Rabu, 07 Januari 2015

HAHEHO (Dari Tobat Sambal Menuju Tobat Nasuha)



M. Khaliq Shalha


Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat semurni-murninya (nasuha), mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Tahrim : 8).

*****

Haheho adalah bahasa daerah sebagai sebutan bagi suara orang yang sedang kepedasan. Inspirasi tema tulisan sederhana ini muncul ketika saya dengan teman-teman haheho makan nasi pecel di stasiun Kota Baru Malang, 4 Desember 2014 lalu. Lazimnya nasi pecel rasanya pedas. Bila Anda makan nasi pecel tapi tidak ada rasa pedasnya, perlu dipertanyakan ke-pecel-annya. Umumnya orang kepedasan disengaja karena sudah doyan. Ketika sedang kepedasan begitu dahsyatnya, cetar membahana, sepertinya ia ingin jera makan sesuatu dengan sambal. Tobat, tobat, tobat!
Selang tak berapa lama, ketika ingin makan, yang terbayang dalam pikiran sebuah pertanyaan, apa ada sambalnya ya? Sambal membuat para penikmatnya menimbulkan ketagihan. Makan di rumah atau di tempat lain, berpedas-pedas adalah agenda rutin. Tiada makanan nikmat tanpa sambal. Itulah tobat sambal, membuat orang “jera-jera ketagihan”.
Memilih makan dengan sambal atau tidak, itu hanya menyangkut selera setiap orang. Boleh memilih di antara keduanya . Namun, tentang masalah tobat dari perbuatan dosa bukan hal yang main-main, karena menyangkut masalah kualitas hidup. Sangat ironis bila hidup ini hanya penuh dosa tanpa ada penyelesaian akhirnya berupa tobat nasuha, tobat yang sebenarnya.
Apa tobat itu? Al-Ghazali dalam kitab pamungkasnya, Minhaj al-‘Abidin mengutip pendapat gurunya, Syaikh Abu Bakar bahwa tobat adalah komitmen untuk meninggalkan perbuatan dosa sejenis yang telah diperbuatnya karena mengagungkan Allah dan waspada terhadap kemurkaan-Nya. Lebih lanjut al-Ghazali menjabarkan empat syarat tobat. Pertama, berkomitmen sepenuh hati untuk meninggalkan perbuatan dosa dan punya keinginan kuat bahwa ia tidak akan kembali berbuat dosa secara totalitas. Apabila dalam diri seseorang belum punya kesadaran seperti hal tersebut, maka ia belum tergolong sebagai orang yang bertobat.
Kedua, ingin jera dari perbuatan dosa sejenis yang telah diperbuat. Karena, bila orang belum pernah melakukan dosa dimaksud, ia tidak disebut orang bertobat, tapi orang yang menjaga diri. Contohnya, Nabi SAW adalah orang yang menjaga diri dari kufur, bukan orang yang bertobat darinya, karena beliau tidak pernah kufur sebelumnya. Berbeda dengan Umar bin Khattab, ia disebut orang yang bertobat karena sebelumnya pernah kufur.
Ketiga, dosa yang akan dihindari bukan hanya semata-mata dosa sama persis dengan perbuatan dosa yang dilakukan sebelumnya, tetapi jenis dosa apapun yang setara dan sederajat dengan dosa yang pernah diperbuat. Perkara ini dilandaskan pada sebuah asumsi bahwa seorang yang sudah tua renta yang masa mudanya berzina dan merampok, masih memungkinkan bagi dia untuk bertobat, sekalipun dia tidak dibilang bisa menghindari dari dua perbuatan dosa tersebut karena kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk berzina atau merampok. Maka tidak benar kalau dikatakan orang tua itu bertobat dari zina dan merampok. Dikatakan bertobat dari suatu perbuatan dosa apabila orang menghindari dari perbuatan dosa yang pernah diperbuat selagi dia masih mampu seandainya mengulangi lagi perbuatannya. Sedangkan orang yang sudah tua renta kondosinya sudah tidak memungkinkan untuk berbuat dosa jenis zina dan merampok, tapi ia masih mampu menghindari perbutan dosa setara dengan zina dan merampok walau kadar dosanya tidak sama persis, seperti menghindari dusta, menuduh zina, gibah dan adu domba. Oleh karena itu, tobatnya tetap sah dengan kondisi seperti itu dengan menghindari perbuatan dosa setara dengan yang diperbuat sebelumnya ketika fisik masih kuat.
Keempat, upaya meninggalkan perbuatan dosa semata-mata karena mengagungkan Allah, bukan karena takut pada manusia, pencitraan, cari muka, sensasi, jabatan dan lainnya. Apabila kriteria tersebut terpenuhi maka tobat seseorang dapat dikatakan tobat yang sebenarnya.
Dalam memulai tobat, kata al-Ghazali, ada tiga hal yang hendaknya dikondisikan dalam jiwa. Pertama, ingat pada puncak kejelekan dosa. Kedua, ingat pada dahsyatnya siksa Allah dan kemurkaan-Nya yang tiada tara. Ketiga, ingat pada kelemahan diri dan minimnya rasa malu. Perasaan-perasaan seperti ini perlu ditanamkan dalam jiwa. Sebagai perumpamaannya, apabila seseorang tidak mampu menahan sakit tamparan polisi, sengatan binatang, apalagi menahan panasnya neraka Jahanam, keangkuhan malaikat dan sengatan binatang berbisa di dalamnya.
 Dari salah satu syarat tobat tersebut bahwa hendaknya tidak mengulangi perbuatan dosa yang telah diperbuat, lalu menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika lupa dan salah? Dimaafkan berkat kemurahan (fadhal) Allah. Timbul pertanyaan pula, bagaimana jika muncul dalam diri bahwa ingin kembali perbuat dosa sehingga menjadi penghalang untuk berkomitmen dalam bertobat? Itu adalah rayuan setan yang tidak perlu larut dengannya. Dari mana orang bisa tahu secara pasti akan hal itu. Bisa jadi orang yang bertobat setelah itu mati sebelum mengulangi lagi perbuatan dosanya. Bagaimana bila seseorang punya perasaan cemas untuk kembali berbuat dosa? Cukup punya keinginan kuat dengan sejujurnya untuk bertobat. Allah yang akan menyempurnakan hal itu. Apabila terlaksana dengan sempurna berarti mendapat kemurahan Allah, bila tidak, orang yang bersangkutan telah diampuni semua dosanya yang telah berlalu, sisanya hanya dosa yang baru diperbuat saat ini. Begitulah logika tobat menurut al-Ghazali.
Klasifikasi dosa secara garis besar menurut al-Ghazali ada tiga. Pertama, meninggalkan kewajiban dari Allah, seperti salat, puasa, zakat dan lainnya. Cara tobatnya dengan menggantinya. Kedua, dosa antara manusia dan Allah, seperti minum khamar, makan barang riba dan lainnya. Cara tobatnya dengan menyesali dosa yang telah diperbuat dan berjanji sepenuh hati untuk tidak mengulanginya. Ketiga, dosa yang ada kaitannya dengan manusia lainnya. Jenis dosa ini lebih sulit cara tobatnya. Meliputi banyak hal seperti harta, jiwa, kehormatan, kemuliaan dan agama.
Cara bertobat dari dosa karena mengambil harta orang lain adalah berkewajiban mengembalikan harta tersebut jika memungkinkan. Jika tidak, karena orang yang diambil hartanya sudah tidak terjangkau keberadaannya atau telah wafat, keluarkanlah sedekah yang pahalanya untuknya jika memungkinkan. Jika tidak mampu bersedakah untuknya, tingkatkanlah perbuatan baik, kembalikan kepada Allah penuh rendah hati dengan harapan Dia rida kepadanya di hari kiamat kelak.
Tobat dari kejahatan terhadap jiwa orang lain berupa hukum kisas, atau diselesaikan dengan keluarga korban. Jika tidak memungkinkan berserah diri kepada Allah dengan harapan semoga Dia meridai kelak di hari kiamat.
Tobat karena mencemarkan nama baik orang lain, seperti menggiba, memfitnah atau mencaci dengan cara menyatakan bahwa dirinya pernah perdusta korban, lalu meminta kerelaannya. Hal itu dilakukan jika memungkinkan dan sekiranya tidak dikhawatirkan menyulut masalah lebih besar, tidak menimbulkan gejolak kemarahan dan dampak negatif lainnya. Jika khawatir, alternatifnya menyerah kepada Allah, semoga Dia meridai, berbuat baik sebanyak mungkin dan beristigfar sebagai pengimbangnya untuk orang yang dicemarkan nama baiknya.
Tobat karena merusak kehormatan orang lain, misalnya mengkhianatinya, keluarganya, keturunannya atau lainnya. Caranya, menceritakan pengkhianatannya jika tidak akan menimbulkan masalah besar, lalu meminta kehalalannya, walaupun cara ini sulit dilakukan. Bila menggunakan cara ini akan menimbulkan masalah kemarahan dan hal negatif lainnya, alternatifnya dengan cara mengemis ampunan kepada Allah dan berbuat banyak kebaikan dan istigfar buat orang yang dikhianati sebagai pengimbangnya.
Tobat karena merusak agama orang, misalnya membuat orang menjadi kafir, bidaah atau sesat, tindakan ini tergolong berlebihan, tobatnya jika memungkinkan dengan cara menyatakan kedustaannya kepada orang yang telah digelincirkan dan meminta kehalalannya. Jika tidak mungkin, berserah dirilah kepada Allah secara sungguh-sungguh dengan harapan Dia meridainya.
Itulah upaya tobat dengan ragam alternatifnya yang dikemukakan al-Ghazali. Tobat ibarat membuat rapot hijau sebagai pencucian rapot merah yang telah ditorehkan sebelumnya karena melanggar aturan menyangkut hak Allah dan manusia. Melanggar kewajiban yang Allah berikan tobatnya lebih mudah ketimbang karena semena-mena menghempaskan hak-hak orang lain. Pelanggaran terhadap hak orang lain harus terlebih dahulu dipulihkan dengan cara-cara kemanusiaan pula, yaitu mengembalikan hak-haknya, lalu meminta ampun kepada Allah. Tak cukup hanya memohon ampun kepada Allah selagi orang yang dirugikan masih memungkinkan untuk dimintai keridaannya. Di situlah sangat nampak keadilan Tuhan yang diberlakukan pada tiap hambanya di muka bumi ini tanpa pandang bulu. Dalam kehidupan, nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan tidak diposisikan secara timpang, namun berimbang. Keduanya harus tersempurnakan demi terciptanya rahmat dalam kehidupan.
Tobat seseorang akan diterima oleh Allah apabila tobatnya serius, bukan tobat sambal, yaitu jera-jera ketagihan. Tidak ada kata terlambat dalam bertobat sebelum nafas kematian masih belum sampai di tenggorokan. Nabi SAW bersabda, “Allah akan menerima tobat seorang hamba sebelum nyawa penghabisannya sampai di tenggorokan.” (HR. Ahmad). Mari hindari tobat versi Firun yang sia-sia, karena dia baru mau insaf ketika sedang sekarat waktu tenggelam di laut Merah.  
Orang yang baik di dunia ini begitu banyak. Mereka bukanlah orang yang tidak pernah berbuat dosa, tetapi ketika berbuat dosa mereka segera bertobat. Wallah a’lam.

Tulisan ini juga bisa dibuka di: http://filsafat.kompasiana.com/2015/01/07/haheho-dari-tobat-sambal-menuju-tobat-nasuha-700803.html
*****
Sumenep, 7 Januari 2015.