Jumat, 03 Juli 2015

MENYIBAK MAKNA PUASA RAMADAN: DARI BAHASA KE AKSI NYATA


M. Khaliq Shalha


Makna Ramadan
Ramadan adalah nama dari salah satu bulan hijriyah. Ramadan berasal dari bahasa Arab (Ramadhan), secara bahasa, ada dua makna yang dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja:  Pertama, menurut Utsman dalam Tuhfatul Habib, Ramadhan nama bulan, diambil dari kata al-ramdh, dengan makna al-ihrak (membakar), karena di bulan ini dosa-sosa dibakar. Menurut al-Muqri dalam al-Mishbah, dikatakan, al-ramdh sama dengan syiddah al-harr (sangat panas), karena penamaan bulan ini bertepatan dengan cuaca yang sangat panas.

Jadi dalam arti bahasa, Ramadhan bermakna membakar atau sangat panas. Makna pertama sesuai dengan konteks pelaksanaan ibadah umat Islam pada bulan tersebut, berupa ibadah puasa Ramadan yang apabila dikerjakan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa berpuasa Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Abu Daud). Sedangkan makna kedua dikaitkan dengan iklim ketika penamaan bulan tersebut.

Ragam Kelas Puasa
Puasa juga memiliki kelas, seperti halnya kelas pendidikan, hotel, rumah makan, tempat perbelanjaan dan lain sebagainya. Pengkelasan puasa dikaitkan dengan tingkat penghayatan orang yang melaksanakannya. Terdapat tiga kelas puasa, sebagaimana kutipan yang dipaparkan oleh Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam Kasyifatus Saja pula. Menurut Ahmad al-Fasyni, dikatakan oleh ulama, puasa memiliki tiga ragam: Pertama, al-‘umum (umum/populer): menahan perut (tidak makan atau minum) dan kemaluan dari kehendak hawa nafsu. Kedua, al-khushush (istimewa/elitis): menahan telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari berbuat dosa. Ketiga, khushush al-khushush (super elitis): memalingkan hati dari rayuan-rayuan dunia dan mencegahnya dari segala sesuatu selain Allah.

Kelas pertama sebagai kelas minimalis yang paling diganderungi oleh mayoritas muslim. Kelas ini sudah cukup memenuhi kebutuhan primer, yaitu sekadar melunasi kewajiban dengan terpenuhinya syarat serta rukun puasa. Sudah cukup memenuhi syarat pula untuk disebut sebagai muslim dalam memenuhi salah satu rukun Islam yang lima.

Kelas dua bukan sekadar memenuhi kebutuhan primer, tapi juga sekunder. Tak semua orang bisa menempuhnya. Menjaga hal-hal yang sepele untuk tidak berbuat dosa, nyatanya tidak sepele, tapi justru sulit. Menjaga telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan seluruh anggota badan untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya, tidak mudah. Maka, pantas Rasulullah SAW memberikan barometer bagi status muslim-tidaknya seseorang: “Orang Islam adalah orang yang bisa membuat orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.” (HR. Muslim).

Penyebutan lidah (mulut) dan tangan sebagai sebuah simbol minimal yang maknanya mencakup segala potensi yang dimiliki manusia yang berpotensi merugikan orang lain. Konteks kejahatan lisan tergolong manual yang mulai zaman dulu, sekarang dan akan datang tetap berlaku secara efektif dan efisien. Lidah tak bertulang, maka begitu mudahnya manusia bersilat lidah. Hal ini rawan menimbulkan salah lirik dalam komunikasi sehari-hari. Akhirnya, berbuah komunikasi negatif yang meresahkan orang lain. Makanya ada salah satu ceramah KH. Zainuddin MZ—guru retorika dan moral saya—yang mengatakan, kurang lebih: “Jika pedang lukai tubuh gampang dicari obatnya, jika lidah lukai hati, ke mana obat hendak dicari.”

Kemudian, kejahatan tangan bervariasi bentuknya, dari memukul, mencuri, mencopet dan sejenisnya. Itu ragam klasik yang tetap eksis hingga akhir zaman. Di era teknologi informasi dan komunikasi ini, tangan makin mendapatkan peluang lebar untuk menyalahgunakan wewenangnya. Kadang, dua tangan cukup diwakili oleh tangan kanan, dan tangan kanan cukup diwakili oleh jempol. Jempol begitu lincah menari-nari di atas layar smartphone (HP pintar). Bahaya jempol yang bertulang dan bersendi tidak kalah dengan lidah yang tak bertulang. Dengan majunya teknologi komunikasi, manusia dimanjakan untuk berselancar di dunia maya, online di internet dengan menggunakan fasilitas jejaring sosial, misal, facebook, twiter dan sejenisnya. Apapun bisa ditulis, foto apa saja bisa diunggah walau tidak layak dikonsumsi oleh orang yang waras imannya. Pencemaran nama baik mudah dilakukan. Fasilitas teknologi komunikasi canggih ibarat pisau tajam. Ada dua potensi yang bertautan: baik dan buruk. Tergantung orang yang menggunakannya. Ibadah puasa yang benar memiliki peranan penting pada psikologi manusia untuk tidak menyalahgunakan wewenang dari semua potensi yang dimiliki di sekujur tubuhnya.

Kelas puasa super elitis bukan sekadar level primer dan sekunder, tapi tersier. Dalam perspektif ilmu ekonomi, terpenuhinya kebutuhan mewah. Hanya bedanya, dalam konteks puasa, kelas tersier ini tidak menjadi rebutan mayoritas muslim untuk menggapainya, tidak seperti kebutuhan ekonomi pada barang mewah, seperti mobil mewah, rumah mewah, vila, emas dan sebagainya. Justru bertolak belakang dari rayuan-rayuan material. Inilah yang membuat banyak orang tidak merebutnya. Puasa kelas super ilitis ini konsentrasinya pada level hati, level terdalam, yaitu memalingkan hati dari rayuan-rayuan dunia dan mencegahnya dari segala sesuatu selain Allah. Dengan bahasa lain, puasa kelas ini berada di level zuhud.

Konsep zuhud perlu dipahami secara proporsional dan produktif, bukan asketis fatal, sehingga tidak terjadi kecelakaan dalam ranah kehidupan sosialnya. Zuhud itu lawannya hubbud dunya  (cinta buta pada dunia). Persoalan ini adalah urusan hati. Hubbud dunya tergolong penyakit hati kelas berat yang sangat membahayakan. Dampaknya luar biasa. Bisa jadi menghalalkan berbagai macam cara demi mencapai tujuan. Kawan jadi lawan, dan sebaliknya. Sikut dan senggol kanan-kiri. Sikat atas, tendang bawah. Kejahatan yang ditimbulkan oleh penyakit ini, misal, yang fenomenal di Indonesia adalah korupsi, kolusi, nepotisme. Hal itu terjadi akibat kering kerontangnya sifat zuhud.

Zuhud jangan dimaknai pemiskinan dan marjinalisasi diri dari kemewahan dunia. Tetapi mengkondisikan hati untuk tidak tergoda oleh kemilau dunia yang bisa membuat orang lupa diri, lupa daratan, lupa tetangga, dan lupa Tuhan. Zuhud adalah mentransendenkan detak hati pada Tuhan, di samping kita berjalan normal sebagai makhluk sosial dalam upayanya humanisasi (pemberdayaan) dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada, dan liberasi (pembebasan) dari kemaksiatan, kebodohan, ketertindasan, kemiskinan dan sejenisnya. Sebagaimana konsep Prof. Dr. Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dalam bukunya, Paradigma Islam yang digali dari kandungan surat Ali ‘Imran [03]: 110.

Umat Islam boleh kaya materi, bahkan harus berusaha untuk kaya. Karena dengan kaya kita bisa terjamin untuk zuhud. Sulit kita zuhud bila kondisi ekonomi dalam keadaan krisis, paceklik. Bahkan seorang teman mengatakan ketika tidak tepat janji dalam membayar hutang bahwa orang itu sulit jujur apabila dalam keadaan kepepet. Lalu saya sempat merenung. “Betul, betul, betul...!!!” dalam benakku. Saya cukup merespon terhadap sebuah atsar: “Nyaris kefakiran menjadikan seseorang kufur.” Umat Islam sangat pantas punya mobil mewah, tapi mobil itu diparkir di garasinya, bukan di hatinya. Umat Islam pantas banyak emasnya, tapi emas itu ditaruh di lemarinya, bukan di hatinya. Umat Islam pantas banyak uangnya, tapi uang itu ditabung di bank, bukan di hatinya. Entar, kalau cukup bisa dibuat biaya naik haji. Naik haji dari Indonesia butuh biaya banyak. Masa mau jalan kaki? Mampus...!!!

Meraih kualitas puasa dari jenjang ke jenjang membutuhkan nyali yang tangguh. Memang hikmah puasa mendidik manusia untuk punya nyali yang mumpuni dengan membiasakan bersabar pada hal-hal yang sebelumnya halal menjadi terlarang, apalagi pada hal-hal yang memang terlarang. Dibutuhkan keinginan tulus meraih kualitas puasa terbaik dengan latihan-latihan setahap demi setahap. Puasa merupakan ibadah lahir dan batin. Diharapkan membawa dampak transformasi sosial dengan predikat takwa yang produktif dalam ranah domestik dan publik. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 183). Wallah a’lam.

Sumenep, 16 Ramadan 1436 H/03 Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar