Sabtu, 02 Juli 2016

ZAKAT FITRAH IDEAL


M. Khaliq Shalha


Kewajiban agama yang berlaku pada tua muda (tanpa mengenal batas usia) adalah zakat fitrah, suatu iuran wajib yang bermuatan sosial pada saat tertentu. Bagi subjek yang berkewajiban menunaikan zakat berlaku pada orang yang berkemampuan, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang menjadi tanggungannya.

Orang yang menjadi tanggungannya, misal anaknya yang belum mukalaf atau orang tuanya yang sudah tua renta dan tak berdaya untuk membayar zakatnya sendiri. Jadi, dapat kita pahami bahwa pemberi zakat fitrah ada dua golongan. Pertama, pemberi zakat fitrah mandiri, yaitu orang mukalaf yang mempu mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri. Kedua, pemberi zakat fitrah tidak mandiri, yaitu orang yang ditanggung zakatnya oleh orang yang berkewajiban menafakahinya.

Zakat fitrah diutamakan diberikan kepada fikir miskin ketimbang mustahiq lainnya, karena fungsi zakat fitrah di samping menyucikan orang yang berpuasa juga untuk memberi makan pada orang miskin. Dalam sebuah hadits dituturkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. ( رواه أبو داود ) .
Dari Ibn Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Zakat fitrah menyucikan bagi orang yang berpuasa dari tindakan tidak berguna dan keji, dan sebagai bahan makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Idul Fitri), maka ia tergolong zakat yang diterima dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka ia tergolong sedekah biasa.” (HR. Abu Daud).

Sebagaimana dikupas di atas bahwa zakat fitrah bukan hanya kewajiban bagi orang yang berpuasa, tapi siapa saja yang masih hidup di saat tertentu. Syarat wajibnya zakat fitrah terkait dengan masa tertentu kehidupan seseorang, dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa orang berkewajiban menunaikan zakat fitrah bila ia hidup pada dua waktu, yaitu menututi bulan Ramadan dan bulan Syawal. Orang yang meninggal dunia pada bulan Ramadan, bagi ahli warisnya tidak berkewajiban membayarkan zakatnya, demikian pula bayi yang terlahir di bulan Syawal, orang tuanya tidak berkewajiban membayarkan zakatnya.

Zakat yang harus dikeluarkan berupa makanan pokok penduduk setempat, yang diistilahkan dengan qutil balad. Rata-tata bahan mentah makanan pokok penduduk Indonesia—termasuk Madura—adalah beras atau jagung. Dan, masa sekarang lebih dominan beras ketimbang jagung, berbeda jauh dengan zaman 90-an waktu saya masih kecil. Dominan mengkonsumsi nasi jagung asli (tanpa campuran beras putih) dan lauknya ikan asin. Seringkali bibir saya gatal karena alergi dengan ikan asin itu. Tapi nikmatnya tak tertandingi dan masih terasa sampai sekarang, lebih-lebih ketika makan setelah datang dari tegalan mencari jangkrik pas hujan-hujan, menu itu sangat istimewa.

Nasi jagung pada umumnya dipandang di bawahnya kelas nasi putih. Jika seseorang setiap harinya dominan mengkonsumsi nasi putih, berarti taraf ekonominya lebih mapan ketimbang sekadar nasi jagung. Kecuali orang kaya pun yang mengidap penyakit diabetes (kencing manis) biasanya memakan nasi jagung asli.

Zakat fitrah dengan beras atau jagung secara fiqih sama-sama sah. Orang yang kesehariannya memakan nasi putih tetap sah berzakat jagung. Namun kita beribadah bukan sekadar berpatokan pada sah tidaknya, tapi ideal tidaknya perlu menjadi perhatian, bila pada kenyataannya kita mampu berbuat yang ideal.

Jika kesehariannya, seseorang dominan mengkonsumsi nasi putih, maka zakatnya yang layak adalah beras, bukan jagung. Masa dia tega pada fakir miskin memberi jatah bahan makanan mentah untuk hari raya dengan jagung. Masa dia tega menjadikan dirinya sendiri menjadi manusia pelit. Melalukan ibadah yang ideal mencerminkan kepribadian sempurna dalam kemuliaan. Wallah a’lam.

Sumenep, 02 Juli 2016 M / 27 Ramadan 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar