Oleh
M. Khaliq Shalha
Pengertian Niat
Niat secara
bahasa bermakna al-qash (maksud, motivasi, tujuan), baik bersamaan
dengan pekerjaan atau tidak. Sedangkan secara istilah bermaksud sesuatu
bersamaan dengan pekerjaannya. Apabila suatu pekerjaan diakhirkan dari niat,
hal itu dinamakan azam.
Perlu saya
paparkan lebih sederhana cara mudah memahami niat dan melakukannya. Niat sama
halnya kesadaran hati dan pikiran untuk melakukan sesuatu. Bila Anda sadar ketika
makan pada dini hari dengan maksud ingin berpuasa esok, berarti Anda sudah
berniat puasa. Makan sahur merupakan wujud kesadaran Anda untuk melakukan puasa
esok hari. Bila Anda sadar ketika berdiri di atas sajadah menghadap kiblat pada
waktu pagi hari untuk salat Subuh, berarti Anda berniat salat Subuh, bukan olahraga
senam pagi. Itulah makna niat yang lebih sederhana. Tidak perlu ribet memahaminya.
Ulama
mengajarkan kita melafalkan niat, seperti ushalli…, nawaitu …,
tujuannya untuk mempermudah kalangan awam dalam berniat. Tapi kadang kala dipahami
secara sulit. Kalau mau salat, takbiratul ihramnya kepanjangan, sampai melebihi
standar bacaan mad terpanjang dalam tajwid. Panjang takbirnya bukan satu alif
lagi, tapi sekitar satu meter. Mengapa begitu? Karena mereka menghadirkan lafal
niat ke dalam hatinya secara perlahan. Kadang kala sampai waswas. Tidak perlu
ribet begitu. Lafal niat bisa secepat kilat dihadirkan dalam hati. Cukup
kesadaran hati dan pikiran Anda bermaksud melakukan salat.
Adanya lafal
niat dimaksudkan pula mempersiapkan diri untuk bisa konsentrasi (khusyuk) dalam
ibadah. Menyatukan pikiran yang masih berserakan di mana-mana untuk bisa fokos
pada perbuatan yang akan dilakukan. Ibarat pula pemanasan dalam olahraga.
Tujuan Niat
Niat memiliki
peranan yang sangat penting dalam semua tindakan hukum yang dilakukan manusia,
di antaranya:
- Memperjelas atau membedakan antara perbuatan ibadah dengan tradisi.
- Membedakan rangkaian suatu ibadah dengan ibadah yang lainnya sesuai dengan urutan dan batas-batas yang ditentukan dalam hukum Islam.
Dari tujuan niat di atas dapat
dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut:
- Mandi, rutin dilakukan manusia dalam keseharian dengan tujuan ibadah atau mandi biasa untuk cuci badan karena bau, keringatan atau sekadar mendinginkan badan. Mandi sebagai ibadah, terkadang sebagai kewajiban karena hadas besar, atau mandi sunah, misalnya untuk salat Jumat dan lainnya. Mandi karena ibadah atau tradisi, dalam prakteknya bisa sama persis, tidak bisa dibedakan di antara keduanya, terutama menurut penilaian orang lain. Dengan demikian, niat seseorang itulah yang membedakan status nilainya, dan hanya orang yang bersangkutan yang bisa menilainya.
- Niat dalam wudu menjadi pembeda dengan tradisi cuci muka dan cuci sebagian anggota badan lainnya.
- Tidak makan dan minum di siang hari ada kemungkinan karena puasa, pantangan atau untuk diet. Hal tersebut dapat dibedakan dengan niat. Sekalian bila Anda ingin diet, sebaiknya berpuasa saja agar dapat pahala puasa dan secara otomatis diet juga terlaksana.
- Duduk di dalam masjid kadang untuk iktikaf atau untuk beristirahat. Tergantung pada niatnya.
- Memberikan harta benda kepada orang lain bisa bernilai hibah, hadiah untuk mempererat hubungan silaturrahmi, atau mencari perhatian orang lain. Dan bisa juga untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti zakat, sedekah, dan kafarat. Tergantung pada niat orang yang bersangkutan.
- Menyembelih binatang ternak bisa untuk tujuan konsumsi semata atau mendekatkan diri kepada Allah yang disebut kurban. Tergantung pada niatnya.
Niat disyariatkan pula untuk membedakan macam-macam status ibadah antara
yang satu dengan yang lainnya walaupun dalam satu bentuk ibadah, seperti wudu,
mandi, salat, puasa, dan lainnya. Macam-macam ibadah tersebut terkadang fardu,
nazar, atau sunah. Tayamum bisa dipakai untuk menghilangkan hadas kecil atau
besar, tergantung niatnya. Demikian pula, niat disyariatkan untuk membedakan
rangkaian ibadah yang satu dengan yang lainnya.
Dalam ibadah tertentu, tidak disyaratkan adanya
niat apabila ibadah yang dimaksud tidak memiliki kesamaan dengan tradisi, di
samping itu, tidak akan terjadi kekaburan antara ibadah dengan yang non ibadah.
Seperti beriman kepada Allah, makrifat (mengenal Allah), raja‘ (mengharap
nikmat Allah), khauf (cemas doa tidak dikabulkan, takut terhadap murka
Allah), membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Namun semua itu pasti dilandaskan pada
kesadaran untuk melakukannya, sekalipun secara formal tidak perlu adanya
semacam nawaitu.
Wallah a’lam.
*****
Sumenep, 18 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar