EDISI KAIDAH FIQIH
M. Khaliq Shalha
A. PENDAHULUAN
Bermula dari kecermatan ulama ushul dalam mengkaji dalil-dalil kulli yang
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, yakni nas ayat dan matan hadis yang
menjelaskan prinsip-prinsip umum pembinaan hukum Islam dan diikuti pendalaman
kajian ke arah ilat, hikmah dan rahasia hukum Islam serta analisisnya terhadap
tujuan hukum, maka muncullah berbagai variasi kaidah-kaidah hukum Islam.
Secara konvensional kaidah-kaidah yang dimaksud
dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kaidah pokok berjumlah lima bagian yang populer
dengan sebutan ushul khamsah (lima kaidah pokok) dan kaidah universal (kulli),
baik yang disepakati oleh ulama maupun yang tidak disepakati.[1]
Adapun kaidah kulli yang disepakati jumlahnya antara 40-60 dan kaidah
yang tidak disepakati sekitar 20.[2]
Sedangkan lima kaidah pokok itu sangat penting untuk dikaji yang berfungsi
untuk memastikan dan memantapkan bila terjadi problem hukum Islam dalam
masyarakat yang bisa dengan relatif pasti untuk menarik arah dan tali
hubungannya.[3]
Kaidah tersebut berkorelasi dengan pentingnya motif perbuatan hukum, prinsip
kepastian hukum, prinsip kemudahan aturan, hukum yang menyelamatkan, dan
akomodasi terhadap praktek kebiasaan lokal. Namun saya dalam kesempatan ini hanya
akan mendeskripsikan formulasi dan implementasi kaidah pokok ketiga yang
berkaitan dengan prinsip kemudahan aturan atau yang dikenal dengan al-masyaqqah
tajlibut taisir (kemasakatan membawa kemudahan).
B.
FORMULASI DAN IMPLEMENTASI KAIDAH KETIGA
1.
Kaidah Ketiga[4]
اَلْمَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan membawa kemudahan.
Kaidah ini
merupakan salah satu kaidah pokok bagian ketiga. Maksudnya segala urusan, baik
ibadah atau muamalah apabila mengalami kesulitan akan ada jalan keluarnya.
2.
Dasar-dasar Kaidah Ketiga
Kaidah ini
diinduksi (istiqra’) dari beberapa ayat dan hadis, di antara ayat
dimaksud adalah :
Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.
مَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ .[7]
Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.
Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Sedangkan hadis
Nabi di antaranya sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا
غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ
وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ. [9]
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya agama itu mudah, agama tidak memberatkan kepada seseorang kecuali
sesuai kemampuannya, konsistenlah beramal dengan wajar, mendekatlah,
bergembiralah, minta tolonglah di awal pagi, siang dan akhir malam.”
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ
قاَلَ قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ قَالَ إِنِّى
لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّى بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ
السَّمْحَةِ. [10]
Dari Abu
Umamah, ia berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya saya tidak diutus dengan
membawa agama Yahudi dan Nasrani tetapi saya diutus dengan membawa agama yang
dicenderungi dan murah.’”
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
مَا خَيَّرَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ
إِلاَّ اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ إِثْمًا فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ
أَبْعَدَ النَّاسِ .[11]
Dari Aisyah, ia berkata,
“Rasulullah SAW tidak memilih antara dua perkara kecuali yang lebih mudah di
antara keduanya selama tidak dosa, namun apabila perkara itu dosa maka beliau
adalah orang yang lebih menjauhi ketimbang orang lain.”
3. Standardisasi Masakat
Masyaqqah (masakat)
dapat diartikan keberatan,[12] kesukaran,[13] kesusahan atau kepayahan[14] atau
pun terjemahan lain yang semakna dengannya, seperti kesengsaraan dan lainnya.
Dari sekian kesamaan makna, saya lebih memilih menggunakan sebutan asalnya yang
sudah di-Indonesia-kan, yaitu masakat.
Tidak semua masakat dapat menggugurkan atau
meminimalisir berbagai macam bentuk ibadah dari ketentuan awalnya. as-Suyuthi[15] mengemukakan macam-macam ibadah yang pelaksanaannya
tidak terpengaruh dengan adanya masakat, seperti cuaca dingin mencekam
tidak dapat menghalangi seseorang untuk berwudu dan mandi wajib, suasana amat
panas di siang hari atau panjangnya waktu siang pada suatu hari tidak dapat
menghalangi seseorang untuk berpuasa, masakat safar tidak bisa
menghalangi seseorang untuk menunaikan haji dan jihad, pedihnya hukuman hudud
dan rajam bagi orang berzina tidak dapat menghalangi yang bersangkutan untuk
dilaksanakan.[16] Dengan
kata lain, masakat dalam hal-hal yang disebut itu tidak ngefek untuk
merubah format ibadah yang ditentukan dalam agama.
Namun demikian, mengacu pada suatu maslahah dan asas
kemudahan atau keringanan hukum Islam, ada hal-hal yang dikecualikan terkait
dengan kondisi yang membahayakan, sehingga
as-Suyuthi[17] membagi tingkatan masakat pada 3 tingkatan. Pertama,
masakat berat (masyaqqah azhimah fadhihah),
yaitu masakat yang dikhawatirkan mengancam jiwa, anggota badan atau fungsi
anggota badan. Masakat semacam ini dipastikan dapat menyebabkan memperoleh
keringanan, karena menjaga keselamatan jiwa dan anggota badan untuk menegakkan
kemaslahatan agama lebih utama dari pada bersusah payah melakukan ibadah dengan
mengorbankan keselamatan jiwa.
Kedua,
masakat ringan (masyaqqah khafifah), seperti pusing kepala ringan.
Kondisi seperti ini tidak memiliki efek bagi seseorang untuk memperoleh
keringanan, oleh karena itu, mementingkan kemaslahatan ibadah diutamakan.
Ketiga, masakat pertengahan
antara berat dan ringan (mutawassith). Kondisi seperti ini diperlukan adanya pengukuran diri, apabila
masakatnya condong pada tingkatan pertama maka berhak memperoleh keringan, dan
jika condong pada tingkatan kedua, tidak memperoleh keringanan.
Kondisi-kondisi yang membahayakan dapat dipastikan
akan memperoleh keringanan. Hal itu merupakan ukuran utama bagi seseorang dalam
memperoleh keringanan. Adanya keringanan dalam hukum Islam tidak semata-mata
diukur dengan kondisi yang membahayakan, tapi ada sebab-sebab lain yang
dipandang layak untuk memperolehnya, seperti hal-hal yang terkait dengan
keterbatasan mukalaf atau di luar kemampuannya. Lebih jelasnya akan dijabarkan
di bawah pada pembahasan sebab-sebab memperoleh keringanan.
Berbicara tentang asas
masakat korelasinya adalah relatifistis yang berarti hukumnya lentur sesuai
dengan kondisi individu mukalaf. Persoalannya adalah ketika suatu hukum
disandarkan pada asas masakat kemudian dibuat takaran tertentu yang mengikat
untuk kepastian sebuah hukum, maka akibatnya akan menjadi rancu. Misalnya,
sebagai analisa dalam mencari suatu ‘illah tentang adanya pemberlakuan
keringanan hukum, dapat saya angkat tentang keringanan bagi musafir. Safar (perjalanan)
dibuat suatu sandaran hukum karena safar dipersepsikan sebagai penyebab timbulnya
masakat (mazhinnatul masyaqqah).[18]
Lalu bagaimanakah ukuran masakat safar sehingga memperoleh keringanan? Dalam
hal ini ulama membuat keriteria yang mengikat, yaitu jarak perjalanannya
diperkirakan dua marhalah, kalau dulu ditempuh selama sehari semalam,[19]
dan jika memakai ukuran sekarang ± 89 km.
Melihat konteks masa
lalu, kendaraan yang digunakan paling cepat adalah kuda. Jarak tempuh perjalana
yang kurang dari itu diprediksikan belum merasakan masakat. Alasan rumusan ini
dapat saya tangkap bahwa ulama menginginkan adanya acuan untuk kepastian hukum.
Namun apabila berbicara makasat safar, diakui atau tidak takarannya tentunya
relatif karena masing-masing individu tidak sama staminanya.
Ada seseorang yang
merasakan masakat (capek) walaupun perjalanannya relatif dekat, tapi yang
lainnya tidak merasakan. Dan apabila tetap diberlakukan ketentuan syarat jarak
tempuhnya (masafah) maka hukum terkesan menjadi tidak adil, tebang
pilih, apalagi pada era sekarang. Dengan adanya alat transportasi modern misalnya
pesawat terbang, jarak tempuh perjalanan 89 km. tidak ada artinya. Sedangkan
keumuman rumusan hukum tetap berlaku, maka yang diuntungkan adalah kalangan elite,
sementara orang-orang kampung misalnya, masih banyak yang berjalan kaki untuk
silatur rahmi ke sanak familinya atau untuk berjualan ke pasar dengan menempuh
jarak yang jauh dengan berjalan kaki dan jalan
yang dilalui tidak kondusif, maka terasa sangat melelahkan, namun belum
bisa mendapat keringanan untuk berbuka, mengqasar atau menjamak salat karena
jarak tempuhnya belum mencapai target.
Namun, walaupun ulama telah membuat patokan jarak
tempuh tersebut yang diperkirakan timbul masakat, mereka tidak semata-mata
menetapkan ‘illah berdasarkan masakat, tapi dengan mengimplementasikan
keumuman nas tentang keringanan bagi musafir, baik masakat atau tidak.
Sehingga mereka tidak mengatakan, apabila seseorang dalam perjalanan tidak
masakat maka tidak boleh berbuka, jamak salat atau mengqasarnya. Hal itu terjadi menurut ‘Iyadh ibn Nami as-Salami,
karena ulama tidak membuat pemahaman balik dari nas tersebut sehingga
berlaku umum bagi tiap musafir tanpa dibatasi oleh masakat.[20]
Inilah kerancuannya, dalam satu sisi bertendensi pada masakat dengan jarak
tempuh yang ditentukan, tapi dalam sisi lain mengamalkan keumuman nas. Nas
al-Qur’an yang dimaksud adalah al-Baqarah:
185. Jika demikian menurut saya harus dikompromikan, yaitu jarak perjalanannya
mencapai target dan adanya masakat sehingga hukum akan menjadi adil.
4.
Rukhsah (dispensasi)
Dalam pembagian hukum Islam,
ada sembilan macam hukum taklifi.[21] Kaitannya dengan konteks
pembahasan ini, saya perlu memaparkan satu macam di antaranya, yaitu ar-rukhshah
(dispensasi, rukhsah). Rukhsah adalah suatu hukum yang mengalami perubahan
dari yang sulit pada yang mudah beserta adanya sebab hukum asal.[22] Atau hukum-hukum yang
ditetapkan karena adanya uzur (kesulitan) yang merupakan pengecualian dari
hukum asalnya yang kulli, atau hukum-hukum yang ditetapkan karena ada
alasan yang membolehkan kita keluar dari hukum yang asal.[23]
Rukhsah dilihat dari
implementasi mukalaf sesuai dengan tuntutannya menurut H.A. Jazuli & I. Nurol Aen dibagi dua:
a.
Rukhshah al-tarki, yaitu rukhshah
untuk meninggalkan perbuatan.
Sedangkan as-Suyuthi[25] merincinya sebagai
berikut:
a.
Wajib, seperti memakan bangkai
bagi orang yang terpaksa (al-mudhtharr), berbuka bagi orang yang
khawatir binasa pada dirinya karena terlalu lapar atau haus sekalipun orang itu
tidak dalam bepergian.
b.
Sunah, seperti mengqasar salat
ketika dalam perjalanan, berbuka bagi orang yang masakat berpuasa karena dalam
perjalanan atau dalam keadaan sakit, melihat pada orang yang dipinangnya, dan
lainnya.
c.
Mubah, seperti jual beli salam
(membayar uang terlebih dahulu sebelum ada barang/kerja) hukum asalnya tidak
boleh, tetapi karena dibutuhkan, maka hukumnya berubah menjadi mubah.
d.
Khilaf aula[26] (membedai yang utama)
atau bahasa lainnya, lebih utama ditinggalkan,[27] seperti mengusap sepatu.
Demikian juga tayamum yang dilakukan oleh orang yang mendapatkan air yang
dijual namun harganya di atas harga standar tapi orang itu mampu membelinya.
e.
Makruh, seperti mengqasar salat
yang jarak perjalanannya kurang sedikit dari yang titentukan.
Turunan makna dari istilah rukhshah
ini atau bahasa praktisnya disebut takhfif (keringanan) atau bentuk
jamaknya, takhfifat.
5. Sebab-sebab Memperoleh
Keringanan
Setelah mengkaji
‘illah hukum, ulama merumuskan beberapa sebab untuk memperoleh
keringanan dalam ibadah atau lainnya. Setidaknya ada tujuh sebab yang dikemukakan
oleh as-Suyuthi,[28]
yaitu :
a.
Bepergian (as-safar)
Keringanan yang diperolah ketika seseorang
bepergian di antranya dapat mengqasar salat Zuhur, Asar, dan Isyak yang asalnya
masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat. Juga dapat berbuka puasa pada
siang bulan Ramadan dan dapat mengusap sepatu selama tiga hari tiga malam
b.
Sakit (al-maradh)
Dalam keadaan sakit seseorang boleh bertayamum
apabila menggunakan air akan dapat menyebabkan
sakitnya semakin parah.
c.
Ikrh (terpaksa)
Minum arak hukumnya haram, tetapi karena
ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya
kalau tidak minum, maka
meminumnya menjadi tidak haram.
d.
Nisyan (lupa)
Pada dasarnya makan siang hari membatalkan puasa,
tetapi kalau makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal. Berarti makanan
yang sudah dimakan menjadi rezeki baginya.
e.
Jahl (tidak tahu)
Bergerak tiga kali
berturut-turut dalam salat pada dasarnya membatalkan salat, tetapi bagi orang
yang belum tahu, salatnya tidak batal karena kebodohannya.
f.
‘Usur (sukar)
Debu di jalan yang
bercampur dengan kotoran (najis), pada hakikatnya najis, tetapi karena sulitnya
menghindarkan diri dari debu itu—dalam istilah ulama fiqih disebut li ‘umum
al-balgha—maka hukumnya menjadi tidak apa-apa (ma’fu).
g.
Naqsh (kurang)
Anak-anak dan orang gila
tidak terkena kewajiban, orang perempuan tidak punya kewajiban sebanyak
kewajiban laki-laki seperti tidak wajib salat jumat, jihad dan lainnya.
6.
Macam-macam Keringanan
Syaikh Izzuddin membagi
keringanan menjadi enam dan al-‘Alai menambahkan satu macam, sebagaimana
dikutip oleh as-Suyuthi,[29]
sedangkan Abdul Hamid Hakim[30]
menyebutkan tujuh macam secara utuh sebagai berikut:
a. Takhfif
isqath
(keringanan pengguguran), contoh seseorang telah cukup syarat untuk melakukan
ibadah haji, tetapi karena terjadi peperangan yang dikhawatirkan mengancam
keselamatan dirinya, maka kewajiban haji atas orang itu dapat digugurkan.
b. Takhfif
tanqish
(keringanan pengurangan), contoh dapat mengqasar salat Zuhur, Asar, dan Isyak
yang asalnya masing-masing empat rakaat menjadi dua rakaat bagi orang yang
bepergian yang telah mencukupi syarat.
c. Takhfif
ibdal (keringanan
penggantian), wudu dan mandi dapat diganti dengan tayamun apabila berhalangan
menggunakan air. Berdiri untuk salat wajib dapat diganti dengan duduk atau tidur
miring apabila memiliki uzur untuk berdiri misalnya karena sakit.
d. Takhfif taqdim (keringanan mendahulukan),
contoh melakukan salat Asar di waktu Zuhur atau salat Isyak di waktu Magrib
bagi orang yang sedang bepergian yang dalam terminologi hukum Islam disebut jama’ taqdim.
e. Takhfif ta’khir (keringanan mengakhirkan),
contoh melakukan salat Zuhur di waktu Asar atau salat Magrib di waktu Isyak bagi orang yang sedang
bepergian yang dalam terminologi hukum Islam disebut jama’
ta’khir.
f. Takhfif tarkhish (keringanan
kemurahan), contoh kebolehan melakukan salat bagi orang yang istinja dengan
batu (mustajmir) walaupun kotorannya bersisa (tidak sebersih beristinja
dengan air). Contoh lainnya, makan barang najis untuk berobat apabila tidak
mendapatkan obat lain atau orang yang sedang sangat haus kalau tidak cepat
minum dikhawatirkan bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang itu
dapat keringanan minum arak tersebut sekedar menyambung nyawanya.
g. Takhfif
taghyir (keringanan merubah), contoh dalam keadaan perang boleh merubah tatacara
pelaksanaan salat yang disebut salat khauf. [31]
7.
Kaidah Semakna
Kaidah fiqih
yang semakna dengan kaidah ketiga:
إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ ِاتَّسَعَ
Apabila suatu perkara sempit maka menjadi luas.
Kaidah tersebut
diambil dari ucapan Imam Syafii.[32]
Ada pula kaidah
dengan redaksi berbeda tapi maksudnya sama :
Sesuatu menjadi sempit apabila
luas.
Contoh dari
kaidah ini, lelaki haram memegang tubuh perempuan yang bukan mahramnya, namun
kalau suatu ketika terjadi kecelakaan yang menimpa perempuan tersebut, misalnya
jatuh dari kendaraan dan tidak ada seorang pun berada di tempat kejadian itu
kecuali lelaki tersebut, maka lelaki itu boleh menolong
perempuan tersebut,[34]
bahkan wajib.
Kemudian ulama membalik
kaidah tersebut manjadi :
إِذَا اتَّسَعَ الْأَمْرُ ضَاقَ [35]
Apabila suatu perkara luas
maka menjadi sempit
Contoh dari
kaidah ini, ketika perang sedang berkecamuk diperbolehkan melakukan salat khauf
dengan banyak bergerak. Tetapi di tengah-tengah salat, tiba-tiba keadaan
menjadi reda dan musuh menjauh, maka tidak lagi diperkenankan banyak bergerak
dalam salat tersebut.[36]
C. PENUTUP
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
rumusan kaidah ketiga tersebut untuk
memberikan kemudahan aturan, artinya
segala urusan, baik ibadah atau muamalah apabila mengalami kesulitan maka akan
ada jalan keluarnya. Sedangkat kesulitan atau masakat yang dipastikan
memperoleh keringanan atau kemudahan adalah suatu kondisi yang dikhawatirkan
mengancam keselamatan jiwa, anggota badan atau fungsi anggota badan seseorang,
sedangkan sebab-sebab lain yang dipandang layak untuk memperolehnya, seperti
hal-hal yang terkait dengan keterbatasan mukalaf atau di luar kemampuannya.
Untuk mengimplementasikan asas masyaqqah
membutuhkan penalaran kritis sehingga kebijakan yang diambil obyektif, valid
dan sesuai dengan konteks kemaslahatan kehidupan sekarang yang dapat dirasakan
oleh siapa pun. Dan, yang tidak boleh dilupakan oleh kita bahwa dispensasi
hukum yang kita ambil harus tetap berpijak pada nilai-nilai ilahiah dan insaniah.
Wallah a’lam.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im, “Dialektika Induksi dan
Deduksi dalam Pemikiran Hukum Islam” Jurnal Islamica, volume 4, Nomor 1. Surabaya: Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel, 2009.
al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Shahih
al-Bukhari, juz 1. Beirut:
Dar Ibn Katsir, 1987.
as-Salami, ‘Iyadh ibn Nami, Ushulul
Fiqh alladzi la Yasa’ al-Faqih Jahluhuh. al-Maktabal al-Shamilah.
as-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman ibn
Abi Bakr, al-Ashbah wa an-Nazhair. Surabaya:
al-Hidayah, 1965.
Ash Siddieqy, Hasbi, Pengantar
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Ash Siddieqy, Hasbi, Falsafah
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Bisri,
Moh. Adib, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah. Kudus: Menara Kudus, tt.
Hakim, Abdul
Hamid, Mabadi Awwaliyyah: Fi Ushulil Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah.
Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, tt.
Ibn Abdur
Rahman, Abu Abdullah Muhammad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, juz 2.
Surabaya: al-Hidayah, tt..
Ibn
Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz 5 & 6. Kairo:
Mu’assasah Qurthubah, tt.
Jazuli,
H.A. & I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Miftahul
Huda, Filsafat Hukum Islam: Menggali Hakikat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam.
Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2006.
Usman, Muhlis,
Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum
Islam). Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999.
*****
© 2014 M. Khaliq Shalha
[1] Miftahul
Huda, Filsafat Hukum Islam: Menggali Hakikat, Sumber dan Tujuan Hukum Islam.
(Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2006), 42.
[2] Ibid., 44.
[3] Muhlis
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah (Pedoman Dasar dalam Istinbath
Hukum Islam). (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), 107.
[4] Urutan
kaidah tersebut sama dengan yang ada di al-Asybah wa an-Nazhair karangan
al-Suyuthi, sedangkan dalam kitab atau buku lain ada perbedaan urutan.
[5] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 185.
[6] Ibid.,
286.
[7] Ibid., 5
(al-Maidah): 6.
[8] Ibid.,
22 (al-Hajj): 78.
[9]
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1. (Beirut: Dar
Ibn Katsir, 1987), 23.
[10] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz 5.
(Kairo: Mu’assasah
Qurthubah, tt.), 266.
[11] Ibid., juz 6, 114.
[12] Moh. Adib Bisri, Tarjamah al-Fara idul
Bahiyyah. (Kudus: Menara Kudus, tt.), 17.
[13] Hasbi Ash Siddieqy, Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 108.
[14]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung,
1990), 201.
[15] Jalaluddin Abdur Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi,
al-Asybah wa an-Nazhair. (Surabaya: al-Hidayah, 1965), 57.
[16] Masakat yang diderita orang yang dijatuhi
hukuman (‘uqubah) di mata hukum Islam adalah maslahah, karena hukuman
untuk mereka ibarat suntikan dokter pada orang yang menderita suatu penyakit
yang diharapkan kesembuhannya.
[17] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 58.
[18] ‘Iyadh ibn Nami as-Salami, Ushulul Fiqh
alladzi la Yasa’ al-Faqih Jahluhuh. (al-Maktabal al-Syamilah), 112.
[19] Ibid., dan Abu Abdullah Muhammad ibn Abdur
Rahman, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, juz 2. (Surabaya:
Al-Hidayah, tt.), 64.
[20] as-Salami, Ushulul Fiqh, 112.
[21] Abdul Hamid Hakim, Mabadi
Awwaliyyah: Fi Ushulil Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 6.
[22] Ibid., 7.
[23] H.A. Jazuli & Dr. I. Nurol Aen, Ushul
Fiqh: Metodologi Hukum Islam. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 44.
[24] Jazuli & Aen, Ushul Fiqh, 45.
[25] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59.
[26] Moh. Adib Bisri, Tarjamah al-Fara idul
Bahiyyah, 20.
[27] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair,
59.
[28] Ibid., 55.
[29] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59.
[30] Hakim, Mabadi Awwaliyyah, 29-30.
[31] Contoh-contoh tersebut di atas diambil
dari as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59 dan Bisri, Tarjamah
al-Fara idul Bahiyyah, 19 yang penulis modifikasi seperlunya.
[32] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 59
[33] Hakim, Mabadi Awwaliyyah, 29.
[34] Bisri, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah,
21.
[35] as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair,
59.
[36] Bisri, Tarjamah al-Fara idul Bahiyyah,
21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar