M. Khaliq Shalha
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا . ( الأحزاب :53 ) .
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya
bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh hormat kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 53).
*****
Allah bersalawat artinya Dia memberi
rahmat kepada Nabi SAW. Malaikat bersalawat artinya memintakan ampunan kepada
Allah untuknya. Orang-orang mukmin bersalawat artinya mereka berdoa kepada
Allah supaya diberi rahmat untuknya. Penafsiran ini bisa Anda lacak dalam kitab
Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karya Ibn Katsir. Perlu kiranya saya mempertajam
ulasan salawat orang mukmin untuk Rasulullah SAW karena hal ini menyangkut
posisi kita selaku umatnya. Kita manusia, bukan Tuhan dan bukan pula malaikat.
Pesan Al-Qur’an memang diturunkan untuk manusia.
Perintah Tuhan di atas menunjukkan keumuman
waktu, dan tempat untuk bersalawat, demikian juga redaksinya. Di mana saja,
kapan saja, dalam hal apa saja kita pantas bersalawat dan salam. Di rumah,
perjalanan, masjid atau kantor. Ketika berdiri, berjalan, duduk, atau
berbaring. Dalam keadaan senang atau susah. Dalam salat atau luar salat.
Individu atau kolektif. Terorganisir atau tidak.
Bersalawat menunjukkan kecintaan kepada
Rasulullah SAW. Salawat hakikatnya adalah hadiah buat beliau. Hadiah adalah
sebuah pemberian berupa penghargaan atas jasa-jasa yang telah diberikan kepada
umatnya berupa penyampaian ajaran Islam sehingga manusia bisa membedakan yang
benar dan yang batil. Orang yang diberi hadiah adalah orang terhormat, bukan
karena kekurangan yang layak dibantu, sehingga salawat bukan merupakan sedekah
doa buat beliau. Beliau tetap tidak kekurangan rahmat Allah seandainya tidak
dimintakan rahmat oleh umatnya. Maka, orang yang bersalawat kepadanya berkahnya
akan mengalir kepada orang yang bersangkutan berupa ketenangan jiwa dan syafaat
dari Nabi kelak.
Salawat wajib dibaca minimal lima kali dalam
sehari semalam pada tiap tahyat akhir dalam salat lima waktu. Selebihnya
tergantung pada kapasitas kecintaan umatnya kepada beliau. Allah tidak
membatasi berapa banyak salawat yang akan dibaca. Dalam tradisi Islam
Indonesia—mungkin juga dalam skop luas, internasional—digelar pembacaan salawat
secara terorganisir yang terkemas dalam acara Peringatan Maulid Nabi (Dzikra
Maulid al-Rasul) pada tiap bulan
Rabiul Awal. Di tempat-tempat tertentu, di kota atau di desa. Puncak
peringatannya secara massal di gelar di masjid pada tiap malam tanggal 12
Rabiul Awal. Masyarakat berkumpul di masjid demi memperingati hari kelahiran
Sang Pencerah dunia, Nabi Muhammad SAW dengan membaca salawat bersama untuk
beliau. Selainnya, sebelum atau sesudah tanggal itu, banyak masyarakat
menggelar secara mandiri di rumah masing-masing dengan mengundang para
tetangga, bahkan sampai di luar bulan Rabiul Awal.
Acara Peringatan Maulid Nabi ini masih
menimbulkan kontroversi. Ada yang pro dan ada—sekelintir orang yang kaku—kontra.
Bagi yang pro memiliki pandangan keagamaan yang lebih luas dalam
mengimplementasikan pesan Tuhan dalam ayat di atas sehingga bisa mendarah
daging dalam tradisi keagamaan masyarakat. Mestinya memang—menurut saya—spirit
ajaran agama itu dibumikan dalam kehidupan, sehingga kecintaan kepada Nabi
mengakar kuat yang tak mudah tercerabut dalam kondisi apapun. Islam jangan
dianggap sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7, lalu dijadikan
sebagai prasasti sejarah yang tidak boleh disentuh dengan peradaban.
Bagi orang yang kontra berpandangan bahwa
acara seremonial Peringatan Maulid Nabi dipandang bid’ah, mengada-ada,
tidak pernah diajarkan Nabi, alis tidak ada dalilnya. Padahal kalau berbicara
dalil, dalil yang melarang Peringatan Maulid Nabi juga tidak ada. Artinya orang
yang menyalahkan acara ini juga bid’ah. Bila mendudukkan ajaran agama
sebagai prasasti, maka ajarannya akan mudah pudar ditelan waktu. Selama spirit
tuntunan Al-Qur’an masih bersifat umum, implementasinya harus dinamis sehingga
Islam selalu cocok dalam setiap perubahan zaman, terutama era modern ini yang
semakin menjadi-jadi.
Pluralisme cara bersalawat juga perlu
disentuh, bukan hanya pluralisme agama yang diperjuangkan mati-matian, kadang
sampai kebablasan. Entah apa motifnya. Mungkin demi menjunjung kemajemukan atau
sekadar pencitraan—terro alem, Madura-nya—agar pemikirannya dianggap maju
dan modern, ha ha. Jangan sinis, jangan salahkan orang yang menggelar
Peringatan Maulid Nabi dengan membaca salawat secara kolektif, terorganisir.
Salahkan dan sesalkan orang yang tak bersalawat. Umat Islam bisa maju apabila
banyak bid’ah (inovasi) yang muncul. Tak semua bid’ah sesat, dan
tak semua bid’ah tidak sesat. Bid’ah yang baik contohnya Peringatan
Maulid Nabi. Bisa memupuk kecintaan umat pada Nabi hingga mengamalkan
ajarannya. Bid’ah yang sesat contohnya menambah rakaat salat Subuh
menjadi tiga atau empat. Jumlah rakaat salat adalah ketentuan baku, tidak bisa
diganggu gugat. Kalangan liberal pun tidak akan berani mengubah-ubah rakaat
salat jika mereka masih ingin hidup lama di dunia sambil bisa makan enak dan
tidur nyenyak.
Hikmah dari Peringatan Maulid Nabi banyak lho.
Di samping acara intinya membaca salawat kepada Nabi, acara ini sarat
nilai-nilai sosial tinggi. Sebagai ajang silaturrahmi antar tetangga, berbagi
dengan mereka dengan menyuguhkan makanan. Makan bersama nikmatnya luar biasa
walau makanannya sederhana, apalagi sate dan seprangkat makanan lainnya.
Al-Qur’an sering menyandingkan hubungan vertikal dengan horizontal, hubungan
spiritual dengan sosial. Salah satu contohnya, perintah melaksanakan salat
disandingkan dengan perintah menunaikan zakat. Di sinilah bukti bahwa Islam
adalah agama rahmat. Wallah a’lam.
*****
Sumenep, 26
Desember 2014/3 Rabiul Awal 1436.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar