M. Khaliq Shalha
Makna Ramadan
Ramadan adalah nama dari salah satu bulan
hijriyah. Ramadan berasal dari bahasa Arab (Ramadhan), secara bahasa,
ada dua makna yang dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam kitab Kasyifatus
Saja: Pertama, menurut Utsman
dalam Tuhfatul Habib, Ramadhan nama bulan, diambil dari kata al-ramdh,
dengan makna al-ihrak (membakar), karena di bulan ini dosa-sosa dibakar.
Menurut al-Muqri dalam al-Mishbah, dikatakan, al-ramdh sama
dengan syiddah al-harr (sangat panas), karena penamaan bulan ini
bertepatan dengan cuaca yang sangat panas.
Jadi dalam arti bahasa, Ramadhan bermakna membakar atau sangat
panas. Makna pertama sesuai dengan konteks pelaksanaan ibadah umat Islam pada
bulan tersebut, berupa ibadah puasa Ramadan yang apabila dikerjakan dengan
penuh keimanan dan keikhlasan, dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah. Sabda
Rasulullah SAW: “Barangsiapa berpuasa Ramadan dengan keimanan dan mengharap
pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(HR. Abu Daud). Sedangkan makna kedua dikaitkan dengan iklim ketika penamaan
bulan tersebut.
Ragam Kelas
Puasa
Puasa juga memiliki kelas, seperti halnya kelas
pendidikan, hotel, rumah makan, tempat perbelanjaan dan lain sebagainya.
Pengkelasan puasa dikaitkan dengan tingkat penghayatan orang yang
melaksanakannya. Terdapat tiga kelas puasa, sebagaimana kutipan yang dipaparkan
oleh Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam Kasyifatus Saja pula. Menurut
Ahmad al-Fasyni, dikatakan oleh ulama, puasa memiliki tiga ragam: Pertama,
al-‘umum (umum/populer): menahan perut (tidak makan atau minum) dan
kemaluan dari kehendak hawa nafsu. Kedua, al-khushush (istimewa/elitis):
menahan telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari
berbuat dosa. Ketiga, khushush al-khushush (super elitis):
memalingkan hati dari rayuan-rayuan dunia dan mencegahnya dari segala sesuatu
selain Allah.
Kelas pertama sebagai kelas minimalis yang paling diganderungi oleh mayoritas
muslim. Kelas ini sudah cukup memenuhi kebutuhan primer, yaitu sekadar melunasi
kewajiban dengan terpenuhinya syarat serta rukun puasa. Sudah cukup memenuhi
syarat pula untuk disebut sebagai muslim dalam memenuhi salah satu rukun Islam
yang lima.
Kelas dua bukan sekadar memenuhi kebutuhan primer, tapi juga sekunder. Tak
semua orang bisa menempuhnya. Menjaga hal-hal yang sepele untuk tidak berbuat
dosa, nyatanya tidak sepele, tapi justru sulit. Menjaga telinga, mata, mulut,
tangan, kaki dan seluruh anggota badan untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya,
tidak mudah. Maka, pantas Rasulullah SAW memberikan barometer bagi status
muslim-tidaknya seseorang: “Orang Islam adalah orang yang bisa membuat
orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.” (HR. Muslim).
Penyebutan lidah (mulut) dan tangan sebagai sebuah simbol minimal yang
maknanya mencakup segala potensi yang dimiliki manusia yang berpotensi
merugikan orang lain. Konteks kejahatan lisan tergolong manual yang mulai zaman
dulu, sekarang dan akan datang tetap berlaku secara efektif dan efisien. Lidah
tak bertulang, maka begitu mudahnya manusia bersilat lidah. Hal ini rawan
menimbulkan salah lirik dalam komunikasi sehari-hari. Akhirnya,
berbuah komunikasi negatif yang meresahkan orang lain. Makanya ada salah satu
ceramah KH. Zainuddin MZ—guru retorika dan moral saya—yang mengatakan, kurang
lebih: “Jika pedang lukai tubuh gampang dicari obatnya, jika lidah lukai hati,
ke mana obat hendak dicari.”
Kemudian, kejahatan tangan bervariasi bentuknya, dari memukul, mencuri, mencopet
dan sejenisnya. Itu ragam klasik yang tetap eksis hingga akhir zaman. Di era
teknologi informasi dan komunikasi ini, tangan makin mendapatkan peluang lebar
untuk menyalahgunakan wewenangnya. Kadang, dua tangan cukup diwakili oleh
tangan kanan, dan tangan kanan cukup diwakili oleh jempol. Jempol begitu lincah
menari-nari di atas layar smartphone (HP pintar). Bahaya jempol yang
bertulang dan bersendi tidak kalah dengan lidah yang tak bertulang. Dengan
majunya teknologi komunikasi, manusia dimanjakan untuk berselancar di dunia
maya, online di internet dengan menggunakan fasilitas jejaring
sosial, misal, facebook, twiter dan sejenisnya. Apapun bisa
ditulis, foto apa saja bisa diunggah walau tidak layak dikonsumsi oleh orang yang
waras imannya. Pencemaran nama baik mudah dilakukan. Fasilitas teknologi
komunikasi canggih ibarat pisau tajam. Ada dua potensi yang bertautan: baik dan
buruk. Tergantung orang yang menggunakannya. Ibadah puasa yang benar memiliki
peranan penting pada psikologi manusia untuk tidak menyalahgunakan wewenang
dari semua potensi yang dimiliki di sekujur tubuhnya.
Kelas puasa super elitis bukan sekadar level primer dan sekunder, tapi
tersier. Dalam perspektif ilmu ekonomi, terpenuhinya kebutuhan mewah. Hanya
bedanya, dalam konteks puasa, kelas tersier ini tidak menjadi rebutan mayoritas
muslim untuk menggapainya, tidak seperti kebutuhan ekonomi pada barang mewah,
seperti mobil mewah, rumah mewah, vila, emas dan sebagainya. Justru bertolak
belakang dari rayuan-rayuan material. Inilah yang membuat banyak orang tidak
merebutnya. Puasa kelas super ilitis ini konsentrasinya pada level hati, level
terdalam, yaitu memalingkan hati dari rayuan-rayuan dunia dan mencegahnya dari
segala sesuatu selain Allah. Dengan bahasa lain, puasa kelas ini berada di
level zuhud.
Konsep zuhud perlu dipahami secara proporsional dan produktif, bukan
asketis fatal, sehingga tidak terjadi kecelakaan dalam ranah kehidupan
sosialnya. Zuhud itu lawannya hubbud dunya (cinta buta pada dunia). Persoalan ini adalah
urusan hati. Hubbud dunya tergolong penyakit hati kelas berat yang sangat
membahayakan. Dampaknya luar biasa. Bisa jadi menghalalkan berbagai macam cara demi
mencapai tujuan. Kawan jadi lawan, dan sebaliknya. Sikut dan senggol kanan-kiri.
Sikat atas, tendang bawah. Kejahatan yang ditimbulkan oleh penyakit ini, misal,
yang fenomenal di Indonesia adalah korupsi, kolusi, nepotisme. Hal itu terjadi akibat
kering kerontangnya sifat zuhud.
Zuhud jangan dimaknai pemiskinan dan marjinalisasi diri dari kemewahan
dunia. Tetapi mengkondisikan hati untuk tidak tergoda oleh kemilau dunia yang
bisa membuat orang lupa diri, lupa daratan, lupa tetangga, dan lupa Tuhan.
Zuhud adalah mentransendenkan detak hati pada Tuhan, di samping kita berjalan
normal sebagai makhluk sosial dalam upayanya humanisasi (pemberdayaan) dengan
memanfaatkan segala sumber daya yang ada, dan liberasi (pembebasan) dari
kemaksiatan, kebodohan, ketertindasan, kemiskinan dan sejenisnya. Sebagaimana
konsep Prof. Dr. Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dalam bukunya, Paradigma
Islam yang digali dari kandungan surat Ali ‘Imran [03]: 110.
Umat Islam boleh kaya materi, bahkan harus berusaha untuk kaya. Karena dengan
kaya kita bisa terjamin untuk zuhud. Sulit kita zuhud bila kondisi ekonomi dalam
keadaan krisis, paceklik. Bahkan seorang teman mengatakan ketika tidak tepat
janji dalam membayar hutang bahwa orang itu sulit jujur apabila dalam keadaan
kepepet. Lalu saya sempat merenung. “Betul, betul, betul...!!!” dalam benakku. Saya
cukup merespon terhadap sebuah atsar: “Nyaris kefakiran menjadikan
seseorang kufur.” Umat Islam sangat pantas punya mobil mewah, tapi mobil
itu diparkir di garasinya, bukan di hatinya. Umat Islam pantas banyak emasnya,
tapi emas itu ditaruh di lemarinya, bukan di hatinya. Umat Islam pantas banyak
uangnya, tapi uang itu ditabung di bank, bukan di hatinya. Entar, kalau cukup bisa
dibuat biaya naik haji. Naik haji dari Indonesia butuh biaya banyak. Masa mau
jalan kaki? Mampus...!!!
Meraih kualitas puasa dari jenjang ke jenjang membutuhkan nyali yang
tangguh. Memang hikmah puasa mendidik manusia untuk punya nyali yang mumpuni
dengan membiasakan bersabar pada hal-hal yang sebelumnya halal menjadi
terlarang, apalagi pada hal-hal yang memang terlarang. Dibutuhkan keinginan
tulus meraih kualitas puasa terbaik dengan latihan-latihan setahap demi
setahap. Puasa merupakan ibadah lahir dan batin. Diharapkan membawa dampak
transformasi sosial dengan predikat takwa yang produktif dalam ranah domestik
dan publik. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 183). Wallah a’lam.
Sumenep, 16 Ramadan 1436 H/03 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar