Kamis, 01 Desember 2016

PENISTAAN AGAMA DALAM KESEHARIAN


M. Khaliq Shalha


Eksistensi agama bukanlah simbol-simbol kesalehan semata, tapi yang terpenting berupa nilai-nilai kesalehan yang mewujud dalam tindakan keseharian, baik dalam perbuatan, perkataan atau sikap yang bisa membuat dirinya dan orang lain merasa teduh, nyaman dalam bergaul di bawah lindungan rida-Nya. Saleh ritual dan sosial merupakan identitas muslim yang hakiki hingga terhindar dari penistakaan terhadap agamanya.

Namun, meraih kesalehan yang hakiki tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak seringan menyeruput secangkir kopi. Tak semantap menyantap semangkok bangso. Tak seringan mengunyah agar-agar. Membutuhkan pengorbanan mental dan kesabaran. Apa masalahnya? Setiap bentuk kebaikan diliputi oleh hal-hal yang tidak disukai perasaan. Sedangkan segala hal yang menjurus ke neraka diliputi oleh perasaan yang digandrungi hawa nafsu.

Kita maklum bahwa shalat khusyuk akan memiliki dampak positif dalam kehidupan individu dan sosial. Tapi mengapa shalat aktif namun perilaku kita tidak karu-karuan? Hal itu merupakan indikasi shalat yang kita kerjakan jarang khusyuknya hingga kering spiritual. Kita tahu pula bahwa dalam ranah komunikasi ada dua pilihan yang membuat kita selamat, yaitu berkata dengan baik, dan jika tidak bisa, diam saja. Itu aman. Sayang seribu kali sayang, urusan mengerem pembicaraan bukan hal yang mudah. Faktor kerusakan hubungan sosial dominan karena kesalahan atau ceroboh dalam menggunakan jurus-jurus pembicaraan ketika bersilat lidah. Berapa banyak manusia mengingkari nuraninya ketika asyik berbicara dengan memutarbalikkan fakta.

Pada tiap kita melakukan shalat, dalam doa iftitah kita ucapkan komitmen kita pada diri kita sendiri, yang artinya: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata karena Allah, Tuhan semesta alam. Banyak di antara kita tidak konsisten dengan komitmen yang kita ucapkan sendiri ketika shalat.

Para pemangku amanat umat (rakyak) di awal jabatannya berjanji dengan nama Tuhannya—dengan saksi bisu Kitab Suci Al-Qur’an di dekat kepalanya—untuk menjalankan amanat dengan baik. Godaan HTW (Harta Tahta Wanita) mampu menghipnotis sehingga idealisme sumpahnya tak ubahnya formalitas belaka. Berapa banyak orang menyalahgunakan wewenangnya demi HTW itu.

Kita seringkali menistakan agama yang kita anut tanpa kita sadari. Bahayanya jauh lebih menghanyutkan ketimbang penistakaan agama secara fulgar. Nyaris tak ada yang menegur kesalahan kita karena sudah menjadi lazim. Orang yang menistakan agama secara fulgar dapat dihitung dengan jari. Jarang (bahkan tidak pernah) kita temukan orang yang menginjak-injak Al-Qur’an secara visual, tapi cukup banyak kita amati dan rasakan orang yang menginjak-injak ajaran agamanya tanpa ada beban merasa bersalah. Tak banyak kita temukan orang yang menghujat kesakralan agama kita, namun tak sedikit di antara kita keluar ucapan yang melecehkan ajaran agama kita sendiri tanpa kita merasa punya beban moral. Kita mengakui dan meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa shalat lima waktu adalah tiang agama, ibadah pokok teratas. Namun, begitu mudahnya di antara kita absen shalat. Contoh kongkretnya, bila pertandingan sepak bola digelar di stadion waktu Asar atau Magrib, berapa banyak di antara suporter yang absen shalat Asar atau Magrib dengan euforia tanpa ada yang menyalahkan. Inilah contoh nyata penistaan agama yang menjamur di tengah-tengah kita.

Sejenak kita konsentrasi pada firman Tuhan yang menukik pendusta agama dalam sebuah pertanyaan dengan maksud pernyataan. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7).

Bentuk-bentuk penistaan terhadap agama yang diilustrasikan Al-Qur’an secara fulgar tersebut seringkali luput dari konsentrasi koreksi kita terhadap diri kita sendiri atau umat pada umumnya. Mestinya kita patut merasa malu besar bila dibilang beragama tapi di balik itu sebagai pendusta agama karena kelakuan kita sendiri tidak mencerminkan orang beragama. Tak punya belas kasihan pada anak yatim. Tak peduli pada orang miskin. Shalatnya tak berisi kekhusyukan, motif ibadahnya hanya pencitraan (bukan semata bermunajat pada Tuhan). Tak ada minat menolong orang dalam hal kebaikan. Itulah contoh-contoh penistaan agama dalam keseharian yang paling menghanyutkan. Wallah a’lam.

Sumenep, 01 Desember 2016





Kamis, 17 November 2016

BERBELANJA PALING MEMUASKAN (Catatan Perjalanan Berburu Buku Murah)


M. Khaliq Shalha



Sudah menjadi rumus umum dalam berbelanja bahwa jalan pengeluaran akan lebih lebar ketimbang pemasukan. Meminjam bahasa Al-Qur’an, min haitsu la yahtasib (dari arah yang tidak disangka-sangka) lebih dominan bagi kita dalam pengeluaran, bukan pemasukan. Sudah pasti kalau pengeluaran lebih santer lajunya ketimbang pemasukan yang kita terima. Urusan belanja paralel dengan urusan menguras uang dan bahkan tak disangka-sangka persediaan uang begitu mudahnya surut di kantong dan sering tak sampai pada titik puas.

Dari sekian ragam berbelanja,  ada suatu hal yang saya rasakan menarik dan memuaskan, yaitu berbelanja buku pada pagelaran bazar buku. Momen seperti ini bukan sekadar kesempatan terjadinya transaksi jual beli biasa, tapi bagi saya memiliki nilai lebih berupa momen rekreatif-intelektualistis.

Pada awal-awal perintisan Perpustakaan MTs Al-Wathan oleh Ustaz Durhan Ariev, saya ikut serta mengembangkannya sampai sekarang. Banyak cara yang gencar saya lakukan untuk menambah koleksi buku. Di antaranya mengirim surat permohonan buku gratis kepada penerbit, tapi tak berhasil. SMS pada teman penulis di Jogjakarta. Ia mengabulkan permintaan saya dengan mengirimkan belasan buku. Permohonan dana juga saya lalukan. Usaha ini Alhamdulillah berhasil. Saya dapat kiriman wesel pos dari Mantan Gubernur Jawa Timur (yang terkenal dermawan), Bapak Mohammad Noor beberapa kali. Beliau mengirikman uang pertama kali sebesar Rp300.000 (tiga ratus ribu rupiah). Betapa bangganya saya. Sepertinya mau berjingkrak-jingkrak sambil jumpalitan. Waktu itu (2006) saya masih mondok di PP. Annuqayah Latee Guluk-Guluk Sumenep. Tiap hari Kamis saya pulang, mengajar di MTs Al-Wathan. Lalu malam Jumat dan siangnya lembur mengurusi OSIS.

Tak berselang lama dari dana yang saya terima tersebut, saya mendengar kabar bahwa ada beberapa teman di pondok akan pergi ke Jogjakarta untuk berbelanja buku di bazar dan memarani pesanan buku di fotokopi. Tanpa berpikir lama saya menghubungi mereka untuk dibelikan buku buat perpustaan dari uang pemberian Pak Noor tersebut. Teman saya menjawab dengan santai bahwa dia tidak sanggup untuk membelikan buku pesanan saya, karena dia akan banyak membeli buku yang tenaganya tidak mungkin untuk membawanya. Mereka memberikan solusi lain. Kata mereka, sebaiknya saya ikut sendiri ke Jogja. Saya merespons dengan cepat bahwa saya tidak punya uang lebih kecuali hanya Rp300.000 itu. Tak masalah, kata mereka. Urusan ongkos perjalanan, makan dan belanja mereka akan memberikan pinjaman lunak. Tentang pembayarannya tak usah dirisaukan. Bisa diatur dalam tempo yang tidak mendesak setelah pulang nanti. Saya pasrah saja lalu menyanggupi untuk ikut ke Jogja dengan modal uang itu.

Tuhan memberikan bonus pada saya untuk berkunjung ke kota budaya dan pendidikan yang sangat terkenal itu. Ada saja lantaran yang memudahkan saya untuk bisa rihlah dari Sumenep ke Jogjakarta. Sebuah jarak yang relatif jauh. Antar pulau antar provinsi. Sekalipun dengan anggaran yang minim.

Dengan uang itu saya mampu memboyong buku satu kardus yang dibeli di dua tempat: di gedung JEC dan Wanitatama. Secara bersamaan di dua tempat ini digelar bazar buku murah. Kata “puas” yang layak saya ungkapkan dalam momen ini. Dengan uang yang tak seberapa tapi dapat memperoleh banyak buku menarik.

Pengalaman perjalanan ini banyak saya serap. Rute-rute kendaraan umum saya hapal luar kepala sebagai bekal perjalanan selanjutnya. Mengingat kepuasan berbelanja buku ini perlu dilakukan secara berkesinambungan dan perlu pula ditularkan pada kawan-kawan yang suka berburu buku murah, khususnya dalam menambah koleksi buku perpustakaan madrasah dengan modal yang sangat terbatas.

Tahun 2008 ada kesempatan lagi untuk berkunjung ke Joga. Saya dengan Ustaz Durhan Ariev—teman seperjuangan dan sepergurauan yang suka menulis ilmiah-nyastra. Lihat saja tulisan-tulisannya yang agak gimana gitu..!!—memberanikan diri untuk berangkat ke Jogjakarta pada pagelaran Islamic Book Fair di Gedung Wanitatama. Sebuah perjalanan yang mengesankan dan kadang menjumpai hal-hal yang mengherankan. Dalam perjalanan ini masih ada kesempatan mampir di rumah kos sepupu di Ngnjuk, lalu pagi harinya berangkat ke Jogja.

Hal yang mengherankan setidaknya ada dua. Ketika sampai di akses antara Solo-Jogja, penumpang bus hanya bersisa tiga orang, kami dan penumpang di belakang. Penumpang yang ada di belakang menghampiri kami dan berkenalan. Dia menanyakan asal kami. Kami jawab dengan jujur dari Madura. Tak lama kemudian orang tersebut beringsut ke belakang yang sepertinya ketakutan dengan kami karena kami bilang dari Madura. Ada apa dengan orang Madura?

Kedua, sepulangnya dari tempat kos teman, kami kehujanan lalu berteduh di depan bangunan baratnya kampus UIN Sunan Kalijaga. Terjadilah obrolan ringan dengan pemuda. Dia bertanya asal kami. Kami jawab dengan jujur pula. Dari Madura. Sentimen negatif muncul lagi dari orang ini dengan beberapa anggapan yang dilontarkan bahwa orang Madura suka carok, suka sikap (membawa senjata tajam yang disembunyikan). Kami meluruskan anggapan negatif itu, tapi tak membuat dia percaya. Saya bilang, orang Sumenep itu sudah maju dengan pendidikannya dan orangnya jinak ketimbang kebupaten lain di Madura. Retorika saya sia-sia saja. Sudahlah. Tak mudah memang meyakinkan orang yang sudah punya anggapan tentang hal berbahaya seperti yang dialamatkan kepada orang Madura.Tak lama, dia beringsut dari samping kami. Entah ke mana dia berteduh?

Setelah buku-buku murah berhasil kami beli. Kami berancang-ancang untuk pulang. Menjelang mau pulang, kami mencari informasi tentang angkutan umum yang belum pernah kami naiki, yaitu kereta api. Kami dapat informasi kereta api jurusan Surabaya kira-kira berangkat tengah malam. Sekitar pukul 23.00 WIB kami dihimbau untuk sampai di stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Kami menuju stasiun dengan menaiki taksi. Teman kami membuntuti kami untuk memastikan apakah kami sampai di stasiun. Setelah kami masuk di stasiun teman tersebut beranjak kembali ke kosnya. Pada waktu itu layanan pembelian tiket untuk keberangkatan pukul 03.00 WIB sudah dibuka dengan kereta Gaya Baru Malam. Kami memilih tujuan akhir stasiun Gubeng Surabaya sesuai petunjuk kawan mahasiswa di kos teman. Kalau dilihat dari pengalaman saya sekarang, stasiun Gubeng ini terlalu jauh untuk menjadi tujuan akhir. Mestinya kami turun di stasiun Wonokromo yang lebih dekat dengan jalur kendaraan umum menuju Tanjung Perak lalu menyeberang ke Madura.

Suka duka terjadi dalam perjalan ini. Dalam satu sisi kami puas berbelanja buku. Dengan uang yang tak seberapa namun mendapatkan buku begitu banyak. Dalam sisi lain kami harus berpeluh-peluh mengangkut kardus menuju kendaraan umum dengan wajah merengut karena muatan berat. Dengan rute yang kejauhan inilah membutuhkan banyak energi.

Perjalanan Jogjakarta-Sumenep dengan barang bawaan berat semacam ini sungguh melelahkan. “Banyak cerita yang mesti kau saksikan,” kata Ebiet G. Ade. Kadang menjadi bahan perenungan saya. Apakah harus ke Jogja untuk mendapatkan buku-buku murah? Tuhan begitu kasihan pada hamba-Nya. Tak membiarkan kami kelelahan begitu saja. Pada tahun 2010 saya dengan Ustaz Durhan Ariev berkunjung ke rumah Paman di Pakisaji Kepanjen Malang setelah UAS di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Petang hari ada SMS masuk ke HP Ustaz Durhan dari temannya bahwa di depan Balai Kota Malang sedang digelar Islamic Book Fair. Mendengar informasi itu semangat kami membuncah untuk mengunjunginya pada pagi harinya. Tak terduga harga buku di bazar ini mirip dengan bazar buku yang digelar di Jogjakarta. Setelah ditelisik para penjual buku di acara ini memang datang dari Jogjakarta dan sekitarnya. Salah satunya pihak Diva Press.

Terjawab sudah kerinduan saya bahwa untuk berkunjung ke bazar buku tidak harus ke Jogjakarta. Tapi di Malang juga digelar secara rutin tiga kali dalam setahun. Informasi mudah didapat, baik dari teman di sana, dari internet atau bertanya pada panitia penyelenggara via SMS. Saya sudah mengantongi nomor HP-nya. Pagelarannya sekitar November-Desember, Maret-April atau Juni-Juli. Aula Skodam Kota Malang sudah menjadi tujuan utama saya dan teman-teman dalam momen Islamic Book Fair dengan berbelanja hemat dan memuaskan. Wallah a’lam.

Sumenep, 17 November 2016

Selasa, 15 November 2016

MENDIDIK DENGAN KASIH SAYANG (Memutar Kembali Memori Masa Lalu)


M. Khaliq Shalha



Salah satu komponen dalam diri manusia adalah afeksi berupa rasa kasih sayang atau perasaan dan emosi yang lunak. Perasaan ini mengambil peranan penting dalam menyerap pendidikan yang diberikan guru. Komponen ini perlu diaktivasi oleh guru baik secara verbal, perilaku dan lebih-lebih batin seorang guru bahwa setiap didikan yang diberikan guru seyogianya didasarkan pada rasa kasih sayang. Mendidik tanpa didasari kasih sayang efeknya akan lemah dalam membangun jiwa besar anak didik. Retorika guru menjadi tumpul. Teknik dan taktik tak banyak berpengaruh.

Dalam sebuah hadits begitu menarik menggambarkan cara Rasulullah mendidik umatnya dengan penuh kasih sayang sekalipun yang dihadapi beliau adalah orang yang sedang khilaf. Inilah peran pendidikan yang nyata. Di samping mendidik manusia yang baik menjadi lebih baik juga mengentaskan manusia yang tidak baik menjadi baik. Kondisi terakhir ini jauh lebih sulit ketimbang kondisi manusia pertama tersebut. Dan, terbukti Rasulullah SAW berhasil mengentaskan manusia tipe kedua sekalipun.

Sahabat Abu Umamah menceritakan bahwa ada seorang pemuda menghadap Nabi SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” Mendengar ucapan pemuda itu, orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, dan berkata: “Anda sungguh celaka, dan tidak punya rasa malu!” Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk di sampingnya (kemudian terjadilah dialog panjang antara pemuda dan Rasulullah).

Rasulullah: “Hai anak muda, maukan engkau jika ibumu dizinahi oleh seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau ibunya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika putrimu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau putrinya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ayahmu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ayahnya dizinahi.”

Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ibumu dizinahi seseorang?”

Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku sebagai tebusanmu.”

Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian pula orang lain pun tidak mau saudari ibunya dizinahi.”

Kemudian Rasulullah memegang pemuda tersebut seraya berdoa: “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.”

Setelah itu, pemuda tersebut tidak pernah melakukan hubungan seksual terlarang.

Hadits riwayat Imam Ahmad tadi memberikan pendidikan bagi para pendidik tentang cara yang efektif dalam mendidik dengan penuh kasih sayang. Hasilnya jelas. Caranya santun. Tak terlalu banyak menghabiskan energi.

Di lapangan, kita dihadapkan dengan banyak tipe anak didik. Ada yang responsif, setengah-setengah dan ada pula yang mbeling. Tipe terakhir menyebalkan dan menjengkelkan. Demikian pula tingkat intelektualitasnya, ada yang di atas rata-rata, standar dan di bawah rata-rata. Dari sekian tipe yang ada, mendidik anak yang mbeling membutuhkan energi lebih banyak dan kesabaran yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah) ketimbang anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan bibit unggul.

Ada sebagian anggapan bahwa tidak ada anak yang nakal, tapi hanya ada sebagian anak yang membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain. Pernyataan “membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain” adalah bahasa halus dari anak yang “mbeling”. Mengentaskan anak yang mbeling membutuhkan strategi dan metode khusus pula. Banyak cara perlu dicoba. Cara yang satu gagal dapat diganti dengan cara yang lain. Cara lemah lembut perlu diutamakan tapi jika cara ini mandul perlu menggunakan cara yang tegas (bahkan cara yang kasar atau keras, tapi dalam koridor “mendidik”). Menghadapi ragam kepribadian anak didik, ibarat dokter menghadapi masyarakat binaannya dengan ragam kekebalan tubuh. Jika kondisi kesehatan mereka normal, dokter cukup memberikan asupan vitamin untuk menjaga kekebalan tubuh mereka dari serangan penyakit. Berbeda jika yang dihadapi pasien yang mengidap penyakit serius. Membutuhkan penanganan khusus dengan dosis obat tertentu pula.

Cara mendidik dengan kekerasan hanyalah sebagai cara alternatif. Mendidik dengan kekerasan tidaklah identik dengan tindakan yang membayakan, baik secara mental maupun fisik. Tetapi harus terukur pula dengan kondisi anak didik sehingga tindakan tersebut dapat merubah anak dari nakal menjadi taat, dari malas menjadi semangat. Dalam koridor seperti ini, Islam melegalkan mendidik anak dengan cara “kekerasan”. Sangat populer dalam kitab-kitab fiqih pada bab-bab awal bahwa kewajiban orang tua adalah mengajak anaknya sejak dini untuk melaksanakan shalat. Jika anak sudah berumur sepuluh tahun masih saja tidak mengerjakan shalat, hendaknya orang tua memukul anaknya dengan maksud mendidiknya supaya disiplin shalat, bukan untuk mencelakakannya.

Pada tahun 1990-an, waktu saya masih mengenyam pendidikan di tingkat madrasah ibtidaiyah, cara-cara kekerasan (ketegasan) sering digunakan. Misalnya, jika murid tidak hapal pada pelajaran yang sudah ditentukan oleh guru untuk dihapalkan, murid disuruh berdiri di depan murid-murid yang lain. Hal yang masih teringat dengan baik di benak dan terngiang di kepalaku (sekaligus menjadi kenangan indah) sewaktu saya kelas dua MI ketika guru bahasa Arab mewajibkan murid-murid untuk menyetor hapalan mufradat (kosakata) bahasa Arab setiap minggu sebanyak lima mufradat yang telah ditulis di papan tulis sebelumnya. Jika murid tidak hapal langsung berdiri. Setelah satu persatu teman-teman selesai menyetor hapalan, giliran murid yang tidak hapal mendapatkan bonus berupa pukulan dengan menggunakan sapu yang dijatuhkan pada betis teman-teman yang tidak hapal. Seingat saya, satu kali saya tidak hapal. Dengan penuh menyesal saya berdiri dan mendapat pukulan dari guru.

Setelah sekian lama, saya baru menyadari bahwa cara kasar yang dilakukan guru itu merupakan salah satu bentuk pendidikan kasih sayang luar biasa yang terselubung. Saya sering terharu dengan cara guru bahasa Arab ini ketika saya berkesempatan menelaah buku-buku berbahasa Arab. Salah satunya, ketika saya tergopoh-gopoh dalam kondisi terdesak untuk menyelesaikan makalah sebagai materi diskusi kelas pada Program Magister di IAIN Sunan Ampel Surabaya (seputar 2009-2011), waktu menelaah buku-buku berbahasa Arab di perpustakaan pascasarjana, secara tiba-tiba saya ingat guru bahasa Arab ini. Berkat ketegasan plus ketelatenannya mendidik, saya relatif paham teks-teks berbahasa Arab hingga dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas kuliah.

Perlu menjadi catatan kita di era digital sekarang bahwa orang-orang besar senior kita sekarang ini rata-rata mereka alumni lembaga pendidikan yang mengetrapkan cara seperti yang saya contohkan di atas. Mereka mengenyam pendidikan dengan keterbatasan sarana belajar. Debu-debu kapur tulis sangat akrab dengan baju guru dan murid. Para murid cepat mandiri. Siap pakai dan siap hidup. Kesalehan tersemat mendalam pada diri mereka. Apa rahasianya? Mereka dididik dengan kasih sayang.

Cara apapun yang digunakan untuk mendidik, baik dengan lemah lembut atau dengan “kekerasan” (jika dibutuhkan) hendaknya tetap dilandaskan pada rasa kasih sayang secara tulus yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam pada setiap guru. Kita optimis bahwa akan tetap muncul generasi terbaik (khaira ummah) pada masa berikutnya. Wallah a’lam.

Sumenep, 15 November 2016

Jumat, 09 September 2016

NILAI UBUDIAH UNTUK KEMANUSIAAN (Menelisik Ajaran Mandi Sunah untuk Shalat Jumat)

M. Khaliq Shalha


Dalam Islam, selain ragam ibadah primer (fardu), juga terdapat ibadah sekunder (sunah). Satu sisi ibadah memupuk nurani untuk selalu dekat dengan Tuhan, juga diimbangi dengan terciptanya keharmonisan dengan sesama manusia sebagai efek dari ibadah yang dikerjakan. Tak sempurna jika penghayatan ibadah hanya semata pada sisi kedekatan pada Tuhan tanpa peduli pada sisi sosial yang oleh Tuhan pula diwanti-wanti untuk dihayati secara saksama dan berimbang. Misal, kesetaraan perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam salah satu ayat-Nya. Nabi SAW dalam beberapa haditsnya menyinggung pula bahwa tak sempurna iman seseorang yang tidak memuliakan tetangga atau tamunya.

Di samping kita punya kewajiban harian secara mendasar berupa shalat lima waktu (baik dikerjakan secara individu atau lebih utama dengan berjamaan), juga kita punya kewajiban mingguan berupa shalat Jumat berjamaah yang hanya boleh dikerjakan di masjid, bukan di tempat lain. Hikmah dari shalat Jumat di masjid ini, sungguh luar biasa. Selain mengandung ajaran minimalis bagi umat Islam untuk shalat jamaah walau sekadar seminggu sekali, apalagi bisa berefek maksimal dalam kesehariannya pada shalat lima waktu, pada sisi lainnya dapat memupuk ukhuwah (persaudaraan) yang erat antar tetangga yang andaikan tidak disyariatkan shalat Jumat mingguan bisa dibayangkan betapa sulitnya kita bisa berkumpul dalam satu tempat dengan tetangga. Apalagi di era modern ini yang sudah mengantarkan kita pada kehidupan individualistik.

Shalat Jumat yang bersifat ubudiah publik memiliki pernak pernik yang bisa menciptakan kesempurnaannya, baik secara substansi ketuhanan maupun kemanusiaan. Salah satu penyempurna shalat Jumat adalah mandi sebelum menghadirinya. Mandi sebelum berangkat ke masjid tergolong ibadah sunah dengan pahala yang tak kepalang. Dari Abi Umamah berkata. Rasulullah SAW bersabda, “Mandilah pada hari Jumat. Maka barangsiapa mandi pada hari Jumat akan menjadi penebus dosa antara Jumat ke Jumat dan ditambah tiga hari lagi.” (HR. Thabrani). Dalam banyak riwayat lain dikatakan, di samping mandi dengan sempurna juga dianjurkan memakai pakaian yang baik dan berharum-haruman. Konten hadits tersebut sarat muatan nilai sosial, bahwa kebersihan, kerapian dan penampilan yang elegan sangat disanjung dalam Islam. Sebaliknya, cuek penampilan menjadi sangat tercela.

Menjaga penampilan lahir ketika beribadah semestinya menjadi agenda rutin kita sembari memupuk batin untuk senantiasa elegan juga di hadapan Tuhan. Barangkali ada dua kemungkinan di kalangan orang yang tidak peduli pada kebersihan pada penampilan ketika ibadah. Pertama, beralasan bahwa Tuhan tidak memandang sisi lahiriah kita tetapi pada hati kita. Biarpun penampilan kita modis tapi hati kita kehilangan kekhusyukan dan keikhlasan, tampilan lahir itu kering nilai. Tak ubahnya lipstik belaka. Kedua, lahirnya tak terrawat dan batinnya pun tak karu-karuan. Urusan ibadah bagi kalangan kedua ini masih sangat awam. Sampingan semata. Tapi kalau urusan modis dalam keseharian dianggarkan dengan banyak biaya dan cukup waktu untuk berrias.

Kedua golongan ini saya kira belum bisa berpikir dan bertindak secara berimbang. Masih sama-sama berada di titik lemah. Golongan pertama berdalih yang penting batin mapan, perkara penampilan lahiriah tak menjadi soal. Dalam satu sisi benar tapi dalam sisi yang lain membuang ajaran agama yang mesti dijunjung tinggi, yaitu nilai-nilai kemanusiaannya. Keharmonisan antar sesama nyaris rapuh. Bisa dibayangkan, di tengah-tengah saf umat yang berjejer ketika proses shalat Jumat dengan penuh khusyuk menghayati serangkaian shalat, ternyata ada di antara kita menebar bau tidak sedap gara-gara tidak sempat mandi. Ditambah baju yang dikenakan belum sempat dicuci selama satu minggu lebih. Tentu konsentrasi umat di dekatnya akan pecah. Hidung mereka serasa mau copot. Hal inilah yang diantisipasi oleh Islam dengan mensyariatkan mandi sebelum pergi shalat Jumat. Tak cukup alasan menjaga batin saja dengan membiarkan lahirnya acak-acakan. Dalam ranah sosial, keharmonisan mesti diciptakan. Suasana kondusif hendaknya dipelihara dengan baik. Tak perlu memuja-muja batinnya di tengah-tengah pelaksanaan ibadah yang pelaksanaannya berjamaah. Sementara keberadaan kita mengganggu orang lain. Urusan hati adalah tanggung jawab kita masing-masing di hadapan Tuhan. Sedangkan golongan kedua tersebut pada dua sisinya tak ada yang bisa dibanggakan.

Manusia sempurna adalah manusia yang bisa menjaga keseimbangannya antara kemapanan batinnya dengan menjaga kekhusyukan dan keikhlasannya kepada Allah, serta menjaga penampilan lahirnya dengan penuh elegan dalam setiap saat, baik ketika ibadah, khususnya berjamaah, atau di luar ritualnya. Itulah cermin akhlak mulia seorang muslim. Wallah a’lam.

Sumenep, 09 September 2016

Minggu, 03 Juli 2016

DUA KEBAHAGIAAN SEJATI BAGI ORANG BERPUASA


M. Khaliq Shalha


Ibadah puasa lain dari yang lain. Ibadah istimewa yang pahalanya tak terhingga dan sifatnya rahasia. Ibadah konvensional pahalanya dapat dikalkulasi. Setiap amal saleh dibalas sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan, sedangkan pahala puasa, Allah sendiri yang akan membalasnya, tanpa perantara malaikat selaku asisten-Nya. Dalam hadits sahih dikatakan:  
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. ( رواه البخارى و مسلم ) .
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap perbuatan manusia dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus lipatan. Allah azza wa jalla berfirman, ‘kecuali puasa, karena puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya. Orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.’ Dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa Tuhannya (kelak).” (HR. Bukhari Muslim).

Ibadah puasa membutuhkan kesabaran ekstra. Sepanjang hari tanpa makan minum dan menghindar dari larangan-larangan lainnya. Para ulama, misal Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin dan Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kasyifatus Saja, membagi kualitas puasa dengan tiga tingkatan, sesuai penghayatan orang yang melaksanakannya. Pertama, shaum al-‘umum (puasa biasa, kelas ekonomi), puasa yang memenuhi rukun puasa, mencegah dari segala perkara yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, bersetubuh dan lainnya. Kedua, shaum al-khusush (puasa istimewa), selain memenuhi rukun-rukun puasa tersebut, tingkatan kedua ini dapat mencegah segala perkara yang membatalkan pahala puasa, dengan mencagah lisan, mata, telinga dan anggota badan lainnya dari perbutan dosa. Ketiga, shaum khusush al-khusush (puasa teristimewa), selain telah memenuhi tingkat pertama dan kedua tersebut, juga menjaga hati dari kesibukan dan cinta buta pada dunia.

Kita boleh memiliki kekayaan harta dunia, tapi dapat menempatkannya pada tempatnya. Jangan sampai mempersibuk hati dan pikiran hingga melupakan Tuhan. Uang banyak perlu kita miliki, namun diletakkan di dompet dan lemarai, bukan di hati. Kendaraan mewah boleh kita miliki, tapi diletakkan di garasi, bukan di hati, apalagi untuk mencari sensasi demi gengsi. Perhiasan boleh kita koleksi dan dipakaikan di tempatnya masing-masing, bukan di hati. Konsentrasi hati jangan sampai terganggu supaya tidak berpaling dari Tuhan sebagai tujuan utama.

Puasa mendidik insan menjadi zahid sejati. Sangat menarik ungkapan yang disampaikan oleh Sulaiman Al-Darimi yang dikutip oleh Abu Bakar Ahmad bin Husain Al-Baihaqi dalam kitabnya, Kitab Al-Zuhd Al-Kabir, tentang zahid sejati, yaitu orang yang tidak mencela dunia, tidak memujinya, tidak memandangnya, tidak gembira bila berjumpa dengannya, dan tidak sedih bila dunia itu meninggalkannya. Nah, orang yang berpuasa dengan level kualitas tertinggi akan senantiasa menjaga hatinya dari keterputusan dengan Tuhan di tengah-tengah kungkungan dinamika dunia.

Ibadah puasa yang teristimewa sungguh rumit kita peroleh, namun dengan sikap raja’-khauf (berharap-harap cemas) kita dapat menggapainya dari hari ke hari. Dengan syarat ada kemauan keras untuk mencapainya. Dari waktu ke waktu harus kita lakukan evaluasi untuk membenahi kelemahan kita.

Orang yang melaksanakan puasa akan memperoleh dua kebahagiaan sejati. Kebahagiaan merupakan kondisi kejiwaan yang diidolakan oleh setiap insan dalam hidupnya. Kebahagiaan pertama adalah kebahagiaan jangka pendek yang dirasakan setiap hari selama melaksanakan puasa ketika sedang berbuka. Saat-saat istimewa bagi orang yang berpuasa ketika waktu berbuka tiba. Kebahagiaan ini muncul secara alamiah atau tabiat bagi setiap orang tanpa terkecuali, karena sudah diperbolehkan menikmati makanan dan minuman. Di samping itu pula, mereka bangga karena mampu menuntaskan ibadahnya secara sempurna. Kemudian kebahagiaan jangka panjang di akhirat kelak ketika berjumpa dengan Tuhannya. Mereka punya modal istimewa sehingga layak mendapat balasan istimewa pula di sisi Tuhannya.

Kebahagiaan begitu mudah dicapai oleh orang yang mampu menuntaskan puasanya sepanjang hari. Lebih-lebih pada hari puncak di akhir Ramadan. Kebahagiaan selalu baru setiap tiba saat berbuka, tanpa ada titik jenuh. Itulah anugerah istimewa yang diberikan Allah bagi hamba-Nya yang berpuasa. Jika orang yang menantikan detik-detik berbuka diibaratkan seorang pemuda yang menantikan saat-saat terindah dalam hidupnya, yaitu pernikahan, perumpamaan itu saya kira benar. Namun saat-saat terindah dalam pernikahan ada waktu kadaluarsanya. Ketika bulan madu, semua tindakan pasangannya serba indah penuh bahagia. Mungkin berlaku beberapa bulan saja, dan setelah itu relatif sulit diperbaharui. Berbeda tentu dengan kebahagian yang diperoleh oleh orang yang melaksanakan puasa. Dari tahun ke tahun kebahagiaan itu tidak pernah sirna. Selalu saja bersemi dalam benak orang yang berpuasa. Kebahagian yang tumbuh karena melaksanakan suatu kebaikan merupakan indikasi keberkahan Tuhan sedang dicurahkan kepada hamba-Nya. Wallah a’lam.

Sumenep, 03 Juli 2016 M / 28 Ramadan 1437 H

Sabtu, 02 Juli 2016

ZAKAT FITRAH IDEAL


M. Khaliq Shalha


Kewajiban agama yang berlaku pada tua muda (tanpa mengenal batas usia) adalah zakat fitrah, suatu iuran wajib yang bermuatan sosial pada saat tertentu. Bagi subjek yang berkewajiban menunaikan zakat berlaku pada orang yang berkemampuan, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang menjadi tanggungannya.

Orang yang menjadi tanggungannya, misal anaknya yang belum mukalaf atau orang tuanya yang sudah tua renta dan tak berdaya untuk membayar zakatnya sendiri. Jadi, dapat kita pahami bahwa pemberi zakat fitrah ada dua golongan. Pertama, pemberi zakat fitrah mandiri, yaitu orang mukalaf yang mempu mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri. Kedua, pemberi zakat fitrah tidak mandiri, yaitu orang yang ditanggung zakatnya oleh orang yang berkewajiban menafakahinya.

Zakat fitrah diutamakan diberikan kepada fikir miskin ketimbang mustahiq lainnya, karena fungsi zakat fitrah di samping menyucikan orang yang berpuasa juga untuk memberi makan pada orang miskin. Dalam sebuah hadits dituturkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. ( رواه أبو داود ) .
Dari Ibn Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Zakat fitrah menyucikan bagi orang yang berpuasa dari tindakan tidak berguna dan keji, dan sebagai bahan makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Idul Fitri), maka ia tergolong zakat yang diterima dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka ia tergolong sedekah biasa.” (HR. Abu Daud).

Sebagaimana dikupas di atas bahwa zakat fitrah bukan hanya kewajiban bagi orang yang berpuasa, tapi siapa saja yang masih hidup di saat tertentu. Syarat wajibnya zakat fitrah terkait dengan masa tertentu kehidupan seseorang, dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa orang berkewajiban menunaikan zakat fitrah bila ia hidup pada dua waktu, yaitu menututi bulan Ramadan dan bulan Syawal. Orang yang meninggal dunia pada bulan Ramadan, bagi ahli warisnya tidak berkewajiban membayarkan zakatnya, demikian pula bayi yang terlahir di bulan Syawal, orang tuanya tidak berkewajiban membayarkan zakatnya.

Zakat yang harus dikeluarkan berupa makanan pokok penduduk setempat, yang diistilahkan dengan qutil balad. Rata-tata bahan mentah makanan pokok penduduk Indonesia—termasuk Madura—adalah beras atau jagung. Dan, masa sekarang lebih dominan beras ketimbang jagung, berbeda jauh dengan zaman 90-an waktu saya masih kecil. Dominan mengkonsumsi nasi jagung asli (tanpa campuran beras putih) dan lauknya ikan asin. Seringkali bibir saya gatal karena alergi dengan ikan asin itu. Tapi nikmatnya tak tertandingi dan masih terasa sampai sekarang, lebih-lebih ketika makan setelah datang dari tegalan mencari jangkrik pas hujan-hujan, menu itu sangat istimewa.

Nasi jagung pada umumnya dipandang di bawahnya kelas nasi putih. Jika seseorang setiap harinya dominan mengkonsumsi nasi putih, berarti taraf ekonominya lebih mapan ketimbang sekadar nasi jagung. Kecuali orang kaya pun yang mengidap penyakit diabetes (kencing manis) biasanya memakan nasi jagung asli.

Zakat fitrah dengan beras atau jagung secara fiqih sama-sama sah. Orang yang kesehariannya memakan nasi putih tetap sah berzakat jagung. Namun kita beribadah bukan sekadar berpatokan pada sah tidaknya, tapi ideal tidaknya perlu menjadi perhatian, bila pada kenyataannya kita mampu berbuat yang ideal.

Jika kesehariannya, seseorang dominan mengkonsumsi nasi putih, maka zakatnya yang layak adalah beras, bukan jagung. Masa dia tega pada fakir miskin memberi jatah bahan makanan mentah untuk hari raya dengan jagung. Masa dia tega menjadikan dirinya sendiri menjadi manusia pelit. Melalukan ibadah yang ideal mencerminkan kepribadian sempurna dalam kemuliaan. Wallah a’lam.

Sumenep, 02 Juli 2016 M / 27 Ramadan 1437 H

Kamis, 28 April 2016

MEMBUANG GENGSI BERLEBIHAN (Menyiapkan Generasi Siap Hidup dan Siap Pakai)


M. Khaliq Shalha


Tugas sekolah (madrasah), di samping tugas pokoknya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM), juga perlu menyematkan pendidikan kewirausahaan sebagai tindak lanjut dari KBM tersebut, guna menyiapkan anak didik sejak dini memiliki kesiapan mental dan keterampilan dalam menghadapi kehidupan riil di masyarakat kelak.

Merupakan kegagalan lembaga pendidikan manakala hanya mencetak anak didiknya mampu berhitung, berbahasa dengan baik dan sejenisnya, tapi hampa nilai-nilai pengabdian (dedikasi) dalam jiwanya. Akibatnya, anak didik cenderung bergaya hidup elitis, dipenuhi sifat gengsi berlebihan yang bisa mengkebiri kreativitas hidup sehingga enggan untuk terlibat dalam pekerjaan kasar yang dilakukan orangtua, guru dan masyarakat. Condong memilih hidup mewah tanpa diimbangi kerja keras. Betapa ironisnya sikap hidup suka bermodel tanpa bermodal.

Tipe kecenderungan seperti ini akan berpengaruh negatif pada masa depan mereka. Anak tidak siap hidup dan tidak siap pakai. Akibatnya, pengangguran semakin menjadi-jadi. Dengan demikian, peranan lembaga pendidikan, dalam satu sisi, tidak begitu banyak berarti dalam memajukan suatu bangsa. Maka, wajar apabila ada pernyataan sumbing bahwa sekolah/perguruan tinggi hanya mencetak lulusan/sarjana pengangguran.

Suatu tawaran solusi saya, menyikapi hal tersebut, di antaranya, pertama, pada tiap sekolah/perguruan tinggi (apapun jurusannya), perlu diberikan materi kewirausahaan sebagai bekal dasar menghadapi masa depan yang penuh tantangan dan membutuhkan pengorbanan besar.

Kedua, membiasakan anak didik peduli pada kebersihan sekolah. Mereka sewaktu-waktu diberi tugas membersihkan lingkungan sekolah sesuai kebutuhan: menyapu lantai dan halaman, menyabit rumput dan membersihkan selokan di sekitar sekolah, sekalipun sekolah tersebut memiliki tukang sapu (kebun). Dengan cara ini, anak didik mulai terbiasa berpeluh-peluh dan berkotor-kotor, sehingga memantik kesadaran bahwa hidup ini butuh pengorbanan.

Pembiasaan dalam pengabdian di lembaga pendidikan akan memberikan kesiapan bagi anak didik untuk siap hidup dan siap pakai di masa yang akan datang. Perlu menjadi kesadaran pula bahwa di balik kemegahan dunia ini dengan teknologi modern yang dari masa ke masa dilakukan penyempurnaan, karena ada aktor intelektual yang rela mengorbankan hidupnya untuk kemajuan publik dalam berbagai sektor. Di samping bidang perangkat kasar yang diciptakan manusia, juga tak kalah berartinya peran para pegiat etika-spiritual masyarakat, sehingga di balik kemajuan yang bersifat material, tidak kering nilai-nilai etika dan spiritual yang menghiasi gerak hidup manusia secara utuh.

Generasi sekarang tentu kebablasan bila melupakan jasa-jasa mereka dengan tidak mengembangkan hal-hal yang dibutuhkan manusia di era kekinian. Menumpang beken di balik kesuksesan orang lain merupakan sikap mundur sekian langkah. Sikap sekadar menikmati kemajuan yang dibangun orang lain inilah tergolong generasi kacangan.

Indikasi sehat tidaknya pengembangan peradaban dapat dilihat dari produktivitas generasi penerusnya, khususnya generasi muda, dalam hal ini kalangan pelajar sebagai miniatur kehidupan di masa yang akan datang. Mendidik mereka jangan sampai memanjakannya bagai anak mama yang semua kebutuhan hidupnya disuapi. Hidup butuh pemikiran, dan tindakan nyata, setelah itu tawakal pada Tuhan Maha Kuasa. Wallah a’lam.

Minggu, 24 April 2016

RAKYAT MAKIN ASING DENGAN LINGKUNGANNYA (Ogah dengan Kondisi Prasarana Umum)


M. Khaliq Shalha


Krisis multidimensi sangat terasa di negeri ini sampai ke akar rumput, akibat lunturnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah sehingga rakyat kehilangan antusiasme dalam mendukung pembangunan negeri ini. Mendukung pembangunan dimaksud adalah ikut serta memelihara fasilitas umum, minimal yang ada di lingkungan sekitar, seperti jalan umum desa, selokan, jembatan dan sejenisnya.

Sangat ironis bila rakyat tidak punya rasa memiliki pada fasilitas umum desa. Sepertinya hal itu milik pemerintah, dan rakyat hanya sebagai tamu di daerahnya sendiri. Bila rakyat ogah pada lingkungannnya sendiri, mana mungkin daerahnya makin berkembang cepat. Memasrahkan semua urusan fasilitas desa kepada pemerintah merupakan bentuk pemasrahan yang salah besar. Karena semakin dipasrahkan kepada pemerintah, semakin lamban fasilitas umum itu makin baik dan terpelihara.

Rakyat begitu enggan dan tega membiarkan jalan umum rusak begitu saja ketika diguyur hujan terus menerus. Tak ada kepedulian dari mereka untuk sekadar membuatkan selokan supaya air tidak menggenangi di jalan umum. Sepertinya bukan urusan mereka, tapi urusan pemerintah desa dan kebupaten.

Bukanlah solusi jika rakyat hanya bisa memaki-maki pemerintah karena fasilitas umum di desa cepat rusak, sementara mereka sendiri berpangku tangan. Memelihara fasilitas umum tidak bisa hanya dengan kritikan pedas kepada pemerintah, sementara mereka abai pada kewajibannya selaku rakyat yang baik. Ibarat genting rumah mereka bocor tapi dibiarkan begitu saja, cuma menunggu uluran tangan dari orang lain. Tentu hal tersebut tergolong tindakan tidak bijak.

Faktor merosotnya gairah rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dengan bentuk ikut memelihara fasilitas yang sudah ada, setidaknya ada dua. Pertama, lunturnya budaya gotong-royong, dan menguatnya budaya baru berupa individualistik, sehingga terlalu mematen segala job (tugas) hanya urusan orang yang bersangkutan. Tak mau tahu dengan kondisi di luar job-nya, padahal cara berpikir yang demikian bukanlah sikap orang-orang dewasa. Tak ubahnya anak kecil yang merasa bahwa segala urusan kehidupannya sepenuhnya di bawah pengawasan orang tuanya, sehingga untuk sekadar membersihkan tiga butir nasi yang hinggap di pipinya ia abai.

Kedua, menjamurnya krisis kepercayaan dari rakyatt terhadap pemerintah gara-gara banyak oknum melakukan penyimpangan dengan menyalahgunakan wewenang demi kepentingan sendiri dan kelompoknya. Program yang dikucurkan ke pelosok tak ubahnya drama kurang menarik bagi rakyat. Mereka beranggapan bahwa anggaran yang ideal terlalu banyak disunat oleh pihak-pihak terkait. Alasan tersebut logis, karena kualitas dari fasilitas yang dibangun semakin tidak berumur. Kadang, sebelum pekerja proyeknya pulang, tembok yang dibangun di pinggir jalan kena senggol sedikit sudah mengelupas cukup serius. Lain lagi pengaspalan yang pengerjaannya sekadar formalitas. Yang penting selesai walau aspalnya ibarat gincu tipis menempel di bibir perempuan. Kena gerimis saja mudah luntur.

Kondisi semacam ini memantik kuat lunturnya kepercayaan rakyat terhadap program pemerintah. Akhirnya rakyat cuek. Rusak tidaknya fasilitas umum bukanlah urusan mereka, tapi urusan pemerintah dan metra kerjanya yang memborong proyek tersebut. Jarak antara pemerintah dan rakyat makin lebar. Akibatnya, laju pembangunan di negeri ini menjadi tidak kondusif.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, pertama-tama pemerintah harus memberi teladan yang baik dengan menjalankan program yang ideal dan adanya transparansi pembangunan. Sebagai suatu saran, hendaknya orang-orang baik penentu kebijakan mengganti oknum-oknum bermasalah dengan orang-orang baik. Niscaya akan tercipta nuansa saling sadar dan menyadara terhadap hak dan kewajiban antara rakyat dengan pemerintah. Wallah a’lam.

Sabtu, 23 April 2016

MENGABDI SEPENUH HATI (Di Balik Profesi Guru)


M. Khaliq Shalha


Berjiwa dedikasi merupakan salah satu anugerah Tuhan. Tak semua orang punya bekal cukup dalam hidupnya dengan jiwa pengabdian, sehingga dalam berkarya cenderung banyak perhitungan untung rugi buat dirinya, bukan kepuasan orang banyak baru dirinya.  Tegaknya suatu peradaban bermula dari para perintis dengan jiwa besar untuk kemaslahatan sosial. Mereka tak pernah menggerutu pada orang-orang sebelahnya, atau pada generasi berikutnya dengan capaian jasa yang diraih.

Mengabdi paralel dengan ikhlas. Mirip iman dan malu. Mengabdi dalam bidang apa saja harus didasarkan pada keikhlasan. Sifat ikhlas sama artinya dengan profesionalisme, mempersembahkan yang terbaik, baik ada apa atau siapa atau tidak ada apa atau siapa. Bekerja dengan bekal keahlian mengantarkannya menggapai karya yang relatif memuaskan. Bekerja sepenuh hati membuat pelakunya menikmati pekerjaannya sehingga sangat mungkin bisa produktif.

Pengabdian tidak serta merta dimaknai sebagai aktivitas tanpa pamrih. Bisa dengan pamrih dan bisa pula tanpa ada pamrih. Tergantung di mana seseorang menambatkan pengabdiannya. Salah satu contoh menarik adalah pengabdian yang bergerak dalam bidang jasa, yaitu profesi guru untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Status kepegawaian guru ada yang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan ada yang NonPNS. Keduanya sama-sama memiliki tugas mulia, yaitu memanusiakan manusia.

Guru yang berstatus PNS disebut pula sebagai ‘abdi negara’. Di sebuah toko kain di Pamekasan, waktu saya mencari kain seragam siswa, teman bertanya tentang salah satu motif batik yang diletakkan di tempat khusus. Tuan toko menjawab dengan mantap, ‘Itu baju seragam khusus abdi negara. Tidak saya jual secara umum dengan harga berapa pun.” Wah!!

Guru PNS kesejahteraannya lebih terjamin. Dapat gaji pokok rutin setiap bulan plus tunjangan. Bagi mereka ada hak dan kewajiban. Di tengah-tengah melaksanakan kewajibannya, butuh jiwa pengabdian untuk mendidik para siswa sepenuh hati, bukan sekadar formalitas. Mengerahkan segala kemampuan sepenuh hati untuk memberikan yang terbaik kepada negara sesuai bidang yang diampu, baik ketika diperhatikan oleh atasannya atau tidak. Sebaliknya, ada yang hanya sebatas berjiwa formalitas. Mengisi absen, bekerja sekenanya, kerja tidak produktif kecuali sebatas penampilan luarnya saja. Jiwa-jiwa pendidik tipe ini tidak bisa diharapkan banyak menggugah jiwa besar para anak didiknya.

Sedangkan guru NonPNS, misal di madrasah, tak ada jaminan kesejahteraan menentu. Pengabdian di jalur ini betul-petul menguji nyali mereka. Membuktikan jiwa besar mereka. Profesionalisme tetap diutamakan. Kepentingan diri dan keluarga tidak menjadi pertimbangan. Pasrah yang menjadi handalannya bahwa mengajar dan mendidik adalah amal baik yang oleh Tuhan akan diberi balasan setimpal. Banyak guru senior yang saya tahu bahwa lama pengabdiannya sudah puluhan tahun tanpa kenal lelah. Murid-muridnya sudah banyak yang menjadi dosen dengan bergelar doktor. Betapa banyak dan besar jasa para guru lewat jalur ini.

Apapun karirnya merupakan sebuah pilihan. Menjatuhkan pilihan seyogiyanya didasarkan pada nilai-nilai pengabdian. Suatu hal yang jangan sampai dipahami keliru tentang pengabdian bahwa pengabdian itu artinya profesionalisme-produktif. Sungguh tidak diinginkan bila kita menjatuhkan pilihan, misal, mengabdi di madrasah yang minim anggaran kesejahteraan, kita setengah hati bekerja, sesempatnya dan semaunya. 
Madrasah sebagai kendaraan sosial, idealnya dijalankan oleh orang-orang yang punya dedikasi tinggi. Bagi pengelola, hendaknya selektif dalam merekrut guru atau karyawan. Keterbukaan di awal-awal perekrutan, penting untuk disampaikan tentang kondisi madrasah yang sebenarnya, termasuk kondisi sumber dana. Masalah dominan yang dihadapi madrasah, khususnya di pedesaan, adalah rendahnya kedisiplinan guru. Faktornya, mereka kurang punya jiwa mengabdi secara total. Di samping itu, kesejahteraan mereka kurang terjamin. Bila Kepala Madrasah sudah tepat dalam memposisikan hak-hak para guru, hendaknya melakukan teguran dan pembinaan. Guru ibarap sopir kendaraan umum. Bila sopirnya tidak disiplin, maka yang dirugikan para anak didiknya. Kepala madrasah harus berani melakukan penonaktifan guru yang rendah disiplin setelah terlebih dahulu dilakukan pembinaan, namun tidak ada respons.

Namun, kadang kala rendahnya kedisiplinan—sebagai buah dari jiwa dedikasi—karena faktor Kepala Madrasah tidak profesional secara luas. Sikap tidak transparan, khususnya tentang keuangan, menjadi faktor dominan rusaknya kesemangatan para guru untuk menjalankan kewajiban. Suatu hal yang diminta oleh guru adalah keterbukaan. Bila ada anggaran untuk guru, berikan pada mereka, bila mimang tidak ada, katakan tidak ada. Sikap seperti ini tidak akan mengganggu pada semangat pengabdian guru. Sebaliknya, bila madrasah yang dikelola sebagai sarana memperkaya diri sendiri dan keluarganya, ini yang menjadi penyakit. Dana cukup, namun acuh tak acuh pada kesejahtaraan guru. Tunjangan dari pemerintah ada, misalnya, namun sebagian digelapkan untuk kepentingan pribadi. Tak ada apresiasi pada guru. Guru ibarat sapi perah yang hanya diambil hasilnya tanpa diberi pakan yang seimbang, atau ibarat sapi kerap yang dipaksa lari tanpa diimbangi pakan dan jamu. Kepala seperti ini tergolong orang zalim.

Pemupupak kader-kader tegana pendidik dengan memiliki jiwa pengabdian tinggi, bagi kalangan pengelola madrasah swasta bisa memanfaatkan alumninya yang dipandang mampu dan punya kepribadian mulia. Para alumni memiliki banyak kelebihan ketimbang lainnya. Di antaranya, memiliki hubungan emosional yang erat dengan lembaga. Hubungan emosional inilah yang bisa memicunya untuk mengembangkan lembaga sepenuh hati tanpa kenal lelah. Wallah a’lam.

Jumat, 22 April 2016

SISI LAIN KEHARAMAN MEROKOK


M. Khaliq Shalha



Hukum me(rokok) sudah benderang di kalangan kita, tapi hukum yang satu ini kadang saling ditarik-ulur dalam tubuh antar organisasi pegiat sosial keagamaan. Dari mubah menjadi haram, dari haram menjadi mubah. Gayung bersambut inilah dalam satu sisi menarik disimak yang terskesan cerdas plus lucu. Namun tulisan remeh-temeh ini akhirnya akan mengulas sisi keharaman merokok dalam sisi lain.

Kita lihat sekelumit tentang hukum rokok dalam pandangan bahtsul masail NU. Permasalahan rokok hampir tidak dibahas dalam forum penetapan hukum pada level pusat organisasi, kemungkinan besar status hukum rokok, menurut NU, tidak perlu dibahas lagi. NU memahami sepenuhnya bahwa status rokok telah dibahas oleh para ahli fiqih melalui karya-karya tulisnya yang tertuang dalam kitab kuning sejak sebelum NU lahir. Pada muktamar Makassar tahun 2010, Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah, KH. Saefuddin Amsir menyatakan bahwa NU tak perlu meninjau kembali hukum merokok karena tidak ada ilat (alasan) baru yang menyebabkan perubahan hukum.

Keputusan Muktamar NU ke-2 di Surabaya, 9 Oktober 1927 memutuskan jual beli mercon (petasan) hukumnya sah. Hukum petasan ini dianalogikan (ilhaq) pada hukum rokok, dengan landasan beberapa kitab yang di antaranya Al-Jamal ‘ala Fithil Wahhab: “Dan yang benar dalam ta’lil, bahwa rokok itu bermanfaat sesuai dengan tujuan dibelinya yaitu untuk menghisapnya, dan mengingat rokok itu termasuk barang mubah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka saling memberi rokok berarti memanfaatkannya dalam bentuk yang mubah.”

Alkisah, tahun 1990-an di kota Kretek Kudus digelar bahtsul masail oleh para kiai NU yang ditempatkan di Masjid Menara Kudus. Seorang kiai kharismatik, Mbah Tur (Turaichan Adjhuri, 1915-1999) yang disegani mendatangi forum bahtsul masail yang sedang berlangsung itu. Ketika mengetahui bahwa yang dibahas adalah hukum rokok, Mbah Tur langsung meminta rokok, menyalakan api dan menghisap, kemudian beliau berkata, “Kalau begitu, ayo silakan dibahas.” Apa yang dilakukan oleh beliau merupakan aksi simbolis bahwa rokok bukan perkara haram. Dalam forum itu tidak ada kiai yang berpendapat bahwa rokok itu haram. Entah segan dengan Mbah Tur, atau memang tak ada kiai dalam forum tersebut yang berpendapat bahwa rokok itu haram.

Sebenarnya hukum rokok ini sudah tergolong lagu lama dan hukumnya sudah benderang dengan beberapa kategori, tapi pada tahun 2010 menjadi isu aktual kembali terkait adanya “kriminalisasi kretek” (pinjam bahasanya penulis buku NU Smoking). Apa itu? Di Indonesia terjadi polemik hukum rokok terkait rentetan kampanye antirokok (kretek) yang sudah lebih dulu diawali sejak tahun 1980-an. Beberapa lembaga swadaya masyarakat pada tahun 2009 dan 2010 terlibat dalam proyek kampanye antirokok tersebut. Kampanye tersebut terkait rentetan antirokok pada tingkat global. Banyak lembaga donor mengucurkan dana ke Indonesia untuk membiayai kampanye antirokok itu, beberapa sudah berjalan sejak 2007. Di antara lembaga donor internasional yang turut membiayai gerakan antirokok di Indonesia adalah Bloomberg Initiative, sebuah yayasan yang didirikan mantan walikota New York, Michael Bloomberg pada tahun 2006 yang mengelontorkan dana 125 juta dolar AS—dana itu ya, bukan daun—untuk secara khusus membiayai kampanye antirokok di negara-negara berkembang, temasuk Indonesia.

Ada beberapa LSM dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia ikut andil dalam kampanye antirokok, termasuk organisasi keagamaan untuk digunakan pengaruhnya dalam mendorong kepentingan kampanye tersebut, salah satunya mengeluarkan fatwa haram rokok. Salah satunya yang menuai polemik hukum rokok adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat. Tahun 2009, MUI menggelar pertemuan (ijtima’) di Padang Panjang Sumatera Barat, guna membuat fatwa haram merokok.

Muhammadiyah, kata penulis NU Smoking, merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang mendapat kucuran dana dari Bloomberg untuk proyek “Mobilisasi Dukungan Publik Terhadap Fatwa Agama untuk Pengendalian Tembakau dan untuk Mendukung Petisi FCTC (Fremework Convention on Tobacco and Contol)”. Pada Kongres Muhammadiyah tahun 2010 di Malang, organisasi ini mengambil keputusan melalui Majelis Tarjih tentang hukum haram merokok. Ada hal lucu setelah kongres tersebut, yaitu teman saya guyonan dengan Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur. Prof. Syafiq, dosen saya ini, merokok di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Teman saya menegurnya, “Kok merokok Pak?” “Supaya tidak dianggap Muhammadiyah, he he he,” jawab beliau.

Terkait dengan semaraknya keputusan MUI tersebut, ada satu forum kegamaan lain yang jusru melawan arus, lewat forum bahtsul masail para kiai NU di Surabaya tahun 2010. Forum ini katanya diinisiasi oleh KH Aziz Masyhuri, seorang ulama kharismatik, ketua PBNU dan pengasuh pesantren Al-Aziziyah, Denanyar Jombang. Keputusan hukum dalam forum ini bahwa rokok hukumnya mubah. Ada beberapa hukum yang dilontarkan oleh para peserta di hotel Surabaya ini: wajib, mubah, makruh, dan haram. Tidak ada yang sunah ya, he he he.

Pada dasarnya (asal) rokok itu mubah. Dengan kata lain, secara dzati (inheren) rokok itu mubah. Sedangkan mengenai varian hukum lainnya, sesuai situasi dan kondisi atau bersifat sababi (sebab yang melatarinya). Haram, misal, bila ada keyakinan kuat bahwa dengan merokok akan merugikan kesehatan. Ibarat orang yang mengidap penyakit hipertensi, haram mengkonsumsi daging kambing. Orang yang menderita kencing manis, haram mengkonsumsi gula. Ingat, bahaya rokok dilihat hanya sebatas dugaan (mawhum), karena data tentang bahaya merokok lebih banyak didasarkan pada riset yang bersifat hospital-based, bukan populatian-based.

Contoh lainnya, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok atau membayar biaya pendidikan anaknya, ternyata digunakan untuk mengkonsumi rokok. Sebaliknya, rokok menjadi wajib, misal, ketika orang tidak merokok, tidak bisa berpikir dan beraktivitas dengan normal. Kasus KH. Hambali ketika menyela waktu bahtsul masail di Kudus tahun 1990-an, sebagaimana tersebut di atas bahwa beliau bila tidak menghisap rokok tidak bisa mengajar. Menanggapi hal tersebut, Mbah Tur mengatakan bahwa jika seperti itu kondisinya maka merokok wajib hukumnya bagi KH. Hambali.

Jadi, sudah kril bahwa pada dasarnya me(rokok) mubah hukumnya, sedangkan varian hukum lainnya sesuai kondisi konsumen yang bersangkutan. Selanjutnya, sisi lain dari keharaman merokok, sebagaimana dalam judul tulisan sederhana ini adalah lain dari yang disebutkan di atas, yaitu karena faktor tidak bertanggungjawabnya konsumen rokok pada orang lain dan lingkungan sekitar. Sebagaimana peribahasa mengatakan bahwa habis manis sepah dibuang. Banyak dari para perokok di sekitar kita kurang pertanggung jawab atas perbuatanya. Pertama, tidak ada toleransi bagi orang lain selaku perokok pasif, alis orang yang hanya ketiban asap dari semburannya. Misalnya dalam acara undangan yang bertempat di ruang tertutup, para perokok seenaknya merokok sehingga ruangan tebal dari asap, dan membuat orang lain sesak napas. Tak ada toleransi pada orang lain. Kedua, perokok aktif seenaknya membuang kotoran rokok di sembarang tempat. Ketika di kantor, misal, lolong rokoknya dikocar-kacirkan di bawah laci, sebelah komputer, di pojok ruangan dan semacamnya. Bahkan ironis, ketika ada acara di emper masjid, salah seorang jamaah merokok dan membuang lolong rokoknya ke kramik masjid. Lantai masjid itu dijadikan asbak, lalu ditinggalkan tunggang langgang. Semua hal itu terlaknat, haram. Hal-hal semacam inilah kurang begitu mendapat perhatian oleh produsen dan konsumen hukum. Padahal lebih krusial ketimbang memperdebatkan hukum yang sebenarnya sudah dulu klir. Wallah a’lam.

Sumenep, 22 April 2016

***



Referensi

Badruddin dkk, NU Smoking: Kedaulatan Islam Nusantara dalam Fatwa Kretek. Yogyakarta: Cakrawala Media, tt.
Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Kuputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1927-1999 M). Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN)) Jawa Timur, 2005.