M. Khaliq Shalha
A. PENDAHULUAN
Merintis dan mengembangkan perpustakaan madrasah
sangat mudah dan murah apabila didasarkan pada keinginan tulus, tidak setengah
hati, tidak asal ada dan jadi. Sangat tergantung pada personal orang yang punya
hak untuk mengelolanya. Apakah dia punya minat tinggi untuk menyediakan media
belajar yang murah meriah serta menyenangkan pada anak didik, atau tidak begitu
punya gairah? Tipe pertama sangat menjanjikan, dan tipe kedua tidak banyak bisa
diharapkah. Bahkan saya yakin perjalanan perpustakaan nanti tidak begitu hidup
dan tidak begitu mati, la yamutu wa la yahya.
Terkait dengan hal tipe pengelola
perpustakaan madrasah, kepala madrasah perlu selektif dan tepat mengangkat
pengelola perpustakaan, karena sebagai penentu nasib perpustakaan ke depan.
Bernasib baik atau buruk.
Merintis perpustakaan jangan sampai
dibayang-bayangi oleh minimnya penguasaan teori untuk mengelolnya. Teori memang
penting, tapi keinginan kuat untuk memajukan perpustakaan jauh lebih penting. Bermodalkan
keinginan kuat, langkah-langkah yang akan ditempuh akan tergambar lebar dalam
pikiran kita. Inspirasi (ilham)
akan mengalir deras.
Dalam kesempatan ini, saya akan berbagi
pengalaman pada Anda mengenai pengelolaan perpustakaan yang sudah saya jalani
sejak tahun 2005 sampai sekarang. Mengapa saya berminat mengelola perpustakaan
madrasah? Karena perpustakaan sangat menentukan terhadap perkembangan dan
keluasan wawasan anak didik sejak dini. Perpustakaan adalah ajang pameran intelektual
yang sangat mungkin menggugah kesadaran anak didik untuk punya minat baca.
Di samping itu, saya punya alasan pribadi
mengapa saya sangat antusias mengembangkan perpustakaan. Bermula dari sebuah kekecewaan. Saya pernah
kecewa pada diri saya karena sangat minim pengetahuan pada macam-macam buku,
khususnya buku monumintal yang sering dijadikan rujukan di madrasah, misalnya
dalam pelajaran bahasa Indonesia. Suatu contoh, buku fiksi karya Hamka, Tenggelamnya
Kapal Van Derwijck. Waktu saya mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah,
ketika belajaran bahasa Indonesia, guru saya menjelaskan karya sastra yang
contohnya buku itu. Teman-teman saya begitu mengenal dan mahir dengan isi buku
itu, baik pemerennya, alur ceritanya, dan endingnya. Mungkin hanya saya sendiri
yang geleng-geleng kepala, jangankan isi buku, kulitnya saja saya tidak pernah
tahu. Andai keadaan saya diketahui oleh guru balaghah saya, mungkin beliau akan
heran dan mengatakan, “Subhanallah ya walad!”
Saya tidak lantas menyalahkan orangtua, guru
bahasa Indonesia, dan madrasah tsanawiyah tempat saya belajar sebelumnya. Persoalan
ini saya sadari sebagai suatu keterbatasan di mana saya dibesarkan, dan
selanjutnya menjadi tanggung jawab saya untuk ikut membenahinya di kemudian
hari. Saya punya keinginan untuk mengubah keadaan generasi berikutnya. Anak
didik saya jangan sampai picik seperti saya tentang literasi. Keinginan itu
pada akhirnya bertemu dengan kesempatan.
Sekitar tahun 2005, teman seperjuangan
saya, Durhan Ariev menggagas perpustakaan madrasah tempat saya belajar dulu dan
tempat saya mengajar kini. Dengan modal sekitar Rp325.000,00 (tiga ratus dua
puluh lima ribu rupiah), memperoleh beberapa buku, tak berat bila
dijinjing. Berupa cerita Abu Nawas dan sejenisnya. Masih baru, diletakkan di lemari
karbot. Melihat buku-buku baru itu, saya merasa terpanggil untuk berpartisipasi
mengelolanya. Saya izin dulu kepada beliau, lalu ia mempersilakan saya untuk
mengelolanya.
Dalam pengelolaan buku perpustakaan, ada
ketentuan yang harus dipenuhi menurut ilmu perpustakaan, seperti nomor
klasifikasi buku berdasarkan jenisnya. Misalnya jenis buku filsafat, agama,
sosial, bahasa dan lain-lain. Dengan demikian, saya harus pandai mencari tahu
tentang standar itu. Saya datangi pengurus perpustakaan pondok pesantren tempat
saya menimba ilmu. Panjang lebar dia menjelaskan. Bila ingin lebih jelas lagi,
ia menyuruh saya bertanya ke perpustakaan umum daerah kabupaten, karena dia
memperoleh ilmu itu dari perpustakaan umum. Saran tersebut memantik saya untuk
datang. Berkali-kali saya datang ke perpustakaan umum menimba ilmu tentang cara
mengelola perpustakaan. Intinya, saya mengelola perpustakaan madrasah modal
awalnya adalah semangat, bukan teori, lalu ditindaklanjuti dengan pendalaman
tata cara pengelolaannya secara standar.
B. LANGKAH-LANGKAH
MERINTIS PERPUSTAKAAN MADRASAH
1. Ruangan
Perpustakaan
Modal awal yang harus ada adalah ruangan
perpustakaan. Sebelum ruangan ada, sebaiknya jangan menggarap
kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kondisi ruangan disesuaikan dengan kemampuan madrasah.
Bila memungkinkan sebaiknya membuat ruangan yang kondusif. Tempat rak cukup dan
ruang baca juga cukup. Penting pula dipertimbangkan ruangan tersebut aman dari
berbagai hal, seperti kebocoran, tak terjangkau rayap, dan aman dari orang yang
tidak berkepentingan. Ruangan perpustakaan adalah tempat khusus yang tidak
boleh sembarang orang masuk ke dalamnya.
2. Rak Buku
Rak buku (lemari) adalah kebutuhan kedua
setelah ruangan. Minimal rak yang dibuat kuat menahan beban buku yang lumayan
berat. Rak bisa dari kayu atau rangkaian dari besi siku. Orang toko
menyebutnya, rak siku.
Di perpustakaan yang saya kelola sudah
punya empat buah rak. Tiga rak berbahan kayu dan satu rak terbaru, tahun 2014,
menggunakan rak siku. Ternyata rak siku lebih murah biayanya ketimbang rak kayu
dan penampilannya modis juga. Rak siku dijual di toko bangunan berupa batangan.
Ukuran perbatangnya tiga meter. Bisa dipotong-potong sesuai keinginan dan
kebutuhan. Praktis.
3. Koleksi Buku
Buku apa yang seharusnya dikoleksi oleh
perpustakaan madrasah agar bisa menarik minat baca siswa? Sesuaikan dengan
tingkatan madrasahnya; MI, MTs atau MA. Jenis buku yang dikoleksi tidak lepas
dari dua jenis; fiksi dan nonfiksi. Dari dua jenis ini banyak ragam yang bisa
dikoleksi. Pengelola perpustakaan harus pandai membaca selera siswa dan harus
pandai pula memancing minat baca.
Koleksi buku perpustakaan mencakup
buku-buku pelajaran dan bukan buku pelajaran. Menurut saya, prosentasinya 25 %
buku pelajaran, 75 % bukan buku pelajaran. Buku pelajaran secukupnya saja, tapi
buku bukan pelajaran harus lebih mendominasi. Koleksi buku perpustakaan bila
dimonopoli dengan buku pelajaran bisa dipastikan tidak akan menarik minat baca
siswa. Siswa sudah jenuh dengan buku pelajaran di dalam kelas. Koleksi buku
perpustakaan yang bukan buku pelajaran akan memberikan motivasi kepada siswa
untuk membacanya sehingga nuansanya rekreatif, mengusir rasa jenuh siswa.
Bahkan di perpustakaan di madrasah saya koleksi buku pelajaran sekitar 10 %
saja.
Pengelola perpustakaan harus peka menyiasati
kebosanan siswa terhadap koleksi buku yang ada. Caranya adalah selalu menambah
koleksi buku terbaru, khususnya buku-buku best seller. Pihak pengelola
dituntut untuk kaya informasi tentang perkembangan buku terbaru.
4. Sumber Dana
Banyak jalan untuk memperoleh asupan dana.
Pengelola perpustakaan dituntut peka membaca berbagai macam potensi sumber dana.
Di antaranya dari anggaran madrasah yang sudah disusun dalam RAPBM (Rencana
Anggaran dan Pendapatan Madrasah), alumni, dermawan, sumbangan sukarela siswa
dan sumber dana lainnya.
Menurut pengalaman saya, banyak cara yang
saya lakukan dan berjalan lancar. Pertama, dari anggaran madrasah
sekitar Rp500.000,00 tiap tahun.
Kedua, dari dermawan. Saya mengajukan permohonan tiap
tahun kepada mantan gubernur Jawa Timur, Bapak Mohammad Noor. Beliau sangat
dermawan. Perpustakaan saya pernah diberi Rp300.000,00, Rp500.000,00 dan Rp1.000.000,00. Beliau sekarang sudah wafat. Semoga pahala amal jariah beliau tetap
mengalir deras ke alam kubur sana. Berkat kedermawanan beliau para tunas bangsa
(siswa) bisa membaca buku.
Ketiga, dari kelas akhir. Di lembaga saya sudah
diagendakan bahwa setiap kelas akhir yang akan menyudahi studinya mereka
diwajibkan memberikan kenang-kenangan pada lembaga. Biasanya merupa uang tunai
yang dialokasikan salah satunya untuk pembelian buku perpustakaan dan
penambahan rak buku. Setiap akhir tahun pelajaran dana terkumpul hampir dua
juta.
Keempat, sumbangan sukarela dari siswa. Setiap akan membeli
buku, saya informasikan dulu pada siswa di setiap kelas. Mereka dihimbau untuk
bisa dermawan dengan menyumbangkan sebagian uang sakunya untuk pembelian buku
baru. Selang tiga hari dari pemberangkatan, mereka sudah dihimbau untuk
menyumbangkan uang yang dikumpulkan kepada ketua kelasnya. Biasanya yang terkumpul
hampir seratus lima puluh ribu. Dengan cara ini sebenarnya juga mendidik siswa
untuk bersikap dermawan menurut kemampuan dan keikhlasannya. Dan, bisa mengaktivasi
minat baca mereka karena merasa punya ikut adil di dalamnya.
Kelima, uang kas perpustakaan yang diperoleh dari
penjualan kartu perpustakaan. Harga awal kartu perpustakaan Rp1.000,00 dan untuk
sekarang Rp2.000,00. Harga BBM naik, minat baca siswa makin meningkat maka harga
kartu juga dinaikkan. Untuk siswa baru di awal-awal tahun pelajaran, kartu
digratiskan sebagai promosi. Setelah terisi semua kartunya, siswa harus
membelinya.
Kelima, masih sebatas rencana, pengumpulan dana dari
alumni. Apabila ini terlaksana maka sangat prospek untuk sumplai dana tidak
akan kesulitan. Cara ini bisa dilakukan tiap tahun sekali. Rencana ini masih belum terlaknana karena berbagai
kendala. Semoga selanjutkan akan bisa dilaksanakan.
Seterusnya, sumber dana lain yang tidak
mengikat kadang bisa diperoleh. Sepengalama saya, penghimpunan dana selalu
digampangkan oleh Allah SWT. Setiap rencana pembelian buku baru selalu ada
jalan untuk memperoleh pundi-pundi rupiah.
5. Cara Mendapatkan
Buku
Banyak cara juga untuk mendapatkan buku. Bisa
dengan cara membeli, hibah dari penerbit juga perorangan atau pemerintah.
Ada banyak cara yang sudah saya lakukan. Pertama,
membeli di tempat yang murah dengan buku-buku berkualitas. Taruhlah berstandar
SNI yang diterbitkan oleh penerbit profesional. Perpustakaan yang saya tangani
minim dana, maka menuntut saya untuk punya prinsip ekonomi, yaitu dengan modal
sedikit tapi mendapatkan buku banyak yang berkualitas. Berbagai usaha saya
tempuh. Hampir setiap toko buku di dua kebupaten terdekat saya kunjungi untuk
mengetahui perbandingan harga. Toko buku tetaplah harga toko. Saya coba membeli
lima ratus ribu, hanya memperoleh beberapa buku, ditenteng tidak berat. Saya
belum habis pikir, bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan buku murah.
Mendengar informasi dari salah seorang
teman bahwa di Jogjakarta dijual buku murah dalam momen bazar buku yang sering
digelar oleh perkumpulan penerbit dan agen. Pada waktu saya masih di pesantren,
tahun 2006, teman-teman saya bilang bahwa akan pergi ke Jogjakarta, ke bazar
buku dan mau potokopi buku referensi. Di Jogjakarta kan kualitas
potokopi sangat bagus, persis terbitan aslinya, murah lagi. Mendengan kabar
itu, saya mau pesan buku murah kepadanya. Waktu itu perpustakaan punya uang Rp300.000,00 bantuan dari Bapak Mohammad Noor. Tapi teman saya tidak mau dengan
alasan tidak kuat membawanya karena akan membeli banyak buku, dan sudah pesan
beberapa set buku potokopi berupa tafsir Al-Mishbah 15 jilid karya M. Quraish
Shihab, ulama tafsir Indonesia. Teman saya menyarankan agar saya ikut ke
Jogjakarta saja. Saya pikir-pikir sampai agak lama. Dapat dari mana biaya
transportasi dan makan? Uang tiga ratus ribu hanya untuk dibelikan buku,
selebihnya saya tidak punya. Untungnya teman saya bermurah hati memberikan
talangan, ongkos kendaraan, uang makan dan bahkan kalau mau membeli oleh-oleh
dia siap meminjamkan uang. Bayarnya ketemu setelah datang dari Jogja. Dengan
tidak begitu rasional saya mengiyakan, sambil kurang begitu percaya pada
kemampuan saya nanti. Dapat dari mana saya uang untuk bayar hutang. Berkat
kemauan tinggi untuk kemajuan umat, perjalanan saya berjalan lancar, tanpa
hambatan. Lumayan, sebagai orang desa bisa tahu kota pendidikan dan budaya,
Jogjakarta. Kedua kalinya saya berkunjung ke Jogja tahun 2008 dalam momen Islamic
Book Fair. Sudah bisa mandiri dan bisa mengajak teman pengurus perpustakaan
yang lain.
Harga buku di bazar dua variasi; harga
obral dari Rp2.000,00, Rp5.000,00, Rp10.000,00 dan seterusnya, dan ada juga harga
diskon. Strategi yang saya gunakan setelah sampai di lokasi, melihat semua
harga yang dipajang di setiap stand. Setelah diketahui lokasi dengan harga
termurah, baru saya melakukan aksi pembelian. Luar biasa senangnya mendapatkan
buku-buku murah yang masih gres dan bersegel. Sepertinya benakku mengatakan,
“Selamat tinggal toko-toko buku dengan harga mahalnya.”
Perjalanan ke Jogja lumayan jauh. Dengan
membawa beban berat butuh mental dan tenaga yang kuat. Saya berpikir, adakah di
tempat lain yang dekat dari rumah digelar bazar buku yang harganya sama dengan
di Jojga? Tahun 2010 waktu saya ke rumah paman di Malang bersama teman, teman
saya mendapat SMS dari temannya bahwa kalau ada di Malang sempatkan ke bazar
buku di aula Skodam, dekat balai kota Malang, di sana sedang digelar Islamic
Book Fair. Kala itu saya sempatkan mampir ke bazar itu dengan membeli
banyak buku. Harganya persis dengan di Jogja. Harga obral mulai dari Rp5.000,00. Para penjual buku di acara ini memang banyak yang datang dari Jogja.
Pagelaran bazar di Malang diselenggarakan
dua kali atau tiga kali setahun. Pagelaran bazar di Malang bisa dikatakan rutin
ada dan selalu besar, bahkan terbesar dan tersering di Jawa Timur. Mengingat
obset yang diperoleh dari bazar itu katanya tertinggi, mengungguli Surabaya.
Biasanya akhir Novermber ke awal Desember, bulan Mei atau April, kadang bulan
Juli ada juga. Untuk mengetahui informasinya, cukup Anda buka internet sekitar
bulan-bulan itu.
Setalah akrab dengan informasi bazar buku
di Malang, Islamic Book Fair Malang menjadi langganan saya untuk mendapatkan
buku murah meriah dan berkualitas. Kesempatan ini saya gunakan juga untuk
memotivasi pustakawan dengan mengajak salah satu karyawan secara bergiliran
agar bisa menyegarkan pikiran ke kota dingin Malang dan bisa menggugah
kegemarannya pada dunia buku ketika melihat hamparan bazar digelar.
Tempat buku murah selain di Malang, ada juga
di Surabaya, tapatnya di Kampung Ilmu jalan Semarang. Buku-buku novel best
seller banyak dengan harga murah ketimbang toko buku biasa. Di samping itu,
buku komek sangat murah, pereksemplarnya Rp2.000,00. Tapi buku-bukunya banyak
terbitan lama. Buku lama dan bekas relatif memonopoli.
Selain dengan cara membeli, bisa juga
mendapatkan buku dengan mengajukan permohonan ke penertbit. Tapi agak sulit
meraihnya, kecuali ada program khusus dari penertbit. Saya banyak mengirimkan
permohonan. Satu kali mendapat balasan sekadar mohon maaf tidak bisa membantu,
yang lainnya tidak ada tanggapan. Selain meminta ke penerbit, bisa menghubungi
teman-teman yang berkompeten di bidang literasi. Saya pernah satu kali dikirimi
teman di Jogjakarta.
6. Mengelola Buku
Setelah buku didapat, langkah selanjutnya
mengelolanya sebelum diluncurkan ke perpustakaan. Agar buku awet, disteples
terlebih dahulu, dilabel, disampul, distempel halaman depan-tengah-belakang,
diregister ke buku inventaris agar jumlah buku yang ada diketahui, lalu siap
diluncurkan ke perpustakaan.
7. Peraturan
Peminjaman
Pengelola perpustakaan harus membuat
peraturan yang mengikat pada setiap pihak yang akan meminjam buku, baik siswa
atau guru. Peraturan dimaksud memberikan kepastian kepada peminjam tentang
kewajiban-kewajibannya. Dari alokasi waktu pinjamnya, misalnya siswa diberi
waktu meminjam dua hari satu buku dan boleh diperpanjang dengan melapor ke
pustakawan. Guru diberi alokasi waktu satu minggu. Peraturan ini harus
dijalankan secara disiplin agar sirkulasi buku lancar dan antisipasi agar buku
tidak hilang.
Penegakan aturan pada siswa jauh lebih
mudah ketimbang pada guru. Buku rawan hilang apabila dipinjam guru, karena guru
merasa lebih punya kuasa untuk meminjam tanpa mengindahkan peraturan. Akhirnya
koleksi buku perpustakaan makin lama makin surut, tidak diketahui di mana
rimbanya. Kebiasaan buruk ini harus dimusnahkan. Kepala perpustakaan selaku
pemegang hak preoregatif sebagai penentu maju-mundurnya perpustakaan harus
memberlakukan peraturan tanpa tebang pilih, baik untuk siswa atau guru.
Pengalaman saya, penegakan peraturan kepada semua pihak bisa berjalan lancar.
8. Kegiatan Penunjang
Kegiatan perpustakaan bukan hanya sebatas
meminjamkan buku, tapi harus lebih jauh dari itu. Di samping kegiatan pokoknya
meminjamkan buku, kegiatan perpustakaan juga harus bervariasi untuk menunjang
tercapainya tujuan perpustakaan. Di antara kegiatan penunjang yang dapat
dilakukan misalnya, diadakan lomba resensi tiap akhir semester, diskusi buku
yang populer dengan sebutan bedah buku, kerja sama dengan guru terkait agar
guru yang bersangkutan memberikan tugas kepada siswa dengan mencari referensi
di perpustakaan.
Di samping itu pula, setelah kesadaran
siswa terbangun tentang pentingnya membaca dan minat baca siswa sudah menjadi
kebiasaan, langkah selanjutnya adalah memfasilitasi siswa untuk belajar
menulis. Cara yang bisa digunakan misalnya, siswa disuruh mencatat pada buku
khusus setiap hal penting dari buku yang mereka baca, lalu menambahkan dengan
gagasan pribadi terhadap apa yang mereka catat. Kegiatan ini bila bisa bertahan
lama akan lebih mudah bagi siswa untuk membuat suatu karangan dengan ide-ide yang
sudah mulai tumbuh dari hasil membaca dan penguasaan bahasa yang semakin mapan.
Dalam kondisi seperti ini, perpustakaan bukan sekadar penyedia bahan bacaan
untuk menggugah minat baca siswa, tapi juga mengkader para penulis masa depan.
9. Promosi
Perpustakaan
Pengelola perpustakaan dituntut untuk
kreatif, inovatif dan motivatif untuk menjalankan kegiatan perpustakaan. Indikasi
utama suksesnya perpustakaan apabila minat baca tumbuh pesat. Menumbuhkan minat
baca perlu stategi, metode, teknis dan taktik yang semua itu saya istilahkan
dengan ajang promosi. Membuat gerakan dan gebrakan agar siswa punya minat untuk
membaca. Di antara usaha yang bisa dilakukan adalah menata ruang perpustakaan menjadi
menarik, selalu ditambah koleksi buku baru yang bisa menarik selera siswa, membuat
informasi sensasi seputar perpustakaan; bisa lewat papan info, corong madrasah
atau lewat jejaring sosial, penobatan siswa terajin meminjam buku tiap tengah
semester dan akhir semester dengan kemasan acara misalnya penobatan putra-puri
buku dengan hadiah beasiswa dan hadiah menarik lainnya, dan lain-lain.
Istilah “putra buku” dan “putri buku” saya
gunakan sebagai ganti dari “kutu buku”, karena istilah ini sepertinya kurang
bersahabat dan kurang apresiatif terhadap predikit yang mulia ini. Ibarat pria
diumpamakan denga “kumbang”. Kumbang kan tidak menawan. Sedangkan
wanita diumpamakan dengan “bunga”, sangat indah. Laki-laki lebih menarik bila
diibaratkan kupu-kupu saja ketimbag kumbang.
Promosi perpustakaan sangat dibutuhkan
untuk mengekspos sisi menariknya pada siswa sehingga tanda-tanda kehidupan perpustakaan tersebut dikenal akrab, akhirnya bisa memantik mereka berminat untuk
membaca.
C. PENUTUP
Merintis perpustakaan madrasah sangat
mudah dan murah, bila sudah punya modal keinginan kuat untuk mengelolanya.
Keinginan kuat sungguh tak bisa ditukar dengan materi berlimpah. Bermodalkan
materi semata, tidak akan berjalan kondusif. Pada akhirnya akan terseok-seok. Perpustakaan
sekadar ada. Sungguh ironis. Padahal peranan perpustakaan sangat vital dalam
mengembangkan wawasan siswa secara mumpuni.
Paparan di atas lebih pada berbagi
pengalaman saya dalam mengelola perpustakaan madrasah sejak 2005 sampai
sekarang. Dengan modal materi yang pas-pasan, tapi masih tetap eksis bisa
berjalan dengan lancar berkat adanya kesungguhan. Data terakhir yang tercatat
dalam buku inventaris, perpustakaan madrasah yang saya kelola sudah memiliki
buku sebanyak 1342 eksemplar dan 4 rak buku.
Bagi Anda yang ingin merintis perpustakaan
madrasah atau mengembangkannya, bila ada masalah bisa tukar pengalaman dengan
saya.
Wallah a’lam.
*****
Sumenep, 20 November 2014
Artikel ini dapat juga dilihat di:
http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/25/merintintis-perpustakaan-madrasah-693440.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar