Rabu, 31 Juli 2019

AKTIVASI SPIRITUAL DENGAN ZIARAH KUBUR

Ziarah kubur dianjurkan oleh Nabi SAW. Hikmah yang bisa didapat adalah aktivasi spiritual untuk bisa mengingat mati. Mengingat mati memiliki efek besar untuk mengontrol perilaku seseorang agar tidak mudah menyimpang.

Selain itu, sebagai wujud balas jasa kepada mereka yang sudah wafat. Balas jasa yang dibutuhkan oleh mereka adalah doa dari orang yang masih hidup. Salah satu indikasi saleh tidaknya seseorang bisa dilihat dari berdoa atau tidaknya untuk sesepuh yang sudah wafat. Anak saleh sebagai penyambung keterputusan amal mereka.


Dalam hadis disabdakan bahwa apabila manusia mati amalnya menjadi terputus kecuali tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak saleh yang mendoakannya. Mendoakan orang yang sudah wafat kapan saja, di mana saja tidak masalah. Cuma sewaktu-waktu perlu datang langsung ke pusara sesepuh yang dimaksud, misalnya ketika dalam momen hari raya, Kamis sore atau lainnya.

Banyak orang berkelit ziarah ke kuburan sesepuhnya dengan ragam alasan; sudah mendoakan di rumah, di masjid dan di tempat lain, tidak sempat karena sibuk dengan aktivitas lain jadi dicukupkan mendoakan di rumahnya saja. Boleh saja dengan cara begitu dan alasan seperti itu tapi belum dapat kredit poin berupa hikmah di balik ziarah kubur.

Generasi muda di era globalisasi ini tidak cukup diperkenalkan dengan cara aktivasi kartu seluler, diperkenalkan dengan aktivasi media online lainnya, tapi yang lebih krusial lagi sangat perlu dilakukan sosialisasi tentang aktivasi spiritual dengan cara ziarah kubur, diperkenalkan pada pusara orang-orang terdahulu yang telah berjasa, khususnya garis genetika jasmani dan rohaninya, guna senantiasa mendoakan mereka di alam baka.

Jika Anda mengharapkan generasi saleh, perlu Anda menanam kebaikan pada orang-orang terdahulu. Generasimu adalah cermin dari salah satu jejakmu. Wallahu a'lam.

M. Khaliq Shalha

Selasa, 30 Juli 2019

MENJAGA KEKOKOHAN POHON GENETIKA

Kekeluargaan akan bisa langgeng manakala kebersamaan menjadi acuan di tengah-tengah keberagaman. Tak sedikit cabang pohon keluarga tumbang satu persatu karena meruncingnya kebencian disebabkan iri hati dan kelas sosial.

Dalam cabang-cabang keluarga, kadang ada oknum yang menyelinap menjadi ulat (provokator) yang bisa menggoyahkan tegaknya pohon itu. Waspadalah agar Anda tidak digerogoti oleh ulat kehidupan.

Pertemuan keluarga jangan dijadikan ajang pameran untuk mempertunjukkan kelebihan masing-masing. Memamerkan kendaraan, perhiasan, baju, gaya hidup dll adalah tindakan sangat tercela dan hina. Sama halnya menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Tujuan silaturrahmi tidak tercapai, malah dampak negatif yang akan terjadi.

Asas silaturrahmi adalah kebersamaan; sekeluarga, sama-sama punya dedikasi hidup, sama-sama punya harga diri, sama-sama punya prestasi sesuai bidangnya. Pembedanya adalah nasib; mujur dan kurang mujur. Ingat, perbedaan nasib adalah sunnatullah. Tindakan arif yang semestinya kita tempuh adalah saling menghormati dan menyayangi. Menyalahgunakan nasib mujur akan menyulut keretakan hubungan kekeluargaan.


Tumbangnya pohon kekeluargaan penyebab awalnya adalah tak berfungsinya hati nurani karena virus keserakahan, keangkuhan dan kebanggaan berlebihan. Suatu hal dirasa ampuh menyirami nurani untuk tetap bisa hidup, yaitu melihat tamsil bayi yang baru dilahirkan di sekitar kita dalam keadaan telanjang. Kita dulu persis bayi itu. Jika Anda sekarang sudah hebat, bersyukurlah.

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Senin, 29 Juli 2019

ALA BISA KARENA MEMAKSA

Setiap manusia terlahir dengan membawa benih bakat masing-masing. Benih bisa tumbuh dan berkembang lewat proses alamiah. Baik tidaknya pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh proses yang dilalui. Tidak ada seseorang secara tiba-tiba menjadi hebat di bidangnya.

Sebuah tamsil, kupu-kupu yang indah disenangi banyak orang. Ia sudah melalui tahapan panjang untuk aktualisasi diri. Dari ulat, kepompong lalu menjadi kupu-kupu.

Dalam berproses akan bisa berjalan lancar apabila bisa melepaskan selimut kemalasan. Sifat malas memiliki energi yang cukup kuat. Banyak orang gagal atau kinerjanya kurang produktif karena tidak mampu menyingkirkan monopoli rasa malas. Malas memang mengasyikkan dalam waktu sesaat. Tapi akan mewariskan penyesalan berkepanjangan di kemudian hari. Beruntunglah orang yang bisa menaklukkan rasa malas.

Pada waktu saya sekolah di tingkat dasar, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada guru tentang bagaimana caranya untuk bisa menguasai disiplin ilmu. Saya kala itu pengagum semua guru yang hebat di bidangnya. Kok bisa? Jawaban beliau simpel, hanya satu kata, "memaksa."

M. Khaliq Shalha

DESAKU SURGAKU

Keluarga yang dinamis bukan sekadar bisa makan bersama di luar rumah sebagai ajang refresing, tapi juga yang asasi sangat perlu dipenuhi berupa kekompakan dan keistikamahan bermunajat pada Tuhan.

Jika malam minggu dicap sebagai malam yang panjang, malam yang asyik buat liburan, maka malam Jumat merupakan malam yang nikmat buat menutrisi spiritual. Di samping itu pula, bagi penganut tradisi pesantren, malam Jumat sebagai malam berlibur, malam melepaskan penat yang sungguh melegakan.

Di segala penjuru sana ramai-syahdu (bukan bising) dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an dan shalawat Nabi dalam nuansa sunyi senyap dari bunyi kendaraan, tak berlebihan jika dikatakan, "Qaryati jannati (Desaku Surgaku)". Dan, yang lebih sempit lagi, "Baiti jannati (Rumahku surgaku)".

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Senin, 08 Juli 2019

WARISAN LELUHUR PINGGIRAN

Begitu banyak karya leluhur pinggiran yang bisa diambil manfaatnya pada era ini. Hasil penelitian yang meraka lakukan cukup berguna. Kearifan mereka patut ditiru.

Leluhur pinggiran yang dimaksud adalah mereka yang tidak populer pada masanya dan setelahnya dengan hasil penelitian dan pemikiran serta kearifannya, namun karya mereka nyata walaupun tidak diketahui siapa yang punya inisiatif awal, alias anonim. Mereka tak terekam oleh sejarah. Berbeda misalnya dengan Plato, Aristoteles dengan filsafatnya yang bisa terekam oleh sejarah sehingga mereka berdua tergolong leluhur populer, bukan pinggiran.

Salah satu contoh; bagi orang yang masuk angin terapinya cukup melakukan kerokan pada sekujur tubuhnya dengan menggunakan uang logam dan pelumas minyak tanah atau kalau sekarang lation (bedak cair). Cara ini sangat efektif, murah meriah dan tanpa efek samping. Hal ini merupakan hasil penelitian leluhur yang tak terbukukan tapi terwariskan secara turun-temurun.

Contoh kearifan leluhur; bila seseorang ingin membangun rumah serba dilakukan dengan cara kehati-hatian secara spiritual. Malam hari menjelang dilakukan peletakan batu pertama pada keesokan harinya, mereka melakukan selamatan (istighatsah) bersama untuk diberi keselamatan oleh Allah bagi penghuni rumah tersebut dan proyek berjalan lancar. Ketika pada tahap selesai pemasangan genting (atap) mereka melakukan istighatsah lagi sore harinya dengan maksud penghuni rumah ini selamat dan tasyakur atas terselesaikannya pekerjaan pada tahap primer. Bagi orang yang punya anggaran pas-pasan apabila sudah mampu membangun rumah sampai pada tahan pemasangan genting, mereka sudah menganggap selesai dalam tahapan primer dan tahapan selanjutnya skunder lalu tersier bisa menyusul. Ketika akan menempati rumah baru ini mereka istighasah lagi untuk meraih keselamatan dalam menempati rumah dan sebagai bentuk rasa syukur mereka.

Itu salah satu sampel dari sekian banyak peninggalan leluhur yang berguna bagi kehidupan. Genarasi muda tidak sepantasnya meremehkan atau keburu menyalahkan pada peninggalan-peninggalan mereka dengan persepsi kurang ilmiah, tidak ilmiah, metos dan lain sebagainya. Bisa jadi pihak penilai tidak paham betul maksud leluhur. Kalau begitu bisa memalukan. Ibarat cerita fauna; kelelawar mengatakan matahari tidak ada, yang ada itu bulan. Pernyataan itu menunjukkan kepicikan kelelawar karena ia bisanya hanya keluar pada malam hari.

Warisan leluhur patut kita aprisiasi dan tak mudah meremehkan karya mereka selama tidak mengandung efek samping yang fatal dan kemusyrikan. Resep-resep mereka bisa bertahan selama berabd-abad karena terbukti keampuhannya.

M. Khaliq Shalha

Bisa dikunjungi juga di:
https://www.kompasiana.com/m-khaliq-shalha/5d22e30e097f36213f26a062/warisan-leluhur-pinggiran

Minggu, 07 Juli 2019

TERLANJUR BASAH DALAM KEBAIKAN

Terlanjur basah mandi sekali. Kalimat motivasi itu saya kira cocok diberlakukan dalam hal kebaikan saja, bukan keburukan. Kalimat itu mengajarkan untuk tidak setengah hati dalam berbuat tapi menyelami secara maksimal.

Apapun profesinya, dasar yang dijadikan pijakan adalah pengabdian (dedikasi). Dasar dedikasi inilah yang bisa menyulut semangat hingga produktif dan bisa membabat habis semua rintangan yang menghadang.

Dengan jiwa dedikasi tak bisa dilemahkan oleh minimnya finansial yang diperoleh karena prinsipnya mendulang manfaat untuk semua. Ada apa dan siapa atau tidak ada apa dan siapa bukanlah target pertama dan utama.

Contoh nyata di negeri ini, para pejuang bangsa dulu berjuang habis-habisan semata-mata untuk kemaslahatan bangsa ini. Mereka bukanlah para pejuang demi meraup finansial yang selalu hitung-hitungan nominal. Mereka tetap tegar menghadapi kenyataan.

Harus disadari pula, para pengabdi dengan jiwa mulianya akan dimudahkan oleh Tuhan kebutuhan hidupnya. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. Tak perlu banyak menoleh.

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Kunjungi pula di:
https://www.kompasiana.com/m-khaliq-shalha/5d211a5b097f3648fc438cc3/terlanjur-basah-berlaku-dalam-kebaikan

Kamis, 04 Juli 2019

MEMESRAKAN ANAK DENGAN AL-QUR'AN

Dengan metode baru yang sudah lumrah dipakai di mana-mana, sangat efektif dan produktif bagi anak untuk cepat membaca Al-Qur'an. Metode Iqra', Qira'ati dan sejenisnya dengan penekanan pada membaca langsung, bukan dieja, membuat anak umur enam tahunan atau di jenjang TK Nol Kecil sudah bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar. Berbeda dengan metode lama, berupa metode eja, efektifitasnya sangat lamban. Untuk bisa membaca dengan lancar membutuhkan waktu lama. Setingkat kelas enam MI baru lancar membaca.

Tugas orang tua dan guru selanjutnya untuk anak kecil yang masih ingusan yang sudah lancar membaca Al-Qura'an, mengajarkan memahami makna Al-Qur'an. Untuk era sekarang, banyak faktor pendukung untuk mengakrabkan anak pada makna Al-Qur'an, di antaranya Al-Qur'an yang dilengkapi dengan makna mufradat secara lengkap sudah terbit. Ini sangat membantu anak untuk mengenal makna kata dan kalimat.

Dengan bekal kebahasaan yang cukup, dalam perkembangan selanjutnya ketika anak sudah remaja dapat dilabuhkan pada pemahaman tafsir Al-Qur'an yang sudah ditulis oleh para ulama. Misalnya kitab tafsir Mafatihul Ghaib, karya Ar-Razi dengan analisa yang tajam. Diharapkan anak ini memiliki analisa yang mumpuni dan tajam terhadap kandungan Al-Qur'an setajam silet.

Bekal yang cukup pada pemahaman Al-Qur'an, akan begitu mudah untuk dapat menghayatinya dalam berbagai aspek. Kekhusyukan shalat lebih terjamin. Misalnya shalat Subuh dengan kiraat surat Al-Ghasyiyah yang berisi tentang dahsyatnya hari kiamat, akan membuat terharu pembacanya bahkan bisa mengucurkan air mata lantaran bisa menghayati kandungannya. Bagi orang yang tidak paham kandungannya jelas tidak mungkin terharu apalagi menangis, kalau toh menangis mungkin karena faktor lain di luar konteks ayat itu.

Al-Qur'an tidak cukup sekadar dipelajari untuk dapat sekadar lancar membaca. Sebagaimana paradigma orang-orang kampung dulu. Yang penting anaknya sudah bisa lancar membaca sudah cukup. Cukup sebagai salah satu bekal untuk menikah. Bila diundang tetangga tidak menolak sehingga tidak malu pada mertua dan pihak pengundang. Setelah selesai undangan, Al-Qur'an diletakkan pada tempat semula sebagai azimat. Ya, masih lumayan untuk era itu.

Dengan kondisi sekarang yang sudah memungkinkan untuk pendalaman Al-Qur'an pada anak, hendaknya harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mengakrabkan, bahkan memesrakan anak pada Al-Qur'an.

Sumenep, 4 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
__________
Ngepos tulisan 2014 yang tersimpan di facebook. 

Rabu, 03 Juli 2019

MENGAKRABKAN ANAK DENGAN BAHASA ASING

Bersama Pengasuh Pesantren-Masjid-Gua Perut Bumi, Tuban, 26 Juni 2019
Era globalisasi sudah nyata dalam kehidupan kita, yaitu era kampung dunia. Menuntut kita dan generasi kita siap menghadapi dalam berbagai aspeknya, termasuk bekal bahasa asing yang juga sudah mengglobal. Tanpa meninggalkan bahasa kita, bahasa Indonesia.

Mengakrabkan anak dengan bahasa asing (Arab dan Inggris) adalah tindakan yang cukup bijak. Sejak TK anak selayaknya diperkenalkan dengan kosa kata (mufradat) dengan cara menghapal, baik dengan cara mengulang-ulang atau dinyanyikan. Dengan metode ini, anak cepat menyerap tanpa terbebani. Kosa kata adalah modal dasar untuk langkah selanjutnya. Ada kata bijak mengatakan, "Didiklah anakmu dengan pendidikan yang berbeda dengan pendidikanmu, karena ia akan hidup di masa yang berbeda dengan masamu." Dulu bahasa asing tak begitu penting dipelajari, tapi sekarang berbeda.

Memahami bahasa bukan meruapakan tujuan, tapi sebagai alat untuk dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Termasuk keperluan studi. Bahasa Arab dan Inggris mulai intens digunakan sejak S1 ke atas. Referensi yang harus ditelaah banyak yang berbahasa asing. Walaupun buku terjemahan sekarang juga banyak, namun kurang afdal apabila tidak merujuk pada buku induknya dengan bahasa asal. Tapi tak semua buku yang dibutuhkan didapat terjemahannya dengan mudah. Hal ini menjadi penghambat atau kendala serius bagi kelancaran studi.

Suatu waktu, di Perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, ketika saya membaca buku Timur Tengah sebagai bahan untuk membuat makalah, ada seorang ibu yang masih semester awal menghampiri saya, beliau bilang, "Dik, sampean paham buku itu?" Saya jawab, "Lumayan Bu." "Di mana tempat kos sampean Dik?" "Di selatan pesantren Al-Jihad." Kata saya. Saya mengerti maksud ibu ini mau meminta bantuan saya untuk menterjemahkan buku yang berbahasa Arab sebagai bahan makalah beliau. Beliau kelihatannya memang sejak tadinya cari-cari referensi di sebelah saya. Saya hanya bisa memberikan solusi alternatif, bila butuh buku terjemahan bisa datang ke perpustakaan pusat. Saya tidak bisa membantu beliau menjelaskan maksud bukunya karena juga sibuk membuat makalah sendiri. Jadwal presentasi sudah dekat. Semoga ilmu ibu ini manfaat dan berkah. Saya salut dengan semangatnya.

Bahasa bagian dari keterampilan. Untuk bisa terampil membutuhkan ketekunan sejak anak-anak.

Sumenep, 3 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama yang terarsip di facebook.

KHUSYUK ITU MENIKMATI

Maqbarah Sunan Kudus, 27 Juni 2019
Khusyuk dalam shalat, menurut guru saya adalah menterjemahkan bacaan shalat ke dalam hati. Kalau dalam dunia puisi pengertian ini sama dengan menjiwai. Menurut pengertian saya, khusuk itu menikmati. Menikmati apa saja yang dikerjakan atau dirasakan. Menikmati angin sepoi-sepoi di pagi hari itu khusuk.

Menikmati apa yang dikerjakan membuat seseorang menjadi nyaman dan tak terbebani. Lebih terjamin meraih kualitas kerja, bukan hanya kuantitas. Menikmati shalat tarawih akan terasa enak tanpa beban walau rakaatnya lumayan banyak. Di Masjidil Haram katanya, kiraat shalat tarawih tiap malam satu juz. Jamaah cukup menikmati, tidak menjadi beban. Seperti pengalaman kakak sepupu saya waktu umrah. Beliau jadi ketagihan. Ia bilang, "Pengen kembali lagi."

Pekerjaan apa saja bila bisa dinikmati akan terasa nyaman dan lancar. Walau waktunya relatif lama. Contoh yang paling mudah; bagi bola mania, menonton siaran Piala Dunia 90 menitan tak terasa payah walau malam hari, bahkan merasa kurang. Lebih lama lagi, bagi penganten baru, waktu semalam itu terasa kurang panjang. Bahkan kalau bisa mau meminta kepada malaikat untuk diperpanjang. Bahasa puitis pun keluar, seperti dalam pelajaran sastra Arab (balaghah); "Ya lailu, thul. Ya naumu, zul. Ya shabhu, qif la tathlu' (Wahai malam, perpanjanglah waktumu. Wahai rasa ngantuk, pergilah. Wahai subuh, berhentilah, jangan terbit)." Itu gambaran orang yang khusyuk (menikmati) proyeknya. Bagaimana dengan Anda?

Selamat menikmati!

Sumenep, 3 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama yang terarsip di facebook.

Selasa, 02 Juli 2019

DARI NASI MERAH KE NASI PUTIH

Maqbarah Sunan Kalijaga, Demak, 27 Juni 2019
Ada cerita menarik dari guru alif saya. Seorang santri disuguhi nasi merah (jagung) dan nasi putih. Santri ini menyantap nasi jagung dengan lahap. Nasi putihnya dibiarkan dulu dengan maksud sebagai penutup. Waktu itu nasi putih sangat istimewa karena jarang ada, kecuali ketika hari raya. Itu pun jatahnya sangat terbatas. Masing-masing orang dalam sebuah keluarga biasanya mendapat jatah segumpal saja.

Santri ini ditanyakan oleh pemberi nasi tadi karena nasi putihnya tidak dimakan. Ia hanya menangis, begitu menyesal karena tidak bisa makan nasi putih yang diidolakan. Perutnya sudah kenyang betul dengan nasi merah. Sudah tidak bisa menampung makanan lagi. Kasihan!

Pada tahun 1990-an, di kampung saya masih terbiasa dengan nasi merah. Jarang dicampuri beras, kalau ada jatahnya hanya sebagian kecil. Tak jauh berbeda dari cerita di atas. Saya ingat waktu masih anak-anak. Setalah pulang ke rumah, selesai mencari jangkrik di ladang, biasanya langsung makan nasi jagung asli dengan lauk ikan asin. Tapi nikmatnya luar biasa, sepertinya berasa sampai sekarang. Ingin masa dulu diputar kembali, walau kata ahli nahwu keinginan ini tergolong tamanni (mengharap sesuatu yang mustahil tergapai). Di zaman nasi jagung dulu kenikmatan juga mengalir santer.

Masa sekarang, nasi jagung sudah jarang ada, apalagi nasi jagung asli tanpa campuran. Dalam keseharian di mana saja menu nasi putih sudah biasa. Tidak harus menunggu hari raya atau ada orang mati. Fakta ini merupakan indikasi bahwa perikonomian bangsa ini (khususnya daerah saya dan sekitarnya) di bidang pangan makin meningkat. Untuk sekarang, hasil jagung petani sudah banyak diproduksi untuk pakan ternak.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan menigkatnya pangan masyarakat; faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam berupa cuaca dan lahan mendukung, dan faktor manusia dengan ketersediaan pupuk yang diproduksi dan obat pembasmi hama. Anugerah Tuhan begitu besar.

Bagi saya, nasi jagung tak kalah istimewanya dengan nasi putih. Bahkan kelebihannya untuk konsumsi makan sahur akan lebih tahan lama keyangnya ketimbang nasi putih. Paling tidak nasi merah putih (nasi kebangsaan) lebih kenyal rasanya.

Sumenep, 2 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama, 2014 dengan foto terbaru, 2019.

KUN FAYAKUN VS SIMSALABIM

Masjid Menara Kudus, 27 Juni 2019

Banyak kalangan memahami kalimat "kun fayakun" dengan bahasa sulap, simsalabim, abrakadabra. Sebuah kejadian secepat kilat tanpa proses yang rasional.

Pemahaman semacam itu, menurut saya, kurang tepat, walau Tuhan sangat bisa bertindak demikian. Dalam ilmu sharaf (morfologi Arab), konsep waktu untuk fi'il amar (kun) dan fi'il mudhari' (fa-yakun) adalah istiqbal, bermakna akan terjadi. Tentu butuh proses yang bisa dinalar. Misal, penciptaan langit dan bumi butuh proses panjang, sebagaimana disampaikan Tuhan dalam Al-Qur'an.

Kita mengharap anugerah Tuhan tak perlu banyak ilusi dengan berpegang pada pemaknaan kun fayakun yang tidak produktif itu. Kita rugi sendiri. Usaha harus dijalankan sebagai sebuah proses zahirnya dan doa harus dipanjatkan sebagai sebuah proses lunaknya.

Dunia ini bukanlah negeri dongeng, tapi realita dengan hukum alam (sunnatullah).

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

BUTUH KETEKUNAN

Maqbarah Sunan Giri, Gresik, 26 Juni 2019
Waktu masih nyantri, ada teman santri baru mengobrol dengan temannya (santri lama) yang sudah ia kenal baik karena berasal dari satu desa. Menyimak cara bicara yang agak gagap (tak separah komedian Aziz Gagap), saya berhipotesa kayaknya anak ini kurang bakat dalam dunia retorika.

Dalam perkembangannya, hipotesa itu tidak benar. Dalam organisasi pengkaderan, kawan ini bisa berakselarasi dengan cukup baik. Semua kegiatan ia ikuti dengan tekun. Pekerja keras dan selalu mau bisa seperti teman yang lain bisa. Instruksi soniornya nyaris tak pernah ia tolak. Akhirnya ia punya multi skill; perkejaan kasar bisa, konseptual bagus, mengisi seminar tak menolak (tentu dengan modal yang cukup).

Ketekunan menjadi modal awal yang sangat menentukan. Belajar, bersosialisasi, kerja keras, memaksakan diri untuk bisa. Semua tak sia-sia. Bisa mengalahkan orang yang punya potensi bagus namun tidak begitu dikembangkan. Sudah terbukti.

Sumenep, 2 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama, 2014 dengan foto terbaru, 2019.

KEKUATAN CANDU

Museum Sunan Drajat, 26 Juni 2019
Candu (ketagihan) pada sesuatu akan memberikan dorongan kuat bagi seseorang untuk segera bertindak memenuhi keinginannya. Orang yang candu kopi akan memaksakan diri untuk mendapatkannya dalam situasi dan kondisi apa pun.

Candu pada sesuatu berawal dari mencoba, membiasakan diri lalu menjadi hobi, baru menjadi candu (hobi yang mendarah daging) yang sulit dirintangi dan diganggu gugat.

Karena begitu keadaannya, kita perlu memilah dan memilih tentang sesuatu yang akan diganderungi. Memilih sesuatu yang bermanfaat, bahkan yang banyak manfaatnya. Seperti Shalat, sedekah, membaca, menulis dan perbuatan positif lainnya.

Sungguh beruntung orang yang candu pada sesuatu yang positif. Candu adalah kekuatan yang sangat dahsyat menyala secara berkesinambungan dalam diri seseorang. Sehingga lahirlah ungkapan, "Tiada hari tanpa menulis.", misalnya.

Sumenep, 2 Juli 2014

M. Khaliq Shalha
____________
Ngepos tulisan lama.

Senin, 01 Juli 2019

MASA PERJUANGAN PETANI

Tiga tahunan terakhir musim tanam tembakau bertepatan dengan bulan puasa. Sungguh merupakan perjuangan berat bagi petani. Terutama yang bercocok tanam di lahan yang membutuhkan pengairan setiap hari dengan memikul timba. Dua motif berpapasan dalam satu bulan; motif ekonomi dan motif agama.

Kondisi ini membutuhkan kesabaran besar dan mental yang tangguh untuk tidak terjadi bagai makan si buah malakama. Tapi berjalan normal; tembakau hidup dengan baik dan puasa terlaksana secara sempurna. Dua motif tersebut berjalan secara beriringan. Ada ungkapan seorang petani yang sangat berkesan, "Alhamdulillah, saya kuat berpuasa walau menyiram tembakau."

Harapan besar petani; cuaca mendukung sampai panen dan hasil panen dapat terjual dengan harga yang sangat wajar. Mengingat hasil panen tembakau petani sering terjual dengan harga sangat tidak wajar. Jangankan dapat untung, modalnya pun tidak kembali. Astaghfirullah! Padahal harapan prioritas petani untuk peningkatan ekonomi bergantung pada hasil tembakau. Semoga petani tembakau tahun ini beruntung. Barakallah.

Sumenep, 1 Juli 2014

M. Khaliq Shalha