Jumat, 26 Desember 2014

PLURALISME BERSALAWAT (Memaknai Peringatan Maulid Nabi)


M. Khaliq Shalha



إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا . ( الأحزاب :53 ) .
 Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh hormat kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 53).
*****


Allah bersalawat artinya Dia memberi rahmat kepada Nabi SAW. Malaikat bersalawat artinya memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Orang-orang mukmin bersalawat artinya mereka berdoa kepada Allah supaya diberi rahmat untuknya. Penafsiran ini bisa Anda lacak dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karya Ibn Katsir. Perlu kiranya saya mempertajam ulasan salawat orang mukmin untuk Rasulullah SAW karena hal ini menyangkut posisi kita selaku umatnya. Kita manusia, bukan Tuhan dan bukan pula malaikat. Pesan Al-Qur’an memang diturunkan untuk manusia.
Perintah Tuhan di atas menunjukkan keumuman waktu, dan tempat untuk bersalawat, demikian juga redaksinya. Di mana saja, kapan saja, dalam hal apa saja kita pantas bersalawat dan salam. Di rumah, perjalanan, masjid atau kantor. Ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring. Dalam keadaan senang atau susah. Dalam salat atau luar salat. Individu atau kolektif. Terorganisir atau tidak.  
Bersalawat menunjukkan kecintaan kepada Rasulullah SAW. Salawat hakikatnya adalah hadiah buat beliau. Hadiah adalah sebuah pemberian berupa penghargaan atas jasa-jasa yang telah diberikan kepada umatnya berupa penyampaian ajaran Islam sehingga manusia bisa membedakan yang benar dan yang batil. Orang yang diberi hadiah adalah orang terhormat, bukan karena kekurangan yang layak dibantu, sehingga salawat bukan merupakan sedekah doa buat beliau. Beliau tetap tidak kekurangan rahmat Allah seandainya tidak dimintakan rahmat oleh umatnya. Maka, orang yang bersalawat kepadanya berkahnya akan mengalir kepada orang yang bersangkutan berupa ketenangan jiwa dan syafaat dari Nabi kelak.
Salawat wajib dibaca minimal lima kali dalam sehari semalam pada tiap tahyat akhir dalam salat lima waktu. Selebihnya tergantung pada kapasitas kecintaan umatnya kepada beliau. Allah tidak membatasi berapa banyak salawat yang akan dibaca. Dalam tradisi Islam Indonesia—mungkin juga dalam skop luas, internasional—digelar pembacaan salawat secara terorganisir yang terkemas dalam acara Peringatan Maulid Nabi (Dzikra Maulid al-Rasul)  pada tiap bulan Rabiul Awal. Di tempat-tempat tertentu, di kota atau di desa. Puncak peringatannya secara massal di gelar di masjid pada tiap malam tanggal 12 Rabiul Awal. Masyarakat berkumpul di masjid demi memperingati hari kelahiran Sang Pencerah dunia, Nabi Muhammad SAW dengan membaca salawat bersama untuk beliau. Selainnya, sebelum atau sesudah tanggal itu, banyak masyarakat menggelar secara mandiri di rumah masing-masing dengan mengundang para tetangga, bahkan sampai di luar bulan Rabiul Awal.
Acara Peringatan Maulid Nabi ini masih menimbulkan kontroversi. Ada yang pro dan ada—sekelintir orang yang kaku—kontra. Bagi yang pro memiliki pandangan keagamaan yang lebih luas dalam mengimplementasikan pesan Tuhan dalam ayat di atas sehingga bisa mendarah daging dalam tradisi keagamaan masyarakat. Mestinya memang—menurut saya—spirit ajaran agama itu dibumikan dalam kehidupan, sehingga kecintaan kepada Nabi mengakar kuat yang tak mudah tercerabut dalam kondisi apapun. Islam jangan dianggap sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7, lalu dijadikan sebagai prasasti sejarah yang tidak boleh disentuh dengan peradaban.
Bagi orang yang kontra berpandangan bahwa acara seremonial Peringatan Maulid Nabi dipandang bid’ah, mengada-ada, tidak pernah diajarkan Nabi, alis tidak ada dalilnya. Padahal kalau berbicara dalil, dalil yang melarang Peringatan Maulid Nabi juga tidak ada. Artinya orang yang menyalahkan acara ini juga bid’ah. Bila mendudukkan ajaran agama sebagai prasasti, maka ajarannya akan mudah pudar ditelan waktu. Selama spirit tuntunan Al-Qur’an masih bersifat umum, implementasinya harus dinamis sehingga Islam selalu cocok dalam setiap perubahan zaman, terutama era modern ini yang semakin menjadi-jadi.
Pluralisme cara bersalawat juga perlu disentuh, bukan hanya pluralisme agama yang diperjuangkan mati-matian, kadang sampai kebablasan. Entah apa motifnya. Mungkin demi menjunjung kemajemukan atau sekadar pencitraan—terro alem, Madura-nya—agar pemikirannya dianggap maju dan modern, ha ha. Jangan sinis, jangan salahkan orang yang menggelar Peringatan Maulid Nabi dengan membaca salawat secara kolektif, terorganisir. Salahkan dan sesalkan orang yang tak bersalawat. Umat Islam bisa maju apabila banyak bid’ah (inovasi) yang muncul. Tak semua bid’ah sesat, dan tak semua bid’ah tidak sesat. Bid’ah yang baik contohnya Peringatan Maulid Nabi. Bisa memupuk kecintaan umat pada Nabi hingga mengamalkan ajarannya. Bid’ah yang sesat contohnya menambah rakaat salat Subuh menjadi tiga atau empat. Jumlah rakaat salat adalah ketentuan baku, tidak bisa diganggu gugat. Kalangan liberal pun tidak akan berani mengubah-ubah rakaat salat jika mereka masih ingin hidup lama di dunia sambil bisa makan enak dan tidur nyenyak.
Hikmah dari Peringatan Maulid Nabi banyak lho. Di samping acara intinya membaca salawat kepada Nabi, acara ini sarat nilai-nilai sosial tinggi. Sebagai ajang silaturrahmi antar tetangga, berbagi dengan mereka dengan menyuguhkan makanan. Makan bersama nikmatnya luar biasa walau makanannya sederhana, apalagi sate dan seprangkat makanan lainnya. Al-Qur’an sering menyandingkan hubungan vertikal dengan horizontal, hubungan spiritual dengan sosial. Salah satu contohnya, perintah melaksanakan salat disandingkan dengan perintah menunaikan zakat. Di sinilah bukti bahwa Islam adalah agama rahmat. Wallah a’lam.
*****

Sumenep, 26 Desember 2014/3 Rabiul Awal 1436.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar