M. Khaliq Shalha
Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada
Allah dengan tobat semurni-murninya (nasuha), mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan
orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata: “Ya Tuhan kami,
sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh Engkau Mahakuasa
atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Tahrim : 8).
*****
Haheho adalah bahasa daerah sebagai sebutan bagi suara
orang yang sedang kepedasan. Inspirasi tema tulisan sederhana ini muncul ketika
saya dengan teman-teman haheho makan nasi pecel di stasiun Kota Baru
Malang, 4 Desember 2014 lalu. Lazimnya nasi pecel rasanya pedas. Bila Anda
makan nasi pecel tapi tidak ada rasa pedasnya, perlu dipertanyakan
ke-pecel-annya. Umumnya orang kepedasan disengaja karena sudah doyan.
Ketika sedang kepedasan begitu dahsyatnya, cetar membahana, sepertinya ia ingin
jera makan sesuatu dengan sambal. Tobat, tobat, tobat!
Selang tak berapa lama, ketika ingin
makan, yang terbayang dalam pikiran sebuah pertanyaan, apa ada sambalnya ya? Sambal
membuat para penikmatnya menimbulkan ketagihan. Makan di rumah atau di tempat
lain, berpedas-pedas adalah agenda rutin. Tiada makanan nikmat tanpa sambal. Itulah
tobat sambal, membuat orang “jera-jera ketagihan”.
Memilih makan dengan sambal atau tidak,
itu hanya menyangkut selera setiap orang. Boleh memilih di antara keduanya . Namun,
tentang masalah tobat dari perbuatan dosa bukan hal yang main-main, karena
menyangkut masalah kualitas hidup. Sangat ironis bila hidup ini hanya penuh
dosa tanpa ada penyelesaian akhirnya berupa tobat nasuha, tobat yang
sebenarnya.
Apa tobat itu? Al-Ghazali dalam kitab
pamungkasnya, Minhaj al-‘Abidin mengutip pendapat gurunya, Syaikh Abu
Bakar bahwa tobat adalah komitmen untuk meninggalkan perbuatan dosa sejenis
yang telah diperbuatnya karena mengagungkan Allah dan waspada terhadap kemurkaan-Nya.
Lebih lanjut al-Ghazali menjabarkan empat syarat tobat. Pertama,
berkomitmen sepenuh hati untuk meninggalkan perbuatan dosa dan punya keinginan
kuat bahwa ia tidak akan kembali berbuat dosa secara totalitas. Apabila dalam
diri seseorang belum punya kesadaran seperti hal tersebut, maka ia belum
tergolong sebagai orang yang bertobat.
Kedua, ingin jera dari perbuatan dosa sejenis yang
telah diperbuat. Karena, bila orang belum pernah melakukan dosa dimaksud, ia
tidak disebut orang bertobat, tapi orang yang menjaga diri. Contohnya, Nabi SAW
adalah orang yang menjaga diri dari kufur, bukan orang yang bertobat darinya,
karena beliau tidak pernah kufur sebelumnya. Berbeda dengan Umar bin Khattab,
ia disebut orang yang bertobat karena sebelumnya pernah kufur.
Ketiga, dosa yang akan dihindari bukan hanya semata-mata
dosa sama persis dengan perbuatan dosa yang dilakukan sebelumnya, tetapi jenis
dosa apapun yang setara dan sederajat dengan dosa yang pernah diperbuat.
Perkara ini dilandaskan pada sebuah asumsi bahwa seorang yang sudah tua renta
yang masa mudanya berzina dan merampok, masih memungkinkan bagi dia untuk
bertobat, sekalipun dia tidak dibilang bisa menghindari dari dua perbuatan dosa
tersebut karena kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk berzina atau
merampok. Maka tidak benar kalau dikatakan orang tua itu bertobat dari zina dan
merampok. Dikatakan bertobat dari suatu perbuatan dosa apabila orang
menghindari dari perbuatan dosa yang pernah diperbuat selagi dia masih mampu
seandainya mengulangi lagi perbuatannya. Sedangkan orang yang sudah tua renta
kondosinya sudah tidak memungkinkan untuk berbuat dosa jenis zina dan merampok,
tapi ia masih mampu menghindari perbutan dosa setara dengan zina dan merampok
walau kadar dosanya tidak sama persis, seperti menghindari dusta, menuduh zina,
gibah dan adu domba. Oleh karena itu, tobatnya tetap sah dengan kondisi seperti
itu dengan menghindari perbuatan dosa setara dengan yang diperbuat sebelumnya
ketika fisik masih kuat.
Keempat, upaya meninggalkan perbuatan dosa semata-mata
karena mengagungkan Allah, bukan karena takut pada manusia, pencitraan, cari
muka, sensasi, jabatan dan lainnya. Apabila kriteria tersebut terpenuhi maka
tobat seseorang dapat dikatakan tobat yang sebenarnya.
Dalam memulai tobat, kata al-Ghazali, ada
tiga hal yang hendaknya dikondisikan dalam jiwa. Pertama, ingat pada
puncak kejelekan dosa. Kedua, ingat pada dahsyatnya siksa Allah dan
kemurkaan-Nya yang tiada tara. Ketiga, ingat pada kelemahan diri dan
minimnya rasa malu. Perasaan-perasaan seperti ini perlu ditanamkan dalam jiwa.
Sebagai perumpamaannya, apabila seseorang tidak mampu menahan sakit tamparan
polisi, sengatan binatang, apalagi menahan panasnya neraka Jahanam, keangkuhan
malaikat dan sengatan binatang berbisa di dalamnya.
Dari
salah satu syarat tobat tersebut bahwa hendaknya tidak mengulangi perbuatan
dosa yang telah diperbuat, lalu menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika lupa dan
salah? Dimaafkan berkat kemurahan (fadhal) Allah. Timbul pertanyaan
pula, bagaimana jika muncul dalam diri bahwa ingin kembali perbuat dosa
sehingga menjadi penghalang untuk berkomitmen dalam bertobat? Itu adalah rayuan
setan yang tidak perlu larut dengannya. Dari mana orang bisa tahu secara pasti
akan hal itu. Bisa jadi orang yang bertobat setelah itu mati sebelum mengulangi
lagi perbuatan dosanya. Bagaimana bila seseorang punya perasaan cemas untuk
kembali berbuat dosa? Cukup punya keinginan kuat dengan sejujurnya untuk bertobat.
Allah yang akan menyempurnakan hal itu. Apabila terlaksana dengan sempurna
berarti mendapat kemurahan Allah, bila tidak, orang yang bersangkutan telah
diampuni semua dosanya yang telah berlalu, sisanya hanya dosa yang baru
diperbuat saat ini. Begitulah logika tobat menurut al-Ghazali.
Klasifikasi dosa secara garis besar menurut
al-Ghazali ada tiga. Pertama, meninggalkan kewajiban dari Allah, seperti
salat, puasa, zakat dan lainnya. Cara tobatnya dengan menggantinya. Kedua,
dosa antara manusia dan Allah, seperti minum khamar, makan barang riba dan
lainnya. Cara tobatnya dengan menyesali dosa yang telah diperbuat dan berjanji
sepenuh hati untuk tidak mengulanginya. Ketiga, dosa yang ada kaitannya
dengan manusia lainnya. Jenis dosa ini lebih sulit cara tobatnya. Meliputi
banyak hal seperti harta, jiwa, kehormatan, kemuliaan dan agama.
Cara bertobat dari dosa karena mengambil
harta orang lain adalah berkewajiban mengembalikan harta tersebut jika
memungkinkan. Jika tidak, karena orang yang diambil hartanya sudah tidak
terjangkau keberadaannya atau telah wafat, keluarkanlah sedekah yang pahalanya
untuknya jika memungkinkan. Jika tidak mampu bersedakah untuknya, tingkatkanlah
perbuatan baik, kembalikan kepada Allah penuh rendah hati dengan harapan Dia
rida kepadanya di hari kiamat kelak.
Tobat dari kejahatan terhadap jiwa orang
lain berupa hukum kisas, atau diselesaikan dengan keluarga korban. Jika tidak
memungkinkan berserah diri kepada Allah dengan harapan semoga Dia meridai kelak
di hari kiamat.
Tobat karena mencemarkan nama baik orang
lain, seperti menggiba, memfitnah atau mencaci dengan cara menyatakan bahwa
dirinya pernah perdusta korban, lalu meminta kerelaannya. Hal itu dilakukan
jika memungkinkan dan sekiranya tidak dikhawatirkan menyulut masalah lebih
besar, tidak menimbulkan gejolak kemarahan dan dampak negatif lainnya. Jika
khawatir, alternatifnya menyerah kepada Allah, semoga Dia meridai, berbuat baik
sebanyak mungkin dan beristigfar sebagai pengimbangnya untuk orang yang
dicemarkan nama baiknya.
Tobat karena merusak kehormatan orang
lain, misalnya mengkhianatinya, keluarganya, keturunannya atau lainnya. Caranya,
menceritakan pengkhianatannya jika tidak akan menimbulkan masalah besar, lalu
meminta kehalalannya, walaupun cara ini sulit dilakukan. Bila menggunakan cara
ini akan menimbulkan masalah kemarahan dan hal negatif lainnya, alternatifnya
dengan cara mengemis ampunan kepada Allah dan berbuat banyak kebaikan dan
istigfar buat orang yang dikhianati sebagai pengimbangnya.
Tobat karena merusak agama orang, misalnya
membuat orang menjadi kafir, bidaah atau sesat, tindakan ini tergolong
berlebihan, tobatnya jika memungkinkan dengan cara menyatakan kedustaannya
kepada orang yang telah digelincirkan dan meminta kehalalannya. Jika tidak
mungkin, berserah dirilah kepada Allah secara sungguh-sungguh dengan harapan
Dia meridainya.
Itulah upaya tobat dengan ragam alternatifnya
yang dikemukakan al-Ghazali. Tobat ibarat membuat rapot hijau sebagai pencucian
rapot merah yang telah ditorehkan sebelumnya karena melanggar aturan menyangkut
hak Allah dan manusia. Melanggar kewajiban yang Allah berikan tobatnya lebih
mudah ketimbang karena semena-mena menghempaskan hak-hak orang lain.
Pelanggaran terhadap hak orang lain harus terlebih dahulu dipulihkan dengan
cara-cara kemanusiaan pula, yaitu mengembalikan hak-haknya, lalu meminta ampun
kepada Allah. Tak cukup hanya memohon ampun kepada Allah selagi orang yang
dirugikan masih memungkinkan untuk dimintai keridaannya. Di situlah sangat
nampak keadilan Tuhan yang diberlakukan pada tiap hambanya di muka bumi ini tanpa
pandang bulu. Dalam kehidupan, nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan tidak
diposisikan secara timpang, namun berimbang. Keduanya harus tersempurnakan demi
terciptanya rahmat dalam kehidupan.
Tobat seseorang akan diterima oleh Allah
apabila tobatnya serius, bukan tobat sambal, yaitu jera-jera ketagihan. Tidak
ada kata terlambat dalam bertobat sebelum nafas kematian masih belum sampai di
tenggorokan. Nabi SAW bersabda, “Allah akan menerima tobat seorang hamba
sebelum nyawa penghabisannya sampai di tenggorokan.” (HR. Ahmad). Mari hindari
tobat versi Firun yang sia-sia, karena dia baru mau insaf ketika sedang sekarat
waktu tenggelam di laut Merah.
Orang yang baik di dunia ini begitu
banyak. Mereka bukanlah orang yang tidak pernah berbuat dosa, tetapi ketika
berbuat dosa mereka segera bertobat. Wallah a’lam.
Tulisan ini juga bisa dibuka di: http://filsafat.kompasiana.com/2015/01/07/haheho-dari-tobat-sambal-menuju-tobat-nasuha-700803.html
Tulisan ini juga bisa dibuka di: http://filsafat.kompasiana.com/2015/01/07/haheho-dari-tobat-sambal-menuju-tobat-nasuha-700803.html
*****
Sumenep, 7 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar