Minggu, 03 Juli 2016

DUA KEBAHAGIAAN SEJATI BAGI ORANG BERPUASA


M. Khaliq Shalha


Ibadah puasa lain dari yang lain. Ibadah istimewa yang pahalanya tak terhingga dan sifatnya rahasia. Ibadah konvensional pahalanya dapat dikalkulasi. Setiap amal saleh dibalas sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan, sedangkan pahala puasa, Allah sendiri yang akan membalasnya, tanpa perantara malaikat selaku asisten-Nya. Dalam hadits sahih dikatakan:  
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. ( رواه البخارى و مسلم ) .
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap perbuatan manusia dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus lipatan. Allah azza wa jalla berfirman, ‘kecuali puasa, karena puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya. Orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.’ Dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa Tuhannya (kelak).” (HR. Bukhari Muslim).

Ibadah puasa membutuhkan kesabaran ekstra. Sepanjang hari tanpa makan minum dan menghindar dari larangan-larangan lainnya. Para ulama, misal Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin dan Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kasyifatus Saja, membagi kualitas puasa dengan tiga tingkatan, sesuai penghayatan orang yang melaksanakannya. Pertama, shaum al-‘umum (puasa biasa, kelas ekonomi), puasa yang memenuhi rukun puasa, mencegah dari segala perkara yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, bersetubuh dan lainnya. Kedua, shaum al-khusush (puasa istimewa), selain memenuhi rukun-rukun puasa tersebut, tingkatan kedua ini dapat mencegah segala perkara yang membatalkan pahala puasa, dengan mencagah lisan, mata, telinga dan anggota badan lainnya dari perbutan dosa. Ketiga, shaum khusush al-khusush (puasa teristimewa), selain telah memenuhi tingkat pertama dan kedua tersebut, juga menjaga hati dari kesibukan dan cinta buta pada dunia.

Kita boleh memiliki kekayaan harta dunia, tapi dapat menempatkannya pada tempatnya. Jangan sampai mempersibuk hati dan pikiran hingga melupakan Tuhan. Uang banyak perlu kita miliki, namun diletakkan di dompet dan lemarai, bukan di hati. Kendaraan mewah boleh kita miliki, tapi diletakkan di garasi, bukan di hati, apalagi untuk mencari sensasi demi gengsi. Perhiasan boleh kita koleksi dan dipakaikan di tempatnya masing-masing, bukan di hati. Konsentrasi hati jangan sampai terganggu supaya tidak berpaling dari Tuhan sebagai tujuan utama.

Puasa mendidik insan menjadi zahid sejati. Sangat menarik ungkapan yang disampaikan oleh Sulaiman Al-Darimi yang dikutip oleh Abu Bakar Ahmad bin Husain Al-Baihaqi dalam kitabnya, Kitab Al-Zuhd Al-Kabir, tentang zahid sejati, yaitu orang yang tidak mencela dunia, tidak memujinya, tidak memandangnya, tidak gembira bila berjumpa dengannya, dan tidak sedih bila dunia itu meninggalkannya. Nah, orang yang berpuasa dengan level kualitas tertinggi akan senantiasa menjaga hatinya dari keterputusan dengan Tuhan di tengah-tengah kungkungan dinamika dunia.

Ibadah puasa yang teristimewa sungguh rumit kita peroleh, namun dengan sikap raja’-khauf (berharap-harap cemas) kita dapat menggapainya dari hari ke hari. Dengan syarat ada kemauan keras untuk mencapainya. Dari waktu ke waktu harus kita lakukan evaluasi untuk membenahi kelemahan kita.

Orang yang melaksanakan puasa akan memperoleh dua kebahagiaan sejati. Kebahagiaan merupakan kondisi kejiwaan yang diidolakan oleh setiap insan dalam hidupnya. Kebahagiaan pertama adalah kebahagiaan jangka pendek yang dirasakan setiap hari selama melaksanakan puasa ketika sedang berbuka. Saat-saat istimewa bagi orang yang berpuasa ketika waktu berbuka tiba. Kebahagiaan ini muncul secara alamiah atau tabiat bagi setiap orang tanpa terkecuali, karena sudah diperbolehkan menikmati makanan dan minuman. Di samping itu pula, mereka bangga karena mampu menuntaskan ibadahnya secara sempurna. Kemudian kebahagiaan jangka panjang di akhirat kelak ketika berjumpa dengan Tuhannya. Mereka punya modal istimewa sehingga layak mendapat balasan istimewa pula di sisi Tuhannya.

Kebahagiaan begitu mudah dicapai oleh orang yang mampu menuntaskan puasanya sepanjang hari. Lebih-lebih pada hari puncak di akhir Ramadan. Kebahagiaan selalu baru setiap tiba saat berbuka, tanpa ada titik jenuh. Itulah anugerah istimewa yang diberikan Allah bagi hamba-Nya yang berpuasa. Jika orang yang menantikan detik-detik berbuka diibaratkan seorang pemuda yang menantikan saat-saat terindah dalam hidupnya, yaitu pernikahan, perumpamaan itu saya kira benar. Namun saat-saat terindah dalam pernikahan ada waktu kadaluarsanya. Ketika bulan madu, semua tindakan pasangannya serba indah penuh bahagia. Mungkin berlaku beberapa bulan saja, dan setelah itu relatif sulit diperbaharui. Berbeda tentu dengan kebahagian yang diperoleh oleh orang yang melaksanakan puasa. Dari tahun ke tahun kebahagiaan itu tidak pernah sirna. Selalu saja bersemi dalam benak orang yang berpuasa. Kebahagian yang tumbuh karena melaksanakan suatu kebaikan merupakan indikasi keberkahan Tuhan sedang dicurahkan kepada hamba-Nya. Wallah a’lam.

Sumenep, 03 Juli 2016 M / 28 Ramadan 1437 H

Sabtu, 02 Juli 2016

ZAKAT FITRAH IDEAL


M. Khaliq Shalha


Kewajiban agama yang berlaku pada tua muda (tanpa mengenal batas usia) adalah zakat fitrah, suatu iuran wajib yang bermuatan sosial pada saat tertentu. Bagi subjek yang berkewajiban menunaikan zakat berlaku pada orang yang berkemampuan, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang menjadi tanggungannya.

Orang yang menjadi tanggungannya, misal anaknya yang belum mukalaf atau orang tuanya yang sudah tua renta dan tak berdaya untuk membayar zakatnya sendiri. Jadi, dapat kita pahami bahwa pemberi zakat fitrah ada dua golongan. Pertama, pemberi zakat fitrah mandiri, yaitu orang mukalaf yang mempu mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri. Kedua, pemberi zakat fitrah tidak mandiri, yaitu orang yang ditanggung zakatnya oleh orang yang berkewajiban menafakahinya.

Zakat fitrah diutamakan diberikan kepada fikir miskin ketimbang mustahiq lainnya, karena fungsi zakat fitrah di samping menyucikan orang yang berpuasa juga untuk memberi makan pada orang miskin. Dalam sebuah hadits dituturkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. ( رواه أبو داود ) .
Dari Ibn Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Zakat fitrah menyucikan bagi orang yang berpuasa dari tindakan tidak berguna dan keji, dan sebagai bahan makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Idul Fitri), maka ia tergolong zakat yang diterima dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka ia tergolong sedekah biasa.” (HR. Abu Daud).

Sebagaimana dikupas di atas bahwa zakat fitrah bukan hanya kewajiban bagi orang yang berpuasa, tapi siapa saja yang masih hidup di saat tertentu. Syarat wajibnya zakat fitrah terkait dengan masa tertentu kehidupan seseorang, dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa orang berkewajiban menunaikan zakat fitrah bila ia hidup pada dua waktu, yaitu menututi bulan Ramadan dan bulan Syawal. Orang yang meninggal dunia pada bulan Ramadan, bagi ahli warisnya tidak berkewajiban membayarkan zakatnya, demikian pula bayi yang terlahir di bulan Syawal, orang tuanya tidak berkewajiban membayarkan zakatnya.

Zakat yang harus dikeluarkan berupa makanan pokok penduduk setempat, yang diistilahkan dengan qutil balad. Rata-tata bahan mentah makanan pokok penduduk Indonesia—termasuk Madura—adalah beras atau jagung. Dan, masa sekarang lebih dominan beras ketimbang jagung, berbeda jauh dengan zaman 90-an waktu saya masih kecil. Dominan mengkonsumsi nasi jagung asli (tanpa campuran beras putih) dan lauknya ikan asin. Seringkali bibir saya gatal karena alergi dengan ikan asin itu. Tapi nikmatnya tak tertandingi dan masih terasa sampai sekarang, lebih-lebih ketika makan setelah datang dari tegalan mencari jangkrik pas hujan-hujan, menu itu sangat istimewa.

Nasi jagung pada umumnya dipandang di bawahnya kelas nasi putih. Jika seseorang setiap harinya dominan mengkonsumsi nasi putih, berarti taraf ekonominya lebih mapan ketimbang sekadar nasi jagung. Kecuali orang kaya pun yang mengidap penyakit diabetes (kencing manis) biasanya memakan nasi jagung asli.

Zakat fitrah dengan beras atau jagung secara fiqih sama-sama sah. Orang yang kesehariannya memakan nasi putih tetap sah berzakat jagung. Namun kita beribadah bukan sekadar berpatokan pada sah tidaknya, tapi ideal tidaknya perlu menjadi perhatian, bila pada kenyataannya kita mampu berbuat yang ideal.

Jika kesehariannya, seseorang dominan mengkonsumsi nasi putih, maka zakatnya yang layak adalah beras, bukan jagung. Masa dia tega pada fakir miskin memberi jatah bahan makanan mentah untuk hari raya dengan jagung. Masa dia tega menjadikan dirinya sendiri menjadi manusia pelit. Melalukan ibadah yang ideal mencerminkan kepribadian sempurna dalam kemuliaan. Wallah a’lam.

Sumenep, 02 Juli 2016 M / 27 Ramadan 1437 H