M. Khaliq Shalha
Salah satu komponen dalam diri manusia adalah
afeksi berupa rasa kasih sayang atau perasaan dan emosi yang lunak. Perasaan
ini mengambil peranan penting dalam menyerap pendidikan yang diberikan guru. Komponen
ini perlu diaktivasi oleh guru baik secara verbal, perilaku dan lebih-lebih batin
seorang guru bahwa setiap didikan yang diberikan guru seyogianya didasarkan
pada rasa kasih sayang. Mendidik tanpa didasari kasih sayang efeknya akan lemah
dalam membangun jiwa besar anak didik. Retorika guru menjadi tumpul. Teknik dan
taktik tak banyak berpengaruh.
Dalam sebuah hadits begitu menarik menggambarkan
cara Rasulullah mendidik umatnya dengan penuh kasih sayang sekalipun yang dihadapi
beliau adalah orang yang sedang khilaf. Inilah peran pendidikan yang nyata. Di
samping mendidik manusia yang baik menjadi lebih baik juga mengentaskan manusia
yang tidak baik menjadi baik. Kondisi terakhir ini jauh lebih sulit ketimbang
kondisi manusia pertama tersebut. Dan, terbukti Rasulullah SAW berhasil
mengentaskan manusia tipe kedua sekalipun.
Sahabat Abu Umamah menceritakan bahwa ada seorang
pemuda menghadap Nabi SAW seraya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku
berzina.” Mendengar ucapan pemuda itu,
orang yang ada di sekitarnya menghampiri dan memaki, dan berkata: “Anda sungguh
celaka, dan tidak punya rasa malu!” Rasulullah mendekati pemuda itu dan duduk
di sampingnya (kemudian terjadilah dialog panjang antara pemuda dan Rasulullah).
Rasulullah: “Hai anak muda, maukan engkau jika ibumu
dizinahi oleh seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku
sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian
pula orang lain pun tidak mau ibunya dizinahi.”
Rasulullah: “Maukah engkau jika putrimu dizinahi
seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku
sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian
pula orang lain pun tidak mau putrinya dizinahi.”
Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ayahmu
dizinahi seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku
sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian
pula orang lain pun tidak mau saudari ayahnya dizinahi.”
Rasulullah: “Maukah engkau jika saudari ibumu
dizinahi seseorang?”
Pemuda: “Demi Allah tidak, Allah telah menjadikanku
sebagai tebusanmu.”
Rasulullah: “Jika engkau tidak mau, maka demikian
pula orang lain pun tidak mau saudari ibunya dizinahi.”
Kemudian Rasulullah memegang pemuda tersebut seraya
berdoa: “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah
kemaluannya.”
Setelah itu, pemuda tersebut tidak pernah melakukan
hubungan seksual terlarang.
Hadits
riwayat Imam Ahmad tadi memberikan pendidikan bagi para pendidik tentang cara
yang efektif dalam mendidik dengan penuh kasih sayang. Hasilnya jelas. Caranya
santun. Tak terlalu banyak menghabiskan energi.
Di
lapangan, kita dihadapkan dengan banyak tipe anak didik. Ada yang responsif, setengah-setengah dan ada
pula yang mbeling. Tipe terakhir menyebalkan dan menjengkelkan. Demikian pula
tingkat intelektualitasnya, ada yang di atas rata-rata, standar dan di bawah
rata-rata. Dari sekian tipe yang ada, mendidik anak yang mbeling membutuhkan
energi lebih banyak dan kesabaran yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah)
ketimbang anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan bibit unggul.
Ada sebagian anggapan bahwa tidak ada anak yang nakal, tapi
hanya ada sebagian anak yang membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain.
Pernyataan “membutuhkan perhatian lebih ketimbang yang lain” adalah bahasa
halus dari anak yang “mbeling”. Mengentaskan anak yang mbeling membutuhkan
strategi dan metode khusus pula. Banyak cara perlu dicoba. Cara yang satu gagal
dapat diganti dengan cara yang lain. Cara lemah lembut perlu diutamakan tapi
jika cara ini mandul perlu menggunakan cara yang tegas (bahkan cara yang kasar
atau keras, tapi dalam koridor “mendidik”). Menghadapi ragam kepribadian anak
didik, ibarat dokter menghadapi masyarakat binaannya dengan ragam kekebalan
tubuh. Jika kondisi kesehatan mereka normal, dokter cukup memberikan asupan
vitamin untuk menjaga kekebalan tubuh mereka dari serangan penyakit. Berbeda
jika yang dihadapi pasien yang mengidap penyakit serius. Membutuhkan penanganan
khusus dengan dosis obat tertentu pula.
Cara
mendidik dengan kekerasan hanyalah sebagai cara alternatif. Mendidik dengan
kekerasan tidaklah identik dengan tindakan yang membayakan, baik secara mental
maupun fisik. Tetapi harus terukur pula dengan kondisi anak didik sehingga
tindakan tersebut dapat merubah anak dari nakal menjadi taat, dari malas
menjadi semangat. Dalam koridor seperti ini, Islam melegalkan mendidik anak
dengan cara “kekerasan”. Sangat populer dalam kitab-kitab fiqih pada bab-bab awal
bahwa kewajiban orang tua adalah mengajak anaknya sejak dini untuk melaksanakan
shalat. Jika anak sudah berumur sepuluh tahun masih saja tidak mengerjakan
shalat, hendaknya orang tua memukul anaknya dengan maksud mendidiknya supaya
disiplin shalat, bukan untuk mencelakakannya.
Pada
tahun 1990-an, waktu saya masih mengenyam pendidikan di tingkat madrasah ibtidaiyah,
cara-cara kekerasan (ketegasan) sering digunakan. Misalnya, jika murid tidak
hapal pada pelajaran yang sudah ditentukan oleh guru untuk dihapalkan, murid
disuruh berdiri di depan murid-murid yang lain. Hal yang masih teringat dengan
baik di benak dan terngiang di kepalaku (sekaligus menjadi kenangan indah) sewaktu
saya kelas dua MI ketika guru bahasa Arab mewajibkan murid-murid untuk menyetor
hapalan mufradat (kosakata) bahasa Arab setiap minggu sebanyak lima mufradat yang telah ditulis di papan
tulis sebelumnya. Jika murid tidak hapal langsung berdiri. Setelah satu persatu
teman-teman selesai menyetor hapalan, giliran murid yang tidak hapal
mendapatkan bonus berupa pukulan dengan menggunakan sapu yang dijatuhkan pada
betis teman-teman yang tidak hapal. Seingat saya, satu kali saya tidak hapal.
Dengan penuh menyesal saya berdiri dan mendapat pukulan dari guru.
Setelah
sekian lama, saya baru menyadari bahwa cara kasar yang dilakukan guru itu
merupakan salah satu bentuk pendidikan kasih sayang luar biasa yang
terselubung. Saya sering terharu dengan cara guru bahasa Arab ini ketika saya
berkesempatan menelaah buku-buku berbahasa Arab. Salah satunya, ketika saya tergopoh-gopoh
dalam kondisi terdesak untuk menyelesaikan makalah sebagai materi diskusi kelas
pada Program Magister di IAIN Sunan Ampel Surabaya (seputar 2009-2011), waktu
menelaah buku-buku berbahasa Arab di perpustakaan pascasarjana, secara
tiba-tiba saya ingat guru bahasa Arab ini. Berkat ketegasan plus ketelatenannya
mendidik, saya relatif paham teks-teks berbahasa Arab hingga dengan mudah
menyelesaikan tugas-tugas kuliah.
Perlu
menjadi catatan kita di era digital sekarang bahwa orang-orang besar senior
kita sekarang ini rata-rata mereka alumni lembaga pendidikan yang mengetrapkan
cara seperti yang saya contohkan di atas. Mereka mengenyam pendidikan dengan
keterbatasan sarana belajar. Debu-debu kapur tulis sangat akrab dengan baju guru
dan murid. Para murid cepat mandiri. Siap
pakai dan siap hidup. Kesalehan tersemat mendalam pada diri mereka. Apa
rahasianya? Mereka dididik dengan kasih sayang.
Cara
apapun yang digunakan untuk mendidik, baik dengan lemah lembut atau dengan
“kekerasan” (jika dibutuhkan) hendaknya tetap dilandaskan pada rasa kasih
sayang secara tulus yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam pada setiap
guru. Kita optimis bahwa akan tetap muncul generasi terbaik (khaira ummah)
pada masa berikutnya. Wallah a’lam.
Sumenep,
15 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar