Rabu, 08 Oktober 2014

AL-MASYAQQAH TAJLIBUT TAISIR (Formulasi dan Implementasi Kaidah Fiqih Ketiga)



EDISI KAIDAH FIQIH


M. Khaliq Shalha




A.    PENDAHULUAN
Bermula dari kecermatan ulama ushul dalam mengkaji dalil-dalil kulli yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, yakni nas ayat dan matan hadis yang menjelaskan prinsip-prinsip umum pembinaan hukum Islam dan diikuti pendalaman kajian ke arah ilat, hikmah dan rahasia hukum Islam serta analisisnya terhadap tujuan hukum, maka muncullah berbagai variasi kaidah-kaidah hukum Islam.
Secara konvensional kaidah-kaidah yang dimaksud dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kaidah pokok berjumlah lima bagian yang populer dengan sebutan ushul khamsah (lima kaidah pokok) dan kaidah universal (kulli), baik yang disepakati oleh ulama maupun yang tidak disepakati.[1] Adapun kaidah kulli yang disepakati jumlahnya antara 40-60 dan kaidah yang tidak disepakati sekitar 20.[2] Sedangkan lima kaidah pokok itu sangat penting untuk dikaji yang berfungsi untuk memastikan dan memantapkan bila terjadi problem hukum Islam dalam masyarakat yang bisa dengan relatif pasti untuk menarik arah dan tali hubungannya.[3] Kaidah tersebut berkorelasi dengan pentingnya motif perbuatan hukum, prinsip kepastian hukum, prinsip kemudahan aturan, hukum yang menyelamatkan, dan akomodasi terhadap praktek kebiasaan lokal. Namun saya dalam kesempatan ini hanya akan mendeskripsikan formulasi dan implementasi kaidah pokok ketiga yang berkaitan dengan prinsip kemudahan aturan atau yang dikenal dengan al-masyaqqah tajlibut taisir (kemasakatan membawa kemudahan).

B.     FORMULASI DAN IMPLEMENTASI KAIDAH  KETIGA
1.      Kaidah Ketiga[4]
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan membawa kemudahan.
Kaidah ini merupakan salah satu kaidah pokok bagian ketiga. Maksudnya segala urusan, baik ibadah atau muamalah apabila mengalami kesulitan akan ada jalan keluarnya.

2.      Dasar-dasar Kaidah Ketiga
Kaidah ini diinduksi (istiqra’) dari beberapa ayat dan hadis, di antara ayat dimaksud adalah :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ .[5]
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ .[6]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ .[7]
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ .[8]
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Sedangkan hadis Nabi di antaranya sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ  إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ. [9]  
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah, agama tidak memberatkan kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, konsistenlah beramal dengan wajar, mendekatlah, bergembiralah, minta tolonglah di awal pagi, siang dan akhir malam.”
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قاَلَ  قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنِّى لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّى بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ. [10]
Dari Abu Umamah, ia berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya saya tidak diutus dengan membawa agama Yahudi dan Nasrani tetapi saya diutus dengan membawa agama yang dicenderungi dan murah.’”
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا خَيَّرَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ إِثْمًا فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ .[11]
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah SAW tidak memilih antara dua perkara kecuali yang lebih mudah di antara keduanya selama tidak dosa, namun apabila perkara itu dosa maka beliau adalah orang yang lebih menjauhi ketimbang orang lain.”

3.      Standardisasi Masakat
Masyaqqah (masakat) dapat diartikan keberatan,[12] kesukaran,[13] kesusahan atau kepayahan[14] atau pun terjemahan lain yang semakna dengannya, seperti kesengsaraan dan lainnya. Dari sekian kesamaan makna, saya lebih memilih menggunakan sebutan asalnya yang sudah di-Indonesia-kan, yaitu masakat.
Tidak semua masakat dapat menggugurkan atau meminimalisir berbagai macam bentuk ibadah dari ketentuan awalnya. as-Suyuthi[15] mengemukakan macam-macam ibadah yang pelaksanaannya tidak terpengaruh dengan adanya masakat, seperti cuaca dingin mencekam tidak dapat menghalangi seseorang untuk berwudu dan mandi wajib, suasana amat panas di siang hari atau panjangnya waktu siang pada suatu hari tidak dapat menghalangi seseorang untuk berpuasa, masakat safar tidak bisa menghalangi seseorang untuk menunaikan haji dan jihad, pedihnya hukuman hudud dan rajam bagi orang berzina tidak dapat menghalangi yang bersangkutan untuk dilaksanakan.[16] Dengan kata lain, masakat dalam hal-hal yang disebut itu tidak ngefek untuk merubah format ibadah yang ditentukan dalam agama.
Namun demikian, mengacu pada suatu maslahah dan asas kemudahan atau keringanan hukum Islam, ada hal-hal yang dikecualikan terkait dengan kondisi yang membahayakan, sehingga  as-Suyuthi[17] membagi tingkatan masakat pada 3 tingkatan. Pertama, masakat berat (masyaqqah azhimah fadhihah), yaitu masakat yang dikhawatirkan mengancam jiwa, anggota badan atau fungsi anggota badan. Masakat semacam ini dipastikan dapat menyebabkan memperoleh keringanan, karena menjaga keselamatan jiwa dan anggota badan untuk menegakkan kemaslahatan agama lebih utama dari pada bersusah payah melakukan ibadah dengan mengorbankan keselamatan jiwa.
Kedua, masakat ringan (masyaqqah khafifah), seperti pusing kepala ringan. Kondisi seperti ini tidak memiliki efek bagi seseorang untuk memperoleh keringanan, oleh karena itu, mementingkan kemaslahatan ibadah diutamakan.
Ketiga, masakat pertengahan antara berat dan ringan (mutawassith). Kondisi seperti ini diperlukan adanya pengukuran diri, apabila masakatnya condong pada tingkatan pertama maka berhak memperoleh keringan, dan jika condong pada tingkatan kedua, tidak memperoleh keringanan.
Kondisi-kondisi yang membahayakan dapat dipastikan akan memperoleh keringanan. Hal itu merupakan ukuran utama bagi seseorang dalam memperoleh keringanan. Adanya keringanan dalam hukum Islam tidak semata-mata diukur dengan kondisi yang membahayakan, tapi ada sebab-sebab lain yang dipandang layak untuk memperolehnya, seperti hal-hal yang terkait dengan keterbatasan mukalaf atau di luar kemampuannya. Lebih jelasnya akan dijabarkan di bawah pada pembahasan sebab-sebab memperoleh keringanan.
Berbicara tentang asas masakat korelasinya adalah relatifistis yang berarti hukumnya lentur sesuai dengan kondisi individu mukalaf. Persoalannya adalah ketika suatu hukum disandarkan pada asas masakat kemudian dibuat takaran tertentu yang mengikat untuk kepastian sebuah hukum, maka akibatnya akan menjadi rancu. Misalnya, sebagai analisa dalam mencari suatu ‘illah tentang adanya pemberlakuan keringanan hukum, dapat saya angkat tentang keringanan bagi musafir. Safar (perjalanan) dibuat suatu sandaran hukum karena safar dipersepsikan sebagai penyebab timbulnya masakat (mazhinnatul masyaqqah).[18] Lalu bagaimanakah ukuran masakat safar sehingga memperoleh keringanan? Dalam hal ini ulama membuat keriteria yang mengikat, yaitu jarak perjalanannya diperkirakan dua marhalah, kalau dulu ditempuh selama sehari semalam,[19] dan jika memakai ukuran sekarang ± 89 km.
Melihat konteks masa lalu, kendaraan yang digunakan paling cepat adalah kuda. Jarak tempuh perjalana yang kurang dari itu diprediksikan belum merasakan masakat. Alasan rumusan ini dapat saya tangkap bahwa ulama menginginkan adanya acuan untuk kepastian hukum. Namun apabila berbicara makasat safar, diakui atau tidak takarannya tentunya relatif karena masing-masing individu tidak sama staminanya.
Ada seseorang yang merasakan masakat (capek) walaupun perjalanannya relatif dekat, tapi yang lainnya tidak merasakan. Dan apabila tetap diberlakukan ketentuan syarat jarak tempuhnya (masafah) maka hukum terkesan menjadi tidak adil, tebang pilih, apalagi pada era sekarang. Dengan adanya alat transportasi modern misalnya pesawat terbang, jarak tempuh perjalanan 89 km. tidak ada artinya. Sedangkan keumuman rumusan hukum tetap berlaku, maka yang diuntungkan adalah kalangan elite, sementara orang-orang kampung misalnya, masih banyak yang berjalan kaki untuk silatur rahmi ke sanak familinya atau untuk berjualan ke pasar dengan menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki dan jalan  yang dilalui tidak kondusif, maka terasa sangat melelahkan, namun belum bisa mendapat keringanan untuk berbuka, mengqasar atau menjamak salat karena jarak tempuhnya belum mencapai target.
Namun, walaupun ulama telah membuat patokan jarak tempuh tersebut yang diperkirakan timbul masakat, mereka tidak semata-mata menetapkan ‘illah berdasarkan masakat, tapi dengan mengimplementasikan keumuman nas tentang keringanan bagi musafir, baik masakat atau tidak. Sehingga mereka tidak mengatakan, apabila seseorang dalam perjalanan tidak masakat maka tidak boleh berbuka, jamak salat atau mengqasarnya.  Hal itu terjadi menurut ‘Iyadh ibn Nami as-Salami, karena ulama tidak membuat pemahaman balik dari nas tersebut sehingga berlaku umum bagi tiap musafir tanpa dibatasi oleh masakat.[20] Inilah kerancuannya, dalam satu sisi bertendensi pada masakat dengan jarak tempuh yang ditentukan, tapi dalam sisi lain mengamalkan keumuman nas. Nas al-Qur’an yang dimaksud adalah al-Baqarah: 185. Jika demikian menurut saya harus dikompromikan, yaitu jarak perjalanannya mencapai target dan adanya masakat sehingga hukum akan menjadi adil.

4.      Rukhsah (dispensasi)
Dalam pembagian hukum Islam, ada sembilan macam hukum taklifi.[21] Kaitannya dengan konteks pembahasan ini, saya perlu memaparkan satu macam di antaranya, yaitu ar-rukhshah (dispensasi, rukhsah). Rukhsah adalah suatu hukum yang mengalami perubahan dari yang sulit pada yang mudah beserta adanya sebab hukum asal.[22] Atau hukum-hukum yang ditetapkan karena adanya uzur (kesulitan) yang merupakan pengecualian dari hukum asalnya yang kulli, atau hukum-hukum yang ditetapkan karena ada alasan yang membolehkan kita keluar dari hukum yang asal.[23]
Rukhsah dilihat dari implementasi mukalaf sesuai dengan tuntutannya menurut  H.A. Jazuli & I. Nurol Aen dibagi dua:
a.       Rukhshah al-tarki, yaitu rukhshah untuk meninggalkan perbuatan.
b.      Rukhshah al-fi’li, yaitu rukhshah untuk melakukan perbuatan.[24]
Sedangkan as-Suyuthi[25] merincinya sebagai berikut:
a.       Wajib, seperti memakan bangkai bagi orang yang terpaksa (al-mudhtharr), berbuka bagi orang yang khawatir binasa pada dirinya karena terlalu lapar atau haus sekalipun orang itu tidak dalam bepergian.
b.      Sunah, seperti mengqasar salat ketika dalam perjalanan, berbuka bagi orang yang masakat berpuasa karena dalam perjalanan atau dalam keadaan sakit, melihat pada orang yang dipinangnya, dan lainnya.
c.       Mubah, seperti jual beli salam (membayar uang terlebih dahulu sebelum ada barang/kerja) hukum asalnya tidak boleh, tetapi karena dibutuhkan, maka hukumnya berubah menjadi mubah.
d.      Khilaf aula[26] (membedai yang utama) atau bahasa lainnya, lebih utama ditinggalkan,[27] seperti mengusap sepatu. Demikian juga tayamum yang dilakukan oleh orang yang mendapatkan air yang dijual namun harganya di atas harga standar tapi orang itu mampu membelinya.
e.       Makruh, seperti mengqasar salat yang jarak perjalanannya kurang sedikit dari yang titentukan.
Turunan makna dari istilah rukhshah ini atau bahasa praktisnya disebut takhfif (keringanan) atau bentuk jamaknya, takhfifat.

5.      Sebab-sebab Memperoleh Keringanan
Setelah mengkaji  ‘illah hukum, ulama merumuskan beberapa sebab untuk memperoleh keringanan dalam ibadah atau lainnya. Setidaknya ada tujuh sebab yang dikemukakan oleh as-Suyuthi,[28] yaitu :
a.       Bepergian (as-safar)
Keringanan yang diperolah ketika seseorang bepergian di antranya dapat mengqasar salat Zuhur, Asar, dan Isyak yang asalnya masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat. Juga dapat berbuka puasa pada siang bulan Ramadan dan dapat mengusap sepatu selama tiga hari tiga malam
b.       Sakit (al-maradh)
Dalam keadaan sakit seseorang boleh bertayamum apabila menggunakan air akan dapat menyebabkan  sakitnya semakin parah.
c.       Ikrh (terpaksa)
Minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman  akan dianiaya  kalau tidak minum, maka  meminumnya menjadi tidak haram.
d.      Nisyan (lupa)
Pada dasarnya makan siang hari membatalkan puasa, tetapi kalau makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal. Berarti makanan yang sudah dimakan menjadi rezeki baginya.
e.       Jahl (tidak tahu)
Bergerak tiga kali berturut-turut dalam salat pada dasarnya membatalkan salat, tetapi bagi orang yang belum tahu, salatnya tidak batal karena kebodohannya.
f.        ‘Usur (sukar)
Debu di jalan yang bercampur dengan kotoran (najis), pada hakikatnya najis, tetapi karena sulitnya menghindarkan diri dari debu itu—dalam istilah ulama fiqih disebut li ‘umum al-balgha—maka hukumnya menjadi tidak apa-apa (ma’fu).
g.      Naqsh (kurang)
Anak-anak dan orang gila tidak terkena kewajiban, orang perempuan tidak punya kewajiban sebanyak kewajiban laki-laki seperti tidak wajib salat jumat, jihad dan lainnya.

6.      Macam-macam Keringanan
Syaikh Izzuddin membagi keringanan menjadi enam dan al-‘Alai menambahkan satu macam, sebagaimana dikutip oleh as-Suyuthi,[29] sedangkan Abdul Hamid Hakim[30] menyebutkan tujuh macam secara utuh sebagai berikut:
a.       Takhfif isqath (keringanan pengguguran), contoh seseorang telah cukup syarat untuk melakukan ibadah haji, tetapi karena terjadi peperangan yang dikhawatirkan mengancam keselamatan dirinya, maka kewajiban haji atas orang itu dapat digugurkan.
b.      Takhfif tanqish (keringanan pengurangan), contoh dapat mengqasar salat Zuhur, Asar, dan Isyak yang asalnya masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat bagi orang yang bepergian yang telah mencukupi syarat.
c.       Takhfif ibdal (keringanan penggantian), wudu dan mandi dapat diganti dengan tayamun apabila berhalangan menggunakan air. Berdiri untuk salat wajib dapat diganti dengan duduk atau tidur miring apabila memiliki uzur untuk berdiri misalnya karena sakit.
d.      Takhfif  taqdim (keringanan mendahulukan), contoh melakukan salat Asar di waktu Zuhur atau salat Isyak di waktu Magrib bagi orang yang sedang bepergian yang dalam terminologi hukum Islam disebut jama’ taqdim.
e.       Takhfif  ta’khir (keringanan mengakhirkan), contoh melakukan salat Zuhur di waktu Asar atau salat Magrib  di waktu Isyak bagi orang yang sedang bepergian yang dalam terminologi hukum Islam disebut jama’ ta’khir.
f.       Takhfif tarkhish (keringanan kemurahan), contoh kebolehan melakukan salat bagi orang yang istinja dengan batu (mustajmir) walaupun kotorannya bersisa (tidak sebersih beristinja dengan air). Contoh lainnya, makan barang najis untuk berobat apabila tidak mendapatkan obat lain atau orang yang sedang sangat haus kalau tidak cepat minum dikhawatirkan bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang itu dapat keringanan minum arak tersebut sekedar menyambung nyawanya.
g.      Takhfif taghyir (keringanan merubah), contoh dalam keadaan perang boleh merubah tatacara pelaksanaan salat yang disebut salat khauf. [31]

7.      Kaidah Semakna
Kaidah fiqih yang semakna dengan kaidah ketiga:
إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ ِاتَّسَعَ
Apabila suatu perkara sempit maka menjadi luas.
Kaidah tersebut diambil dari ucapan Imam Syafii.[32] Ada pula kaidah dengan redaksi berbeda tapi maksudnya sama :
اَلْأَشْيَاءُ إِذَا ضَاقَتْ ِاتَّسَعَتْ . [33]
Sesuatu menjadi sempit apabila luas.
Contoh dari kaidah ini, lelaki haram memegang tubuh perempuan yang bukan mahramnya, namun kalau suatu ketika terjadi kecelakaan yang menimpa perempuan tersebut, misalnya jatuh dari kendaraan dan tidak ada seorang pun berada di tempat kejadian itu kecuali lelaki   tersebut, maka lelaki itu boleh menolong perempuan tersebut,[34] bahkan wajib.
Kemudian ulama membalik kaidah tersebut manjadi :
إِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ   [35]
Apabila suatu perkara luas maka menjadi sempit
Contoh dari kaidah ini, ketika perang sedang berkecamuk diperbolehkan melakukan salat khauf dengan banyak bergerak. Tetapi di tengah-tengah salat, tiba-tiba keadaan menjadi reda dan musuh menjauh, maka tidak lagi diperkenankan banyak bergerak dalam salat tersebut.[36]

C.    PENUTUP
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumusan kaidah ketiga tersebut  untuk memberikan kemudahan aturan,  artinya segala urusan, baik ibadah atau muamalah apabila mengalami kesulitan maka akan ada jalan keluarnya. Sedangkat kesulitan atau masakat yang dipastikan memperoleh keringanan atau kemudahan adalah suatu kondisi yang dikhawatirkan mengancam keselamatan jiwa, anggota badan atau fungsi anggota badan seseorang, sedangkan sebab-sebab lain yang dipandang layak untuk memperolehnya, seperti hal-hal yang terkait dengan keterbatasan mukalaf atau di luar kemampuannya.
Untuk mengimplementasikan asas masyaqqah membutuhkan penalaran kritis sehingga kebijakan yang diambil obyektif, valid dan sesuai dengan konteks kemaslahatan kehidupan sekarang yang dapat dirasakan oleh siapa pun. Dan, yang tidak boleh dilupakan oleh kita bahwa dispensasi hukum yang kita ambil harus tetap berpijak pada nilai-nilai ilahiah dan insaniah.
Wallah a’lam.
*****

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im, “Dialektika Induksi dan Deduksi dalam Pemikiran Hukum Islam” Jurnal Islamica, volume 4, Nomor 1. Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2009.
al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Shahih al-Bukhari, juz 1. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
as-Salami, ‘Iyadh ibn Nami, Ushulul Fiqh alladzi la Yasa’ al-Faqih Jahluhuh. al-Maktabal al-Shamilah.
as-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr, al-Ashbah wa an-Nazhair. Surabaya: al-Hidayah, 1965.
Ash Siddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Ash Siddieqy, Hasbi, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Bisri, Moh. Adib, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah. Kudus: Menara Kudus, tt.
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyyah: Fi Ushulil Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.
Ibn Abdur Rahman, Abu Abdullah Muhammad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, juz 2. Surabaya: al-Hidayah, tt..
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz 5 & 6. Kairo: Mu’assasah Qurthubah, tt.
Jazuli, H.A. & I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam: Menggali Hakikat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2006.
Usman, Muhlis, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam). Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999.

*****
© 2014 M. Khaliq Shalha


[1] Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam: Menggali Hakikat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam. (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2006), 42.
[2]  Ibid., 44.
[3] Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam). (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 107.
[4] Urutan kaidah tersebut sama dengan yang ada di al-Asybah wa an-Nazhair karangan al-Suyuthi, sedangkan dalam kitab atau buku lain ada perbedaan urutan.
[5] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 185.
[6] Ibid., 286.
[7] Ibid., 5 (al-Maidah): 6.
[8] Ibid., 22 (al-Hajj): 78.
[9] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), 23.
[10] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz 5. (Kairo: Mu’assasah Qurthubah, tt.), 266.
[11]  Ibid., juz 6, 114.
[12]  Moh. Adib Bisri, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah. (Kudus: Menara Kudus, tt.), 17.
[13]  Hasbi Ash Siddieqy,  Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 108.
[14]  Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), 201.
[15] Jalaluddin Abdur Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair. (Surabaya: al-Hidayah, 1965), 57.
[16] Masakat yang diderita orang yang dijatuhi hukuman (‘uqubah) di mata hukum Islam adalah maslahah, karena hukuman untuk mereka ibarat suntikan dokter pada orang yang menderita suatu penyakit yang diharapkan kesembuhannya.
[17] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 58.
[18] ‘Iyadh ibn Nami as-Salami, Ushulul Fiqh alladzi la Yasa’ al-Faqih Jahluhuh. (al-Maktabal al-Syamilah),  112.
[19] Ibid., dan Abu Abdullah Muhammad ibn Abdur Rahman, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, juz 2. (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), 64.
[20] as-Salami, Ushulul Fiqh, 112.
[21] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah: Fi Ushulil Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 6.
[22] Ibid., 7.
[23] H.A. Jazuli & Dr. I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 44.
[24] Jazuli & Aen, Ushul Fiqh, 45.
[25] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59.
[26] Moh. Adib Bisri, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah, 20.
[27] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59.
[28] Ibid., 55.
[29] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59.
[30] Hakim, Mabadi Awwaliyyah, 29-30.
[31] Contoh-contoh tersebut di atas diambil dari as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59 dan Bisri, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah, 19 yang penulis modifikasi seperlunya.
[32] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59
[33] Hakim, Mabadi Awwaliyyah, 29.
[34] Bisri, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah, 21.
[35] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59.
[36] Bisri, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah, 21.