Edisi Ushul Fiqih
Oleh M. Khaliq Shalha
A.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama universal yang
mengakumulasikan aspek-aspek ajarannya yang disebut syari‘ah (syariat).
Syariat merupakan kata simpel dari akidah, hukum, dan akhlak. Akidah menekankan
doktrin keimanan seorang hamba pada Penciptanya, yaitu terciptanya hubungan
vertikal sebagai bentuk ketergantungannya pada Allah. Keimanan yang kokoh akan
mencerminkan hal positif dalam kehidupan nyata sejalan dengan perintah-Nya.
Sedangkan peranan hukum mengatur
perbuatan keseharian manusia secara vertikal dan horizontal yang manfaatnya
akan dirasakan berupa suatu maslahat tertentu, karena wujud dari suatu hukum
pada hakikatnya adalah maslahat untuk kehidupan.
Akidah dapat diibaratkan pada
fondasi bangunan dan hukum adalah gedungnya, maka akhlak tak ubahnya suatu
hiasan pada bangunan tersebut. Manusia
yang bisa proforsional memadukan tiga hal itu (akidah, hukum, dan akhlak) maka
ia layak memperoleh predikat insan kamil, sebagaimana perintah Tuhan terhadap hamba-Nya
untuk ber-Islam secara totalitas (udkhulu fis silmi kaffah).
Bab ini akan mendeskripsikan
salah satu dari tiga unsur pokok tersebut, yaitu dalam aspek hukum meliputi;
hakim (al-hakim), hukum (al-hukmu), perbuatan hukum (al-mahkum
fih), dan subyek hukum (al-mahkum ‘alaih) menurut perspektif ilmu
ushul fiqih.
B.
KOMPOSISI HUKUM SYARAK
1. Al-Hakim
Al-Hakim artinya pembuat suatu hukum. Pembuat hukum syarak adalah Allah SWT. Ulama
sepakat bahwa sumber hukum syarak untuk semua perbuatan orang mukalaf adalah
Allah SWT, baik hukum yang tersurat dalam nas (qath‘i) atau pun yang
tersirat (zhanni) yang membutuhkan pemikiran mujtahid untuk istinbath
(menggali dan menetapkan suatu hukum dari sumbernya).[1]
Pijakan mereka adalah la hukmu illa lillah (tidak ada hukum kecuali
hukum Allah). Ungkapan ini sesuai dengan firman Allah:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ
خَيْرُ الْفَاصِلِينَ . [2]
Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik.
Kalangan ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum Allah yang berkaitan
dengan orang mukalaf, apakah secara otomatis akal dapat mengetahuinya tanpa
adanya media para Rasul Allah dan kitab-kitab-Nya ketika dakwah Rasul tidak
sampai kepada seseorang, apakah ia mampu untuk mengetahui hukum Allah tentang
perbuatannya dengan menggunakan akalnya atau tidak mungkin mengetahuinya? Yang
jelas tidak ada perbedaan pendapat bahwa al-hakim adalah Allah, namun
perbedaan itu terjadi tentang cara memahami hukum Allah. Dalam hal ini,
terdapat tiga macam:
a. Menurut mazhab Asy‘ariyah (pengikut
Abu Hasan Asy‘ari) berpendapat bahwa akal tidak mungkin mengetahui hukum Allah
yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukalaf kecuali adanya
perantara para Rasul dan kitab-kitab-Nya, karena akal yang dimiliki oleh
masing-masing individu memiliki perbedaan yang nyata dalam menilai suatu
perbutan, sebagian akal menilai baik terhadap suatu perbuatan mukalaf sedangkan
sebagian lainnya menilai buruk, bahkan
akal seorang individu berbeda menilai satu macam perbuatan, dan banyak
sekali akal dikalahkan oleh hawa nafsu, maka baik dan buruk didasarkan pada
hawa nafsu. Dari itulah tidak benar dikatakan bahwa apa yang menurut akal baik,
demikian juga menurut Allah dan dituntut untuk melakukannya sekaligus orang
yang mengerjakannya diganjar oleh-Nya. Demikian juga apa yang dinilai buruk
oleh akal belum tentu juga buruk menurut Allah sekaligus dituntut untuk
ditinnggalkannya dan yang mengerjakannya mendapatkan siksa dari Allah.[3]
Argumentasi mazhab ini adalah bahwa perbuatan
mukalaf dikatakan baik apabila ada dalil dari syari‘ bahwa perbuatan
tersebut baik dengan diperbolehkannaya untuk dikerjakan atau dituntut untuk
dikerjakan. Sedangkan perbuatan buruk dapat diketahui apabila ada dalil syarak
yang menyatakan bahwa perbuatan itu buruk sehingga dituntut untuk
ditinggalkannya. Kesimpulannya, baik bukanlah sesuatu yang dinilai baik menurut
akal, demikian juga buruk bukan sesuatu yang dinilai buruk oleh akal. Maka
ukuran baik dan buruk menurut mazhab ini adalah menurut perspektif syarak, bukan akal. Argumentasi ini mirip dengan
pendapat sebagian ulama akhlak yang mengatakan bahwa ukuran baik dan buruk itu
menurut perspektif al-qanun (undang-undang), apa yang diwajibkan oleh
undang-undang atau diperbolehkannya maka ia baik, sedangkan apa yang tidak baik
menurut peraturan berarti buruk.
Menurut mazhab ini manusia
tidak mendapat perintah dari Allah untuk berbuat sesuatu atau meninggalkannya
kecuali dakwah Rasul telah sampai kepadanya mengenai sesuatu yang disyariatkan
Allah. Seseorang yang berbuat sesuatu tidak mendapat pahala dan siksa kecuali
telah mengetahui ajaran Rasul. Barangsiapa hidup di suatu daerah pedalaman yang
dakwah Rasul tidak sampai kepadanya maka orang tersebut tidak dikenai perintah
dan larangan sehingga tidak berhak mendapatkan pahala dan siksa. Sedangkan ahl
al-fathrah (mereka yang hidup setelah seorang Rasul wafat dan sebelum
terutusnya seorang Rasul lagi) maka tidak ada perintah baginya untuk berbuat
sesuatu dan tidak berhak mendapatkan pahala dan siksa. Mazhab ini diperkuat
dengan firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ
رَسُولا . [4]
Kami tidak akan mengazab
sebelum Kami mengutus seorang Rasul.
b. Menurut mazhab Mu‘tazilah
(pengikut Washil bin Atha’) berpendapat bahwa akal secara otomatis dapat
mengetahui hukum Allah yang berkaitan dengan orang mukalaf tanpa ada perantara
para Rasul dan kitab-kitab-Nya, karena setiap perbuatan mukalaf memiliki
sifat-sifat dan memiliki pengaruh, baik berupa mudarat atau manfaat. Maka akal
akan mampu memberi penilaian berdasarkan sifat-sifat perbuatan tersebut. Apakah
ia bermanfaat atau mudarat sehingga ia bisa menentukan baik dan buruk.
Sedangkan hukum Allah SWT
terhadap mukalaf menurut kadar apa yang dapat dijangkau oleh akal, baik
terhadap aspek manfaat atau mudaratnya. Maka Allah SWT menuntut terhadap
mukalaf untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat menurut kadar kemampuan
jangkauan akalnya, demikian juga meninggalkan suatu perbuatan yang mudarat
menurut jangkauan akalnya. Apa yang dipandang baik menurut akal maka itulah
yang dituntut oleh Allah dan orang yang mengerjakannya diberi pahala oleh
Allah, dan apa yang buruk menurut akal maka ia dituntut oleh Allah untuk
ditinggalkan dan orang yang mengerjakannya mendapatkan siksa.
Mazhab ini didasarkan pada
argumentasi bahwa perbuatan yang menurut akal baik yang di dalamnya mengandung
manfaat maka itu baik, dan perbuatan-perbuatan itu buruk menurut akal apabila
akal menilainya bahwa perbuatan itu buruk dan mengandung mudarat di dalamnya.
Adapun hukum Allah tentang perbuatan mukalaf adalah menurut apa yang dijangkau
oleh akal tentang baik dan buruknya. Mazhab ini sejalan dengan mazhab mayoritas
ulama akhlak bahwa ukuran baik dan buruk adalah menurut apa yang dijangkau oleh
akal dari segi manfaat dan mudaratnya karena sebagian besar manusia merasakan dampak
perbuatan itu.
Menurut mazhab ini, apabila
dakwah para Rasul dan syariatnya tidak sampai pada manusia maka mereka
diperintahkan oleh Allah menurut petunjuk akal mereka terhadap perbuatan baik
dan perbuatan mereka diganjar oleh Allah, dan diperintahkan untuk meninggalkan
suatu perbuatan yang menurut akal itu buruk, sedangkan orang yang
mengerjakannya akan mendapatkan siksa dari Allah.
Penganut mazhab ini menguatkan
argumennya bahwa orang yang berakal tidak akan mengingkari terhadap sifat-sifat
dari semua perbuatan serta pengaruh baik buruknya. Orang yang berakal tidak
bisa mengingkari bahwa Allah tidak akan mensyariatkan hukum terhadap perbuatan
mukalaf kecuali didasarkan pada asas manfaat dan mudarat.
Golongan ini mengatakan bahwa
syariat Allah yang sampai kepada manusia diperintahkan oleh Allah kepadanya
sesuai dengan tuntutan syariat tersebut, sedangkan apabila syariat Allah tidak
sampai kepadanya maka Allah memerintahkan menurut petunjuk akal mereka, maka
mereka berbuat menurut apa yang dinilai baik oleh akal mereka juga meninggalkan
sesuatu menurut apa yang dinilai buruk oleh akalnya.[5]
c. Menurut mazhab
Al-Maturidiyah (pengikut Abu Manshur Maturidi). Mazhab ini modrat dan dipandang
unggul (rajih) oleh Abdul Wahhab Khallaf. Kesimpulan pendapat ini mengatakan
bahwa perbuatan-perbuatan mukalaf memiliki nilai-nilai tertentu (khawash)
juga pengaruh baik dan buruk. Akal dapat menghukumi bahwa perbuatan itu baik
atau buruk berdasarkan nilai-nilai dan pengaruhnya. Apa yang menurut akal sehat
itu baik maka ia adalah baik, dan apa yang menurut akal sehat itu buruk maka ia
buruk. Akan tetapi tidak pasti bahwa hukum Allah tentang perbuatan mukalaf
sesuai dengan apa yang dinilai oleh akal tentang baik buruknya, karena akal
terkadang keliru menilainya, karena ada sebagian perbuatan mukalaf yang
diragukan kebenarannya oleh akal. Oleh karena itu tidak selalu setara antara
hukum Allah dengan hukum menurut akal. Berdasarkan argumentasi ini maka tidak
ada jalan untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan perantara para Rasul-Nya.
Para pengikut mazhab ini
sependapat dengan pendapat mazhab Mu‘tazilah dalam hal perbuatan-perbuatan yang
baik dan buruk menurut penilaian akal berdasarkan sisi manfaat dan mudarat dari
perbuatan tersebut. Mereka berbeda pendapat dengan Mu‘tazilah tentang
hukum-hukum Allah yang harus sesuai dengan hukum akal; apabila menurut akal
baik maka dituntut oleh Allah untuk dikerjakannya dan apabila menurut akal itu
buruk dituntut oleh Allah untuk ditinggalkannya.
Mazhab ini sependapat dengan
mazhab Asy‘ariyah, bahwa hukum Allah tidak akan diketahui tanpa adanya
perantara para Rasul dan kitab-kitab-Nya, dan mazhab ini berbeda pendapat
dengan Asy‘ariyah yang mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan baik dan buruk itu
bersifat syar‘i saja, tidak ‘aqliyah; suatu perbuatan tidak
dikatakan baik kecuali dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dan tidak ada
perbuatan buruk kecuali dituntut oleh Allah untuk ditinggalkannya. Pendapat ini
secara zahir keliru, karena inti dari keutamaan-keutamaan dapat dijangkau oleh
akal didasarkan pada manfaat di balik itu, demikian juga inti dari
keburukan-keburukan dapat dijangkau oleh akal berdasarkan mudaratnya sekalipun
belum diterengkan oleh syarak.[6]
Inti perbedaan pendapat ini
didasarkan pada manusia di mana shariat para Rasul belum sampai kepada mereka.
Secara ittifaq apabila syariat para Rasul sampai pada mereka maka ukuran
baik dan buruk tentang perbuatan-perbuatan mereka didasarkan pada syariat
tersebut, tidak pada akal. Apa yang diperintahkan oleh syari‘ berarti
baik, dituntut untuk dikerjakan dan pelakunya akan mendapatkan pahala. Demikian
juga apa yang dilarang oleh syari‘ berarti hal itu buruk, dituntut untuk
ditinggalkan dan pelakunya akan mendapat siksa.[7]
2. Al-Hukm
Al-Hukm secara bahasa adalah al-man‘u (mencegah),[8]
sedangkan secara istilah mengacu pada sumber hukum mutlak, yaitu Allah SWT
sebagaimana tersebut di atas, mayoritas ulama ushul fiqih sepakat dalam
mendefinisikan hukum syarak:
خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ
طَلَبًا أَوْ تَخْيِيْرًا أَوْ وَضْعًا.[9]
Titah
Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukalaf, baik berupa
tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadh‘i (sebab, syarat, atau penghalang).
Dalam kaitan ini, terdapat
perbedaan teoritis antara pengertian hukum menurut kalangan ulama ushul fiqih
dan menurut ulama fiqih. Hukum menurut ulama fiqih sifat atau dampak (atsar)
dari titah tersebut. Meskipun demikian, secara praktis, perbedaan tersebut
tidak banyak pengaruhnya. Misalnya hukum menurut ulama ushul fiqih adalah ayat:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا .. [10]
Dirikanlah
salat dan tunaikanlah zakat..
Adapun menurut fuqaha, hukum
adalah dampak dari titah ini, yaitu wajibnya salat. Meskipun demikian, ulama
ushul pun mengakui kewajiban salat dengan menggunakan kaidah ushul:
اَلأَصْلُ فِى اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ.[11]
Pada
pokonya perintah itu untuk menunjukkan wajib.
Pembagian Hukum
Selanjutnya, pembagian hukum ada
dua: Pertama, taklifi. Kedua, wadh‘i.
Untuk mempermudah pembahasan tentang hukum ini, dapat dibuat skema
sebagai berikut:
الحكم التكليفى الحكم الوضعى
Hukum
taklifi
adalah hukum yang berisi tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu,
atau kebolehan memilih. Hukum
taklifi selalu dalam batas-batas kemampuan
mukalaf sesuai dengan keadilan
taklifi (tuntutan). Sedangkan hukum
wadh‘i meletakkan sesuatu sebagai sebab (
sabab)
adanya suatu akibat, sebagai syarat (
syarath) bagi yang disyaratkan dan
sebagai penghalang (
mani‘) hukum.
[12]
Hukum
wadh‘i tidak selamanya ada
dalam kemampuan mukalaf, contoh pada tabel berikut:
Contoh
|
Dalam kemampuan mukalaf
|
Di luar kemampuan
mukalaf
|
Sabab
|
Bepergian menjadi sebab
kebolehan berbuka puasa.
|
Hubungan kekarabatan
menjadi sebab adanya saling mewaris.
|
Mani‘
|
Pembunuh pewaris menjadi
penghalang untuk mendapatkan hak harta warisan.
|
Kekerabatan yang dekat
menjadi penghalang pernikahan.
|
Pembagian
hukum taklifi :
الإيجابة
الندب التحريم الكراهة الإباحة
Direkonstruksi dari kitab Al-Bayan.[13]
Penjabaran dari skema tersebut sebagai berikut :
a.
Al-Ijab adalah titah Allah SWT
yang menuntut perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
b.
An-Nadb adalah titah Allah yang
menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan tidak tegas.
c.
At-Tahrim adalah titah Allah yang
menuntut meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
d.
Al-Karahah adalah titah Allah yang
menuntut meninggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas.
e. Al-Ibahah adalah titah Allah yang memberikan
alternatif antara melakukan dan meninggalkan.[14]
Pembagian hukum wadh‘i :
الحكم الوضعى
السبب الشرط المانع الصحة
البطلان العزيم الرخصة
Direkonstruksi dari kitab
Al-Muwafaqat.[15]
Hukum taklifi akan berpengaruh menurut
syarak apabila terpenuhi hukum wadh‘i. Artinya dalam satu sisi ada hukum taklifi
yang mengarah pada tindakan mukalaf dan dalam sisi lain ada hukum wadh‘i
agar hukum taklifi
tadi bisa diimplementasikan secara absah dalam kehidupan.
Berikut ini akan diuraikan contoh-contoh dari hukum wadh‘i:
a.
ِAs-Sabab (sebab), keadaan terpaksa (idhthirar)
menjadi sebab bolehnya makan bangkai, tergelincirnya matahari atau tenggelamnya
juga terbitnya fajar menjadi sebab wajibnya melakukan salat pada waktu itu.[16]
b.
As-Syarath
(syarat), adanya haul adalah syarat wajibnya mengeluarkan zakat (seperti zakat
perdagangan), umur balig merupakan syarat untuk menerima hukum taklif,
mampu melakukan serah terima barang dagangan adalah syarat sahnya jual beli,
terutusnya para Rasul adalah syarat adanya ganjaran dan siksa, dan lain-lain.[17]
c.
Al-Mani’ (mencegah),
menstruasi mencegah senggama, tawaf, salat dan puasa.[18]
d.
As-Shihhah
(sah), as-shihhah memiliki dua makna, pertama, bersifat duniawi,
yaitu suatu perbuatan, misalnya ibadah dikatakan sah apabila memenuhi ketentuan
syarak berupa syarat rukun dari suatu perbuatan. Kedua, bersifat
ukhrawi, yaitu suatu perbuatan dinilai sah, artinya perbuatan itu bisa
diharapkan berpahala.
e.
Al-Buthlan
(batal), al-buthlan adalah kebalikan dari ash-shihhah, yaitu
memiliki dua makna, pertama, bersifat duniawi, yaitu suatu perbuatan
ibadah yang tidak memenuhi ketentuan syarak. Kedua, bersifat ukhrawi,
yaitu suatu perbuatan ibadah yang tidak dapat diharapkan pahalanya di akhirat
kelak karena tidak memenuhi ketentuan syarak.[19]
Berarti ibadah tersebut tidak memiliki nilai.
f.
Al-‘Azimah
adalah suatu ketetapan hukum kulli asal, tidak tertentu pada sebagian
mukalaf dalam semua situasi dan kondisinya. Seperti kemutlakan syariat salat,
zakat, puasa, haji, jihad dan semua syiar Islam secara umum.[20]
g.
Ar-Rukhshah adalah
suatu hukum yang diterapkan karena adanya uzur yang berdampak masakat
sebagai pengecualian dari hukum asal.[21]
Atau perubahan hukum dari yang sulit pada yang gampang beserta tetap adanya
sebab hukum asal, seperti bolehnya berbuka bagi mukalaf yang sedang perjalanan.[22]
3. Al-Mahkum Fih
Al-Mahkum fih adalah
perbuatan mukalaf yang berkaitan dengan hukum syara
‘.
[23]
Sebagaimana terurai di atas bahwa hukum syara
‘ dibagi dua:
taklifi dan
wadh‘i. Hukum
wadh‘iada yang berupa perbuatan manusia dan
ada pula yang tidak, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya
waktu salat. Contoh yang terakhir tidak dibicarakan panjang lebar oleh ulama
ushul fiqih.
Para
ulama ushul hanya membicarakan perbuatan mukalaf yang menjadi obyek hukum,
yaitu apa yang disebut dengan
al-muhkum fih, seperti menepati janji,
menuliskan hutang, menafkahkan harta, membunuh orang, berwudu, salat dan
sebagainya. Adanya suatu perbuatan karena adanya taklif dan sahnya hukum taklif
tentunya menuntut suatu perbuatan yang memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat
sahnya tuntutan suatu perbuatan ada tiga
[24]:
a. Hendaknya diketahui betul oleh mukalaf sehingga ia dapat melakukannya
sesuai dengan apa yang dituntut. Seperti kewajiban salat yang disebutkan secara
global dalam Al-Qur’an kemudian dijelaskan oleh Nabi seluk-beluk pelaksanaannya
juga tentang syarat dan rukunnya, sebagaimana Nabi bersabda: “Salatlah
sebagaimana saya salat”.[25]
b. Diketahui bahwa taklif tersebut berasal dari yang punya otoritas
membuat taklif. Dalam hal ini dikembalikan pada kajian tentang dalil, yaitu
petunjuk-petunjuk yang membuktikan bahwa taklif tersebut datang dari
Allah.
c. Perbuatan yang dituntut mungkin dilakukan oleh mukalaf atau dengan kata
lain, perbuatan tersebut dalam ruang lingkup kemampuan mukalaf.
4. Al-Mahkum ‘Alaih
Al-Mahkum ‘alaih adalah mukalaf selaku subyek hukum syarak.[26]
Secara syarak ada dua syarat bagi mukalaf untuk sahnya suatu hukum taklif[27]:
a.
Mukalaf memahami terhadap dalil taklif yang digali dari Al-Qur’an
dan hadis baik menggali sendiri atau dengan perantara orang lain (mujtahid).
Seorang yang tidak bisa memahami dalil taklif maka tidak mungkin melakukan apa
yang dituntut kepadanya dan tidak akan mengarah pada apa yang dimaksud
sebenarnya. Kemampuan memahami terhadap dalil taklif dapat terwujud dengan
menggunakan akal. Oleh karena itu, dasar dari tuntutan itu adalah akal, artinya
sharat bagi mukalaf itu harus berakal karena tuntutan merupakan permintaan
untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan menuntut sesuatu
pada orang yang tidak mempunyai akal adalah mustahil.
b.
Mukalaf memiliki kecakapan (ahl atau ahliyah) terhadap apa
yang dituntut. Kecakapan menerima kewajiban dan hak serta kecakapan bertindak
hukum juga penghalang dari keduanya akan diuraikan berikut ini.
1) Al-Ahliyah (Kecakapan) dan Pembagiannya
Ulama Hanafiyah membagi al-ahliyah pada dua
macam: ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’.[28]
Ahliyah secara bahasa bermakna as-shalahiyah[29]
(kecakapan), sedangkan secara istilah adalah ungkapan tentang kecakapan
manusia dalam menerima atau menjalankan hak-hak dan kewajiban yang disyariatkan.
Itu merupakan amanah Allah yang harus diemban oleh manusia.[30]
Berangkat dari ini, ulama ushul mengklasifikasikan
manusia pada dua macam, yaitu halatul insan bin nisbati li ahliyatil wujub
(keadaan manusia menurut kecakapan untuk menerima kewajiban dan hak) dan halatul insan bin nisbati li ahliyatil
ada’ (keadaan manusia menurut kecakapan dalam bertindak).[31]
Berikkut ini akan diuraikan pembagian ahliyatul wujub dan ahliyatul
ada’.
a) Pembagian Ahliyatul
Wujub
Kecakapan untuk menerima kewajiban dan hak adalah
terjemahan dari ahliyatul wujub. Dasar atau asas penerimaan kewajiban
dan hak adalah kehidupan (al-hayah) manusia, baik dewasa maupun
anak-anak. Kewajiban dan hak melekat pada manusia selama dia hidup, bahkan
menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kecakapan tersebut melekat meskipun
yang bersangkutan telah meninggal dunia, antara lain dia berhak dihormati
dengan cara melaksanakan wasiatnya dan membayarkan hutangnya.[32]
Namun Abdul Wahhab Khallaf berpendapat lain bahwa orang mati tidak memilik ahliyah,
sedangkan misalnya yang menyangkut hutang-piutang sepenuhnya adalah hak ahli
warisnya.[33]
Secara umum, kecakapan untuk menerima kewajiban
dan hak (ahliyatul wujub) dapat dibedakan menjadi dua[34]:
(1)
Ahliyatul wujub an-naqishah (kecakapan yang tidak sempurna). Kecakapan hukum
tidak sempurna ditandai dengan adanya hak-hak yang melekat pada diri seseorang,
tetapi hak tersebut tidak disertai dengan kewajiban-kewajiban yang sempurna.
Misalnya bayi dalam kandungan ibunya, ia telah memiliki sejumlah hak yang harus
diperhatikan, termasuk menjaga kondisi kesehatan bayi dan ia juga berhak
mendapatkan warisan. Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada bayi dan
anak-anak misalnya zakat fitrah yang harus ditunaikan oleh orang tua atau
walinya juga kewajiban membayar zakat harta yang diwakili oleh wali yang
mengampunya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya.
(2)
Ahliyatul wujub al-kamilah (kecakapan
menerima kewajiban dan hak secara sempurna), yaitu kecakapan secara hukum yang
seimbang antara hak dan kewajiban yang melekat pada diri seseorang yang sudah
pantas karena kedewasaannya, akalnya sempurna dan memiliki kemampuan untuk
memahami perintah dan larangan secara langsung atau melalui orang lain.
b) Pembagian Ahliyatul
Ada’
Kecakapan untuk bertindak secara hukum (ahliyatul
ada’) adalah kemampuan manusia untuk berkata dan berbuat sesuai dengan
titah Allah. Di samping dinamai ahliyatul ada’, kecakapan bertindak
secara hukum disebut pula dengan istilah ahliyatut ta‘amul dan ahliyatul
mu‘amalah. Dasar atau asas kecakapan bertindak secara hukum adalah “
dewasa”
karena kemampuannya dalam membedakan
baik-buruk dan benar-salah.[35]
Sedangkan kecakapan untuk bertindak (ahliyatul
ada’) dapat dibedakan menjadi tiga :
(1) ‘Adimul ahliyah lil ada’
ashla (tidak
memiliki kecakapan bertindak hukum sama sekali), yaitu anak kecil dan orang
gila. Perkataan dan perbuatan anak kecil dan orang gila tidak berpengaruh
secara hukum. Akal adalah asas adanya pembebanan dan kemampuan untuk berbuat
secara hukum, tidak ada akal berarti tidak ada kecakapan bertindak secara hukum
(la ‘aqla lah la ahliyatal ada’ lah). Namun anak kecil atau orang gila
yang melakukan pengerusakan fasilitas umum, atau merusak harta orang lain
diberi sanksi, berupa ganti rugi, sedangkan apabila keduanya melakukan
pembunuhan maka dikenakan sanksi membayat diat (tidak dikisas), karena
pelanggaran yang dilakukan oleh anak kecil atau orang gila adalah kesalahan
semata (‘amdud tifl awil majnun khatha’). Hukuman bagi keduanya berupa materi (mali),
bukan berupa hukuman badan (badani).
(2) Naqishul ahliyah lil ada’ (kecakapan bertindak tidak sempurna),
yaitu manusia yang sudah mumayyiz (telah melewati fase anak-anak tapi
belum balig). Anak mumayyiz sah melakukan tindakan atau perbuatan hukum
yang bermanfaat bagi dirinya, seperti menerima hibah dan sadakah tanpa harus
sepengetahuan walinya. Sedangkan perbuatan hukum yang dapat menyulitkan dirinya
dipandang tidak sah secara hukum, seperti menjual, menghibahkan, atau
menggadaikan harta miliknya yang dikelola oleh walinya. Keabsahan perbuatan
hukum yang berada di antara manfaat dan menyulitkan dirinya bergantung pada
izin walinya.
(3) Kamilatul ahliyah lil
ada’ (kecakapan
bertindak secara sempurna), yaitu manusia yang bertanggung jawab sendiri
terhadap seluruh tindakan hukum. Mereka adalah manusia dewasa (bulugh) dan berakal.[36]
2) Penghalang Ahliyah (Kecakapan)
Faktor-faktor yang menyebabkan terhalangnya
kecakapan berbuat secara hukum dapat diklasifikasikan menjadi tiga: Pertama,
faktor-faktor yang faktor-faktor yang menghilangkan wujud kecakapan hukum
menjadi tiada. Kedua, faktor-faktor merubah dari kecakapan bertindak
hukum yang sempurna menjadi tidak sempurna. Ketiga, faktor-faktor yang
merubah terhadap hukum asalnya.
Faktor-faktor ini secara garis besar
diklasifikasikan menjadi dua:
a)
Faktor-faktor yang berada di luar kemampuan manusia (‘awaridh samawiyah).
Wahbah Zuhaili menyebutkan macam-macam faktor ini sebelas macam: al-junun
(gila), as-shighar (usia kecil), al-‘ittah (dungu), an-nisyan
(lupa), an-nawm (tidur), al-ighma’
(ayan), ar-riqq (budak/lanjut usia), al-mararh (sakit), al-h}aid
(minstruasi), an-nifas (nifas), al-maut (mati).[37]
b)
Faktor-faktor yang berada dalam jangkauan kemampuan manusia, baik timbul
dari dirinya sendiri atau dari orang lain (‘awaridmuktasabat).[38]
Faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang ada enam: al-jahl (bodoh), as-sakr
(mabuk), al-hazl (bercanda), as-safah (tolol), al-khatha’ (keliru),
dan as-safar (bepergian), sedangkan yang disebabkan orang lain adalah al-ikrah
(paksaan).[39]
Penjabaran dari pembagian faktor-faktor yang
berada di luar kemampuan manusia (‘awarid samawiyah) tersebut adalah:
(1)
Al-Junun
(gila). Penyakit gila dapat mencegah terhadap semua aktifitas dan perbuatan
sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang normal. Setiap perbuatan ibadah
baginya menjadi gugur (tidak wajib) karena tidak memiliki kemampuan untuk
melakukannya sesuai tuntutan syari’ di mana ibadah tersebut dilakukan
berdasarkan niat, kesehatan jasmani dan akal. Adapun keislamannya dihukumi ikut
pada kedua orangtuanya atau salah satunya, sedangkan jika kedua orangtuanya
murtad ia tidak diikutkan pada keduanya.
(2)
Al-‘Ittah (dungu),
yaitu penyakit yang diderita seseorang yang menyebabkan bicaranya ngelantur;
kadang kala seperti bicaranya orang waras dan kadang kala seperti orang gila.
Dengan kata lain penulis membahasakan bahwa al-‘ittah itu adalah semi
gila (tidak begitu gila) atau semi waras (tidak begitu waras). Hukum orang
tersebut seperti hukum pada anak kecil yang tamyiz (ash-shabi al-mumayyiz).
Ada sebagian yang membagi al-‘ittah dua macam: seseorang yang tidak memiliki
kepahaman (idrak) dan tamyiz, dan memiliki kepahaman dan tamyiz tetapi
kualitasnya tidak sampai pada tingkatan kepahaman orang-orang normal pada
biasanya. Namun pada hakikatnya al-‘ittah tetap satu macam sebagaimana
dipaparkan di atas, karena kalau tidak seperti itu berarti sudah tergolong
gila.
(3)
Ash-Shighar
(usia kecil) atau ash-shaghir (anak kecil), kalau dalam bahasa Abdul
Wahhab Khallaf, at-thifl, yaitu selama masih dalam masa
kekanak-kanakannya atau masih belum berakal. Hukumnya sama dengan orang gila.
Perbuatan dan perkataannya tidak memiliki konsekuensi syar‘i, seperti
akad dan segala bentuk transaksinya batal baginya sekalipun mendapat izin dari
walinya. Namun apabila melakukan tidak kejahatan ada sanksinya, tetapi
sanksinya bersifat materi (mali), bukan badan (badani), seperti
apabila merusak harta orang lain maka (walinya) wajib mengganti, atau membunuh
orang maka wajib membayar diyat (tidak dikisas). Apabila sudah mumayyiz boleh
melakukan transaksi yang bermanfaat baginya, seperti menerima hadiah dan
sedekah, tetapi pada hal-hal yang dikhawatirkan mengandung mudarat tidak
diperbolehkan kecuali ada izin dari walinya. Sedangkan untuk melakukan hak-hak
Allah, seperti salat, puasa dan ibadah lainnya ia belum terkena kewajiban.
(4)
An-Nisyan (lupa)
tidak meniadakan ahliyah lil wujub karena akalnya tetap sempurna tetapi
meniadakan kewajiban melakukan hak-hak Allah, seperti dinyatakan dalam hadis
riwayat At-Thabrani: “Rufi‘a ‘an ummati al-khatha‘ wan nisyan (umatkku
diampuni karena salah dan lupa)”. Adapun tentang hak-hak manusia tidak
menjadikan lupa sebagai uzur sehingga jika seseorang merusak harta orang lain
karena lupa maka tetap wajib menggantinya karena hak-hak manusia terpelihara (muhtaramah)
untuk kepentingan mereka, berbeda halnya dengan hak-hak Allah untuk ibtila’
(menguji manusia), maka membutuhkan niat (qashd), sedangkan lupa
meniadakan niat.[40]
(5)
An-Naum (tidur)
menyebabkan tertundanya pelaksanaan perintah syarak sampai orang itu sadar.
Namun tidur tidak menyebabkan penundaan kewajiban itu sendiri (nafsul wujub),
karena tidur tidak merusak dzimmah (potensi manusia) dan keislamannya
dan hakikatnya ia memungkinkan untuk melaksanakan kewajiban dengan
kesadarannya, namun jika tidak mungkin maka wajib qadha’ (mengganti),
sebagaimana dalam hadis Bukhari Muslim Nabi SAW bersabda: “Man nama ‘an shalah
aw nasiha fa li yushallihaidza dzakaraha (Barangsiapa tidur atau lupa
sampai meningglkan salat hendaknya melaksanakan salat apabila ia sadar)”[41]
(6)
Al-Ighma’ (ayan)
menyebabkan hilangnya ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’. Apabila
ayan yang menimpanya sebentar maka wajib qadha’ (mengganti) kewajiban
yang ia tinggalkan, namun apabila ayan tersebut berlangsung lama hukumnya sama
dengan hukum terhadap orang gila dan anak kecil, tidak usah mengganti. Imam Syafii berkata: “Apabila ayan yang menimpa
sampai lama waktunya, yaitu selama waktu salat maka tidak wajib mengganti bagi
yang bersangkutan karena ayan terjadi di luar kemampuannya, berbeda dengan
tidur yang merupakan kehendak manusia sendiri”[42]
(7)
Ar-Riqq secara
bahasa artinya lemah, sedangkan menurut istilah ulama fiqih adalah suatu
ungkapan terhadap kelemahan hukum bagi seseorang karena status dirinya dimiliki
orang lain, dalam hal ini adalah budak. Demikian yang diulas oleh Wahbah
Zuhaili.[43]
Namun Jaih Mubarok memaknai ar-riqq dengan “lanjut usia”.[44] Makna ini menurut penulis adalah
kontekstual, sedangkan membahas hukum budak untuk masa sekarang adalah sia-sia
belaka. Bagi orang yang lanjut usia kondisi kesehatannya sangat lemah sehingga
kecakapannya dalam melaksanakan kewajiban menjadi terhalang, seperti tidak
mampu melaksanakan puasa dan lainnya, maka ada keringan yang diberikan
kepadanya seperti dalam puasa, yaitu membayar fidiah sebagai ganti dari puasa
yang ditinggalkan.
(8)
Al-Maradh (sakit)
tidak meniadakan kecakapannya dalam menjalankan hukum terhadap hak-hak Allah,
manusia dan untuk ibadah, karena sakit tidak merusak dzimmah (potensi),
akal dan bicaranya. Namun apabila sakit menjadikan sebab lemahnya seseorang
maka ia menjalankan ibadah sesuai kemampuannya, misalnya salat dengan cara
duduk, terlentang, atau tidur miring.[45]
(9)
Al-Haid dan
an-nifas (haid dan nifas) tidak menggugurkan ahliyatul wujub
dan ahliyatul ada’ karena tidak berpengaruh pada dzimmah, akal
dan kekuatan jasmani, hanya saja dalam nas ditetapkan bahwa suci dari haid dan
nifas merupakan syarat sahnya salat, karena keduanya termasuk hadas dan najis.[46]
(10)
Al-Maut (mati)
meniadakan terhadap kecakapan bertindak hukum taklifi dalam kehidupan
dunia (ahkamud dunya), seperti salat, zakat dan lainnya, tetapi untuk
hukum-hukum akhirat (ahkamul akhirah) orang mati dipandang seperti orang
hidup, ia mendapat empat ketentuan: Pertama, hak-hak dia yang ada pada
orang lain yang masih hidup tetap merupakan haknya, seperti harta dan kezaliman
yang diperbuat atasnya. Kedua, hak-hak orang lain yang menjadi
tanggungannya juga kezaliman yang diperbuat atas orang lain. Ketiga, ia
akan memperoleh pahala yang merupakan buah dari ketaatannya sewaktu di dunia. Keempat,
memperoleh siksa akibat dari kemaksiatan dan kelalaiannya dalam menjalankan
ibadah. Orang mati dalam semua hukum ini seperti halnya orang hidup, karena
alam kubur bagi mayit tak ubahnya buaian (mahd) bagi anak kecil yang
dilahirkan.[47]
Selanjutnya penjabaran dari pembagian
faktor-faktor yang berada di dalam kemampuan manusia (‘awarid muktasabah)
adalah:
(1)
Al-Jahl
(bodoh), misalnya seorang muslim yang hidup di daerah terpencil sehingga ia
tidak tahu banyak tentang syariat Islam, misalnya kewajiban salat, puasa dan
sebagainya, maka baginya tidak usah mengqad}a’ apa yang telah ia tinggalkan
sekalipun akhirnya dakwah Islam sampai kepadanya.
(2)
As-Sakr
(mabuk) ada dua: Pertama, mubah, seperti mabuk karena terpaksa (mudhtharr),
dipaksa atau karena minum obat. Hukumnya seperti halnya orang ayan, yaitu
mencegah terhadap kesahan transaksi, termasuk talak, karena mabuk yang seperti
itu tidak ada faktor permainan, maka hal itu termasuk dari sakit. Kedua,
haram, misalnya minum minuman yang diharamkan. Hukumnya menurut ijmak ulama
tidak meniadakan titah syariat, maka segala bentuk transaksi, termasuk talak
tetap berlaku.[48]
(3)
Al-Hazl (bercanda)
tidak menghilangkan kecapakan sama sekali, demikian juga tidak menghilangkan
kehendak manusia, tetapi menghilangkan kehendak hukum. Hukum dari bercanda ini
misalnya dalam transaksi jual beli, ulama fiqih berbeda pendapat, menurut
syafi‘iyah tetap memberlakukan zahir ucapannya tanpa mencari tahu terhadap
maksud di balik apa yang diucapkan karena yang tahu pada maksud ucapannya hanya
orang yang mengucapkannya tersebut, sehingga tidak akan terjadi kepincangan dalam
bermuamalat di antara manusia.[49]
(4)
As-Safah (tolol)
adalah kekurang hati-hatian yang membuat manusia terdorong untuk melakukan
perbuatan yang menyalahi hukum syarak dan akal secara umum. Sedangkan menurut
ulama fiqih as-safah adalah pengelolaan dan pendayagunaan harta yang
menyalahi hukum syarak dan akal secara umum seperti melakukan tindakan yang
sia-sia (mubadhdhir) dan berlebih-lebihan (israf). As-Safah adalah
sebuah konsep yang dibangun atas dasar kenyataan bahwa tidak semua manusia
memiliki kecakapan dalam mengatur dan mengelola hartanya. Oleh karena itu as-safah
adalah orang yang tidak cakap dalam mengelola hartanya. Orang tolol memiliki
kecakapan hukum karena ia “hidup” (asas ahliyatul wujub) dan “berakal” (asas ahliyatul ada’). Orang tolol diwajibkan melakukan ibdah
seperti salat, puasa dan lainnya dan dapat dikenai sanksi atas pelanggaran
hukum yang dilakukannya. Akan tetapi, tindakan hukum yang menyangkut
pengelolaan harta miliknya harus di dampingi oleh walinya. Hukum yang berlaku
padanya yang menyangkut tindakan hukum berkaitan dengan harta, dipersamakan
dengan anak-anak yang masih belum dewasa, yaitu dapat bertindak secara hukum
selama menguntungkan dirinya secara langsung, dan harus atas izin walinya
menyangkut tindakan yang menyulitkan dirinya.[50]
(5)
As-Safar (bepergian)
tidak meniadakan ahliyah dan sedikitpun tidak mencegah terhadap
berlakunya hukum, namun safar merupakan salah satu sebab untuk
memperoleh keringanan seperti boleh berbuka di bulan puasa dan mengqasar salat
yang empat rakaat.[51]
(6)
Al-Khatha’
(keliru atau kesalahan tidak sengaja) mengenai hak-hak Allah pelakunya
dimaafkan, namun apabila menyangkut hak-hak manusia maka ada sanksi tertentu,
seperti seseorang ingin memanah burung ternyata mengenai orang sehingga mati
maka ia harus membayar diat (tidak dikisas), itulah keringanannya, atau merusak
harta orang lain maka ia harus menggantinya.[52]
(7) Al-Ikrah (paksaan) adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh seseorang karena desakan dari pihak lain, sementara yang
bersangkutan tidak menghendaki perbuatan tersebut dan bahkan membencinya.
Keterpaksaan adalah merusak pilihan karena pilihan adalah ketetapan seseorang
untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Sedangkan keterpaksaan adalah
melakukan atau meninggalkan sesuatu karena desakan dari pihak lain.[53]
C. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa komposisi hukum syarak
menurut perspektif ilmu ushul fiqih terdiri dari al-hakim, al-hukm,
al-mahkum fih dan al-mahkum ‘alaih.
Al-Hakim adalah pembuat hukum, yaitu Allah SWT. Al-Hukm
adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukalaf, baik
berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadh’i (sebab,
syarat, atau penghalang). Al-Mahkum fih adalah perbuatan mukalaf
yang berkaitan dengan hukum (tindakan hukum). Al-Mahkum ‘alaih
adalah mukalaf selaku subyek hukum syarak.
Catatan: Tulisan ini boleh disalin tempel dengan
syarat memperhatikan kejujuran intelektual.
[2] Al-Qur’an, 6 (Al-An‘am): 57.
[4] Al-Qur’an, 17 (Al-Isra’): 15.
[16] Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Jilid
1, 298.
[22] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah: Fi Ushulil Fiqh wal Qawaidil
Fiqhiyyah (Jakarta: Al-Maktabah As-Sa’adiyah Putra, tt.), 7.
[23] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 127.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- :« صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى ».
[26] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 134.
[28] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 163.
[30] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 163.
[31] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 136-137.
[33] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 137.
[34] Ibid., 136-137 dan Mubarok, Hukum
Islam, .62-64.
[36] Khallaf, Ilm Ushulil Fiqh, 137-138.
[37] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 169.
[39] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 188.
[45] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 173.
[50] Mubarok, Hukum Islam, 69-70.
[51] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 183.
[53] Mubarok, Hukum Islam, 71.
*****