Jumat, 28 November 2014

PROBLEMA FILOSOFIS DALAM PENDIDIKAN MODERN


Oleh M. Khaliq Shalha




A.    PENDAHULUAN
Dalam kajian dunia Barat, kemunculan teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari konteks peradaban Barat itu sendiri. Banyak literatur yang mengungkapkan tentang hal itu. Secara konvensional, sejarah peradaban Barat dibagi dalam periode: klasik dari Yunani kuno hingga abad ke-5, zaman tengah dari abad ke-6 hingga munculnya periode ketiga, yaitu zaman Renaissance abad ke-15-17 dan abad pencerahan, Aufklarung abad 18 yang merupakan awal dari abad modern hingga saat ini. Dua peristiwa politik yakni keruntuhan Romawi Barat (476 M) dan keruntuhan Romawi Timur (1553 M) dianggap sebagai tonggak pemisah antara zaman klasik dengan zaman tengah dan zaman modern.[1]
Periode pertengahan sering disebut masa kegelapan (the dark ages) karena hampir tidak muncul prestasi besar yang pantas dibanggakan. Secara filosifis, bila pada zaman klasik aspek akal (reason) sama kedudukannya dengan iman, pada pada abad pertengahan aspek iman mendominasi akal. Dimensi ketuhanan (teosentris) menjadi acuan utama dalam hampir segala lini kehidupan. Sedangkan pada era modern, sebaliknya, akal yang mendominasi iman (antroposentris).
Di sisi lain pada abad kegelapan ini, Spanyol sebagai pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang luar biasa dengan pendidikan yang sangat maju dengan dilengkapi perpustakaan yang besar dan lengkap. Kota-kota Cordova, Sevilla Granada, dan Toledo merupakan pusat-pusat pendidikan pada waktu itu. Dengan kemajuan yang luar biasa tersebut menarik para pendeta dan para ilmuan Barat untuk datang minimba ilmu. Lambat laun Barat mulai panin ilmuwan sehingga sampai munculnya gerakan Renaissance (1450-1600).[2] Eropa Tengah pada zaman Renaissance sangat antusias menerima terhadap filsafat dan metode ilmiah sebagaimana dianut oleh Ibn Rush.[3]
Pada masa Renaissance manusia ingin bebas dari ikatan abad pertengahan dan berusaha mencari pedoman baru dalam kebebasan individu. Cita-cita menjadi pendeta diganti dengan cita-cita individu yang diarahkan pada masa jayanya Republik Romawi dan Yunani. Cita-cita inilah yang mendorong untuk mempelajari beberapa macam ilmu pengetahuan. Keinginan untuk kembali ke sejarah masa lalu dan ilmu-ilmu mulai menggeliat. Meraka berasumsi bahwa apa saja yang perlu dibuat pegangan hidup sudah digagas oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Mereka sudah tidak lagi membutuhkan kitab Injil tapi cukup berpegangan pada buku-buku klasik. Gerakan untuk menghasilkan teori pendidikan modern juga sudah mulai dilakukan.
Tulisan ini akan mendeskripsikan tentang kedudukan filsafat dalam penyelenggaraan pendidikan, pertarungan antar filsafat pendidikan di zaman modern, dominasi filsafat Barat di dunia pendidikan modern, dan dampak negatif serta alternatif jalan keluarnya.

B.     KEDUDUKAN FILSAFAT DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
1.      Arti Filsafat
Filsafat menurut pendekatan etimologis berakar dari bahasa Yunani ‘phillein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Arti filsafat secara terminologi ini mempunyai latar belakang yang muncul dari pemikiran Socrates, beberapa abad sebelum Masehi. Socrates berkata bahwa manusia tidak berhak atas kebijaksanaan, karena keterbatasan kemampuan yang dimilikinya. Terhadap kebijaksanaan manusia hanya berhak untuk mencintainya. Pendirian Socrates tersebut sekaligus menunjukkan sikap kritiknya terhadap kaum Sophis yang mengaku memiliki kebijaksanaan.[4] 
Secara sederhana, istilah cinta menunjukkan adanya aksi yang didukung oleh dua pihak. Pihak pertama berperan sebagai subyek dan pihak kedua berperan sebagai obyek. Sedangkan aksi tersebut didorong oleh suatu kecenderungan subyek untuk menyatu dengan obyek. Untuk bisa menyatu dengan obyek, subyek harus mengetahui sifat atau hakikat obyek. Dengan demikian, pengetahuan mengenai obyek menentukan penyatuan subyek dengan obyek. Semakin mendalam pengetahuan subyek maka semakin kuat penyatuannya dengan obyek.
Adapun istilah kebijaksanaan yang akar katanya adalah bijaksana, mendapatkan awalan ke dan akhiran an, menggambarkan pengetahuan hakiki tentang bijaksana. Jadi kebijaksanaan adalah hakikat dari perbuatan bijaksana. Perbuatan bijaksana dikenal sebagai bersifat benar, baik, dan adil. Perbuatan demikian dilahirkan dari dorongan kemauan yang kuat menurut keputusan perenungan akal pikiran, dan atar perimbangan perasaan yang dalam.
Dari pendekatan etimologis tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pengetahuan mengenai pengetahuan. Dapat pula diartikan sebagai akar dari pengetahuan atau pengetahuan terdalam.[5]
Sedangkan pengertian filsafat secara akumulatif adalah pemikiran radikal. Penyelidikan dengan pikiran mendalam atau perenungan mengenai obyek sampai ke akar-akarnya (radix). Maksudnya adalah berpikir mendalam sampai ditemukan unsur-unsur inti yang secara sitematik menjadikan obyek sampai pada hakikat kebenaran hakiki, yaitu kebenaran pada tingkat abstrak-universal yang bersifat mutlak. Ada yang mengatakan bahwa filsafat adalah berpikir ilmiah, tetapi tidak setiap berpikir ilmiah adalah filsafat. Maksudnya, maksudnya metode dan sistem ilmiah kefilsafatan berproses menurut segala segi, sehingga dapat mencapai kebenaran ilmiah kefilsafatan, kebenaran universal, yaitu kebenaran hakiki atau kebenaran absolut (substantif). Sedangkan metode dalam sistem pemikiran ilmiah biasanya berproses menurut sudut pandang tertentu, sehingga akan menghasilkan kebenaran ilmiah (obyektif) yang cakupannya tertentu dan khusus yang bersifat relatif.[6]     
2.      Filsafat Pendidikan dan Peranannya
Bertitik tolak pada pengertian filsafat secara akumulatif di atas jika dikaitkan dengan pemikiran filosofis tentang pendidikan maka selanjutnya dikembangkan menurut keseluruhan segi yang ada di dalam obyek pendidikan. Karena pendidikan adalah masalah manusia, jadi seluruh segi kehidupan manusia akan menjadi tolok ukur pemikiran. Dengan kata lain, pendidikan dipikirkan sejauh hakikat keberadaan manusia.
Manusia sebagai pribadi atau pun sebagai masyarakat, sebagai bangsa dan negara hidup di dalam sosio-budaya. Aktivitas untuk mewariskan dan mengembangkan sosio-budaya tersebut terutama melalui pendidikan. Untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif, menurut Mohammad Noor Syam[7] dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan-landasan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan. Dengan demikian kedua asas tersebut, filosofis dan ilmiah tak dapat dipisahkan, sebab pendidikan sebagai usaha membina dan mewariskan kebudayaan, mengemban satu kewajiban yang luas dan menentukan prestasi suatu bangsa; bahkan tingka sosio-budaya mereka. Sehingga pendidikan bukanlah usaha dan aktivitas spekulatif semata. Pendidikan harus secara fundamental didasarkan atas asas-asas filosofis dan ilmiah yang menjamin pencapaian tujuan, yakni meningkatkan sosio-budaya bahkan martabat bangsa, kewibawaan dan kejayaan negara.
Bidang ilmu pendidikan dengan berbagai cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang secara dinamis. Sedangkan filsafat pendidikan sesuai denga peranannya, merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Kedua bidang di atas harus menjadi pengerahuan dasar (basic knowledge) bagi setiap pelaksana pendidikan. Untuk itu, perlu dipahami secara mendalam arti dan fungsi filsafat pendidikan di samping ilmu pendidikan dengan berbagai cabangnya.
Selanjtunya, proses pendidikan adalah proses perkembagan dengan suatu tujuan. Tujuan proses perkembangan tersebut secara alamiah adalah kedewasaan dan kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah adalah tumbuh menuju ke tingkat kedewasaan dan kematangan. Potensi ini akan berwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, misalnya iklim, makanan, kesehatan, keamanan relatif sesuai dengan kebutuhan manusia.
Apakah makna kedewasaan dan kematangan tersebut bersifat biologis-jasmaniah atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), ataukan secara moral dalam arti bertanggung jawab atau sadar normatif. Realitanya tidak semua manusia berkembang sebagaimana diharapkan. Maka akan lahir dalam pikiran manusia problem-problem beberapa kemungkinan perkembagan potensi manusia itu. Lalu manakah yang lebih menentukan, apakah potensi yang kodrati, faktor-faktor alam sekitar, atau faktor luar khususnya pendidikan.
Adanya aktivitas dan lembaga-lembaga pendidikan merupakan jawaban manusia atas problem itu. Karena diproyeksikan bahwa pendidikan itu mungkin dan mampu mewujudkan potensi manusia sebagai aktualitas, maka pendidikan itu digelar. Timbulnya problem sekaligus solusi alternatifnya adalah bidang pemikiran filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan. Ini berarti bahwa pendidikan adalah pelaksana dari ide-ide filsafat. Dengan kata lain ide filsafat memberikan asas kepastian nilai perenan pendidikan  untuk pembinaan manusia sehingga melahirkan ilmu pendidikan, lembagai pendidikan, dan aktifitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuknya yang lebih terperinci, filsafat pendidikan menjadi ruh dan pedoman asasi pendidikan. 

C.    DOMINASI FILSAFAT BARAT DI DUNIA PENDIDIKAN MODERN
Sebagaimana penulis kupas pada pendahuluan di atas bahwa munculnya teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari konteks peradaban Barat, baik pada periode klasik maupun setelah periode Renaissance. Tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan merupakan ranah praksis di mana berbagai nilai, norma, dan kepentingan bertemu untuk merebut pengaruh. Dalam kondisi seperti ini pendidikan lantas menjadi suatu ladang kompetisi berbagai pandangan, dan tak jarang saling berseberangan dan berkontradiksi.
Ditelisik dari perjalanan sejarah munculnya teori pendidikan, secara teori siklus,[8] Barat menempati posisi strategis setelah nenek moyangnya (Yunani Kuno) meniggalkan warisan luar biasa. Dunia Islam mengalami kemunduran setelah mempergunakan warisan Yunani Kuno dengan baik. Kalangan Barat segera bangun dari tidurnya yang sudah berabad-abad lamanya terpuruk, dengan memberikan kritik dan respon terhadap kondisinya yang menyebabkannya terpuruk di zaman kegelapan. Tawaran teori yang cerdas, pragmatis, menjanjikan, dan rasional yang dibangun di atas filsafat yang mereka anut menjadi laris manis di bursa pasar ide pendidikan hingga saat ini.
M. Jindar Wahyudi mendeskripsikan munculnya teori-teori pendidikan Barat mulai setelah munculnya Renaissance hingga abad 20.[9] Adanya suatu gerakan yang tumbuh pertama kali menghasilkan sebuah teori yang disebut dengan teori Humanisme. Tujuan pendidikan dengan teori ini diarahkan pada pembentukan manusia berani, bebas, dan gembira. Berani berarti manusia percaya pada dirinya sendiri, bukan taat pada kekuasaan Tuhan seperti pada zaman pertengahan. Bebas berarti lepas dari ikatan Gereja dan tradisi. Gembira berarti menunjukkan dirinya pada kenikmatan duniawi bukan pada ukhrawi.
Rasa bebas dan merdeka merupakan ciri khas dari zaman Renaissance yang lambat laun mendorong para ilmuwan melakukan eksprimen-eksprimen dan observasi-observasi sehingga menghasilkan metode ilmiah yang dicetuskan oleh Francis Bacon yang terkenal dengan metode induktif. Perubahan cara-cara berfikir induktif ini berpengaruh pada bidang pendidikan sehingga memunculkan teori baru dalam pendidikan yang disebut teori Realisme. Teori ini berusaha untuk meninggalkan cara-cara dan usaha yang segala sesuatunya dikembalikan pada masa klasik seperti pandangan teori humanisme, akan tetapi Realisme berpegang pada masa lampau dan berorientasi pada masa depan dengan perhatian pada dunia nyata dan realita alam yang ada.
Memasuki abad 18 M muncul usaha-usaha manusia yang segala sesuatunya ditunjukkan pada usaha-usaha pencerahan, Aufklarung terhadap abad kegelapan. Pada abad ini manusia hanya percaya pada akal manusia saja, sehingga abad ini desebut abad Rasionalisme. Pada abad ini paling tidak ada dua teori pendidikan yang satu sama liannya saling mempengaruhi, yaitu teori Empirisme dan terori Rasionalisme.
Empirisme berangapan bahwa sumber dari segala pengetahuan dan kebenaran adalah empiri atau pengalaman. Oleh karena itu, segala sesuatu harus dicari dari bahan-bahan yang telah diperoleh dari pengalaman. Paham ini berasal dari Inggris yang dipelopori oleh Bacon (1561-1626), ajaran ini diperluas oleh kaum empiri bangsa Inggris lainnya seperti John Locke, Berkeley, dan Hume. Sedangkan Rasionalisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika sesuai dengan akal pikiran. Teori ini dipelopori oleh Descartes dari Prancis (1596-1650).
Pada abad ke-19 M peradaban Barat mengalami perkembangan sangat pesat. Pada abad ini muncul teori Liberalisme (Subyektifisme), suatu perkembagan dari Rasionalisme dan Nativisme. Orang ingin bebas, merdeka, dan ingin mengikuti pikirannya sendiri. Pola pikir semacam ini bukan hanya dalam bidang pendidikan, namun juga dalam bidang agama, politik, dan ekonomi.
Memasuki abad ke-20 M muncul teori-teori  dalam pendidikan dan pengajaran sebagai reaksi terhadap Liberalisme tersebut. Teori-teori tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa aliran, yaitu aliran sosial, kepribadian, dan pembaharuan pengajaran. Aliran Sosial muncul sebagai reaksti terhadap teori Subyektifisme (Individualisme) yang terlalu ekstrim dalam mengabaikan unsur-unsur sosial dalam pendidikan.
Aliran Kepribadian memberikan rekasi terhadap pendidikan yang dirasakan terlalu intelektualistik, yang hanya megutamakan pembentukan kecerdasan tanpa mengindahkan pendidikan watak. Sementara itu, aliran Pembaharuan Pengajaran muncul karena ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pengajaran yang sedang berlaku pada waktu itu, melalui aliran ini mereka mulai mengadakan percobaan-percobaan dan mencari jalan baru dalam bidang pengajaran yang dipadukan dalam bidang pisikologi.
Memasuki abad ke-20 M juga muncul teori-teori pendidikan yang menurut Brameld diklasifikasikan menjadi empat aliran: Progressivisme, Esensialisme, Perenealisme, dan Rekonstruksionisme.[10] Progresivisme berpendirian bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menahan atau menggancam keberadaan manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progres). Sedangkan sarana utamanya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman yang dibantu dengan kecerdasan.  Esensialisme berpendirian bahwa pendidikan berfungsi sebagai pemelihara kebudayaan, karena itu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Sedangkan Perenealisme muncul sebagai reaksi terhadap kebudayaan manusia yang sedang krisis. Aliran ini memberikan pemecahan dengan jalan kembali pada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan. Dalam arti, kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas dan nilai dari zaman ke zaman tersebut. Berbeda dengan Perenialisme yang memilih jalan kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan, maka Rekonstruksionisme ingin merombak tatanan hidup kebudayaan yang sama sekali baru, melalui lembaga dan proses pendidikan yang dipandang sebagai suatu kebutuhan mendesak untuk kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang ini.

D.    DAMPAK NEGATIF DAN ALTERNATIF JALAN KELUARNYA
Pendidikan dan kehidupan adalah dua hal yang identik tak terpisahkah, bagaikan air dengan ikannya. Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia. Demikian juga sebailiknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan.
Perkembangan filsafat pendidikan sebagaimana terurai di atas dari waktu ke waktu selalu dinamis. Namun di balik itu, dalam satu sisi memiliki dampak negatif yang cukup serius. Sampai dewasa ini masalah pendidikan tetap menjadi persoalan manusia dan bangsa manapun. Jika pendidikan mengalami krisis, berarti semua orang atau bangsa di dunia ini sedang mengalami krisis kependidikan yang pasti menyebabkan krisis multi dimensi.  Bila disimak secara saksama masalah pendidikan dalam masyarakat, tampak jelas bahwa komersialisasi pendidikan berbanding lurus dengan krisis moral. Hal ini terjadi karena ada pendangkalan orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik ini melekat mulai dari titik kebijakan hingga pada praktik penyelenggaraan pendidikan.
Beberapa abad yang lalu, di Eropa mengalir dua arus revolusi, yaitu revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Prancis. Ketika dua arus revolusi ini bertemu, terbentuklah suatu sistem kekuasaan politik kolonial dan sistem perekonomian kapitalistik. Secara revolusioner pula, kedua sistem itu memfasilitasi potensi nafsu manusia baik secara individual maupun sosial, yang berkembang menjadi watak dan perilaku serakah.[11]
Revolusi industri tersebut mempengaruhi terhadap aliran filsafat pendidikan, misalnya Progressivisme.[12] Era industrialisasi pengaruhnya sangat besar atas sikap manusia terutama pada masalah-masalah kekuatan manusia atas alam dalam rangka eksplorasi alam (bumi) dan penggunaan tenaga mesin untuk produksi. Secara psikologis memberikan dasar kepercayaan pada diri sendiri di mana manusia mempu menguasai alam. Manusia mulai sensitif atas kebebasan dan kemerdekaan dalam sistem ekonomi yang didasarkan pada kompetisi dan persaingan bebas. Ujung-ujungnya akan menciptakan kepribadian manusia ke arah serakah sebagaimana disebut di atas sehingga terciptalah apa yang disebut dehumanisasi dan demoralisasi, sehingga sekarang pun masih dirasakan.
Bertitik tolak dari problematika tersebut maka perlu adanya alternatif jalan keluarnya, yaitu salah satunya merubah orientasi pendidikan. Penulis menawarkan sebuah solusinya, yaitu Ilmu Pendidikan Profetik yang diproyeksikan mampu memberikan keseimbangan bagi manusia dalam menjalankan hidupnya.
Ilmu Pendidikan Profetik penulis derivasi dari gagasan Kuntowijoyo, yaitu Ilmu Sosial Profetik. Gagasan ini muncul untuk transformasi sosial dan memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak sekedar merubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profeti tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang  diidamkan masyarakatnya. Perubahan tersebut didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110, surat Ali Imran :[13]
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ .
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf (humanisasi), dan mencegah dari yang munkar (liberasi), dan beriman kepada Allah (transendensi).
Tiga muatan nilai inilah menurut Kuntowijoyo yang mengkateristikkan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan. Gagasan ini menurutnya diilhami oleh Muhammad Iqbal, khususnya ketika Iqbal bercerita tentang peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, kata Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial , untuk menggarakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai sesuatu transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.[14]
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa era sekarang sudah mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami obyektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politk dan mesin-mesin pasar. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi. Menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa, ingin bebas secara bersama-sama dari belenggu-belenggu yang dibangun sendiri. Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kehidupan ini sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, matearilisme. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.[15]
Gagasan cemerlang inilah sepatutnya kita jadikan sebagai paradigma untuk membangun sebuah orientasi pendidikan ke arah humanisasi, liberasi, dan transendensi.

E.     PENUTUP
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif, dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan-landasan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.
Munculnya teori-teori pendidikan Barat dimulai setelah munculnya Renaissance hingga abad 20
Munculnya teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari konteks pandangan filsafat Barat mulai setelah munculnya Renaissance hingga abad ini masih mendominasi dunia pendidikan.
Bila disimak secara saksama masalah pendidikan dalam masyarakat, tampak jelas bahwa komersialisasi pendidikan berbanding lurus dengan dehumanisasi dan demoralisasi dengan landasan fisafat Progressivisme. Hal ini terjadi karena ada pendangkalan orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik ini melekat mulai dari titik kebijakan hingga pada praktik penyelenggaraan pendidikan. Secara revolusioner pula, kedua sistem itu memfasilitasi potensi nafsu manusia baik secara individual maupun sosial, yang berkembang menjadi watak dan perilaku serakah. Solusinya adalah perlu merubah orientasi pendidikan. Solusi yang penulis tawarkan adalah ilmu pendidikan profetik yang memiliki dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi.

*****

Sumenep, 28 November 2014



DAFTAR PUSTAKA


Azhar, Muhammad, Filsafat Politi: Perbandingan antara Islam dan Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Mustofa, A., Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. 
Shofan, Moh., Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dekotomi Pendidikan. Jogjakarta: IRCiSoD, 2004.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Suhartono, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Wahyudi, M. Jindar, Nalar Pendidikan Qur’ani. Yogyakarta: 2006.
Zubaedi dkk., Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
*****




[1] Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat. (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996), 29-30, M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani. (Yogyakarta: 2006), 13.
[2] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani, 14.
[3] A. Mustofa, Filsafat Islam. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), 287. 
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 37.
[5] Ibid., 37-38.
[6] Ibid., 47-48.
[7] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 39.
[8] Teori Siklus berendapat bahwa sejarah itu bergerak melingkar. Setiap peristiwa historis akan akan selalu berulang kembali. Semboyan terkenal dalam teori ini adalah I’histoire se repete, artinya sejarah itu berulang. Apa yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Teori Siklus kadang juga disebut teori Biologis yaitu bahwa kebudayaan itu memiliki mempunyai fase-fase umur seperti halnya manusia, yaitu masa kanak-kanak, masa remaja dan masa dewasa. Teori Siklus juga disebut Teori Lingkaran Abadi (eternal return), bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam peristiwa sejarah. Segala sesuatunya akan terus berulang secara abadi. Menurut Moh. Ali, sejarah dalam teori Siklus digerakkan oleh sesuatu kekuatan gaib yang disebut fatum (qadar atau nasib). Baca Toto Suhatono, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003), 92-93.
[9] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani, 14-18.
[10] Mohammad Noor Syam, 224.
[11] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 66.
[12] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila., 231.
[13] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. (Bandung: Mizan) 288.
[14] Ibid., 289
[15] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar