keting, Jombang, Jember. Memanfaatkan liburan madrasah sebulan suntuk. Ahad, 5 Mei 2019 diagendakan berangkat dari rumah menuju Jember. Satu hari menjelang puasa Ramadhan.

Pukul 06.45 WIB kami siap di pinggir jalan raya menunggu bus Akas NR Patas. Kami sudah tertinggal beberapa menit saja dari bus incaran saya, Pelita Mas Non Ekonomi yang biasanya jadwalnya pukul 06.30 WIB. Ketahuilah olehmu (i’lam) bahwasanya istilah Non Ekonomi sebutan lain dari Patas untuk memberi kesan lain kepada penumpang, khususnya masyarakat Madura yang lazimnya enggan untuk naik bus Patas karena terkesan mahal. Itulah tafsir saya. Jika ada bus Patas akan lewat, calon penumpang segera menyembunyikan tangannya ke belakang khawatir menyetopnya atau bahkan bersembunyi di sebelah pohon asam besar peninggalan Belanda yang menjadi perindang di sepanjang jalan nasional di perbatasan Sumenep-Pamekasan. Tarif Patas dan Non Ekonomi rata-rata sama. Hanya untuk Pelita Mas Non Ekonomi asal Kota Malang ini tarifnya lebih murah sedikit daripada Akas NR Patas asal Medaeng, Waru, Sidoarjo, selisih Rp5.000; Prenduan (Sumenep)–Surabaya tarifnya Rp55.000 bagi Pelita Mas versus Rp60.000 bagi Akas. Fasilitasnya sama-sama bagus. Dentuman mesinnya sama-sama halus. Hanya saja bus-bus lain kalah tenar pada Akas bagi masyarakat Madura. Sehingga sepertinya semua bus mereka sebut Akas; Akas = bus. Padahal bus yang masuk ke Pulau Garam Madura banyak macamnya: Akas, Damri, Pelita Mas, Mila, Karina, Pahala Kencana, Kramat Jati, Haryanto, Madu Kismo, Gunung Arta dan Kemenangan. Lain lagi bus-bus pariwisata.

Menjelang pukul 07.00 bus Akas datang dari arah timur. Oh, bukan patas! Bus biasa dan tak ber-AC. Saya lambaikan tangan sebagai bentuk respons yang sopan untuk tidak ikut. Pukul 07.00 Akas NR Patas yang berwarna ke-oren-orenan ngumbar dari arah timur. Oh, ini dia yang saya tunggu-tunggu! “Siap-siap …,” kataku pada anak dan istri. Pun, barang-barang bawaan siap dijinjing masuk ke atas. 
Satu hari menjelang puasa, penumpang dari Sumenep-Surabaya relatif sepi, tapi bus ini masih beruntung karena sampai di Bangkalan kursi bus ini relatif full dari penumpang. Berhubung penumpang relatif sepi, maka laju bus ini sangat lambat. Mengulur-ulur waktu untuk mendapatkan penumpang. Mirip dalam permainan sepak bola bagi pihak lawan yang unggul golnya. Palaangan (baratnya Prenduan)-Surabaya ditempuh 4 (empat) setengah jam, itu sudah bus kelas Patas. Biasanya 3 (jam) sudah sampai. Maka, jika ada rumus Patas = cepat, rumus itu tak selamanya benar. Dari pengalaman saya itu, rumus tersebut sama sekali jauh dari dugaan. Bisa tak berlaku di Pulai Madura. Istri saya mengeluh dengan kelambatan ini. Bayar mahal-mahal masih lambat juga.

Saya memakluminya, apapun kelas kendaraannya, semua pengusaha transportasi tidak mau rugi gara-gara sepi penumpang. Mestinya peribahasa yang dipakai bus kelas Patas, biar cepat asal selamat menjadi biar lambat asal selamat. Kami tak mendapatkan layanan cepat, cuma dapat fasilitas tempat duduk lembut, ruangan bersih ber-AC dan dentuman mesinnya halus. Pilihan saya pada Patas untuk mendapatkan fasilitas memuaskan, karena istri dan anak pertama saya, Ana Zakiyatun Nisak tidak hobi naik bus karena rawan mabuk, kecuali anak saya yang kedua, M. Zaim Muttaqin, rupanya ia hobi dan tangguh nge-bus seperti saya. Bagi anak saya yang kedua, naik bus masih baru pertama kalinya, dan sepanjang perjalanan riang gemberi dan ada saja yang mau dikerjakan, dari simulasi jual-jualan sampai mengelus-elus bulu betisnya bule di depan tempat duduknya di bus Tjibto Patas Surabaya-Jember.

Menjalang pukul 12.00 kami istirahat sebentar di terminal terbesar Jawa Timur, Bungurasih alis Purabaya. Menyusun kekuatan pindah armada untuk meneruskan perjalanan. Dari ruang tunggu kulihat bus Tjipto Patas jurusan Jember siap-siap berangkat. Ayo ke sana!

Jtipto Patas milik PO. Kemenangan Tjibto asal Jl. Kaca Piring No. 30 Gebang, Jember ini berangkat pukul 12.20 Surabaya-Jember. Menyusuri tol panjang Sidoarjo-Probolinggo yang baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo memiliki kenyamatan tersendiri. Sidoarjo-Probolinggo ditempuh begitu cepat, sekitar 1 jam setengah. Inilah pengalaman pertama kali saya. Di sepanjang perjalanan, seakan-akan saya sedang bermimpi lewat di jalan tol baru ini, padahal itu adalah kenyataan. Yang saya lewati hanya sampel infrastruktur yang sudah dibangun pemerintah dari sekian banyak dan sekian panjang jalan tol di  berbagai daerah di Indonesia. Salut pada kinerja Pemerintah. Insya Allah Indonesia akan menjadi negara maju dalam waktu dekat. Pembangunan infrastruktur dalam berbagai bidang memang dinyinyiri oleh sebagian rakyat Indonesia. Maklumlah, Indonesia masih tergolong negara berkembang yang indikasinya, di antaranya, SDM sebagian rakyatnya juga masih kelas menengah, belum maju. Ciri-cirinya banyak nyinyir, hobi mengkritik, bangga berkomentar negatif terhadap upaya pemerintah untuk memajukan negara tercinta ini. Semoga saja kemajuan Indonesia tidak terhambat oleh nyinyiran rakyat Indonesia sendiri. Tidak Al-Indonesia mahjubun bil indonesiyin.
Bus Tjipto Patas. Di depan anak saya ada 2 bule 
Tol Sidoarjo-Probolinggo tembus di dekat terminal bus Probolinggo. Bus yang saya tumpangi parkir beberapa menit. Ruangan bus diramaikan oleh pedagang asongan yang lalu lalang dan silih berganti dari pedagang krupuk, minuman, pentol hangat, jagung rebus, topi dan lainnya. Di dekat saya duduk sepasang bule suami istri. Entah, bule itu dari mana. Sekan-akan orang Arab atau orang Eropa. Si istri berjilbab. Ketika pedang asongan mulai sepi, datang seseorang menjajakan topi menghampiri penumpang pada tiap kursi, termasuk bule. “Mister, head hot,” rayunya penuh meyakinkan dan sarat ekspresi dengan menggerakkan tangannya ke atas. Si bule menolaknya sambil senyum. Saya malah ngakak bersama penumpang yang lain mendengar perkataan si penjual topi itu: “Mister, head hot” itu. Si penjual topi malah juga tertawa sambil menjelaskan ucapannya itu dengan menggunakan Bahasa Madura merespons gelak tawa saya yang paling nyaring. “Kan, pender, head cetak, hot panas. Mon terro ta’ panasah cetaka nganggui songkok (Benar kan, head itu kepada dan hot itu panas. Supaya kepalanya tidak kepanasan, maka pakailah topi).” Kata yang simple padat memang kadang butuh ditafsiri agar orang lain tahu maksudnya.
Terminal Probolinggo
Suatu hal yang penting dikritisi dari kaca mata penumpang tentang pemberlakuan tarif patas yang pukul rata antara jarak maksimal dan jarak mininal. Surabaya-Probolinggo Rp35.000 dan Probolinggo-Jember Rp35.000, sedangkan Surabaya-Jember Rp70.000. Saya beli jasa 3 kursi Surabaya-Wonorejo, Lumajang. Per orang kena Rp70.000, semuanya Rp210.000. Tarif Surabaya-Wonorejo berarti sama dengan Surabaya-Jember, padahal Wonorejo dengan Jember jarak tempuhnya amat jauh. Jadi, tidak ada toleransi keringan ongkos yang menurut saya pemberlakuan semacam itu ada unsur kezaliman terselubung pada penumpang. Terkesan muamalat yang tidak syar’i. Kalau dipikir ulang, jauh lebih fair pemberlakuan ongkos yang dijalani pengusaha bus tarif regular. Penumpang membayar sesuai jarak tempuh yang diinginkan, tidak dipukul rata seperti halnya pemberlakuan Patas di atas. Karena dalam hati kecil para penumpang pasti perucap, Anda puas saya sekarat. Jika ada pihak yang merasa keberatan, berarti muamalat secam itu kurang berkah dalam kaca mata tasawuf.

Untuk sampai ke Keting, Jombang, Jember, saya harus ganti bus jurusan Kencong, Jember. Pada jalur bagian selatan Jember ini rata-rata busnya hampir tua renta, dan sependek pengetahuan saya tidak ada Patas lewat jalur ini. Mungkin karena di jalur ini penumpang relatif sepi. Bagi saya kelas apa pus busnya tidak masalah, karena yang terpenting sampai pada tujuan. Azan Asar saya sudah berada di bus pada koridor Wonorejo-Kencong. Perkiraan saya waktu masih di Surabaya akan sampai menjelang Magrib. Ternyata dengan adanya tol sebagaimana saya sebutkan di atas sangat mempercepat perjalanan. Sekitar pukul 15.30 sudah tiba di rumah mertua.


Jember, 6 Mei 2019 M / 1 Ramadhan 1440 H