Senin, 06 April 2020

LEVEL SUMBER ISTINBĀTH (Mengupas Istilah Ilhāq dalam Empat Mazhab)


M. Khaliq Shalha

Dalam ushul fiqih disuguhkan komposisi hukum Islam (al-ahkām asy-syar'iyyah) sebagai berikut: (1) al-hukm (hukum), (2) al-hākim (pembuat hukum), (3) mahkūm 'alaih (pelaku hukum), dan (4) mahkūm fīh (tindakan hukum).

Suatu hal yang menarik tentang pembuat hukum. Siapakah pembuat hukum? Allah.

Bukan mujtahid?

Bukan. Mujtahid hanya punya tanggung jawab moral dan ilmiah untuk menggali dan menemukan hukum dari sumber-sumbernya. Hukum telah dibuat oleh Allah sejak zaman azali (primordial). Mujtahid tinggal memungutnya atau mengkliknya dari sumber-sumber yang sakral dan semi sakral. Pekerjaan mujtahid itu disebut istinbāth.

Sumber-sumber hukum utama dan sakral adalah nas al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan sumber lainnya sebagai sumber alternatif adalah nas imam mujtahid (intinbāth min nushūshil aimmah), bila tidak ditemukan dalam dua sumber utama tersebut. Karena tidak ada tindakan hukum yang tidak ada hukumnya. Dengan kata lain, setiap tindakan orang mukallaf pasti ada status hukumnya.

Dalam proyek metode istinbāth dari teks (nas) imam mazhab terhadap hal-hal yang furūiyyah dapat disebut metode "ilhāq" (semacam qiyas, hanya pada pendapat ulama (fiqih), bukan pada al-Qur'an dan Sunnah), atau dalam kerangka kaidah fiqih dari ulama mazhab. Di masing-masing empat mazhab memiliki istilah tersendiri dalam menggali hukum dengan metode ilhāq.

Dr. Muhammad Ismail Muhammad Misy'al dalam kitabnya, Atsarul Khilāfil Fiqhī fil Qawā'id al-Mukhtalif fīhā, mengurai istilah yang digunakan dalam internal mazhab berikut ini.

Dalama fiqih Hanafi disebut "al-asybāh" pada leval pertama, dan disebut "ar-rājih" pada level kedua. Al-Asybāh, bermakna "al-aqrab" (lebih dekat dengan nas yang diriwayatkan dari imam mazhab atau pengikutnya).

Dalam mazhab Maliki disebut "takhrīj". Takhrīj lumrah digunakan oleh fuqaha dalam arti sebagai al-istinbāth al-muqayyad, yaitu meng-ilhāq-kan suatu kasus hukum pada hukum yang telah dirumuskan sebelumnya oleh imam mazhab, atau memasukkan pada cakupan kaidah fiqih yang dibangunnya, bila tidak terdapat nas utama (al-Qur'an dan Sunnah) yang meng-covernya.

Dalam mazhab Syafi'i, menyikapi perbedaan pendapat di tubuh mazhab ini, Imam Nawawi dalam al-Majmū': Syarah al-Muhadzdzab, beliau membagi pada tiga bagian: (1) "Aqwāl" (pendapat-pendapat Imam Syafi'i sendiri), (2) "Awjuh" (perbedaan-perbedaan pendapat Syafi'iyyah, ulama pengikut Imam Syafi'i)", dan "Thuruq" (perbedaan pendapat dari para periwayat mazhab Syafi'i dalam menarasikan mazhab Syafi'i).

Dalam mazhab Hanbali disebut "qiyāsul mazhab".

Salah satu contoh berikut ini dari mazhab Maliki. Ibn al-Hallab mengemukakan salah satu ilustrasi kasus hukum: Jika seseorang bernazar untuk beriktikaf pada hari tertentu, lalu pada hari yang ditentukan ia jatuh sakit, maka status hukumnya dapat di-takhrīj (dikeluarkan status hukumnya) dengan dua riwayat. Pertama, orang tersebut wajib qadha (menggantinya pada kesempatan lain). Kedua, tidak usah qadha. Kasus ini di-ilhāq-kan pada orang yang bernazar puasa pada hari-hari tertentu, lalu pada waktu pelaksanaannya ia jatuh sakit.

Ibn Abdil Hakim berpendapat, tidak wajib qadha atasnya kucuali ia niat mengqahanya. Berbeda dengan Ibnul Qasim, beliau berpendapat, ia wajib qadha kecuali sudah ada niat bahwa ia memang tidak ingin mengqhadanya.

Jadi, ilhāq pada pendapat ulama mazhab tentang kasus hukum baru sangat mungkin dilakukan dari waktu ke waktu sejalan dengan dinamika kehidupan sebagai langkah alternatif bila tidak ada celah untuk melakukan qiyās terhadap hukum yang sudah jadi yang berlandaskan sumber utama, al-Qur'an dan Sunnah.

Dengan demikian, sumber intinbāth menjadi kaya, yaitu sumber utama berupa al-Qur'an dan Sunnah, lalu alternatifnya pendapat imam mazhab (nushūshul aimmah).

Wallàh a'lam bish shawāb.

Sumenep, 6 April 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar