M. Khaliq Shalha
Ibadah puasa lain dari yang lain. Ibadah istimewa yang
pahalanya tak terhingga dan sifatnya rahasia. Ibadah konvensional pahalanya
dapat dikalkulasi. Setiap amal saleh dibalas sepuluh kebaikan sampai tujuh
ratus kebaikan, sedangkan pahala puasa, Allah sendiri yang akan membalasnya,
tanpa perantara malaikat selaku asisten-Nya. Dalam hadits sahih dikatakan:
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى
وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. ( رواه
البخارى و مسلم ) .
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW
bersabda, “Setiap perbuatan manusia dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas
sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus lipatan. Allah azza wa jalla berfirman,
‘kecuali puasa, karena puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya. Orang
yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.’ Dua kebahagiaan
bagi orang yang berpuasa, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika
berjumpa Tuhannya (kelak).” (HR. Bukhari Muslim).
Ibadah puasa membutuhkan kesabaran ekstra. Sepanjang hari tanpa makan
minum dan menghindar dari larangan-larangan lainnya. Para ulama, misal Imam
Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin dan Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kasyifatus
Saja, membagi kualitas puasa dengan tiga tingkatan, sesuai penghayatan
orang yang melaksanakannya. Pertama, shaum al-‘umum (puasa biasa,
kelas ekonomi), puasa yang memenuhi rukun puasa, mencegah dari segala perkara yang membatalkan puasa, seperti makan, minum,
bersetubuh dan lainnya. Kedua, shaum al-khusush (puasa istimewa),
selain memenuhi rukun-rukun puasa tersebut, tingkatan kedua ini dapat mencegah
segala perkara yang membatalkan pahala puasa,
dengan mencagah lisan, mata, telinga dan anggota badan lainnya dari perbutan
dosa. Ketiga, shaum khusush al-khusush (puasa teristimewa), selain telah
memenuhi tingkat pertama dan kedua tersebut, juga menjaga hati dari kesibukan
dan cinta buta pada dunia.
Kita boleh memiliki kekayaan harta dunia, tapi dapat menempatkannya pada
tempatnya. Jangan sampai mempersibuk hati dan pikiran hingga melupakan Tuhan.
Uang banyak perlu kita miliki, namun diletakkan di dompet dan lemarai, bukan di
hati. Kendaraan mewah boleh kita miliki, tapi diletakkan di garasi, bukan di
hati, apalagi untuk mencari sensasi demi gengsi. Perhiasan boleh kita koleksi
dan dipakaikan di tempatnya masing-masing, bukan di hati. Konsentrasi hati
jangan sampai terganggu supaya tidak berpaling dari Tuhan sebagai tujuan utama.
Puasa mendidik insan menjadi zahid sejati. Sangat menarik ungkapan yang
disampaikan oleh Sulaiman Al-Darimi yang dikutip oleh Abu Bakar Ahmad bin
Husain Al-Baihaqi dalam kitabnya, Kitab Al-Zuhd Al-Kabir, tentang zahid
sejati, yaitu orang yang tidak mencela dunia, tidak memujinya, tidak
memandangnya, tidak gembira bila berjumpa dengannya, dan tidak sedih bila dunia
itu meninggalkannya. Nah, orang yang berpuasa dengan level kualitas tertinggi
akan senantiasa menjaga hatinya dari keterputusan dengan Tuhan di tengah-tengah
kungkungan dinamika dunia.
Ibadah puasa yang teristimewa sungguh rumit kita peroleh, namun dengan
sikap raja’-khauf (berharap-harap cemas) kita dapat menggapainya
dari hari ke hari. Dengan syarat ada kemauan keras untuk mencapainya. Dari
waktu ke waktu harus kita lakukan evaluasi untuk membenahi kelemahan kita.
Orang yang melaksanakan puasa akan memperoleh dua kebahagiaan sejati.
Kebahagiaan merupakan kondisi kejiwaan yang diidolakan oleh setiap insan dalam
hidupnya. Kebahagiaan pertama adalah kebahagiaan jangka pendek yang dirasakan
setiap hari selama melaksanakan puasa ketika sedang berbuka. Saat-saat istimewa
bagi orang yang berpuasa ketika waktu berbuka tiba. Kebahagiaan ini muncul
secara alamiah atau tabiat bagi setiap orang tanpa terkecuali, karena sudah
diperbolehkan menikmati makanan dan minuman. Di samping itu pula, mereka bangga
karena mampu menuntaskan ibadahnya secara sempurna. Kemudian kebahagiaan jangka
panjang di akhirat kelak ketika berjumpa dengan Tuhannya. Mereka punya modal
istimewa sehingga layak mendapat balasan istimewa pula di sisi Tuhannya.
Kebahagiaan begitu mudah dicapai oleh orang yang mampu menuntaskan
puasanya sepanjang hari. Lebih-lebih pada hari puncak di akhir Ramadan.
Kebahagiaan selalu baru setiap tiba saat berbuka, tanpa ada titik jenuh. Itulah
anugerah istimewa yang diberikan Allah bagi hamba-Nya yang berpuasa. Jika orang
yang menantikan detik-detik berbuka diibaratkan seorang pemuda yang menantikan
saat-saat terindah dalam hidupnya, yaitu pernikahan, perumpamaan itu saya kira
benar. Namun saat-saat terindah dalam pernikahan ada waktu kadaluarsanya.
Ketika bulan madu, semua tindakan pasangannya serba indah penuh bahagia.
Mungkin berlaku beberapa bulan saja, dan setelah itu relatif sulit diperbaharui. Berbeda tentu dengan kebahagian yang diperoleh
oleh orang yang melaksanakan puasa. Dari tahun ke tahun kebahagiaan itu tidak
pernah sirna. Selalu saja bersemi dalam benak orang yang berpuasa. Kebahagian
yang tumbuh karena melaksanakan suatu kebaikan merupakan indikasi keberkahan
Tuhan sedang dicurahkan kepada hamba-Nya. Wallah a’lam.
Sumenep, 03 Juli 2016 M / 28 Ramadan 1437 H