Senin, 12 Agustus 2019

UZLAH SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Lokasi; Sunan Kudus


Dalam tasawuf dikenal istilah 'uzlah (uzlah) sebagai salah satu rukun mujahadah. Uzlah oleh sebagian pakar dimaknai sebagai sebuah sikap mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah dengan berzikir dan bertafakur kepada Allah SWT.

Uzlah dengan tujuan tersebut dapat dibenarkan dan mulia. Pada saat-saat tertentu memang dianjurkan menyendiri, di antaranya sewaktu bermunajat atau berzikir melantunkan wirid. Kala itu bagi penempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (salik) sangat dianjurkan menjauhkan diri dari orang banyak dan kebisingan. Hal ini disebut zikir khafi. Mereka berlandaskan firman Allah sebagai berikut.

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ .
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS. Al-'Araf [7]: 205).

Sikap mengasingkan diri tersebut pada momen tertentu dalam agenda kehidupan sehari-hari sebagai perenungan untuk introspeksi diri. Bukan pengasingan secara permanen dengan motif menghindari hiruk pikuk kehidupan sosial dan tak mau tahu tentang tanggung jawab urusan sosial kemasyarakatannya.

Dalam sejarah kehadiran gerakan tasawuf ke dunia ini bermula sebagai upaya mengatasi krisis akhlak yang menimpa masyarakat Islam di masa lalu, tepatnya pada rentang 650-1250 M ketika umat Islam bergelimang harta dan kemewahan sehingga terjerumus pada kehidupan berfoya-foya, berbuat durjana dan berlumuran dosa. Mereka lupa pada tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Mereka tak sanggup lagi memikul beban tugas untuk membangun masyarakat seutuhnya. Dalam keadaan sakit mental demikian, datanglah serbuan bangsa Mongol pada tahun 1258 M dan berhasil mengalahkan umat Islam dengan meluluh lantahkan kota Bagdad secara menyedihkan, memilukan dan memalukan.

Kondisi bahaya semacam ini memantik umat Islam segera introspeksi diri dengan membangun etos kerja kembali dengan dipandu oleh akhlak mulia yang dibangun dari tasawuf. Namun, faktanya terjadi ketidakseimbangan dalam pengamalannya. Umat Islam cenderung lebih menangkap aspek ritualitas lahiriah dari tasawuf tersebut. Mereka asyik berzikir dan berwirid tanpa memberikan pengaruh ke dalam gerakan sosial kemasyarakatan. Mereka malah semakin jauh dari realitas masyarakat, tidak peduli pada lingkungannya sehingga akhirnya keadaan umat Islam semakin mundur sekian langkah ke belakang. Dalam keadaan demikian, wajar apabila muncul tuduhan bahwa tasawuf merupakan biang keladi keterpurukan umat Islam.

Uzlah dengan motif menghindar dari problematika hiruk pikuk kehidupan sosial bukanlah alternatif yang baik dan elegan bagi kaum muslimin pemakmur kehidupan. Dengan demikian, pengertian dan penghayatan uzlah secara arif dan produktif perlu dirumuskan. Uzlah bukan berarti seseorang harus bertapa dan meninggalkan hiruk pikuk aktivitas positif dalam lingkungan sosial di mana ia menjalani hidupnya. Karena ketika semua orang bersikap memilih minggat dari kehidupan nyata, siapa lagi yang bisa diharapkan mengurusi masyarakatnya?

Tugas untuk mengelola segala sumber daya kehidupan di muka bumi ini dibebankan kepada manusia, bukan kepada makhluk halus seperti malaikat dan jin. Menghindar dari tanggung jawab berarti membangkang terhadap kehendak Allah dalam menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi.  Seorang muslim harus mampu hidup tegar di tengah-tengah masyarakatnya, seperti yang telah dicontohkan oleh junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa ayat, Al-Qur'an menuturkan pemberdayaan umat yang dilakukan oleh beliau dan pada saat yang sama beliau mampu mengukur jarak dengan mereka sehingga ekses negatif mereka tidak mengefek kepadanya. Mengenai ayat dimaksud, akan saya kemukakan di bawah nanti.

Untuk menghadirkan gambaran menarik tentang perjalanan Rasulullah SAW sebelum dan sesudah dinobatkan menjadi rasul perlu kiranya kita membuka kembali lembaran sejarah beliau yang nantinya kita kaitkan dengan pengamalan uzlah yang produktif untuk membangun umat seutuhnya. Sebagaimana pula belakangan ini muncul reinterpretasi terhadap istilah-istilah tasawuf untuk dipahami, dihayati dan diamalkan dimensi spiritualitasnya sekaligus dinamikanya sehingga menjadi penggerak terjadinya perubahan sosial yang mengarah pada terwujudnya keagungan Tuhan.

Abul Hasan 'Ali Al-Hasani An-Nadwi dalam bukunya, Sirah Nabawiyah memaparkan tentang krisis moral yang melanda bangsa Arab pada masa Jahiliyah. Mereka dijejali oleh khamar (minuman keras). Mereka sudah sampai pada titik kekejaman dan kebiadaban tinggi, seperti mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup dan kadang pula melemparkannya dari tempat yang lebih tinggi karena takut menjadi aib pada keluarganya dan takut jatuh miskin. Penipuan merajalela dan sudah menjadi kebiasaan. Perampokan terhadap para kafilah dagang. Diskriminasi pada kalangan wanita sangat kentara. Derajat wanita telah jatuh. Wanita diwariskan kepada keturunan seperti halnya barang perhiasan dan barang tunggangan. Di masyarakat Jahiliyah Arab terdapat makanan yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, dan diharamkan bagi wanita. Laki-laki dapat beristri semaunya tanpa ada batasan jumlahnya. Fanatisme kesukuan dan keturunan sangat menonjol. Bangsa Arab Jahiliyah suka berperang. Menyenangi hiburan dan pelampiasan hawa nafsu yang kadang menyebabkan terjadinya keributan dan berakhir dengan peperangan. Perzinahan bukan perbuatan yang tabu. Perjudian dengan mempertaruhkan harta dan istrinya sudah menjadi kebiasaan. Di samping itu, khurafat dan penyembahan berhala sedang menjadi-jadi.

Saat itulah Muhammad bin Abdillah genap berumur 40 tahun. Dia menyaksikan dunia bagai berada di jurang neraka. Perjalanan manusia melangkah cepat menuju kebinasaan. Sederat kedurjanaan masyarakatnya menimbulkan kegelisahan dalam benak Muhammad hingga mencapai puncaknya. Kala itu, seakan-akan ada sesuatu yang mendorongnya sehingga beliau senang menyendiri. Tidak ada yang lebih disukai selain menyepi seorang diri. Beliau sering meninggalkan Makkah. Beliau meninggalkan rumah, merambah ke celah-celah bukit di Makkah, cekungan-cekungan dan lembah-lembahnya. Setiap batu dan pohon yang dilaluinya merucap, "Assalamualaika ya Rasulallah (Salam sejahtera untukmu wahai utusan Allah)." Muhammad menoleh ke sekitarnya, ke sebelah kanan dan kirinya, serta ke belakangnya. Tapi ia tidak melihat siapa pun selain bebatuan dan pepohonan.

Waktu beliau banyak dihabiskan menyepi di Gua Hira. Beliau tinggal di sana beberapa malam berturut-turut dengan membawa bekal. Beliau beribadah dan berdoa menurut cara agama Ibrahim yang lurus dan fitrah murni yang kembali kepada Allah. Dalam suatu kesempatan, datanglah kepada beliau hari yang telah ditetapkan sebagai waktu pengangkatan beliau sebagai utusan Allah. Saat itu tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran beliau, bertetapan dengan tanggal 6 Agustus 610 Masehi.

Masa-masa menyepinya Muhammad bin Abdillah di Gua Hira tersebut bukanlah semata-mata menghindar dari kedurjanaan kaumnya, tetapi sebagai sebuah strategi mengatasi persoalan-persoalan dahsyat itu dengan cara merenung, menyusun konsep, metode, teknis, taktik, serta mengumpulkan segala daya dan upaya untuk didayagunakan secara maksimal bagi perubahan masyarakat dari akar rumput persoalan yang menderanya secara bertahap dan totalitas.

Solusi itu pada akhirnya tiba dengan diturunkannya Al-Qur'an setahap demi setahap sesuai kebutuhan masyarakatnya. Dakwah beliau awalnya mengalir pelan tapi pasti dengan cara sembunyi-sembunyi lalu secara terang-terangan. Secara garis besar dakwahnya dibagi menjadi dua periode, yaitu pada periode Makkah dengan agenda utamanya pada pembinaan iman lalu beranjak ke periode Madinah dengan aganda lanjutan berupa pembentukan pranata sosial yang baik.  

 Bagaimana sikap Rasulullah ketika berbaur dengan masyarakatnya yang akhlak mereka busuk? Al-Qur'an menuturkan sikap yang harus dipegangi beliua ketika berkiprah di tengah-tengah mereka. Beberapa ayat Al-Qur'an memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk beruzlah dengan tipe yang elok dan elegan. Misalnya, Nabi diperintah untuk berpaling dari kaum musyrik dan dari orang-orang yang picik, dan pada saat yang sama, beliau tetap diperintahkan menyampaikan ajaran Islam dan memberikan tuntunan pada umatnya.

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ .
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (QS. Al-An'am [6]: 106).

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ .
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-'Araf [7]: 199).

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ .
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (QS. Al-Hijr [15]: 94).

لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا .
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An-Nisa' [4]: 95).

Nabi SAW bersabda:

Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar menghadapi gangguan mereka, lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan mereka dan tidak bersabar menghadapi gangguan mereka. (HR. Ahmad).

Jadi, menghayati uzlah lebih tepat dipahami sebagai berpaling atau tidak terlibat dalam hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat. Sikap demikian akan melahirkan sikap kehati-hatian dalam bergaul dengan masyarakat hingga selamat dari imbas arus negatif, di samping itu, pada saat yang sama, ia tetap hidup di tengah-tengah masyarakatnya guna memberikan keteladanan serta bimbingan yang baik pada mereka.[]

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Minggu, 11 Agustus 2019

DESAKU ADALAH SURGAKU

Koleksi Pribadi
Desa identik dengan keterbelakangan ketimbang kota. Itu dulu, kalau sekarang tidak terlalu begitu. Bahkan desa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kota.

Desa memiliki udara segar, tak terkontaminasi asap kendaraan. Desa memiliki suasana tenang, tak bising dengan bunyi kendaraan.

Selain itu, memiliki kesamaan dengan kota dari aspek fasilitas. Akses jalan semakin memadai, sinyal kuat, PLN terang benderang dan pendidikan cukup berkembang.

Kalau mau memilih, jika sama-sama kaya; hidup di desa kaya dan hidup di kota kaya, mendingan hidup di desa. Jika sama-sama miskin, mendingan hidup miskin di desa karena biaya hidup jauh lebih murah.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengusik ketenangan orang-orang yang sudah hidup di kota. Tapi untuk memberikan gambaran bagi kawan-kawan di desa agar tidak terlalu berambisi untuk mengadu nasib di kota. Terutama bagi yang punya SDM baik untuk dapat mengembangkan desanya agar lebih maju.

M. Khaliq Shalha

Selasa, 06 Agustus 2019

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (Solusi Mengentaskan Krisis Multidimensi)


Betapa bingung dan sibuknya negeri ini merevisi kurikulum dari kurikulum ini ke kurikulum itu sesuai kebutuhan yang mendesak. Tiada lain untuk mencetak lulusan yang baik (sebagai tujuan utama) dan pandai. Mengingat SDM anak negeri ini kurang membanggakan, khususnya keringnya spiritual hingga menimbulkan krisis multidimensi.

Tergerusnya nilai-nilai akhlak yang mungkin dominan melanda kalangan birokrasi dan anak kota memantik pemangku kebijakan mencarikan solusi lewat dunia pendidikan dengan menyajikan kurikulum yang aktual.

Munculnya persoalan (kasuistik) terjadi di jauh sana namun berimbas ke sini dari penyeragaman kurikulum. Namanya kurikulum nasional, tentu berlaku se-nasional.

Bagi kalangan madrasah yang berbasis pesantren, penekanan pendidikan akhlak di atas kecerdasan bukanlah porsi yang baru, tapi itu lagu lama yang senantiasa dijunjung tinggi dalam keseharian selama 24 jam. Setidaknya kompetensi yang diusung Kurikulum 2013 (K13) yang utama Kompetensi Inti (KI 1) berupa kecakapan spiritual, lalu KI 2 berupa kecakapan sosial yang keduanya oleh kalangan pesantren/madrasah disebut hablun minallah dan hablun minannas, dapat membangunkan sebagian kalangan pesantren/madrasah yang mulai kehilangan rasa bangga pada almamaternya, padahal orang luar mulai mengadopai model pendidikannya.

Munculnya wacana Full Day School bagi kebanyakan masyarakat Jawa Timur (khususnya kalangan pesantren) terkesan lucu, karena sepertinya pelampiasan kebingunan orang atas sana mencari model pengajaran dan pendidikan ala pesantren tapi tanggung.

Kembali pada persoalan moral. Generasi orang tua kita benar-benar mewanti-wanti pada anaknya untuk memelihara moral dan mengamalkan ilmunya hingga sampai kehilangan keseimbangan dalam berwejangan. "Walau punya ilmu sedikit yang penting diamalkan." Mereka berfatwa demikian bukan tanpa alasan, tapi menyikapi realita. Banyak orang berilmu tapi moralnya tidak karuan. Orang pandai banyak tapi orang baik sedikit.

Ungkapan ini dalam satu sisi baik, tapi dalam sisi lain kurang memotivasi generasi muda untuk meningkatkan keilmuannya. Idealnya ungkapan yang optimis, ilmu selalu ditingkatkan sambil diamalkan.

Pendidikan yang mapan akan menjadi pilar kokohnya kebangsaan, sebagaimana visi Ki Hajar Dewantara dalam membangun bangsa ini tempo dulu.

Persoalan bangsa ini semakin komplit. Maka, perpaduan unsur dari target pendidikan antara afektif (akhlak), kognitif (kecerdasan) dan psikomotorik (keterampilan) sebagai bentengnya. Semoga saja tumbuh jiwa-jiwa santri-akademisi.

Modal utama dari kombinasi capaian itu adalah kehadiran sang guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Dibutuhkan kesiapan lahir batin.

Ingat, warning Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno, "Musuhku lebih ringan ketimbang musuhmu karena musuhku penjajah, sedangkan musuhmu bangsa Indonesia sendiri."

Merdeka!

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Minggu, 04 Agustus 2019

SERBA DOA

Salah satu ajaran Islam yang monumental adalah doa. Doa disyariatkan dalam berbagai aktivitas manusia. Memanjatkan doa merupakan wujud ketergantungan hamba yang maha lemah dalam berbagai aspeknya kepada Zat Maha Kuasa, Allah SWT Sang Maha Pemurah lagi Penyayang.

Dua macam doa yang dapat dipanjatkan; pertama, doa ma'tsur (terredaksi dalam Al-Qur'an dan hadis). Kedua, bukan ma'tsur, yaitu doa yang redaksinya dibuat oleh sesama atau diri sendiri, baik menggunakan bahasa Arab atau bahasa lainnya, termasuk bahasa daerah.

Pemilihan redaksi doa tidak menjadi persoalan. Ma'tsur atau bukan, bahasa Arab atau bukan tidak apa-apa. Karena yang terpenting dalam doa adalah paham dan menghayati terhadap apa yang diminta. Dan sangat aneh bin ajaib meminta sesuatu tapi tidak pernah paham terhadap apa yang diminta sekalipun secara global.

Keterkabulan doa ada tiga macam; terwujud apa yang diminta, sebagai penebus dosa (gali lobang tutup lobang) dan diberikan di akhirat. Keterkabulan doa yang tampak tidak lantas instan (seketika) seperti merebus mie instan (jarang terjadi), tapi masih ada korelasi dengan usaha nyata untuk menjembut keterkabulan doa tersebut. Minimal yang dapat diterima langsung oleh pendoa adalah ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa adalah hal utama dalam kehidupan untuk mengantarkan kesuksesan.

Wallahu a'lam.

M. Khaliq Shalha

Sabtu, 03 Agustus 2019

PENDIDIKAN KEMANDIRIAN ANAK

Kasih orang tua kepada anak tak terhingga sepanjang masa. Dalam peribahasa lain dikatakan, kasih sayang orang tua kepada anak sepanjang jalan dan kasih sayang anak kepada orang tua sepanjang galah. Bila anak terjatuh ke dalam sumur, orang tua tanpa berpikir panjang, langsung meloncat ke sumur untuk menyelamatkan anaknya, tapi bila orang tua terjatuh ke sumur, anak masih sibuk mau mencari tangga.

Betapa agung, tak tertandingi dan tak terbantahkan kasih sayang orang tua kepada anak. Namun kasih sayang orang tua hendaknya jangan sampai menghambat proses pendewasaan mental anak. Layanan orang tua jangan sampai memanjakan anak, terutama ketika sudah  mulai remaja, keperluan anak sebaiknya tidak serba diladeni; tidur, makan, mandi, mencuci, berbelanja dan lain-lain. Bila potensi negatif kepribadian anak tumbuh lebih subur ketimbang potensi positifnya, alamat orang tuanya cenderung dijadikan budak. Kecenderungan anak selalu menggantungkan urusannya pada orang tua, sampai tumbuh kawin pun.

Sebaiknya bagi orang tua sejak dini memberikan pendidikan kemandirian pada anak. Dengan cara modeling atau memberikan teladan dalam berbagai aspeknya lalu mengajak anak berpartisipasi di dalamnya. Bersih-bersih, menanak, mencuci, membaca, menulis, bersedekah dan lainnya hendaknya melibatkan anak, sehingga anak terbiasa berkiprah dalam ranah kehidupan nyata dengan penuh tanggung jawab.

Kadang anak-anak dari keluarga di bawah garis kemiskinan lebih siap menghadapi kehidupan dewasa dalam berbagai aspeknya yang serba kompetitif. Mereka sudah biasa hidup malarat saban harinya. Mereka punya kesiapan menyongsong masa depan penuh harap dan semangat. Mereka siap peras keringat banting tulang dalam menjalankan misi kemanusiaannya.

Salah asuh bisa berakibat relatif fatal bagi masa depan anak. Memanjakan anak semanja-manjanya bukanlah wujud dari kasih sayang yang hakiki untuk jangka panjang. Tindakan bijak orang tua adalah memberikan pendidikan kemandirian kepada anak sejak dini. Itulah kasih sayang yang sebenarnya.

Wallahu a'lam.

M. Khaliq Shalha

Jumat, 02 Agustus 2019

KEAJAIBAN SILATURRAHMI


Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambung tali persaudaraan.” (HR. Bukhari Muslim).

Menyambung tali persaudaraan atau populer dengan sebutan silaturrahmi, yang dalam Islam tergolong salah satu ajaran yang urgen. Memutuskan tali persaudaraan merupakan bagian tindakan yang berbuah dosa.

Jalinan persaudaraan dilakukan antar kerabat, teman, saudara seagama (akhun fillah) atau dengan sesama manusia secara umum, memantik kedamaian di antara mereka hingga melahirkan ragam manfaat. Misalnya, lahirnya kepekaan tolong-menolong antar sesama dalan hal kebaikan dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di antara mereka.

Jaminan baku buah dari silaturrahmi, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih tersebut, dapat kita pahami dalam dua pemaknaan. Pertama, bagi pegiat silaturrahmi, umurnya dan rezekinya akan ditambah secara kualitas. Artinya, keberkahan umur dan rezeki akan ditambah.

Kedua, bertambahnya umur dan rezeki secara kualitas dan kuantitas. Itulah ajaibnya. Hal itu urusan mudah bagi Allah, Sang Pemilik umur dan rezeki.


Apakah umur bisa bertambah? Mungkin bisa bertambah. Dengan silaturrahmi dapat menjadi solusi terhadap suatu persoalan yang sebelumnya mengendap dan beku dalam pikiran sehingga bisa mencair. Dalam silaturrahmi pula, suasana keakraban, riang gembira dan gelak tawa menjadi pecah. Kondisi seperti itulah memungkin kejiwaan seseorang menjadi lebih sehat sehingga menambah panjang umur.

Kemudian mengenai makin murahnya rezeki, lebih logis lagi. Dengan silaturrahmi terbangun komunikasi muamalat yang relatif sama-sama menguntungkan semua pihak di dalamnya hingga bisa membuka pintu peluang rezeki dengan mudah.

Cara bersilaturrahmi dapat dilakukan secara individu keluarga (domestik), seperti pada momen hari raya. Dan, bisa pula secara terorganisir (publik) secara berkala, misal ada perkumpulan tahlilan dan sejenisnya. Efek silaturrahmi bisa efektif dan efisien bila didasarkan pada ketulusan hati, bukan karena modus tertentu.

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

Kamis, 01 Agustus 2019

MENUJU TAKDIR BAIK DENGAN DOA

Sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: "Tiada seorang muslim yang berdoa kecuali doanya pasti dikabulkan. Kadang disegerakan di dunia ini, kadang sebagai simpanan buat di akhirat kelak, dan kadang sebagai penebus dosa-dosa yang telah diperbuatnya."

Doa bisa merubah takdir jelek seseorang berganti takdir baik. Hal ini telah dibuktikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani untuk takdir orang lain. An-Nabhani dalam kitabnya, Jami' Karamatil Auliya' mengisahkan bahwa Abul Mudhaffar diprediksi oleh guru Jailani, Syekh Hammad Ad-Dabbasi, akan ditimpa musibah (pembunuhan dan perampokan atas Mudhaffar) bila melakukan perdagangan ke Syam (Syiria). Prediksi itu disampaikan oleh Mudhaffar kepala Jailani.  Jailani berjanji bisa menjamin keselamatannya, dan menyuruhnya untuk meneruskan rencana dagangnya.

Setelah sampai di Syam, dagangan Mudhaffar laris manis. Di sana ia pergi ke WC dan uang hasil daganganya tertinggal di tempat itu. Baru ia ingat keesokan harinya setelah semalam ia bermimpi bahwa ia dan kafilahnya dirampok dan dibunuh oleh penjahat, hingga efek mimpi itu masih membekaskan darah di lehernya dan terasa sakitnya bagai digorok pisau ketika ia terbangun. Seketika ia ingat bahwa uangnya tertinggal di WC.

Prediksi itu hanya berganti mimpi. Uangnya masih ada di WC itu dan jiwanya selamat. Sepulangnya dari berdagang, Mudhaffar sempat bingung, apa mau sowan ke Syekh Hammad dulu atau ke Syekh Jailani. Mudhaffar secara tak sengaja bertemu Syekh Hammad di pasar. Ia langsung berkomentar atas kebingungannya dalam benak Mudhaffar dengan menyuruh Mudhaffar sowan terlebih dahulu ke Jailani karena ia katanya kekasih Allah yang telah mendoakan Mudhaffar 17 kali hingga selamat dari maut dan perampokan.

Ketika Mudhaffar menemui Syekh Jailani, Jailani berkata sebelum Mudhaffar berkata bahwa ia mendoakan Mudhaffar sebanyak 70 kali hingga Mudhaffar benar-benar selamat dari musibah.

Wallah a'lam.


M. Khaliq Shalha