Senin, 21 September 2020

SUNNAH NABI DALAM BERHUMOR

 Oleh: M. Khaliq Shalha

M. Zaim Muttaqin

Humor termasuk salah satu kebutuhan hidup umat manusia sepanjang masa untuk menyegarkan suasana, memecahkan keseriusan, melenturkan ketegangan, dan menghapus duka lara serta nestapa yang sedang melanda hati.  

Di samping itu pula, humor sebagai metode efektif dalam berdakwah yang sering kali digunakan oleh para penceramah di pelosok negeri untuk memancing antusiasme masyarakat dalam menyimak ceramah yang disampaikan agar tidak terkesan monoton dan membosankan. Hal semacam itu kerap disisipkan oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dalam ceramahnya, bahkan dalam setiap kesempatan, baik di dalam ataupun di luar negeri. Patut kiranya jika guru bangsa itu saya sebut sebagai Kiai Humor Indonesia karena sekian banyak kelakar beliau yang sangat populer yang bila kita menyimaknya membuat kita ngakak terhibur dan tercerahkan.


Humor di kalangan masyarakat pesantren dan NU bukan sekadar menjadi media penyegar suasana, pemecah kebuntuan pikiran, namun juga menjadi dalil (argumentasi) untuk menyangkal dalil-dalil lawan bicaranya sehingga penggunaannya kadang digelontorkan dengan serius, bukan sekadar guyonan belaka sehingga eksistensinya menjadi salah satu identitas mereka selain sarung dan kopiah.

Dalam buku Ulama Bercanda, Santri Tertawa yang ditulis Hamzah Sahal, dituturkan bahwa KH. Abdul Wahab Hasbullah--salah satu pendiri NU--terkenal pandai berkelakar. Ia bukan saja ingin melucu, tapi juga menjadikan humor sebagai dalil. Mbah Wahab, yang terkenal longgar dalam hukum fiqihnya sering diprotes kiai-kiai, ditanya dalilnya kenapa melakukan ini dan itu. Atas protes atau pertanyaan-pertanyaan yang susah dijawab, beliau hanya menjawab, “Kayak Muhammadiyah saja tanya dalil.” Kiai-kiai hanya tertawa mendengar jawaban tersebut, tapi tidak berani bertanya lagi.

Sampai di sini, dari judul tulisan di atas bisa jadi Anda juga bertanya, "Apa dalilnya bahwa berhumor termasuk sunnah Nabi? Satu pertanyaan itu saya jawab dengan dua jawaban. Pertama, meminjam jawabannya Mbah Wahab, “Kayak Muhammadiyah saja tanya dalil.”

Kedua, mari kita amati dalil di bawah ini. Hadits pertama berikut dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn Majah, sedangkan yang kedua dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi yang redaksi dari dua hadits dimaksud saya kutip dari kitab Sunan Abi Daud.

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَلِى أَخٌ صَغِيرٌ يُكْنَى أَبَا عُمَيْرٍ وَكَانَ لَهُ نُغَرٌ يَلْعَبُ بِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ « مَا شَأْنُهُ ». قَالُوا مَاتَ نُغَرُهُ فَقَالَ « يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ».


Anas bin Malik RA berkata, "Rasulullah SAW pernah berkunjung ke tempat kami, sementara saya punya adik yang bergelar Abu Umair. Dia (Abu Umair) punya hobi bermain dengan burung. Suatu ketika burung itu mati sehingga perasaan Abu Umair sedih. Rasulullah masuk dan berkata (kepada keluargaku), 'Mengapa dia bersedih?' Mereka menjawab, 'Burungnya mati.' Maka beliau berkata (menghibur), 'Wahai Abu Umair, apa yang telah diperbuat oleh si burung kecil itu?'"  

Ucapan Nabi, "Apa yang telah diperbuat oleh si burung kecil itu?" merupakan sebuah kelakar yang dimaksudkan untuk menghibur jiwa anak yang sedang murung karena burung kesukaannya telah tewas. Begitulah kebijaksanaan beliau memilih bahasa guyonan dalam menghibur anak yang sedang bersedih yang ada di hadapan beliau.

 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ احْمِلْنِى. قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ ». قَالَ وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلاَّ النُّوقُ ».


Diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik bahwa ada seseorang pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata (memohon kepadanya), "Wahai Rasulullah, berilah aku tumpangan." Nabi SAW menjawab, "Sesungguhnya kami akan mengendarakanmu ke atas seekor anak unta." Lalu orang itu berkata, "Apa yang aku dapat perbuat dengan anak unta itu?" Nabi menjawab (dengan maksud bercanda), "Bukankah unta itu anak dari induk unta?" 

Sikap humoris Nabi SAW yang tersirat dalam hadits tersebut memahamkan orang itu bahwa seekor unta sekuat apa pun dalam membawa muatan tetap saja ia seekor anak unta dari induk unta. Jawaban itu logis dan humoristis.

Dalam mencerna kalimat humor kadang membutuhkan logika yang mumpuni sehingga ditemukan makna humoristisnya. Humor seringkali lahir dari orang-orang yang tingkat intelektualitasnya hebat, semacam Gus Dur itu. Saya berasumsi, semakin berwawasan seseorang mestinya semakin kaya akan daya ledak humornya.

Untuk memperkaya landasan berhumor sebagai bagian dari sunnah Nabi, saya akan kemukakan sebuah hadits yang dikutip oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Munabbihat 'ala al-Isti'dat li Yaumil Ma'ad yang disyarahi oleh Imam Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya Nashaihul 'Ibad.

 

أَحَبُّ العِبَادِ إِلَى اللهِ تعالى أَنْفَعُ  النَّاسِ  لِلنَّاسِ ، وَأَفْضَلُ الأَعْمَالِ إِدْخَالُ السُرُوْرِ عَلَى قَلْبِ المُؤْمِنِ ، يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ  كَرْبًا  أَوْ يَقْضِي لَهُ دَيْنًا. 

Para hamba yang paling Allah cintai adalah manusia yang paling berguna bagi sesamanya. Dan, perbuatan yang paling utama adalah memasukkan kebahagiaan pada hati orang mukmin dengan menghilangkan rasa lapar darinya, menghibur pikiran galau, atau membayari hutangnya.  

Manfaat humor bagi sesama yang sedang dirundung nestapa adalah mampu menghiburnya hingga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan beban pikiran yang menderanya. Di situlah salah satu pentingnya humor dalam kehidupan yang masuk dalam kategori sunnah Nabi.

***

Ilahi, Engkalah tujuanku. Rida-Mu kucari. Anugerahkan kepadaku cinta dan makrifat-Mu. Besar harapan pula semoga kami meraih syafaat Nabi-Mu. Amin.  

Wallah a'lam bish shawab.

***

Sumenep, 21 September 2020

Sabtu, 19 September 2020

KEBAIKAN TAK TERTANDINGI

 Oleh: M. Khaliq Shalha


Relasi pokok manusia dalam menjalankan ajaran agamanya ada dua, yakni berhubungan dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan dengan sesama (hablun minannas). Dua tugas pokok ini merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jika salah satunya ada kesenjengan, berarti dalam diri umat beragama terjadi keeroran. Beriman dan beramal saleh harus berjalan seiya sekata, sebagaimana sekian banyak ayat al-Qur'an dan hadits menggandengkan saleh ritual dan saleh sosial.

Semakin dekat seseorang dengan Tuhannya, semakin berguna pulalah ia pada sesamanya. Atau semakin manusiawi tindakan seseorang semakin dekatlah dirinya dengan Sang Ilahi karena keduanya tidak saling bertentangan tapi saling menguatkan dan berjalan secara padu.  

Imam Ibn Hajar al-Asqalani mengutip sebuah hadits dalam kitabnya, al-Munabbihat 'ala al-Isti'dad li Yaumil Ma'ad berkaitan dengan perkara pokok dalam beragama yang keutamaannya tak tertandingi sebagai berikut.

 

خَصْلَتَانِ لَا شَيْئَ أَفْضَلُ مِنْهُمَا اَلْإِمَانُ بِاللهِ وَالنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ .   

Dua perkara keutamaannya tak tertandingi, yaitu beriman kepada Allah dan bermanfaat bagi kaum muslimin.

Iman sebagai pondasi utama manusia dalam membangun segala tindakan amal salehnya. Oleh karena itu, eksistensinya harus selalu dijaga dengan baik. Sedangkan memberikan kemaslahatan (daya guna, manfaat) bagi sesama ragamnya banyak. Dalam hal ini Imam Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashaihul 'Ibad--sebagai syarah dari kitab karya Imam Ibn Hajar al-Asqalani tersebut--menafsiri an-naf'u lil muslimin (bermanfaat bagi kaum muslimin) dalam hadits tersebut berupa ucapan, jabatan, harta, atau badan.

Mari kita jabarkan ragam daya guna itu untuk sesama. Pertama, ucapan. Dalam kehidupan sosial komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan. Kita bisa membantu orang lain lewat kata-kata yang berguna. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kompetensi diplomasi dan retorika yang mumpuni karena dengan ucapan yang benar dan baik serta padat makna kita bisa menyampaikan kebenaran yang mudah diterima oleh orang lain.

Dalam masalah kompetensi berbicara, Rasulullah SAW memberikan dua alternatif jitu pada kita, yaitu fal yaqul khairan, berbicaralah dengan baik, aw liyashmut, atau diam saja jika tidak bisa. Tentu, memilih alternatif diam termasuk golongan orang yang lemah, namun masih bisa selamat ketimbang tidak bisa menahan diri untuk berbica yang berekses negatif, seperti berbicara bidang ilmu yang bukan bidangnya hingga menyesatkan orang lain, ujaran kebencian, hoaks (bohong), adu dompa, memfitnah, menggibah, dan sejenisnya. Manusia bisa selamat apabila mampu menjaga lisannya. Dalam konteks dunia maya sekarang di media sosial (medsos) ungkapan itu bisa dikembangkan menjadi manusia bisa selamat apabila mampu menjaga jari-jarinya.

Kedua, jabatan. Dengan jabatannya dalam semua skopnya, seseorang akan leluasa menebarkan manfaat untuk orang banyak. Kebijakan yang dibuat akan mampu mengangkat keterbelakangan orang-orang yang dipimpinnya dalam banyak hal. Pemimpin adalah pengayom dan mengemban penderitaan rakyat. Sejatinya para pemimpin dalam membuat kebijakan dan bertindak demi kemaslahan orang-orang yang dipimpinnya. Sejalan dengan kaidah fiqih yang sangat populer berikut ini.

 

تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ .

Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.

 

Dalam kitab al-Asybah wa an-Nazhair karya Imam Suyuthi dituturkan bahwa kaidah tersebut berasal dari ucapan Imam Syafi’i yang bersumber pula dari ucapan Umar bin Khatthab.

مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ .

Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim. (Imam Syafi'i).

 

اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَااسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ .

Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan, apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya (menahan diri padanya). (Sahabat Umar bin Khatthab).

 

Kita berharap, semoga jabatan publik yang diperebutkan oleh banyak orang dewasa ini didasari oleh keinginan tulus mereka demi mewujudkan kemaslahatan umat. Tipe pemimpin yang adil (baik) akan mendapat perlingungan khusus dari Allah kelak di Hari Mahsyar di mana kala itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah SWT.

Ketiga, harta. Dengan hartanya, seseorang akan bisa berbagi manfaat buat orang lain yang membutuhkan. Sudah menjadi rumus kehidupan dunia bahwa ada yang kaya dan ada yang miskin. Adanya kesenjangan itu sungguh memiliki hikmah yang besar sehingga kehidupan ini bisa berjalan dengan dinamis. Orang kaya patut bersyukur karena ada orang miskin sehingga menjadi objek ladang amal. Demikian pula orang miskin layak berterima kasih atas uluran tangan orang kaya sehingga beban hidupnya dapat terbantu. Adanya kewajiban orang kaya untuk membantu si miskin adalah untuk mempersempit kesenjangan itu, bukan membuat yang kaya makin kaya yang miskin makin melarat.

Ada barometer tersendiri masing-masing di antara keduanya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa bagi orang kaya mengamalkan sabda: tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima). Dengan demikian, orang yang berharta termotivasi untuk menginfakkan kekayaannya dan tidak terjangkiti penyakit kikir yang sangat tercela. Sedangkan orang yang miskin mengamalkan sabda Nabi: pandanglah orang yang ada di bawahmu (lebih miskin) dan jangan memandang orang yang ada di atasmu (lebih kaya). Dengan begitu, akan melahirkan sifat kanaah dan tidak haus harta, karena jika haus harta ibarat orang yang meminum air laut. Semakin diminun ia semakin haus.


Perlu diingat. Kaya dan miskin dapat dikatan tidak ada tolok ukur yang jelas. Hal itu kembali kepada rasa masing-masing individu. Dengan demikian, tidak perlu menunggu kaya seperti orang-orang untuk mendermakan hartanya. Setiap orang memiliki peluang untuk menebarkan manfaat bagi orang lain dengan hartanya menurut kadar kemampuan masing-masing.

Keempat, badan. Dengan badan atau fisik yang kuat akan bisa mewujudkan manfaat untuk orang lain. Peradadan bisa dibangun. Fisik adalah aset yang sangat berharga untuk melahirkan karya yang berguna bagi kehidupan. Untuk melatih produktivitas badan dalam menggarap kemanfaatan, kita harus membiasan diri berbuat kebaikan mulai dari perkara kebaikan recehan yang remeh temeh, misalnya menyingkirkan duri  atau rintangan di tengah jalan, membuang sampah pada tempatnya. Jika kita peduli pada kebaikan kecil sangat dimungkinkan kita bisa mampu dan antusias untuk berbuat kebaikan yang lebih besar.

Nah, agenda mulia hidup kita yang utama adalah memelihara keimanan dan menebar manfaat buat sesama. Kedua-duanya harus kita raih sabaik mungkin. Dari agenda itu, pada akhirnya hanya rida Allah yang kita harap dan syafaat Rasulullah yang kita dambakan.

Wallah a'lam bish shawab.

***

Sumenep, 19 September 2020

Senin, 14 September 2020

KESUKSESAN ANAK DIPENGARUHI TIRAKAT ORANG TUA

Oleh: M. Khaliq Shalha

 

Dalam Islam, tidak ada dosa warisan, tapi gen atau watak orang tua memiliki pengaruh terhadap karakter anak. Demikian pula, daya upaya--meminjam istilah tasawuf pesantren disebut tirakat--orang tua sedikit banyak mempengaruhi kesuksesan masa depan anak. Dengan demikian, keberkahan investasi kebaikan orang tua akan terwariskan kepada anak, baik orang tua tersebut mengkhususkan tirakatnya kepada anaknya atau tidak, misalnya hanya semata-mata berbuat baik.

Dari paragraf awal di atas ada dua hal yang perlu saya jabarkan lebih detil dalam tulisan sederhana ini, yaitu tirakat dan kesuksesan. Secara bahasa tirakat bermakna jalan (thariqah), metode atau cara yang ditempuh untuk menggapai sesuatu. Tirakat yang dimaksudkan di sini bukan sekadar bermakna meditasi di tempat sepi dengan beragam wirid yang dibaca untuk menunggu sebuah keajaiban dari langit, tapi mencakup banyak pola laku yang ditempuh manusia untuk meraih rida Allah hingga bisa memantik munculnya karamah dari-Nya. Salah satu contohya; istikamah menjalankan puasa sunnah, shalat tahajud, mengkhatamkan Al-Qur'an, bersedekah, mendidik dan mengayomi para santri dengan telaten, berjasa kepada umat, memperjuangkan hak-hak manusia dan sebagainya.

Kesuksesan banyak ragamnya. Dalam pandangan masyarakat umum, seseorang dikatakan memperoleh kesuksesan apabila yang bersangkutan meraih materi, pangkat, jabatan bergengsi, berpendidikan tinggi, karir mapan, mampu menjalankan amanah dengan baik, punya wibawa di hadapan publik, bahagia bersama keluarga dan sejenisnya. Makna kesuksesan yang lebih sederhana adalah tercapainya kesejahteraan hidup lahir batin.

Orang biasa yang memiliki karir melejit seringkali membuat orang lain dibuat berdecak kagum. Kok bisa? Apa rahasianya? Padahal ia orang biasa, bukan keturunan bangsawan dan bukan pula anaknya cendekiawan! Jika seseorang memiliki kesuksesan dengan latar keluarga orang besar, perlu juga dipertanyakan, mengapa dia juga bisa menjadi orang besar, padahal setiap anak terlahir ke dunia dengan kondisi yang sama, sama-sama telanjang, sama-sama tidak tahu apa-apa, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl [16]: 78:

 

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Dari itulah, perlu kita mencari tahu rahasia di balik kesuksesan seseorang untuk menemukan puspa ragam hikmah, apa kira-kira jerih payah tirakat orang tuanya sehingga bisa mendongkrak kesuksesan anak.

Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim mengutip sebuah hikayat tentang Imam Halwani dengan latar ekonomi di bawah garis kemiskinan. Ia kesehariannya berjualan manisan (halwa). Produk manisan yang ia hasilnyan tidak dijual semua, tapi ia masih menyisakan untuk disedekahkan kepada ahli fiqih dengan harapan berkah sedekahnya dan doa para ahli fiqih mengalir deras kepada anaknya kelak. Ketika Imam Halwani mensedekahkan manisan, ia memohon kepada para ahli fiqih, "Mohon doamu sekalian untuk anakku."

Apa yang terjadi pada anaknya dengan tirakat Imam Halwani tersebut? Berkat kedermawanan, keyakinan dan ketawaduaannya, anaknya meraih apa yang diraih oleh Imam Halwani. Imam Halwani termasuk orang yang rajin mengkaji ilmu. Dengan hartanya ia membelanjakannya untuk mengoleksi banyak kitab kemudian ia juga aktif menulis sehingga ia terbantu untuk sukses belajar sampai menjadi pakar.  

Hikayat lain yang dikupas pula oleh Syekh az-Zarnuji adalah perkataan gurunya, Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin mengutip perkataan para gurunya bahwa ada seorang guru memiliki anak yang alim. Kealiman anak tersebut berkat jasa orang tuanya karena selalu berupaya untuk mencetak para muridnya alim Al-Qur'an.


Hikayat pertama di atas bisa kita tarik lebih dekat pada realitas masyarakat kita masa kini. Orang-orang kampung bisa dibilang lumrah bersedekah demi kepekaan anaknya dalam menyerap pendidikan di bangku madrasah, surau atau masjid. Sedekah itu biasanya dikeluarkan untuk guru ngajinya setiap bulan pada hari kelahirannya. Sedekah itu bisa berbentuk beras dan telur bahkan kadang ayam kampung. Upaya seperti ini tergolong selamatan untuk anak dengan istilah yang lebih populer jailanian. Kebanyakan orang tua melakukan hal demikian apabila anaknya sulit berkembang dalam mengenyam pendidikan karena otaknya lemot dalam menerima sinyal pendidikan dari gurunya. Untuk mempercanggih kepekaan memori otak anaknya maka orang tua menginstalkan perangkat lunak berupa berkah sedekah. Sependek pengamatan saya, cara seperti ini terbukti manjur secara signifikan. Prestasi anak yang asalnya nyaris di bawah standar akhirnya menjadi menonjol ketimbang teman-temannya yang lain.

Kemudian, hikayat kedua di atas dapat pula kita tarik pada realita masyarakat pesantren. Rata-rata putra putri kiai di pesantren prestasinya bagus. Pakar dalam banyak bidang. Apa rahasianya? Sebelum saya bongkar rahasianya, terlebih dahulu saya menyampaikan pengamatan dan penilaian saya terhadap putra putri kiai di pesantren. Banyak--oknum--di antara putra putri kiai sewaktu masih anak-anak bisa dibilang cara belajarnya biasa-biasa saja bahkan banyak yang malas, nakal, mbeling dan kadang menyebalkan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terkadang mengejutkan. Santri-santri dibuat decak kagum. Prestasinya melejit. Belajar tidak butuh waktu lama-lama. Bahkan sebagian putra kiai bisa hapal secara progresif nazaman Alfiah Ibn Malik yang seribu bit itu dalam waktu sekejab. Tak tanggung-tanggung hapal luar kepala: dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan. Menanggapi hal ini para santri mungkin bisa berkata secara diplomatis: maklum, putra kiai!

Ketimbang sekadar tanggapan diplomatis itu, perlu kita buka rahasia di balik kehebatan putra putri kiai itu. Rahasianya adalah karena jasa-jasa orang tuanya kepada para santri yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang. Bagaimana santri-santri itu menjadi orang yang berguna kelak setelah pulang ke masyarakat. Jadi, hari-hari para kiai di pesantren itu dipenuhi dengan pikiran dan usaha-usaha tanpa kenal lelah untuk mengantarkan para santri menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Bisa jadi anaknya sendiri kurang diperhatikan gara-gara memperjuangkan para santrinya. Karena Allah tidak pernah buta terhadap kebaikan seseorang, maka Allah tentu memberikan karamah kepada putra putri kiai tersebut yang salah satu bentuknya membukakan jalan dalam meraih prestasi yang gemilang dengan mudah tanpa diduga-duga. Peribahasa Arab mengatakan, "Man yahshud yazra' (Barang siapa menanam maka ia akan memanen)."

Agar lebih menukik pada anda tentang korelasi kesuksesan anak karena tirakat orang tua, saya akan kemukakan kisah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengantarkannya menjadi Presiden Republik Indonesia karena tirakat sang ayah, KH. Abdul Wahid Hasyim.


Alkisah, dalam buku Bukti-bukti Gus Dur Wali yang ditulis oleh Ahmad Mukafi Niam & Syaifullah Amin di dalamnya diulas bahwa suatu ketika KH. Hasib Wahab, Pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang pernah mendapat cerita dari ayahnya, KH. Wahab Hasbullah tentang KH. Wahid Hasyim yang memiliki cita-cita besar menjadi pemimpin bangsa, entah menjadi presiden atau perdana menteri.

Dalam mewujudkan cita-cita itu, ia diminta oleh seorang kiai sepuh untuk melakukan sebuah tirakat berupa upaya-upaya spiritual (riyadhah). Riyadhah yang harus dijalani adalah melakukan puasa selama lima tahun penuh, di luar hari tasyrik atau hari-hari besar yang dilarang menjalankan puasa.

Kemudian, KH. Wahid Hasyim menjalani riyadhah itu dengan baik. Setiap hari ia melakukan puasa, apa pun kondisinya. Bahkan ia sampai berpura-pura makan bersama tamu untuk menghormatinya. Ketika mengalami kecelakaan di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 di usia 38 tahun, puasa itu sudah dijalaninya selama 3 tahun 8 bulan.

Pada saat meninggal dunia, ia belum sempat menyelesaikan riyadhah-nya atau mencapai cita-citanya. Akan tetapi, putra pertamanya, KH. Abdurrahman Wahid telah berhasil mewujudkan cita-cita orang tuanya dan menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia.

Dalam buku itu dituturkan pula bahwa pada suatu kesempatan di istana, ketika Gus Dur masih menjadi presiden, Gus Hasib pernah mengkonfirmasi kebenaran cerita itu dari Mbah Wahab tersebut, dan Gus Dur mengiyakan.

Wallah a'lam bish shawab.

 ***

Sumenep, 14 September 2020

Jumat, 11 September 2020

SIKLUS KEBUDAYAAN: Dari Gaya Baru Kembali ke Gaya Lama

 Oleh: M. Khaliq Shalha



Siklus merupakan putaran waktu yang di dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur. Begitulah makna siklus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam bahasa teologi (ilmu tauhid) disebut daur, sedangkan dalam bahasa ekonomi kreatif disebut daur ulang.

Dari masa ke masa manusia tidak pernah merasakan kepuasan dalam pencapaian peradabannya sehingga senantiasa berkreasi untuk meraih peradaban yang lebih maju. Dalam laju kebudayaan yang manusia bangun, mereka ternyata mengalami titik jenuh sehingga kerap kali ingin kembali pada budaya lama yang sudah sekian waktu mereka tinggalkan untuk bisa romantisme.

Dalam hal tersebut dapat kita kemukakan beberapa contoh. Pertama, jenis pakaian pelajar. Bagi murid-murid madrasah formal swasta di kampung  tahun 1990-an mereka mengenakan sarung dan sandal sebagaimana lazimnya pakaian para santri sehari-hari di pondok pesantren. Setelah tahun itu para pengelola pendidikan madrasah punya inisiatif untuk mengubah pakaian para murid, yaitu mengkonversi sarung dan sandal ke seragam celana dan sepatu yang di antara pertimbangannya agar murid-murid madrasah swasta terkesan lebih rapi dan maju sebagaimana sekolah-sekolah negeri, juga menghilangkan kesan kampungan, kolot dan tertinggal dari peradaban modern dalam ranah pendidikan. Aganda perubahan ini berjalan lancar hingga kini.

Namun, dewasa ini timbul gejala publik bahwa beberapa pengelola madrasah, khususnya yang berbasis pesantren, mulai merekonstruksi kebijakannya untuk kembali ke pengaturan awal dengan mengkonversi celana sepatu ke sarung sandal. Inisiatif semacam ini menurut saya dilatari beberapa hal. Di samping bosan dengan budaya baru itu yang dulu diadobsi karena keterpaksaan keadaan, juga ada alasan lain yang lebih krusial, yaitu mengembalikan spirit kesalehan para anak didik lewat simbol pakaian setelah lama tercerabut dari kearifan lokal hingga diharapkan moralitas dan spiritualitas mereka lebih bisa terjaga. Dan, dewasa ini pola pikir masyarakat sudah semakin maju bahwa dalam mengapresiasi potensi dan prestasi bukan diukur dari celana dan sepatu, tapi dari kualitas manusianya. Lagi-lagi pakaian sarung sudah tidak dianggap pakaian orang-orang kolot yang ketinggalan zaman, tapi sebagai simbol kesalehan dan kualitas diri. Jangan sampai terlupakan pula bahwa kaum bersarung banyak memberikan kontribusi dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, kaum bersarung sudah saatnya tampil ke publik untuk mengisi tempat-tempat strategis dalam membangun kemaslahat umat, termasuk di istana negara.

Akhir-akhir ini bukan hanya di kalangan pelajar madrasah yang kembali menggunakan sarung pada hari-hari tertertu, tapi juga sebagian para petinggi civitas akademika kampus Islam bergengsi mulai mengenakan sarung pada hari-hari tertentu, misalnya di Universitas Islam Malang (UNISMA), Jawa Timur. Waktu zaman saya kuliah betapa tabunnya jika ada orang kampus mengenakan sarung. Bisa jadi akan dijadikan bahan olokan rekannya atau akan ditegur oleh pihak pengelola kampus.


Kedua
, model pakaian. Sebagai contoh, model rok yang digunakan para murid perempuan. Dulu pernah ngetren model rok cimisan, yaitu potongan rok yang begitu longgar hingga para murid dapat leluasa berjalan menuju madrasah. Setelah itu digeser oleh model rok meksi, yaitu model rok  sepan di mana ruang geraknya sangat sempit sehingga penggunanya tidak bisa leluasa ketika berjalan. Umpama si murid yang bersangkutan dikejar orang gila tentu ia sulit untuk berlari kencang. Dewasa ini sudah kembali ke model lama itu berupa rok cimisan.

Ketiga, dari desa ke kota lalu dari kota ke desa. Di negara berkembang yang sedang membangun dalam berbagai bidang seperti Indonesia tentu mayoritas rakyat berharap negaranya berkemajuan dalam berbagai sektor. Yang menjadi titik kemajuan tentu di kota-kota besar semisal Jakarta dan Surabaya sebagai pusat segala sektor sehingga dalam ilmu sosial ada sebutan migrasi (perpindahan) penduduk yang diistilahkan dengan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota karena kota memiliki daya tarik yang kuat, sedangkan desa memiliki daya dorong penduduknya untuk hijrah. Lagi-lagi terjadi kebosanan budaya yang dialami masyarakat kota yang selama ini diidentikkan dengan kemodernan sehingga sebagian mereka mendambakan suasa desa bisa terangkat ke kota. Lalu, apa yang dilakukan mereka? Sebagian mereka ada yang mendirikan restoran di kota besar--misalnya di Surabaya--dengan suasana pedesaan yang diberi nama Dapur Desa.

Keempat, model kendaraan. Zaman dulu ada motor merek Vespa dengan bentuk yang unik. Dalam perkembangan motor di Indonesia, Vespa tersebut bisa dibilang ketinggalan zaman, baik dalam bentuk maupun kecepatannya sehingga masuk barang antik dan kadang orang menyebutnya motor jadul (jaman doeloe, zaman dulu). Dewasa ini motor jadul itu dirindukan kembali kehadirannya oleh para konsumen setelah bosan dengan model motor baru yang melimpah ruah. Produsen sangat peka dengan selera konsumen sehingga menciptakan Scoopy besutan Honda sebagai solusi kebosanan tersebut. Scoopy bisa disebut sebagai "reinkarnasi" dari Vespa dari segi modelnya.

Kelima, mode kendaraan. Tahun 1990-an dan sebelumnya sepeda ontel atau sepeda gunung menjadi kendaraan primadona rakyat. Sekitar tahun 1997 saya merasakan sendiri gowes Pragaan-Pamekasan (pulang-pergi, tepatnya pergi-pulang) dengan menempuh jarak sekitar 50 kilometer sekitar 4 jam perjalanan. Motor dan mobil kala masih tergolong elite sehingga hanya orang-orang yang beruang tebal sajalah yang memilikinya. Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan meningkatnya perekonomian masyarakat sehingga mereka berbondong-bondong membeli kendaraan bermotor. Sekarang, motor atau mobil bukan kendaraan ilite lagi, malah sebaliknya, sebagian masyarakat kantoran dan sejenisnya yang dilanda kestresan dengan tensi cukup tinggi mulai bosan dengan suana kendaraan motor atau mobil sehingga dalam momen tertentu mereka kembali ke budaya lama dengan gowes bersama sepeda ontelnya.

Begitulah siklus kebudayaan sesuai dengan karakteristik psikologi manusia, yaitu meresa bosan dan jenuh dengan capaian peradabannya sehingga salah satu solusinya meninggalkan budaya baru lalu kembali ke budaya lama dengan kadar tertentu. 

Manusia sebagai makhluk sosial, sedikit banyak terpengaruh dengan siklus budaya tertentu di sekitarnya yang sedang menjadi tren. Ada sebuah prinsip yang penting menjadi pegangan bagi manusia yang berbudaya dan berperadaban agar merasa nyaman dengan kondisi siklus budaya yang terjadi dan tak latah begitu saja tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatannya, yaitu pola pikir proporsional berdasarkan ushul fiqih ala ulama Nusantara, khususnya kalangan nahdliyyin berikut ini.


اَلْمُحَافَظَةُ عَلىَ الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ .

Melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lehih baik.

***

Wallah a'lam bish shawab.

 

Sumenep, 11 September 2020