M. Khaliq Shalha
Eksistensi agama bukanlah simbol-simbol kesalehan
semata, tapi yang terpenting berupa nilai-nilai kesalehan yang mewujud dalam tindakan
keseharian, baik dalam perbuatan, perkataan atau sikap yang bisa membuat dirinya
dan orang lain merasa teduh, nyaman dalam bergaul di bawah lindungan rida-Nya. Saleh
ritual dan sosial merupakan identitas muslim yang hakiki hingga terhindar dari
penistakaan terhadap agamanya.
Namun, meraih kesalehan yang hakiki tak semudah
membalikkan telapak tangan. Tak seringan menyeruput secangkir kopi. Tak
semantap menyantap semangkok bangso. Tak seringan mengunyah agar-agar. Membutuhkan
pengorbanan mental dan kesabaran. Apa masalahnya? Setiap bentuk kebaikan
diliputi oleh hal-hal yang tidak disukai perasaan. Sedangkan segala hal yang
menjurus ke neraka diliputi oleh perasaan yang digandrungi hawa nafsu.
Kita maklum bahwa shalat khusyuk akan memiliki
dampak positif dalam kehidupan individu dan sosial. Tapi mengapa shalat aktif namun
perilaku kita tidak karu-karuan? Hal itu merupakan indikasi shalat yang kita
kerjakan jarang khusyuknya hingga kering spiritual. Kita tahu pula bahwa dalam
ranah komunikasi ada dua pilihan yang membuat kita selamat, yaitu berkata
dengan baik, dan jika tidak bisa, diam saja. Itu aman. Sayang seribu kali
sayang, urusan mengerem pembicaraan bukan hal yang mudah. Faktor kerusakan
hubungan sosial dominan karena kesalahan atau ceroboh dalam menggunakan
jurus-jurus pembicaraan ketika bersilat lidah. Berapa banyak manusia mengingkari
nuraninya ketika asyik berbicara dengan memutarbalikkan fakta.
Pada tiap kita melakukan shalat, dalam doa iftitah
kita ucapkan komitmen kita pada diri kita sendiri, yang artinya: sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata karena Allah, Tuhan semesta alam.
Banyak di antara kita tidak konsisten dengan komitmen yang kita ucapkan sendiri
ketika shalat.
Para pemangku amanat umat (rakyak) di awal
jabatannya berjanji dengan nama Tuhannya—dengan saksi bisu Kitab Suci Al-Qur’an
di dekat kepalanya—untuk menjalankan amanat dengan baik. Godaan HTW (Harta
Tahta Wanita) mampu menghipnotis sehingga idealisme sumpahnya tak ubahnya
formalitas belaka. Berapa banyak orang menyalahgunakan wewenangnya demi HTW
itu.
Kita seringkali menistakan agama yang kita anut
tanpa kita sadari. Bahayanya jauh lebih menghanyutkan ketimbang penistakaan
agama secara fulgar. Nyaris tak ada yang menegur kesalahan kita karena sudah
menjadi lazim. Orang yang menistakan agama secara fulgar dapat dihitung dengan
jari. Jarang (bahkan tidak pernah) kita temukan orang yang menginjak-injak
Al-Qur’an secara visual, tapi cukup banyak kita amati dan rasakan orang yang menginjak-injak
ajaran agamanya tanpa ada beban merasa bersalah. Tak banyak kita temukan orang
yang menghujat kesakralan agama kita, namun tak sedikit di antara kita keluar
ucapan yang melecehkan ajaran agama kita sendiri tanpa kita merasa punya beban
moral. Kita mengakui dan meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa shalat lima
waktu adalah tiang agama, ibadah pokok teratas. Namun, begitu mudahnya di
antara kita absen shalat. Contoh kongkretnya, bila pertandingan sepak bola
digelar di stadion waktu Asar atau Magrib, berapa banyak di antara suporter
yang absen shalat Asar atau Magrib dengan euforia tanpa ada yang menyalahkan.
Inilah contoh nyata penistaan agama yang menjamur di tengah-tengah kita.
Sejenak kita konsentrasi pada firman Tuhan yang
menukik pendusta agama dalam sebuah pertanyaan dengan maksud pernyataan. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah
orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong
dengan) barang berguna. (QS.
Al-Ma’un: 1-7).
Bentuk-bentuk
penistaan terhadap agama yang diilustrasikan Al-Qur’an secara fulgar tersebut
seringkali luput dari konsentrasi koreksi kita terhadap diri kita sendiri atau
umat pada umumnya. Mestinya kita patut merasa malu besar bila dibilang beragama
tapi di balik itu sebagai pendusta agama karena kelakuan kita sendiri tidak
mencerminkan orang beragama. Tak punya belas kasihan pada anak yatim. Tak
peduli pada orang miskin. Shalatnya tak berisi kekhusyukan, motif ibadahnya
hanya pencitraan (bukan semata bermunajat pada Tuhan). Tak ada minat menolong
orang dalam hal kebaikan. Itulah contoh-contoh penistaan agama dalam keseharian
yang paling menghanyutkan. Wallah a’lam.
Sumenep,
01 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar