Kamis, 17 November 2016

BERBELANJA PALING MEMUASKAN (Catatan Perjalanan Berburu Buku Murah)


M. Khaliq Shalha



Sudah menjadi rumus umum dalam berbelanja bahwa jalan pengeluaran akan lebih lebar ketimbang pemasukan. Meminjam bahasa Al-Qur’an, min haitsu la yahtasib (dari arah yang tidak disangka-sangka) lebih dominan bagi kita dalam pengeluaran, bukan pemasukan. Sudah pasti kalau pengeluaran lebih santer lajunya ketimbang pemasukan yang kita terima. Urusan belanja paralel dengan urusan menguras uang dan bahkan tak disangka-sangka persediaan uang begitu mudahnya surut di kantong dan sering tak sampai pada titik puas.

Dari sekian ragam berbelanja,  ada suatu hal yang saya rasakan menarik dan memuaskan, yaitu berbelanja buku pada pagelaran bazar buku. Momen seperti ini bukan sekadar kesempatan terjadinya transaksi jual beli biasa, tapi bagi saya memiliki nilai lebih berupa momen rekreatif-intelektualistis.

Pada awal-awal perintisan Perpustakaan MTs Al-Wathan oleh Ustaz Durhan Ariev, saya ikut serta mengembangkannya sampai sekarang. Banyak cara yang gencar saya lakukan untuk menambah koleksi buku. Di antaranya mengirim surat permohonan buku gratis kepada penerbit, tapi tak berhasil. SMS pada teman penulis di Jogjakarta. Ia mengabulkan permintaan saya dengan mengirimkan belasan buku. Permohonan dana juga saya lalukan. Usaha ini Alhamdulillah berhasil. Saya dapat kiriman wesel pos dari Mantan Gubernur Jawa Timur (yang terkenal dermawan), Bapak Mohammad Noor beberapa kali. Beliau mengirikman uang pertama kali sebesar Rp300.000 (tiga ratus ribu rupiah). Betapa bangganya saya. Sepertinya mau berjingkrak-jingkrak sambil jumpalitan. Waktu itu (2006) saya masih mondok di PP. Annuqayah Latee Guluk-Guluk Sumenep. Tiap hari Kamis saya pulang, mengajar di MTs Al-Wathan. Lalu malam Jumat dan siangnya lembur mengurusi OSIS.

Tak berselang lama dari dana yang saya terima tersebut, saya mendengar kabar bahwa ada beberapa teman di pondok akan pergi ke Jogjakarta untuk berbelanja buku di bazar dan memarani pesanan buku di fotokopi. Tanpa berpikir lama saya menghubungi mereka untuk dibelikan buku buat perpustaan dari uang pemberian Pak Noor tersebut. Teman saya menjawab dengan santai bahwa dia tidak sanggup untuk membelikan buku pesanan saya, karena dia akan banyak membeli buku yang tenaganya tidak mungkin untuk membawanya. Mereka memberikan solusi lain. Kata mereka, sebaiknya saya ikut sendiri ke Jogja. Saya merespons dengan cepat bahwa saya tidak punya uang lebih kecuali hanya Rp300.000 itu. Tak masalah, kata mereka. Urusan ongkos perjalanan, makan dan belanja mereka akan memberikan pinjaman lunak. Tentang pembayarannya tak usah dirisaukan. Bisa diatur dalam tempo yang tidak mendesak setelah pulang nanti. Saya pasrah saja lalu menyanggupi untuk ikut ke Jogja dengan modal uang itu.

Tuhan memberikan bonus pada saya untuk berkunjung ke kota budaya dan pendidikan yang sangat terkenal itu. Ada saja lantaran yang memudahkan saya untuk bisa rihlah dari Sumenep ke Jogjakarta. Sebuah jarak yang relatif jauh. Antar pulau antar provinsi. Sekalipun dengan anggaran yang minim.

Dengan uang itu saya mampu memboyong buku satu kardus yang dibeli di dua tempat: di gedung JEC dan Wanitatama. Secara bersamaan di dua tempat ini digelar bazar buku murah. Kata “puas” yang layak saya ungkapkan dalam momen ini. Dengan uang yang tak seberapa tapi dapat memperoleh banyak buku menarik.

Pengalaman perjalanan ini banyak saya serap. Rute-rute kendaraan umum saya hapal luar kepala sebagai bekal perjalanan selanjutnya. Mengingat kepuasan berbelanja buku ini perlu dilakukan secara berkesinambungan dan perlu pula ditularkan pada kawan-kawan yang suka berburu buku murah, khususnya dalam menambah koleksi buku perpustakaan madrasah dengan modal yang sangat terbatas.

Tahun 2008 ada kesempatan lagi untuk berkunjung ke Joga. Saya dengan Ustaz Durhan Ariev—teman seperjuangan dan sepergurauan yang suka menulis ilmiah-nyastra. Lihat saja tulisan-tulisannya yang agak gimana gitu..!!—memberanikan diri untuk berangkat ke Jogjakarta pada pagelaran Islamic Book Fair di Gedung Wanitatama. Sebuah perjalanan yang mengesankan dan kadang menjumpai hal-hal yang mengherankan. Dalam perjalanan ini masih ada kesempatan mampir di rumah kos sepupu di Ngnjuk, lalu pagi harinya berangkat ke Jogja.

Hal yang mengherankan setidaknya ada dua. Ketika sampai di akses antara Solo-Jogja, penumpang bus hanya bersisa tiga orang, kami dan penumpang di belakang. Penumpang yang ada di belakang menghampiri kami dan berkenalan. Dia menanyakan asal kami. Kami jawab dengan jujur dari Madura. Tak lama kemudian orang tersebut beringsut ke belakang yang sepertinya ketakutan dengan kami karena kami bilang dari Madura. Ada apa dengan orang Madura?

Kedua, sepulangnya dari tempat kos teman, kami kehujanan lalu berteduh di depan bangunan baratnya kampus UIN Sunan Kalijaga. Terjadilah obrolan ringan dengan pemuda. Dia bertanya asal kami. Kami jawab dengan jujur pula. Dari Madura. Sentimen negatif muncul lagi dari orang ini dengan beberapa anggapan yang dilontarkan bahwa orang Madura suka carok, suka sikap (membawa senjata tajam yang disembunyikan). Kami meluruskan anggapan negatif itu, tapi tak membuat dia percaya. Saya bilang, orang Sumenep itu sudah maju dengan pendidikannya dan orangnya jinak ketimbang kebupaten lain di Madura. Retorika saya sia-sia saja. Sudahlah. Tak mudah memang meyakinkan orang yang sudah punya anggapan tentang hal berbahaya seperti yang dialamatkan kepada orang Madura.Tak lama, dia beringsut dari samping kami. Entah ke mana dia berteduh?

Setelah buku-buku murah berhasil kami beli. Kami berancang-ancang untuk pulang. Menjelang mau pulang, kami mencari informasi tentang angkutan umum yang belum pernah kami naiki, yaitu kereta api. Kami dapat informasi kereta api jurusan Surabaya kira-kira berangkat tengah malam. Sekitar pukul 23.00 WIB kami dihimbau untuk sampai di stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Kami menuju stasiun dengan menaiki taksi. Teman kami membuntuti kami untuk memastikan apakah kami sampai di stasiun. Setelah kami masuk di stasiun teman tersebut beranjak kembali ke kosnya. Pada waktu itu layanan pembelian tiket untuk keberangkatan pukul 03.00 WIB sudah dibuka dengan kereta Gaya Baru Malam. Kami memilih tujuan akhir stasiun Gubeng Surabaya sesuai petunjuk kawan mahasiswa di kos teman. Kalau dilihat dari pengalaman saya sekarang, stasiun Gubeng ini terlalu jauh untuk menjadi tujuan akhir. Mestinya kami turun di stasiun Wonokromo yang lebih dekat dengan jalur kendaraan umum menuju Tanjung Perak lalu menyeberang ke Madura.

Suka duka terjadi dalam perjalan ini. Dalam satu sisi kami puas berbelanja buku. Dengan uang yang tak seberapa namun mendapatkan buku begitu banyak. Dalam sisi lain kami harus berpeluh-peluh mengangkut kardus menuju kendaraan umum dengan wajah merengut karena muatan berat. Dengan rute yang kejauhan inilah membutuhkan banyak energi.

Perjalanan Jogjakarta-Sumenep dengan barang bawaan berat semacam ini sungguh melelahkan. “Banyak cerita yang mesti kau saksikan,” kata Ebiet G. Ade. Kadang menjadi bahan perenungan saya. Apakah harus ke Jogja untuk mendapatkan buku-buku murah? Tuhan begitu kasihan pada hamba-Nya. Tak membiarkan kami kelelahan begitu saja. Pada tahun 2010 saya dengan Ustaz Durhan Ariev berkunjung ke rumah Paman di Pakisaji Kepanjen Malang setelah UAS di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Petang hari ada SMS masuk ke HP Ustaz Durhan dari temannya bahwa di depan Balai Kota Malang sedang digelar Islamic Book Fair. Mendengar informasi itu semangat kami membuncah untuk mengunjunginya pada pagi harinya. Tak terduga harga buku di bazar ini mirip dengan bazar buku yang digelar di Jogjakarta. Setelah ditelisik para penjual buku di acara ini memang datang dari Jogjakarta dan sekitarnya. Salah satunya pihak Diva Press.

Terjawab sudah kerinduan saya bahwa untuk berkunjung ke bazar buku tidak harus ke Jogjakarta. Tapi di Malang juga digelar secara rutin tiga kali dalam setahun. Informasi mudah didapat, baik dari teman di sana, dari internet atau bertanya pada panitia penyelenggara via SMS. Saya sudah mengantongi nomor HP-nya. Pagelarannya sekitar November-Desember, Maret-April atau Juni-Juli. Aula Skodam Kota Malang sudah menjadi tujuan utama saya dan teman-teman dalam momen Islamic Book Fair dengan berbelanja hemat dan memuaskan. Wallah a’lam.

Sumenep, 17 November 2016

Selasa, 15 November 2016

MENDIDIK DENGAN KASIH SAYANG (Memutar Kembali Memori Masa Lalu)


M. Khaliq Shalha



Salah satu komponen dalam diri manusia adalah afeksi berupa rasa kasih sayang atau perasaan dan emosi yang lunak. Perasaan ini mengambil peranan penting dalam menyerap pendidikan yang diberikan guru. Komponen ini perlu diaktivasi oleh guru baik secara verbal, perilaku dan lebih-lebih batin seorang guru bahwa setiap didikan yang diberikan guru seyogianya didasarkan pada rasa kasih sayang. Mendidik tanpa didasari kasih sayang efeknya akan lemah dalam membangun jiwa besar anak didik. Retorika guru menjadi tumpul. Teknik dan taktik tak banyak berpengaruh.

Dalam sebuah hadits begitu menarik menggambarkan cara Rasulullah mendidik umatnya dengan penuh kasih sayang sekalipun yang dihadapi beliau adalah orang yang sedang khilaf. Inilah peran pendidikan yang nyata. Di samping mendidik manusia yang baik menjadi lebih baik juga mengentaskan manusia yang tidak baik menjadi baik. Kondisi terakhir ini jauh lebih sulit ketimbang kondisi manusia pertama tersebut. Dan, terbukti Rasulullah SAW berhasil mengentaskan manusia tipe kedua sekalipun.

Sahabat Abu Umamah menceritakan bahwa ada seorang pemuda menghadap Nabi SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” Mendengar ucapan pemuda itu, orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, dan berkata: “Anda sungguh celaka, dan tidak punya rasa malu!” Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya (kemudian terjadilah dialog panjang antara pemuda dan Rasulullah).

Rasulullah: “Hai anak muda, maukan engkau jika ibumu dizinahi oleh seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau ibunya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika putrimu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau putrinya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ayahmu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ayahnya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ibumu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ibunya dizinahi.”

Kemudian Rasulullah memegang pemuda tersebut seraya berdoa: “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.”

Setelah itu, pemuda tersebut tidak pernah melakukan hubungan seksual terlarang.

Hadits riwayat Imam Ahmad tadi memberikan pendidikan bagi para pendidik tentang cara yang efektif dalam mendidik dengan penuh kasih sayang. Hasilnya jelas. Caranya santun. Tak terlalu banyak menghabiskan energi.

Di lapangan, kita dihadapkan dengan banyak tipe anak didik. Ada yang responsif, setengah-setengah dan ada pula yang mbeling. Tipe terakhir menyebalkan dan menjengkelkan. Demikian pula tingkat intelektualitasnya, ada yang di atas rata-rata, standar dan di bawah rata-rata. Dari sekian tipe yang ada, mendidik anak yang mbeling membutuhkan energi lebih banyak dan kesabaran yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah) ketimbang anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan bibit unggul.

Ada sebagian anggapan bahwa tidak ada anak yang nakal, tapi hanya ada sebagian anak yang membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain. Pernyataan “membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain” adalah bahasa halus dari anak yang “mbeling”. Mengentaskan anak yang mbeling membutuhkan strategi dan metode khusus pula. Banyak cara perlu dicoba. Cara yang satu gagal dapat diganti dengan cara yang lain. Cara lemah lembut perlu diutamakan tapi jika cara ini mandul perlu menggunakan cara yang tegas (bahkan cara yang kasar atau keras, tapi dalam koridor “mendidik”). Menghadapi ragam kepribadian anak didik, ibarat dokter menghadapi masyarakat binaannya dengan ragam kekebalan tubuh. Jika kondisi kesehatan mereka normal, dokter cukup memberikan asupan vitamin untuk menjaga kekebalan tubuh mereka dari serangan penyakit. Berbeda jika yang dihadapi pasien yang mengidap penyakit serius. Membutuhkan penanganan khusus dengan dosis obat tertentu pula.

Cara mendidik dengan kekerasan hanyalah sebagai cara alternatif. Mendidik dengan kekerasan tidaklah identik dengan tindakan yang membayakan, baik secara mental maupun fisik. Tetapi harus terukur pula dengan kondisi anak didik sehingga tindakan tersebut dapat merubah anak dari nakal menjadi taat, dari malas menjadi semangat. Dalam koridor seperti ini, Islam melegalkan mendidik anak dengan cara “kekerasan”. Sangat populer dalam kitab-kitab fiqih pada bab-bab awal bahwa kewajiban orang tua adalah mengajak anaknya sejak dini untuk melaksanakan shalat. Jika anak sudah berumur sepuluh tahun masih saja tidak mengerjakan shalat, hendaknya orang tua memukul anaknya dengan maksud mendidiknya supaya disiplin shalat, bukan untuk mencelakakannya.

Pada tahun 1990-an, waktu saya masih mengenyam pendidikan di tingkat madrasah ibtidaiyah, cara-cara kekerasan (ketegasan) sering digunakan. Misalnya, jika murid tidak hapal pada pelajaran yang sudah ditentukan oleh guru untuk dihapalkan, murid disuruh berdiri di depan murid-murid yang lain. Hal yang masih teringat dengan baik di benak dan terngiang di kepalaku (sekaligus menjadi kenangan indah) sewaktu saya kelas dua MI ketika guru bahasa Arab mewajibkan murid-murid untuk menyetor hapalan mufradat (kosakata) bahasa Arab setiap minggu sebanyak lima mufradat yang telah ditulis di papan tulis sebelumnya. Jika murid tidak hapal langsung berdiri. Setelah satu persatu teman-teman selesai menyetor hapalan, giliran murid yang tidak hapal mendapatkan bonus berupa pukulan dengan menggunakan sapu yang dijatuhkan pada betis teman-teman yang tidak hapal. Seingat saya, satu kali saya tidak hapal. Dengan penuh menyesal saya berdiri dan mendapat pukulan dari guru.

Setelah sekian lama, saya baru menyadari bahwa cara kasar yang dilakukan guru itu merupakan salah satu bentuk pendidikan kasih sayang luar biasa yang terselubung. Saya sering terharu dengan cara guru bahasa Arab ini ketika saya berkesempatan menelaah buku-buku berbahasa Arab. Salah satunya, ketika saya tergopoh-gopoh dalam kondisi terdesak untuk menyelesaikan makalah sebagai materi diskusi kelas pada Program Magister di IAIN Sunan Ampel Surabaya (seputar 2009-2011), waktu menelaah buku-buku berbahasa Arab di perpustakaan pascasarjana, secara tiba-tiba saya ingat guru bahasa Arab ini. Berkat ketegasan plus ketelatenannya mendidik, saya relatif paham teks-teks berbahasa Arab hingga dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas kuliah.

Perlu menjadi catatan kita di era digital sekarang bahwa orang-orang besar senior kita sekarang ini rata-rata mereka alumni lembaga pendidikan yang mengetrapkan cara seperti yang saya contohkan di atas. Mereka mengenyam pendidikan dengan keterbatasan sarana belajar. Debu-debu kapur tulis sangat akrab dengan baju guru dan murid. Para murid cepat mandiri. Siap pakai dan siap hidup. Kesalehan tersemat mendalam pada diri mereka. Apa rahasianya? Mereka dididik dengan kasih sayang.

Cara apapun yang digunakan untuk mendidik, baik dengan lemah lembut atau dengan “kekerasan” (jika dibutuhkan) hendaknya tetap dilandaskan pada rasa kasih sayang secara tulus yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam pada setiap guru. Kita optimis bahwa akan tetap muncul generasi terbaik (khaira ummah) pada masa berikutnya. Wallah a’lam.

Sumenep, 15 November 2016