Sabtu, 20 September 2014

URGENSI NIAT


Oleh M. Khaliq Shalha


Pengertian Niat
Niat secara bahasa bermakna al-qash (maksud, motivasi, tujuan), baik bersamaan dengan pekerjaan atau tidak. Sedangkan secara istilah bermaksud sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Apabila suatu pekerjaan diakhirkan dari niat, hal itu dinamakan azam.
Perlu saya paparkan lebih sederhana cara mudah memahami niat dan melakukannya. Niat sama halnya kesadaran hati dan pikiran untuk melakukan sesuatu. Bila Anda sadar ketika makan pada dini hari dengan maksud ingin berpuasa esok, berarti Anda sudah berniat puasa. Makan sahur merupakan wujud kesadaran Anda untuk melakukan puasa esok hari. Bila Anda sadar ketika berdiri di atas sajadah menghadap kiblat pada waktu pagi hari untuk salat Subuh, berarti Anda berniat salat Subuh, bukan olahraga senam pagi. Itulah makna niat yang lebih sederhana. Tidak perlu ribet memahaminya.
Ulama mengajarkan kita melafalkan niat, seperti ushalli…, nawaitu …, tujuannya untuk mempermudah kalangan awam dalam berniat. Tapi kadang kala dipahami secara sulit. Kalau mau salat, takbiratul ihramnya kepanjangan, sampai melebihi standar bacaan mad terpanjang dalam tajwid. Panjang takbirnya bukan satu alif lagi, tapi sekitar satu meter. Mengapa begitu? Karena mereka menghadirkan lafal niat ke dalam hatinya secara perlahan. Kadang kala sampai waswas. Tidak perlu ribet begitu. Lafal niat bisa secepat kilat dihadirkan dalam hati. Cukup kesadaran hati dan pikiran Anda bermaksud melakukan salat.
Adanya lafal niat dimaksudkan pula mempersiapkan diri untuk bisa konsentrasi (khusyuk) dalam ibadah. Menyatukan pikiran yang masih berserakan di mana-mana untuk bisa fokos pada perbuatan yang akan dilakukan. Ibarat pula pemanasan dalam olahraga.

Tujuan Niat
Niat memiliki peranan yang sangat penting dalam semua tindakan hukum yang dilakukan manusia, di antaranya:
  • Memperjelas atau membedakan antara perbuatan ibadah dengan tradisi.
  • Membedakan rangkaian suatu ibadah dengan ibadah yang lainnya sesuai dengan urutan dan batas-batas yang ditentukan dalam hukum Islam.

Dari tujuan niat di atas dapat dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut:  
  • Mandi, rutin dilakukan manusia dalam keseharian dengan tujuan ibadah atau mandi biasa untuk cuci badan karena bau, keringatan atau sekadar mendinginkan badan. Mandi sebagai ibadah, terkadang sebagai kewajiban karena hadas besar, atau mandi sunah, misalnya untuk salat Jumat dan lainnya. Mandi karena ibadah atau tradisi, dalam prakteknya bisa sama persis, tidak bisa dibedakan di antara keduanya, terutama menurut penilaian orang lain. Dengan demikian, niat seseorang itulah yang membedakan status nilainya, dan hanya orang yang bersangkutan yang bisa menilainya.
  • Niat dalam wudu menjadi pembeda dengan tradisi cuci muka dan cuci sebagian anggota badan lainnya.
  • Tidak makan dan minum di siang hari ada kemungkinan karena puasa, pantangan atau untuk diet. Hal tersebut dapat dibedakan dengan niat. Sekalian bila Anda ingin diet, sebaiknya berpuasa saja agar dapat pahala puasa dan secara otomatis diet juga terlaksana.
  • Duduk di dalam masjid kadang untuk iktikaf atau untuk beristirahat. Tergantung pada niatnya.
  •  Memberikan harta benda kepada orang lain bisa bernilai hibah, hadiah untuk mempererat hubungan silaturrahmi, atau mencari perhatian orang lain. Dan bisa juga untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti zakat, sedekah, dan kafarat. Tergantung pada niat orang yang bersangkutan.
  • Menyembelih binatang ternak bisa untuk tujuan konsumsi semata atau mendekatkan diri kepada Allah yang disebut kurban. Tergantung pada niatnya.

Niat disyariatkan pula untuk membedakan macam-macam status ibadah antara yang satu dengan yang lainnya walaupun dalam satu bentuk ibadah, seperti wudu, mandi, salat, puasa, dan lainnya. Macam-macam ibadah tersebut terkadang fardu, nazar, atau sunah. Tayamum bisa dipakai untuk menghilangkan hadas kecil atau besar, tergantung niatnya. Demikian pula, niat disyariatkan untuk membedakan rangkaian ibadah yang satu dengan yang lainnya.
Dalam ibadah tertentu, tidak disyaratkan adanya niat apabila ibadah yang dimaksud tidak memiliki kesamaan dengan tradisi, di samping itu, tidak akan terjadi kekaburan antara ibadah dengan yang non ibadah. Seperti beriman kepada Allah, makrifat (mengenal Allah), raja‘ (mengharap nikmat Allah), khauf (cemas doa tidak dikabulkan, takut terhadap murka Allah), membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Namun semua itu pasti dilandaskan pada kesadaran untuk melakukannya, sekalipun secara formal tidak perlu adanya semacam nawaitu.
Wallah a’lam.
*****

Sumenep, 18 September 2014






Jumat, 19 September 2014

QAWAID FIQHIYAH (PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM ISLAM)


M. Khaliq Shalha


A.     Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Kiadah fiqih merupakan istilah yang digunakan ulama fiqih untuk pengembangan cakupan suatu hukum. Ada beberapa definisi kaidah fiqih yang dikemukakan para ulama. Tajuddin As-Subki, seorang ulama dari mazhab Syafii mengatakan, kaidah fiqih adalah suatu acuan umum yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum dari kebanyakan persoalan parsial. Sa’aduddin Mas’ud bin Umar At-Taftazani mengatakan, kaidah fiqih adalah ketentuan umum yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum persoalan-persoalan parsial.

Perbedaan definisi tersebut terletak pada cakupannya. Menurut As-Subki, tidak semua persoalan parsial dicakup oleh kaidah itu. Karena itu, dalam definisinya ia menyebutkan “kebanyakan persoalan parsial”. Definisinya ini banyak diikuti oleh para ahli fiqih. Adapun definisi At-Taftazani tidak membatasi persoalan parsial yang dapat dicakup oleh kaidah fiqih. Nama lain dari qawaid fiqhiyah adalah al-asybahah wan nazhair, yang artinya kemiripan dan kesejajaran. Kaidah fiqih merupakan ketentuan yang bisa dipakai untuk mengetahui hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada aturan pastinya di dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun ijmak sehingga lahirlah fiqih baru. Prosedur untuk mendapatkan fiqih baru ini disebut dengan ilhaq, yaitu semacam proses kias yang contohnya tidak didapatkan dari sumber wahyu, melainkan dari fiqih yang sudah jadi.

B.     Sejarah Munculnya Qawaid Fiqhiyah
Kaidah fiqih yang disusun oleh para ahli fiqih tidak muncul sekaligus, sebagaimana sebuah undang-undang disusun, melainkan secara bertahap melalui proses dan pemahaman terhadap hukum yang dikandung oleh teks suci. Kaidah fiqih yang paling awal ditemukan dalam tulisan dan ungkapan para ulama fiqih abad ke-2 hijriyah. Namun, tidak dapat diketahui siapa penyusun pertama kaidah fiqih itu. Adapun kaidah fiqih sebagai salah satu ilmu tersendiri baru muncul abad ke-4 hijriyah yang tersebar dalam mazhab fiqih.

Mazhab yang paling awal mengetrapkan kaidah fiqih adalah mazhab Hanafi. Imam Abu Tahir Ad-Dibas, tokoh mazhab Hanafi yang hidup pada akhir abad ke-3 sampai awal abad ke-4 hijriyah, telah mengumpulkan kaidah dasar dalam mazhab Hanafi. Dengan demikian, kajian fiqih secara sistematis mendahului munculnya kaidah fiqih sebagai ilmu.

C.      Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dan Qawaid Ushuliyah
Perbedaan kaidah fiqih dan kaidah ushul perlu dijabarkan untuk mengetahui peranannya masing-masing dari berbagai aspeknya. Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:
1.      Aspek materi
Perbedaan dari aspek materi, kaidah ushul terdiri dari tiga perkara; pertama, ilmu kalam, kedua, bahasa Arab, dan ketiga, gambaran hukum syarak. Sedangkan kaidah fiqih terdiri dari tiga perkara juga; pertama, dalil syar’i, kedua, tujuan umum syariat, dan ketiga, hukum furu’ yang memiliki kemiripan.
2.      Aspek keterikatan
Perbedaan dari aspek keterikatan, kaidah ushul terikat dengan dalil tasyri’ (perundang-undangan). Sedangkan kaidah fiqih terikat dengan perbuatan-perbuatan mukalaf.
3.      Aspek penggunaan
Perbedaan dari aspek penggunaan, kaidah ushul digunakan dalam hal penetapan hukum syarak, penetapan dalil hukum syarak dan penetapan cara menggali hukum dari dalil syarak.  Sedangkan kaidah fiqih digunakan sebagai acuan umum berbagai permasalahan yang dibahas dalam fiqih dalam satu payung hukum.
4.      Aspek kegunaan
Perbedaan dari aspek kegunaan, kaidah ushul secara khusu berguna bagi mujtahid yang dapat digunakan ketika menggali hukum syarak dari dalilnya. Sedangkan kaidah fiqih berguna bagi mujtahid, hakim, mufti dan guru, karena kaidah umum untuk berbagai kasus hukum (furu’) secara mudah dapat dikembalikan pada kaidah fiqih tersebut.
5.      Aspek keterdahuluan
Perbedaan dari aspek keterdahuluan, kaidah ushul lebih dahulu muncul sebagai sumber dalam mendasarkan hukum dan penggaliannya. Sedangkan kaidah fiqih lebih akhir kemunculannya sebagai persetujuan terhadap hukum yang ditetapkan dan sebagai pengikat bagi persoalan-persoalan yang berbeda-beda.
6.      Aspek ketergantungan di antara keduanya
Perbedaan dari aspek ketergantungan di antara keduanya, kaidah ushul tidak tergantung dengan kaidah fiqih, sedangkan kaidah fiqih tergantung pada kaidah ushul.

D.    Pentingnya Qawaid Fiqhiyah dan Kegunaannya
Kaidah fiqih memiliki arti penting dan posisi yang tinggi dalam hukum Islam. Di antara kegunaannya sebagai berikut:
1.      Sebagai pedoman berbagai kasus hukum, mempermudah mengetahui hukum dari suatu kasus dan mudah mengingatnya.
2.      Mengetahui kaidah fiqih menjadikan orang yang mengkajinya mengetahui rahasia syariat, konsep hukum dan sumber pengambilan berbagai permasalahan hukum.
3.      Memahami kaidah fiqih dapat menentukan pemahaman berbagai persoalan sekaligus dapat mendatangkan hukumnya.
4.      Mengembangkan penguasaan terhadap fiqih, karena dengan kaidah fiqih seseorang akan mampu mengkiaskan (ilhaq) persoalan-persoalan dalam ruang lingkup tertentu.
5.      Mengkaji kasus hukum tertentu tanpa kaidah bisa menyebabkan kehilangan konsep, namun apabila mengkaji dengan kaidah akan bisa kaya konsep.
6.      Dapat menjangkau tujuan umum syariat. Dengan mengetahui kaidah umum seseorang dapat mengetahui tujuan umum syariat, misalnya “adh-dharuratu tubihul mahzhurat (kemudaratan membolehkan susuatu yang dilarang)”. Dari kaidah tersebut dapat dipahami bahwa menghilangkan kesulitan dan mengdatangkan kemudahan bagi hamba salah satu dari tujuan syariat.

*****
Sumenep, 19 September 2014






Kamis, 18 September 2014

SELAYANG PANDANG ULUMUL QUR’AN


Oleh M. Khaliq Shalha



A.     Pengertian Ulumul Qur’an
Pengertian ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an) adalah suatu ilmu yang membahas tentang berbagai hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, seperti sejarah turunnya Al-Qur’an, kemukjizatan Al-Qur’an, metode dan bentuk penafsiran Al-Qur’an, para mufassir Al-Qur’an, pembukuan Al-Qur’an, persoalan ayat pertama dan terakhir turun, hubungan antara satu ayat dan ayat yang lain, cara penerimaan wahyu oleh Rasulullah SAW, dan hal-hal lain yang terkait dengan Al-Qur’an. 

B.     Sejarah Penulisan Ulumul Qur’an
Penulisan ulumul Qur’an mempunyai sejarah yang berbeda dengan penulisan Al-Qur’an. Al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan secara resmi pada masa Khalifah Ustman bin Affan, sedangkan penulisan ulumul Qur’an dilakukan sesudahnya.

Pada masa awal Islam, pengetahuan mengenai seluk-beluk Al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengannya belum ditulis dan disusun dalam bentuk buku. Pengetahuan itu masih tersimpan dalam hati sahabat Nabi SAW dan mereka merasa tidak perlu untuk menuliskannya. Hal ini disebabkan antara lain oleh dua hal: Pertama, adanya larangan Nabi SAW untuk menuliskan selain Al-Qur’an. Kedua, jika para sahabat yang hidup pada masa Rasulullah SAW menemukan berbagai masalah yang berkaitan dengan persoalan Al-Qur’an, mereka dapat langsung menanyakannya kepada Rasulullah SAW. Keadaan ini berlangsung sampai masa Khalifah Umar bin Khattab. Penyebaran pengetahuan tentang Al-Qur’an pada masa ini hanya dilakukan secara lisan.

Penulisan ulumul Qur’an mulai dirintis pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Pada masa itu umat Islam tersebar di berbagai wilayah yang luas, hingga di luar Semenanjung Arabia. Umat Islam pada waktu itu tidak hanya terdiri atas orang Arab, tetapi juga mencakup orang non Arab yang sama sekali tidak mengetahui bahasa Arab. Bersamaan dengan usaha penulisan Al-Qur’an pada masa ini dan agar penulisan mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti yang dijumpai sekarang) itu dapat dilakukan dengan baik dan benar, maka disusunlah suatu ilmu yang mengatur metode penulisan mushaf Al-Qur’an yang disebut ‘ilmul rasmil Qur’an atau ‘ilmul rasmil Ustmani.

Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, usaha ini terus dilanjutkan. Untuk menjaga kaidah bahasa Arab dan kemurnian bahasa Al-Qur’an, Khalifah Ali lalu memerintahkan Abul Aswad Ad-Du’ali (wafat 69 H, seorang ahli bahasa Arab dan peletak dasar ilmu nahwu atau tata bahasa Arab) untuk menyusun kaidah bahasa Arab yang benar. Pada masa ini pula dikenal adanya suatu ilmu yang diberi nama ‘ilmu i’rabil Qur’an, yaitu ilmu yang membahas uraian kedudukan kata dalam Al-Qur’an. 

Pada masa Bani Umayah, perhatian para sahabat dan tabiin mulai diarahkan untuk menyebarkan ulumul Qur’an dengan cara periwayatan dan pengajaran secara lisan. Usaha ini dipandang sebagai rintisan untuk melukukan penulisan ulumul Qur’an. Usaha yang sama dilakukan pula pada periode awal Dinasti Abbasiyah. Usaha ini mencakup ilmu-ilmu agama pada umumnya dan ilmu-ilmu bahasa Arab.

Para sahabat yang banyak memberikan sumbangan dalam usaha ini ialah Al-Khulafaur Rasyidun (khalifah yang empat), Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair. Para tabiin yang dipandang sebagai tokoh dalam usaha ini ialah Mujahid bin Jabir, Ata bin Abi Rabah, Yasar, Ikrimah bin Abu Jahal, Ibnu Qatadah, Hasan Al-Basri, Sa’id bin Jubair, dan Zaid bin Aslam. Yang tampil dari kalangan tabi’ud tabi’in (pengikut tabiin) ialah Malik bin Anas (Imam Malik). Mereka semua dipandang sebagai peletak dasar ilmu tafsir, ‘ilmu asbabin nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya Al-Qur’an), ‘ilmun nasikh wal mansukh (ilmu tentang ayat yang menghapus dan yang dihapus), dan ‘ilmu gharibil Qur’an (ilmu tentang kata sulit dalam Al-Qur’an).

Penulisan ulumul Qur’an yang sesungguhnya mulai dilakukan pada abad ke-2 hijriyah. Cabang ilmu Al-Qur’an pertama yang mendapat perhatian ulama pada masa ini ialah ilmu tafsir, suatu ilmu yang membahas berbagai hal yang berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’an. Usaha  ini ditandai dengan disusunya berbagai kitab tafsir. Di antara ulama yang berjasa dalam kegiatan ini ialah Syu’bah Al-Hajjaj bin Warad Al-Azadi Al-Wasiti (wafat 160 H, seorang ahli tafsir dan ahli hadis asal Basrah), Sufyan bin Uyainah Al-Hilali Al-Kufi (Wafat 198 H, ahli tafsir dan ahli hadis dari Kufah), dan Waqi’ Al-Jarrah bin Malih bin Adi (wafat 198 H).

Penulisan ulumul Qur’an pada masa berikutnya berjalan terus. Pada abad ke-3 hijriyah, misalnya, muncul beberapa ulama terkenal dengan berbagai ragam kitab ulumul Qur’an dengan obyek pembahasan yang berbeda-beda. Di antaranya ialah Al-Madani (wafat 234 H) yang menyusun buku tentang sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, Abu Ubadiah Al-Qasim bin Salam (wafat 224 H) yang menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an, dan Muhammad bin Ayyub Ad-Daris (wafat 294 H) yang menyusun buku tentang ayat Makkiyah (yang turun di Mekah) dan Madaniyah (yang turun di Madinah). Pada abd ke-4 muncul Abu Bakar Muhammad bin Qasim Al-Anbari (wafat 328 H) yang menyusun buku ‘Ajaibu Ulumil Qur’an (Yang Menakjubkan dalam Ulumul Qur’an), Abu Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ari (324 H) yang menyusun Al-Mukhtazin fi ‘Ulumil Qur’an (Penerobos ulumul Qur’an), dan beberapa ulama lainnya. Pada abad ke-5 hijriyah tampil bererapa ulama, seperti Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-Hufi Al-Misri (wafat 420 H) yang menyusun Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an (Penjelasan tentang Ulumul Qur’an), dan beberapa ulama lainnya. Pada abad ke-6 hijriyah tampil, misalnya, Abul Qasim Abdurrahman yang terkenal dengan nama As-Suhaili (wafat 571 H) yang menulis Mubhamatul Qur’an (Hal-hal yang Bersifat Umum dalam Al-Qur’an). Pada abad ke-7 tampil Abu Muhammad Abdul Aziz As-Salam (wafat 660 H) menyususn Fi Majazil Qur’an (Tentang Majas dalam Al-Qur’an), dan ulama lainnya. Pada abad ke-8 hijriyah tampil Badruddin Az-Zarkasyi (wafat 794 H) dengan kitabnya Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an (Penjelasan tentang Ulumul Qur’an). Imam As-Suyuti (wafat 911 H), ulama yang hidup pada akhir abad ke-9 dan awal abad ke-10 H menyusun dua buku terkenal mengenai ulumul Qur’an, yaitu At-Tahbir fi ‘Ulumit Tafsir (Hiasan dalam Ilmu Tafsir) dan Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an (Penyempurnaan terhadap Ulumul Qur’an).

C.     Munculnya Istilah Ulumul Qur’an
Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang kapan istilah ulumul Qur’an muncul pertama kali dalam sejarah. Pada umumnya ulama berpendapat bahwa istilah itu muncul pertama kali pada abad ke-7 H. Akan tetapi Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani, dalam kitabnya Manahilili ‘Irfan fi Ulumil Qur’an (Tempat Menimba Pengetahuan di dalam Ulumul Qur’an), mengatakan bahwa istilah itu muncul pada abad ke-4 H. Hal itu didasarkan hasil penelitiannya di Darul Kutub Al-Islamiyah (Perpustakaan Buku-buku Islam) yang menunjukkan bahwa buku Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an (Penjelasan tentang Ulumul Qur’an) yang disusun oleh Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan nama Al-Hufi (wafat 330 H), sudah mencantumkan nama itu di dalamnya.

D.    Penulisan Ulumul Qur’an di Indonesia
Ulama Indonesia juga menaruh perhatian besar dalam mengkaji dan mengembangkan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. Perhatian mereka ditandai dengan usaha mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, baik penafsirannya maupun pengetahuan yang berkaitan dengan seluk-beluk Al-Qur’an.

Buku yang membahas Al-Qur’an sudah banyak ditulis ulama Indonesia. Di antaranya sebagai berikut:
1.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir oleh Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddieqy. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Buku ini sudah bebera kali dicetak.
2.      Membumukan Al-Qur’an oleh Muhammad Quraish Shihab, pakar bidang tafsir. Buku yang diterbitkan penerbit Mizan, Bandung, tahun 1992 ini tidak hanya berisi uraian mengenai ulumul Qur’an dan tafsirnya, tetapi juga mengenai persoalan kontemporer yang dilihat menurut visi Al-Qur’an, dan buku ini sudah dicetak beberapa kali.
*****

Sumber: Tim Penyusun, “Ulumul Qur’an, Kitab” Ensiklopedi Islam, Suplemen Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
  
Sumenep, 18 September 2014

KONSEP HUKUM SYARAK


Edisi Ushul Fiqih




Oleh M. Khaliq Shalha


A.     PENDAHULUAN

Islam adalah agama universal yang mengakumulasikan aspek-aspek ajarannya yang disebut syari‘ah (syariat). Syariat merupakan kata simpel dari akidah, hukum, dan akhlak. Akidah menekankan doktrin keimanan seorang hamba pada Penciptanya, yaitu terciptanya hubungan vertikal sebagai bentuk ketergantungannya pada Allah. Keimanan yang kokoh akan mencerminkan hal positif dalam kehidupan nyata sejalan dengan perintah-Nya.

Sedangkan peranan hukum mengatur perbuatan keseharian manusia secara vertikal dan horizontal yang manfaatnya akan dirasakan berupa suatu maslahat tertentu, karena wujud dari suatu hukum pada hakikatnya adalah maslahat untuk kehidupan.

Akidah dapat diibaratkan pada fondasi bangunan dan hukum adalah gedungnya, maka akhlak tak ubahnya suatu hiasan pada bangunan  tersebut. Manusia yang bisa proforsional memadukan tiga hal itu (akidah, hukum, dan akhlak) maka ia layak memperoleh predikat insan kamil, sebagaimana perintah Tuhan terhadap hamba-Nya untuk ber-Islam secara totalitas (udkhulu fis silmi kaffah).

Bab ini akan mendeskripsikan salah satu dari tiga unsur pokok tersebut, yaitu dalam aspek hukum meliputi; hakim (al-hakim), hukum (al-hukmu), perbuatan hukum (al-mahkum fih), dan subyek hukum (al-mahkum ‘alaih) menurut perspektif ilmu ushul fiqih.

B.     KOMPOSISI HUKUM SYARAK
1.      Al-Hakim

Al-Hakim artinya pembuat suatu hukum. Pembuat hukum syarak adalah Allah SWT. Ulama sepakat bahwa sumber hukum syarak untuk semua perbuatan orang mukalaf adalah Allah SWT, baik hukum yang tersurat dalam nas (qath‘i) atau pun yang tersirat (zhanni) yang membutuhkan pemikiran mujtahid untuk istinbath (menggali dan menetapkan suatu hukum dari sumbernya).[1]

Pijakan mereka adalah la hukmu illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Ungkapan ini sesuai dengan firman Allah:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ . [2]
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.

Kalangan ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan orang mukalaf, apakah secara otomatis akal dapat mengetahuinya tanpa adanya media para Rasul Allah dan kitab-kitab-Nya ketika dakwah Rasul tidak sampai kepada seseorang, apakah ia mampu untuk mengetahui hukum Allah tentang perbuatannya dengan menggunakan akalnya atau tidak mungkin mengetahuinya? Yang jelas tidak ada perbedaan pendapat bahwa al-hakim adalah Allah, namun perbedaan itu terjadi tentang cara memahami hukum Allah. Dalam hal ini, terdapat tiga macam:

a.       Menurut mazhab Asy‘ariyah (pengikut Abu Hasan Asy‘ari) berpendapat bahwa akal tidak mungkin mengetahui hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukalaf kecuali adanya perantara para Rasul dan kitab-kitab-Nya, karena akal yang dimiliki oleh masing-masing individu memiliki perbedaan yang nyata dalam menilai suatu perbutan, sebagian akal menilai baik terhadap suatu perbuatan mukalaf sedangkan sebagian lainnya menilai buruk, bahkan  akal seorang individu berbeda menilai satu macam perbuatan, dan banyak sekali akal dikalahkan oleh hawa nafsu, maka baik dan buruk didasarkan pada hawa nafsu. Dari itulah tidak benar dikatakan bahwa apa yang menurut akal baik, demikian juga menurut Allah dan dituntut untuk melakukannya sekaligus orang yang mengerjakannya diganjar oleh-Nya. Demikian juga apa yang dinilai buruk oleh akal belum tentu juga buruk menurut Allah sekaligus dituntut untuk ditinnggalkannya dan yang mengerjakannya mendapatkan siksa dari Allah.[3]

Argumentasi mazhab ini adalah bahwa perbuatan mukalaf dikatakan baik apabila ada dalil dari syari‘ bahwa perbuatan tersebut baik dengan diperbolehkannaya untuk dikerjakan atau dituntut untuk dikerjakan. Sedangkan perbuatan buruk dapat diketahui apabila ada dalil syarak yang menyatakan bahwa perbuatan itu buruk sehingga dituntut untuk ditinggalkannya. Kesimpulannya, baik bukanlah sesuatu yang dinilai baik menurut akal, demikian juga buruk bukan sesuatu yang dinilai buruk oleh akal. Maka ukuran baik dan buruk menurut mazhab ini adalah menurut perspektif syarak, bukan akal. Argumentasi ini mirip dengan pendapat sebagian ulama akhlak yang mengatakan bahwa ukuran baik dan buruk itu menurut perspektif al-qanun (undang-undang), apa yang diwajibkan oleh undang-undang atau diperbolehkannya maka ia baik, sedangkan apa yang tidak baik menurut peraturan berarti buruk.

Menurut mazhab ini manusia tidak mendapat perintah dari Allah untuk berbuat sesuatu atau meninggalkannya kecuali dakwah Rasul telah sampai kepadanya mengenai sesuatu yang disyariatkan Allah. Seseorang yang berbuat sesuatu tidak mendapat pahala dan siksa kecuali telah mengetahui ajaran Rasul. Barangsiapa hidup di suatu daerah pedalaman yang dakwah Rasul tidak sampai kepadanya maka orang tersebut tidak dikenai perintah dan larangan sehingga tidak berhak mendapatkan pahala dan siksa. Sedangkan ahl al-fathrah (mereka yang hidup setelah seorang Rasul wafat dan sebelum terutusnya seorang Rasul lagi) maka tidak ada perintah baginya untuk berbuat sesuatu dan tidak berhak mendapatkan pahala dan siksa. Mazhab ini diperkuat dengan firman Allah:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا . [4]

Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.

b.      Menurut mazhab Mu‘tazilah (pengikut Washil bin Atha’) berpendapat bahwa akal secara otomatis dapat mengetahui hukum Allah yang berkaitan dengan orang mukalaf tanpa ada perantara para Rasul dan kitab-kitab-Nya, karena setiap perbuatan mukalaf memiliki sifat-sifat dan memiliki pengaruh, baik berupa mudarat atau manfaat. Maka akal akan mampu memberi penilaian berdasarkan sifat-sifat perbuatan tersebut. Apakah ia bermanfaat atau mudarat sehingga ia bisa menentukan baik dan buruk.

Sedangkan hukum Allah SWT terhadap mukalaf menurut kadar apa yang dapat dijangkau oleh akal, baik terhadap aspek manfaat atau mudaratnya. Maka Allah SWT menuntut terhadap mukalaf untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat menurut kadar kemampuan jangkauan akalnya, demikian juga meninggalkan suatu perbuatan yang mudarat menurut jangkauan akalnya. Apa yang dipandang baik menurut akal maka itulah yang dituntut oleh Allah dan orang yang mengerjakannya diberi pahala oleh Allah, dan apa yang buruk menurut akal maka ia dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan dan orang yang mengerjakannya mendapatkan siksa.

Mazhab ini didasarkan pada argumentasi bahwa perbuatan yang menurut akal baik yang di dalamnya mengandung manfaat maka itu baik, dan perbuatan-perbuatan itu buruk menurut akal apabila akal menilainya bahwa perbuatan itu buruk dan mengandung mudarat di dalamnya. Adapun hukum Allah tentang perbuatan mukalaf adalah menurut apa yang dijangkau oleh akal tentang baik dan buruknya. Mazhab ini sejalan dengan mazhab mayoritas ulama akhlak bahwa ukuran baik dan buruk adalah menurut apa yang dijangkau oleh akal dari segi manfaat dan mudaratnya karena sebagian besar manusia merasakan dampak perbuatan itu.

Menurut mazhab ini, apabila dakwah para Rasul dan syariatnya tidak sampai pada manusia maka mereka diperintahkan oleh Allah menurut petunjuk akal mereka terhadap perbuatan baik dan perbuatan mereka diganjar oleh Allah, dan diperintahkan untuk meninggalkan suatu perbuatan yang menurut akal itu buruk, sedangkan orang yang mengerjakannya akan mendapatkan siksa dari Allah.

Penganut mazhab ini menguatkan argumennya bahwa orang yang berakal tidak akan mengingkari terhadap sifat-sifat dari semua perbuatan serta pengaruh baik buruknya. Orang yang berakal tidak bisa mengingkari bahwa Allah tidak akan mensyariatkan hukum terhadap perbuatan mukalaf kecuali didasarkan pada asas manfaat dan mudarat.

Golongan ini mengatakan bahwa syariat Allah yang sampai kepada manusia diperintahkan oleh Allah kepadanya sesuai dengan tuntutan syariat tersebut, sedangkan apabila syariat Allah tidak sampai kepadanya maka Allah memerintahkan menurut petunjuk akal mereka, maka mereka berbuat menurut apa yang dinilai baik oleh akal mereka juga meninggalkan sesuatu menurut apa yang dinilai buruk oleh akalnya.[5]

c.       Menurut mazhab Al-Maturidiyah (pengikut Abu Manshur Maturidi). Mazhab ini modrat dan dipandang unggul (rajih) oleh Abdul Wahhab Khallaf. Kesimpulan pendapat ini mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan mukalaf memiliki nilai-nilai tertentu (khawash) juga pengaruh baik dan buruk. Akal dapat menghukumi bahwa perbuatan itu baik atau buruk berdasarkan nilai-nilai dan pengaruhnya. Apa yang menurut akal sehat itu baik maka ia adalah baik, dan apa yang menurut akal sehat itu buruk maka ia buruk. Akan tetapi tidak pasti bahwa hukum Allah tentang perbuatan mukalaf sesuai dengan apa yang dinilai oleh akal tentang baik buruknya, karena akal terkadang keliru menilainya, karena ada sebagian perbuatan mukalaf yang diragukan kebenarannya oleh akal. Oleh karena itu tidak selalu setara antara hukum Allah dengan hukum menurut akal. Berdasarkan argumentasi ini maka tidak ada jalan untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan perantara para Rasul-Nya.

Para pengikut mazhab ini sependapat dengan pendapat mazhab Mu‘tazilah dalam hal perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk menurut penilaian akal berdasarkan sisi manfaat dan mudarat dari perbuatan tersebut. Mereka berbeda pendapat dengan Mu‘tazilah tentang hukum-hukum Allah yang harus sesuai dengan hukum akal; apabila menurut akal baik maka dituntut oleh Allah untuk dikerjakannya dan apabila menurut akal itu buruk dituntut oleh Allah untuk ditinggalkannya.

Mazhab ini sependapat dengan mazhab Asy‘ariyah, bahwa hukum Allah tidak akan diketahui tanpa adanya perantara para Rasul dan kitab-kitab-Nya, dan mazhab ini berbeda pendapat dengan Asy‘ariyah yang mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan baik dan buruk itu bersifat syar‘i saja, tidak ‘aqliyah; suatu perbuatan tidak dikatakan baik kecuali dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dan tidak ada perbuatan buruk kecuali dituntut oleh Allah untuk ditinggalkannya. Pendapat ini secara zahir keliru, karena inti dari keutamaan-keutamaan dapat dijangkau oleh akal didasarkan pada manfaat di balik itu, demikian juga inti dari keburukan-keburukan dapat dijangkau oleh akal berdasarkan mudaratnya sekalipun belum diterengkan oleh syarak.[6]

Inti perbedaan pendapat ini didasarkan pada manusia di mana shariat para Rasul belum sampai kepada mereka. Secara ittifaq apabila syariat para Rasul sampai pada mereka maka ukuran baik dan buruk tentang perbuatan-perbuatan mereka didasarkan pada syariat tersebut, tidak pada akal. Apa yang diperintahkan oleh syari‘ berarti baik, dituntut untuk dikerjakan dan pelakunya akan mendapatkan pahala. Demikian juga apa yang dilarang oleh syari‘ berarti hal itu buruk, dituntut untuk ditinggalkan dan pelakunya akan mendapat siksa.[7]

2.      Al-Hukm

Al-Hukm secara bahasa adalah al-manu (mencegah),[8] sedangkan secara istilah mengacu pada sumber hukum mutlak, yaitu Allah SWT sebagaimana tersebut di atas, mayoritas ulama ushul fiqih sepakat dalam mendefinisikan hukum syarak:

خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ طَلَبًا أَوْ تَخْيِيْرًا أَوْ وَضْعًا.[9]
Titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukalaf, baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadh‘i (sebab, syarat, atau penghalang).

Dalam kaitan ini, terdapat perbedaan teoritis antara pengertian hukum menurut kalangan ulama ushul fiqih dan menurut ulama fiqih. Hukum menurut ulama fiqih sifat atau dampak (atsar) dari titah tersebut. Meskipun demikian, secara praktis, perbedaan tersebut tidak banyak pengaruhnya. Misalnya hukum menurut ulama ushul fiqih adalah ayat:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا .. [10]

Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat..

Adapun menurut fuqaha, hukum adalah dampak dari titah ini, yaitu wajibnya salat. Meskipun demikian, ulama ushul pun mengakui kewajiban salat dengan menggunakan kaidah ushul:

اَلأَصْلُ فِى اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ.[11]
Pada pokonya perintah itu untuk menunjukkan wajib.

Pembagian Hukum

Selanjutnya, pembagian hukum ada dua: Pertama, taklifi. Kedua, wadh‘i. Untuk mempermudah pembahasan tentang hukum ini, dapat dibuat skema sebagai berikut:

الحكم


الحكم التكليفى             الحكم الوضعى
Hukum taklifi adalah hukum yang berisi tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, atau kebolehan memilih. Hukum taklifi selalu dalam batas-batas kemampuan mukalaf sesuai dengan keadilan taklifi (tuntutan). Sedangkan hukum wadh‘i meletakkan sesuatu sebagai sebab (sabab) adanya suatu akibat, sebagai syarat (syarath) bagi yang disyaratkan dan sebagai penghalang (mani‘) hukum.[12] Hukum wadh‘i tidak selamanya ada dalam kemampuan mukalaf, contoh pada tabel berikut:

Contoh
Dalam kemampuan mukalaf
Di luar kemampuan mukalaf
Sabab
Bepergian menjadi sebab kebolehan berbuka puasa.
Hubungan kekarabatan menjadi sebab adanya saling mewaris.
Mani‘
Pembunuh pewaris menjadi penghalang untuk mendapatkan hak harta warisan.
Kekerabatan yang dekat menjadi penghalang pernikahan.
Pembagian hukum taklifi :
الحكم التكليفى


 
الإيجابة       الندب       التحريم       الكراهة       الإباحة
Direkonstruksi dari kitab Al-Bayan.[13]

Penjabaran dari skema tersebut sebagai berikut :
a.       Al-Ijab adalah titah Allah SWT yang menuntut perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
b.      An-Nadb adalah titah Allah yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan tidak tegas.
c.       At-Tahrim adalah titah Allah yang menuntut meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
d.      Al-Karahah adalah titah Allah yang menuntut meninggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas.
e.       Al-Ibahah adalah titah Allah yang memberikan alternatif antara melakukan dan meninggalkan.[14]

Pembagian hukum wadh‘i :
الحكم الوضعى



السبب        الشرط       المانع         الصحة      البطلان      العزيم        الرخصة
Direkonstruksi dari kitab Al-Muwafaqat.[15]

Hukum taklifi akan berpengaruh menurut syarak apabila terpenuhi hukum wadh‘i. Artinya dalam satu sisi ada hukum taklifi yang mengarah pada tindakan mukalaf dan dalam sisi lain ada hukum wadh‘i agar hukum taklifi tadi bisa diimplementasikan secara absah dalam kehidupan.

Berikut ini akan diuraikan contoh-contoh dari hukum wadh‘i:
a.       ِAs-Sabab (sebab), keadaan terpaksa (idhthirar) menjadi sebab bolehnya makan bangkai, tergelincirnya matahari atau tenggelamnya juga terbitnya fajar menjadi sebab wajibnya melakukan salat pada waktu itu.[16]
b.      As-Syarath (syarat), adanya haul adalah syarat wajibnya mengeluarkan zakat (seperti zakat perdagangan), umur balig merupakan syarat untuk menerima hukum taklif, mampu melakukan serah terima barang dagangan adalah syarat sahnya jual beli, terutusnya para Rasul adalah syarat adanya ganjaran dan siksa, dan lain-lain.[17]
c.       Al-Mani’ (mencegah), menstruasi mencegah senggama, tawaf, salat dan puasa.[18]
d.      As-Shihhah (sah), as-shihhah memiliki dua makna, pertama, bersifat duniawi, yaitu suatu perbuatan, misalnya ibadah dikatakan sah apabila memenuhi ketentuan syarak berupa syarat rukun dari suatu perbuatan. Kedua, bersifat ukhrawi, yaitu suatu perbuatan dinilai sah, artinya perbuatan itu bisa diharapkan berpahala.
e.       Al-Buthlan (batal), al-buthlan adalah kebalikan dari ash-shihhah, yaitu memiliki dua makna, pertama, bersifat duniawi, yaitu suatu perbuatan ibadah yang tidak memenuhi ketentuan syarak. Kedua, bersifat ukhrawi, yaitu suatu perbuatan ibadah yang tidak dapat diharapkan pahalanya di akhirat kelak karena tidak memenuhi ketentuan syarak.[19] Berarti ibadah tersebut tidak memiliki nilai.
f.        Al-‘Azimah adalah suatu ketetapan hukum kulli asal, tidak tertentu pada sebagian mukalaf dalam semua situasi dan kondisinya. Seperti kemutlakan syariat salat, zakat, puasa, haji, jihad dan semua syiar Islam secara umum.[20]
g.       Ar-Rukhshah adalah suatu hukum yang diterapkan karena adanya uzur yang berdampak masakat sebagai pengecualian dari hukum asal.[21] Atau perubahan hukum dari yang sulit pada yang gampang beserta tetap adanya sebab hukum asal, seperti bolehnya berbuka bagi mukalaf yang sedang perjalanan.[22]

3.      Al-Mahkum Fih

Al-Mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang berkaitan dengan hukum syara.[23] Sebagaimana terurai di atas bahwa hukum syara dibagi dua: taklifi dan wadhi. Hukum wadhiada yang berupa perbuatan manusia dan ada pula yang tidak, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu salat. Contoh yang terakhir tidak dibicarakan panjang lebar oleh ulama ushul fiqih.

Para ulama ushul hanya membicarakan perbuatan mukalaf yang menjadi obyek hukum, yaitu apa yang disebut dengan al-muhkum fih, seperti menepati janji, menuliskan hutang, menafkahkan harta, membunuh orang, berwudu, salat dan sebagainya. Adanya suatu perbuatan karena adanya taklif dan sahnya hukum taklif tentunya menuntut suatu perbuatan yang memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat sahnya tuntutan suatu perbuatan ada tiga[24]:
a.       Hendaknya diketahui betul oleh mukalaf sehingga ia dapat melakukannya sesuai dengan apa yang dituntut. Seperti kewajiban salat yang disebutkan secara global dalam Al-Qur’an kemudian dijelaskan oleh Nabi seluk-beluk pelaksanaannya juga tentang syarat dan rukunnya, sebagaimana Nabi bersabda: “Salatlah sebagaimana saya salat”.[25]
b.      Diketahui bahwa taklif tersebut berasal dari yang punya otoritas membuat taklif. Dalam hal ini dikembalikan pada kajian tentang dalil, yaitu petunjuk-petunjuk yang membuktikan bahwa taklif tersebut datang dari Allah.
c.       Perbuatan yang dituntut mungkin dilakukan oleh mukalaf atau dengan kata lain, perbuatan tersebut dalam ruang lingkup kemampuan mukalaf.

4.      Al-Mahkum ‘Alaih

Al-Mahkum ‘alaih adalah mukalaf selaku subyek hukum syarak.[26] Secara syarak ada dua syarat bagi mukalaf untuk sahnya suatu hukum taklif[27]:
a.       Mukalaf memahami terhadap dalil taklif yang digali dari Al-Qur’an dan hadis baik menggali sendiri atau dengan perantara orang lain (mujtahid). Seorang yang tidak bisa memahami dalil taklif maka tidak mungkin melakukan apa yang dituntut kepadanya dan tidak akan mengarah pada apa yang dimaksud sebenarnya. Kemampuan memahami terhadap dalil taklif dapat terwujud dengan menggunakan akal. Oleh karena itu, dasar dari tuntutan itu adalah akal, artinya sharat bagi mukalaf itu harus berakal karena tuntutan merupakan permintaan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan menuntut sesuatu pada orang yang tidak mempunyai akal adalah mustahil.
b.      Mukalaf memiliki kecakapan (ahl atau ahliyah) terhadap apa yang dituntut. Kecakapan menerima kewajiban dan hak serta kecakapan bertindak hukum juga penghalang dari keduanya akan diuraikan berikut ini.

1)     Al-Ahliyah (Kecakapan) dan Pembagiannya

Ulama Hanafiyah membagi al-ahliyah pada dua macam: ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’.[28] Ahliyah secara bahasa bermakna as-shalahiyah[29] (kecakapan), sedangkan secara istilah adalah ungkapan tentang kecakapan manusia dalam menerima atau menjalankan hak-hak dan kewajiban yang disyariatkan. Itu merupakan amanah Allah yang harus diemban oleh manusia.[30]

Berangkat dari ini, ulama ushul mengklasifikasikan manusia pada dua macam, yaitu halatul insan bin nisbati li ahliyatil wujub (keadaan manusia menurut kecakapan untuk menerima kewajiban dan hak) dan  halatul insan bin nisbati li ahliyatil ada’ (keadaan manusia menurut kecakapan dalam bertindak).[31] Berikkut ini akan diuraikan pembagian ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’.

a)    Pembagian Ahliyatul Wujub

Kecakapan untuk menerima kewajiban dan hak adalah terjemahan dari ahliyatul wujub. Dasar atau asas penerimaan kewajiban dan hak adalah kehidupan (al-hayah) manusia, baik dewasa maupun anak-anak. Kewajiban dan hak melekat pada manusia selama dia hidup, bahkan menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kecakapan tersebut melekat meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia, antara lain dia berhak dihormati dengan cara melaksanakan wasiatnya dan membayarkan hutangnya.[32] Namun Abdul Wahhab Khallaf berpendapat lain bahwa orang mati tidak memilik ahliyah, sedangkan misalnya yang menyangkut hutang-piutang sepenuhnya adalah hak ahli warisnya.[33]

Secara umum, kecakapan untuk menerima kewajiban dan hak (ahliyatul wujub) dapat dibedakan menjadi dua[34]:
(1)  Ahliyatul wujub an-naqishah (kecakapan yang tidak sempurna). Kecakapan hukum tidak sempurna ditandai dengan adanya hak-hak yang melekat pada diri seseorang, tetapi hak tersebut tidak disertai dengan kewajiban-kewajiban yang sempurna. Misalnya bayi dalam kandungan ibunya, ia telah memiliki sejumlah hak yang harus diperhatikan, termasuk menjaga kondisi kesehatan bayi dan ia juga berhak mendapatkan warisan. Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada bayi dan anak-anak misalnya zakat fitrah yang harus ditunaikan oleh orang tua atau walinya juga kewajiban membayar zakat harta yang diwakili oleh wali yang mengampunya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya.
(2)   Ahliyatul wujub al-kamilah (kecakapan menerima kewajiban dan hak secara sempurna), yaitu kecakapan secara hukum yang seimbang antara hak dan kewajiban yang melekat pada diri seseorang yang sudah pantas karena kedewasaannya, akalnya sempurna dan memiliki kemampuan untuk memahami perintah dan larangan secara langsung atau melalui orang lain.

b)    Pembagian Ahliyatul Ada’

Kecakapan untuk bertindak secara hukum (ahliyatul ada’) adalah kemampuan manusia untuk berkata dan berbuat sesuai dengan titah Allah. Di samping dinamai ahliyatul ada’, kecakapan bertindak secara hukum disebut pula dengan istilah ahliyatut ta‘amul dan ahliyatul muamalah. Dasar atau asas kecakapan bertindak secara hukum adalah  dewasa karena kemampuannya dalam membedakan baik-buruk dan benar-salah.[35]

Sedangkan kecakapan untuk bertindak (ahliyatul ada’) dapat dibedakan menjadi tiga :
(1)  ‘Adimul ahliyah lil ada’ ashla (tidak memiliki kecakapan bertindak hukum sama sekali), yaitu anak kecil dan orang gila. Perkataan dan perbuatan anak kecil dan orang gila tidak berpengaruh secara hukum. Akal adalah asas adanya pembebanan dan kemampuan untuk berbuat secara hukum, tidak ada akal berarti tidak ada kecakapan bertindak secara hukum (la ‘aqla lah la ahliyatal ada’ lah). Namun anak kecil atau orang gila yang melakukan pengerusakan fasilitas umum, atau merusak harta orang lain diberi sanksi, berupa ganti rugi, sedangkan apabila keduanya melakukan pembunuhan maka dikenakan sanksi membayat diat (tidak dikisas), karena pelanggaran yang dilakukan oleh anak kecil atau orang gila adalah kesalahan semata (‘amdud tifl awil majnun khatha’). Hukuman bagi keduanya berupa materi (mali), bukan berupa hukuman badan (badani).
(2)  Naqishul ahliyah lil ada’ (kecakapan bertindak tidak sempurna), yaitu manusia yang sudah mumayyiz (telah melewati fase anak-anak tapi belum balig). Anak mumayyiz sah melakukan tindakan atau perbuatan hukum yang bermanfaat bagi dirinya, seperti menerima hibah dan sadakah tanpa harus sepengetahuan walinya. Sedangkan perbuatan hukum yang dapat menyulitkan dirinya dipandang tidak sah secara hukum, seperti menjual, menghibahkan, atau menggadaikan harta miliknya yang dikelola oleh walinya. Keabsahan perbuatan hukum yang berada di antara manfaat dan menyulitkan dirinya bergantung pada izin walinya.
(3)  Kamilatul ahliyah lil ada’ (kecakapan bertindak secara sempurna), yaitu manusia yang bertanggung jawab sendiri terhadap seluruh tindakan hukum. Mereka adalah manusia dewasa (bulugh) dan berakal.[36]

2)     Penghalang Ahliyah (Kecakapan)

Faktor-faktor yang menyebabkan terhalangnya kecakapan berbuat secara hukum dapat diklasifikasikan menjadi tiga: Pertama, faktor-faktor yang faktor-faktor yang menghilangkan wujud kecakapan hukum menjadi tiada. Kedua, faktor-faktor merubah dari kecakapan bertindak hukum yang sempurna menjadi tidak sempurna. Ketiga, faktor-faktor yang merubah terhadap hukum asalnya.

Faktor-faktor ini secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua:
a)     Faktor-faktor yang berada di luar kemampuan manusia (‘awaridh samawiyah). Wahbah Zuhaili menyebutkan macam-macam faktor ini sebelas macam: al-junun (gila), as-shighar (usia kecil), al-‘ittah (dungu), an-nisyan (lupa),  an-nawm (tidur), al-ighma’ (ayan), ar-riqq (budak/lanjut usia), al-mararh (sakit), al-h}aid (minstruasi), an-nifas (nifas), al-maut (mati).[37]
b)     Faktor-faktor yang berada dalam jangkauan kemampuan manusia, baik timbul dari dirinya sendiri atau dari orang lain (‘awaridmuktasabat).[38] Faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang ada enam: al-jahl (bodoh), as-sakr (mabuk), al-hazl (bercanda), as-safah (tolol), al-khatha’ (keliru), dan as-safar (bepergian), sedangkan yang disebabkan orang lain adalah al-ikrah (paksaan).[39]

Penjabaran dari pembagian faktor-faktor yang berada di luar kemampuan manusia (‘awarid samawiyah) tersebut adalah:
(1)   Al-Junun (gila). Penyakit gila dapat mencegah terhadap semua aktifitas dan perbuatan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang normal. Setiap perbuatan ibadah baginya menjadi gugur (tidak wajib) karena tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya sesuai tuntutan syari’ di mana ibadah tersebut dilakukan berdasarkan niat, kesehatan jasmani dan akal. Adapun keislamannya dihukumi ikut pada kedua orangtuanya atau salah satunya, sedangkan jika kedua orangtuanya murtad ia tidak diikutkan pada keduanya.
(2)   Al-‘Ittah (dungu), yaitu penyakit yang diderita seseorang yang menyebabkan bicaranya ngelantur; kadang kala seperti bicaranya orang waras dan kadang kala seperti orang gila. Dengan kata lain penulis membahasakan bahwa al-‘ittah itu adalah semi gila (tidak begitu gila) atau semi waras (tidak begitu waras). Hukum orang tersebut seperti hukum pada anak kecil yang tamyiz (ash-shabi al-mumayyiz). Ada sebagian yang membagi al-‘ittah dua macam: seseorang yang tidak memiliki kepahaman (idrak) dan tamyiz, dan memiliki kepahaman dan tamyiz tetapi kualitasnya tidak sampai pada tingkatan kepahaman orang-orang normal pada biasanya. Namun pada hakikatnya al-‘ittah tetap satu macam sebagaimana dipaparkan di atas, karena kalau tidak seperti itu berarti sudah tergolong gila.
(3)   Ash-Shighar (usia kecil) atau ash-shaghir (anak kecil), kalau dalam bahasa Abdul Wahhab Khallaf, at-thifl, yaitu selama masih dalam masa kekanak-kanakannya atau masih belum berakal. Hukumnya sama dengan orang gila. Perbuatan dan perkataannya tidak memiliki konsekuensi syar‘i, seperti akad dan segala bentuk transaksinya batal baginya sekalipun mendapat izin dari walinya. Namun apabila melakukan tidak kejahatan ada sanksinya, tetapi sanksinya bersifat materi (mali), bukan badan (badani), seperti apabila merusak harta orang lain maka (walinya) wajib mengganti, atau membunuh orang maka wajib membayar diyat (tidak dikisas). Apabila sudah mumayyiz boleh melakukan transaksi yang bermanfaat baginya, seperti menerima hadiah dan sedekah, tetapi pada hal-hal yang dikhawatirkan mengandung mudarat tidak diperbolehkan kecuali ada izin dari walinya. Sedangkan untuk melakukan hak-hak Allah, seperti salat, puasa dan ibadah lainnya ia belum terkena kewajiban.
(4)   An-Nisyan (lupa) tidak meniadakan ahliyah lil wujub karena akalnya tetap sempurna tetapi meniadakan kewajiban melakukan hak-hak Allah, seperti dinyatakan dalam hadis riwayat At-Thabrani: “Rufi‘a ‘an ummati al-khatha‘ wan nisyan (umatkku diampuni karena salah dan lupa)”. Adapun tentang hak-hak manusia tidak menjadikan lupa sebagai uzur sehingga jika seseorang merusak harta orang lain karena lupa maka tetap wajib menggantinya karena hak-hak manusia terpelihara (muhtaramah) untuk kepentingan mereka, berbeda halnya dengan hak-hak Allah untuk ibtila’ (menguji manusia), maka membutuhkan niat (qashd), sedangkan lupa meniadakan niat.[40]
(5)   An-Naum (tidur) menyebabkan tertundanya pelaksanaan perintah syarak sampai orang itu sadar. Namun tidur tidak menyebabkan penundaan kewajiban itu sendiri (nafsul wujub), karena tidur tidak merusak dzimmah (potensi manusia) dan keislamannya dan hakikatnya ia memungkinkan untuk melaksanakan kewajiban dengan kesadarannya, namun jika tidak mungkin maka wajib qadha’ (mengganti), sebagaimana dalam hadis Bukhari Muslim Nabi SAW bersabda: “Man nama ‘an shalah aw nasiha fa li yushallihaidza dzakaraha (Barangsiapa tidur atau lupa sampai meningglkan salat hendaknya melaksanakan salat apabila ia sadar)”[41]
(6)   Al-Ighma’ (ayan) menyebabkan hilangnya ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’. Apabila ayan yang menimpanya sebentar maka wajib qadha’ (mengganti) kewajiban yang ia tinggalkan, namun apabila ayan tersebut berlangsung lama hukumnya sama dengan hukum terhadap orang gila dan anak kecil, tidak usah mengganti. Imam Syafii berkata: “Apabila ayan yang menimpa sampai lama waktunya, yaitu selama waktu salat maka tidak wajib mengganti bagi yang bersangkutan karena ayan terjadi di luar kemampuannya, berbeda dengan tidur yang merupakan kehendak manusia sendiri”[42]
(7)   Ar-Riqq secara bahasa artinya lemah, sedangkan menurut istilah ulama fiqih adalah suatu ungkapan terhadap kelemahan hukum bagi seseorang karena status dirinya dimiliki orang lain, dalam hal ini adalah budak. Demikian yang diulas oleh Wahbah Zuhaili.[43] Namun Jaih Mubarok memaknai ar-riqq dengan lanjut usia.[44] Makna ini menurut penulis adalah kontekstual, sedangkan membahas hukum budak untuk masa sekarang adalah sia-sia belaka. Bagi orang yang lanjut usia kondisi kesehatannya sangat lemah sehingga kecakapannya dalam melaksanakan kewajiban menjadi terhalang, seperti tidak mampu melaksanakan puasa dan lainnya, maka ada keringan yang diberikan kepadanya seperti dalam puasa, yaitu membayar fidiah sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkan.
(8)   Al-Maradh (sakit) tidak meniadakan kecakapannya dalam menjalankan hukum terhadap hak-hak Allah, manusia dan untuk ibadah, karena sakit tidak merusak dzimmah (potensi), akal dan bicaranya. Namun apabila sakit menjadikan sebab lemahnya seseorang maka ia menjalankan ibadah sesuai kemampuannya, misalnya salat dengan cara duduk, terlentang, atau tidur miring.[45]
(9)   Al-Haid dan an-nifas (haid dan nifas) tidak menggugurkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ karena tidak berpengaruh pada dzimmah, akal dan kekuatan jasmani, hanya saja dalam nas ditetapkan bahwa suci dari haid dan nifas merupakan syarat sahnya salat, karena keduanya termasuk hadas dan najis.[46]
(10)          Al-Maut (mati) meniadakan terhadap kecakapan bertindak hukum taklifi dalam kehidupan dunia (ahkamud dunya), seperti salat, zakat dan lainnya, tetapi untuk hukum-hukum akhirat (ahkamul akhirah) orang mati dipandang seperti orang hidup, ia mendapat empat ketentuan: Pertama, hak-hak dia yang ada pada orang lain yang masih hidup tetap merupakan haknya, seperti harta dan kezaliman yang diperbuat atasnya. Kedua, hak-hak orang lain yang menjadi tanggungannya juga kezaliman yang diperbuat atas orang lain. Ketiga, ia akan memperoleh pahala yang merupakan buah dari ketaatannya sewaktu di dunia. Keempat, memperoleh siksa akibat dari kemaksiatan dan kelalaiannya dalam menjalankan ibadah. Orang mati dalam semua hukum ini seperti halnya orang hidup, karena alam kubur bagi mayit tak ubahnya buaian (mahd) bagi anak kecil yang dilahirkan.[47]

Selanjutnya penjabaran dari pembagian faktor-faktor yang berada di dalam kemampuan manusia (‘awarid muktasabah) adalah:
(1)   Al-Jahl (bodoh), misalnya seorang muslim yang hidup di daerah terpencil sehingga ia tidak tahu banyak tentang syariat Islam, misalnya kewajiban salat, puasa dan sebagainya, maka baginya tidak usah mengqad}a’ apa yang telah ia tinggalkan sekalipun akhirnya dakwah Islam sampai kepadanya.
(2)   As-Sakr (mabuk) ada dua: Pertama, mubah, seperti mabuk karena terpaksa (mudhtharr), dipaksa atau karena minum obat. Hukumnya seperti halnya orang ayan, yaitu mencegah terhadap kesahan transaksi, termasuk talak, karena mabuk yang seperti itu tidak ada faktor permainan, maka hal itu termasuk dari sakit. Kedua, haram, misalnya minum minuman yang diharamkan. Hukumnya menurut ijmak ulama tidak meniadakan titah syariat, maka segala bentuk transaksi, termasuk talak tetap berlaku.[48]
(3)   Al-Hazl (bercanda) tidak menghilangkan kecapakan sama sekali, demikian juga tidak menghilangkan kehendak manusia, tetapi menghilangkan kehendak hukum. Hukum dari bercanda ini misalnya dalam transaksi jual beli, ulama fiqih berbeda pendapat, menurut syafi‘iyah tetap memberlakukan zahir ucapannya tanpa mencari tahu terhadap maksud di balik apa yang diucapkan karena yang tahu pada maksud ucapannya hanya orang yang mengucapkannya tersebut, sehingga tidak akan terjadi kepincangan dalam bermuamalat di antara manusia.[49]
(4)   As-Safah (tolol) adalah kekurang hati-hatian yang membuat manusia terdorong untuk melakukan perbuatan yang menyalahi hukum syarak dan akal secara umum. Sedangkan menurut ulama fiqih as-safah adalah pengelolaan dan pendayagunaan harta yang menyalahi hukum syarak dan akal secara umum seperti melakukan tindakan yang sia-sia (mubadhdhir) dan berlebih-lebihan (israf). As-Safah adalah sebuah konsep yang dibangun atas dasar kenyataan bahwa tidak semua manusia memiliki kecakapan dalam mengatur dan mengelola hartanya. Oleh karena itu as-safah adalah orang yang tidak cakap dalam mengelola hartanya. Orang tolol memiliki kecakapan hukum karena ia hidup (asas ahliyatul wujub) dan berakal (asas ahliyatul ada’). Orang tolol diwajibkan melakukan ibdah seperti salat, puasa dan lainnya dan dapat dikenai sanksi atas pelanggaran hukum yang dilakukannya. Akan tetapi, tindakan hukum yang menyangkut pengelolaan harta miliknya harus di dampingi oleh walinya. Hukum yang berlaku padanya yang menyangkut tindakan hukum berkaitan dengan harta, dipersamakan dengan anak-anak yang masih belum dewasa, yaitu dapat bertindak secara hukum selama menguntungkan dirinya secara langsung, dan harus atas izin walinya menyangkut tindakan yang menyulitkan dirinya.[50]
(5)   As-Safar (bepergian) tidak meniadakan ahliyah dan sedikitpun tidak mencegah terhadap berlakunya hukum, namun safar merupakan salah satu sebab untuk memperoleh keringanan seperti boleh berbuka di bulan puasa dan mengqasar salat yang empat rakaat.[51]
(6)   Al-Khatha’ (keliru atau kesalahan tidak sengaja) mengenai hak-hak Allah pelakunya dimaafkan, namun apabila menyangkut hak-hak manusia maka ada sanksi tertentu, seperti seseorang ingin memanah burung ternyata mengenai orang sehingga mati maka ia harus membayar diat (tidak dikisas), itulah keringanannya, atau merusak harta orang lain maka ia harus menggantinya.[52]
(7)   Al-Ikrah (paksaan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang karena desakan dari pihak lain, sementara yang bersangkutan tidak menghendaki perbuatan tersebut dan bahkan membencinya. Keterpaksaan adalah merusak pilihan karena pilihan adalah ketetapan seseorang untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Sedangkan keterpaksaan adalah melakukan atau meninggalkan sesuatu karena desakan dari pihak lain.[53]

C.     KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa komposisi hukum syarak menurut perspektif ilmu ushul fiqih terdiri dari al-hakim, al-hukm, al-mahkum fih dan al-mahkum ‘alaih.

Al-Hakim adalah pembuat hukum, yaitu Allah SWT. Al-Hukm adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukalaf, baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadh’i (sebab, syarat, atau penghalang). Al-Mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang berkaitan dengan hukum (tindakan hukum).  Al-Mahkum ‘alaih adalah mukalaf selaku subyek hukum syarak.

Wallah alam.
*****


Sumenep, 16 September 2014

Catatan: Tulisan ini boleh disalin tempel dengan syarat memperhatikan kejujuran intelektual.


Catatan Kaki
[1] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh (Ttp.: Darul Qalam, 1978), 96.
[2] Al-Qur’an, 6 (Al-Anam): 57.
[3] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 97.
[4] Al-Qur’an, 17 (Al-Isra’): 15.
[5] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 98-99.
[6] Ibid., 99.
[7] Ibid.
[8] Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1 (Suriah: Darul Fikr, 1987), 37. Hukum secara bahasa juga bermakna penetapan sesuatu terhadap sesuatu. Lihat Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Juz 3 (Jakarta: Al-Maktabah As-Sa’adiyah Putra, tt.), 7.
[9] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 96. Lihat Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, 37-38.
[10] Al-Qur’an, 4 (An-Nisa’): 77.
[11] H.A. Jazuli & I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 16.
[12] Ibid., 44.
[13] Hakim, Al-Bayan, Juz 3, 7.
[14] Ibid., 7.
[15] Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa Al-Lakhami Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Jilid 1 (Saudi Arabia: Dar Ibn Affan, 1997), 297.
[16] Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Jilid 1, 298.
[17] Ibid.
[18] Ibid., 299.
[19] Ibid., 451-456. As-Shihhah dan al-buthlan pada hakikatnya tidak tergolong pada kategori hukum wadh’i, namun tergolong pada perkara rasionalistik (al-umur al-‘aqliyah), karena setelah adanya perintah syari‘ untuk berbuat sesuatu dan mengetahui syarat-syarat serta penghalangnya (mawani‘) tidak butuh lagi pada penilaian dari syari‘, tapi cukup ditentukan oleh akal semata tentang sah-batalnya suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu mayoritas ulama ushul memakzulkan keduanya pada konteks hukum. Lihat footnote al-Muwafaqat, Jilid 1, 451. Namun, menurut penulis memasukkan as-shihhah dan al-buthlan pada kategori hukum wadh‘i  dimaksudkan untuk memberikan penilaian yang lebih konkret terhadap perbuatan mukalaf walaupun status keduanya merupakan buah dari terpenuhi-tidaknya tuntutan dan terpenuhinya syarat atau adanya penghalang hukum.
[20] Ibid., 464.
[21] Ibid., 466.
[22] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah: Fi Ushulil Fiqh wal Qawaidil Fiqhiyyah (Jakarta: Al-Maktabah As-Sa’adiyah Putra, tt.), 7.
[23] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 127.
[24] Ibid., 128-130.
[25] Hadis Nabi SAW :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى ».
Lihat Muhammad ibn Hibban, Shahih ibn Hibban, Juz 4 (Beirut: Mu’assasatur Risalah, 1993), 541. Abu Bakar Ahamd bin Husain bin Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Juz 2 (Haidar Abad: Majlis Dairatul Maarif‚ 1344), 298.
[26] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 134.
[27] Ibid.
[28] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 163.
[29] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 135.
[30] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 163.
[31] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 136-137.
[32] Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan Teori  Penegaka (Bandung: Benang Merah Press, 2006), 62.
[33] Khallaf, ‘Ilm Ushulil Fiqh, 137.
[34] Ibid., 136-137 dan Mubarok, Hukum Islam, .62-64.
[35] Mubarok, Hukum Islam, 64.
[36] Khallaf, Ilm Ushulil Fiqh, 137-138.
[37] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 169.
[38] Muhammad Hudhari Bik,  Ushulul Fiqh (Beirut: Darul Fikr, 1988), 93.
[39] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 188.
[40] Ibid., 171.
[41] Ibid., 172.
[42] Ibid.
[43] Ibid., 172-173.
[44] Lihat footnote Mubarok, Hukum Islam, 68.
[45] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 173.
[46] Ibid., 174-175.
[47] Ibid., 175.
[48] Ibid., 179.
[49] Ibid., 181.
[50] Mubarok, Hukum Islam, 69-70.
[51] Zuhaili, Ushulul Fiqh al-Islami, Juz 1, 183.
[52] Ibid., 184-185.
[53] Mubarok, Hukum Islam, 71.
*****