Oleh M. Khaliq
Shalha
A. PENDAHULUAN
Dalam kajian dunia Barat, kemunculan
teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari
konteks peradaban Barat itu sendiri. Banyak literatur yang mengungkapkan
tentang hal itu. Secara konvensional, sejarah peradaban Barat dibagi dalam
periode: klasik dari Yunani kuno hingga abad ke-5, zaman tengah dari abad ke-6
hingga munculnya periode ketiga, yaitu zaman Renaissance abad ke-15-17
dan abad pencerahan, Aufklarung abad 18 yang merupakan awal dari abad
modern hingga saat ini. Dua peristiwa politik yakni keruntuhan Romawi Barat
(476 M) dan keruntuhan Romawi Timur (1553 M) dianggap sebagai tonggak pemisah
antara zaman klasik dengan zaman tengah dan zaman modern.[1]
Periode pertengahan sering disebut masa
kegelapan (the dark ages) karena hampir tidak muncul prestasi besar yang
pantas dibanggakan. Secara filosifis, bila pada zaman klasik aspek akal (reason)
sama kedudukannya dengan iman, pada pada abad pertengahan aspek iman
mendominasi akal. Dimensi ketuhanan (teosentris) menjadi acuan utama dalam
hampir segala lini kehidupan. Sedangkan pada era modern, sebaliknya, akal yang
mendominasi iman (antroposentris).
Di sisi lain pada abad kegelapan ini,
Spanyol sebagai pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang luar biasa dengan
pendidikan yang sangat maju dengan dilengkapi perpustakaan yang besar dan
lengkap. Kota-kota Cordova, Sevilla Granada, dan Toledo merupakan pusat-pusat pendidikan pada
waktu itu. Dengan kemajuan yang luar biasa tersebut menarik para pendeta dan
para ilmuan Barat untuk datang minimba ilmu. Lambat laun Barat
mulai panin ilmuwan sehingga sampai munculnya gerakan Renaissance (1450-1600).[2] Eropa Tengah pada zaman
Renaissance sangat antusias menerima terhadap filsafat dan metode ilmiah
sebagaimana dianut oleh Ibn Rush.[3]
Pada masa
Renaissance manusia ingin bebas dari ikatan abad pertengahan dan berusaha
mencari pedoman baru dalam kebebasan individu. Cita-cita menjadi pendeta
diganti dengan cita-cita individu yang diarahkan pada masa jayanya Republik
Romawi dan Yunani. Cita-cita inilah yang mendorong untuk mempelajari beberapa
macam ilmu pengetahuan. Keinginan untuk kembali ke sejarah masa lalu dan
ilmu-ilmu mulai menggeliat. Meraka berasumsi bahwa apa saja yang perlu dibuat
pegangan hidup sudah digagas oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Mereka sudah
tidak lagi membutuhkan kitab Injil tapi cukup berpegangan pada buku-buku
klasik. Gerakan untuk menghasilkan teori pendidikan modern juga sudah mulai dilakukan.
Tulisan ini
akan mendeskripsikan tentang kedudukan filsafat dalam penyelenggaraan
pendidikan, pertarungan antar filsafat pendidikan di zaman modern, dominasi
filsafat Barat di dunia pendidikan modern, dan dampak negatif serta alternatif
jalan keluarnya.
B.
KEDUDUKAN FILSAFAT
DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
1.
Arti Filsafat
Filsafat menurut pendekatan etimologis
berakar dari bahasa Yunani ‘phillein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’
yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Arti filsafat secara terminologi ini mempunyai latar belakang yang muncul dari
pemikiran Socrates, beberapa abad sebelum Masehi. Socrates berkata bahwa
manusia tidak berhak atas kebijaksanaan, karena keterbatasan kemampuan yang
dimilikinya. Terhadap kebijaksanaan manusia hanya berhak untuk mencintainya.
Pendirian Socrates tersebut sekaligus menunjukkan sikap kritiknya terhadap kaum
Sophis yang mengaku memiliki kebijaksanaan.[4]
Secara sederhana, istilah cinta menunjukkan
adanya aksi yang didukung oleh dua pihak. Pihak pertama berperan sebagai subyek
dan pihak kedua berperan sebagai obyek. Sedangkan aksi tersebut didorong oleh
suatu kecenderungan subyek untuk menyatu dengan obyek. Untuk bisa menyatu
dengan obyek, subyek harus mengetahui sifat atau hakikat obyek. Dengan
demikian, pengetahuan mengenai obyek menentukan penyatuan subyek dengan obyek.
Semakin mendalam pengetahuan subyek maka semakin kuat penyatuannya dengan
obyek.
Adapun istilah kebijaksanaan yang
akar katanya adalah bijaksana, mendapatkan awalan ke dan akhiran an, menggambarkan
pengetahuan hakiki tentang bijaksana. Jadi kebijaksanaan adalah hakikat dari
perbuatan bijaksana. Perbuatan bijaksana dikenal sebagai bersifat benar, baik,
dan adil. Perbuatan demikian dilahirkan dari dorongan kemauan yang kuat menurut
keputusan perenungan akal pikiran, dan atar perimbangan perasaan yang dalam.
Dari pendekatan etimologis tersebut dapat
disimpulkan bahwa filsafat adalah pengetahuan mengenai pengetahuan. Dapat pula
diartikan sebagai akar dari pengetahuan atau pengetahuan terdalam.[5]
Sedangkan pengertian filsafat secara
akumulatif adalah pemikiran radikal. Penyelidikan dengan pikiran mendalam atau
perenungan mengenai obyek sampai ke akar-akarnya (radix). Maksudnya
adalah berpikir mendalam sampai ditemukan unsur-unsur inti yang secara
sitematik menjadikan obyek sampai pada hakikat kebenaran hakiki, yaitu
kebenaran pada tingkat abstrak-universal yang bersifat mutlak. Ada yang mengatakan bahwa
filsafat adalah berpikir ilmiah, tetapi tidak setiap berpikir ilmiah adalah
filsafat. Maksudnya, maksudnya metode dan sistem ilmiah kefilsafatan berproses
menurut segala segi, sehingga dapat mencapai kebenaran ilmiah kefilsafatan,
kebenaran universal, yaitu kebenaran hakiki atau kebenaran absolut
(substantif). Sedangkan metode dalam sistem pemikiran ilmiah biasanya berproses
menurut sudut pandang tertentu, sehingga akan menghasilkan kebenaran ilmiah
(obyektif) yang cakupannya tertentu dan khusus yang bersifat relatif.[6]
2.
Filsafat Pendidikan dan Peranannya
Bertitik tolak pada pengertian filsafat
secara akumulatif di atas jika dikaitkan dengan pemikiran filosofis tentang
pendidikan maka selanjutnya dikembangkan menurut keseluruhan segi yang ada di
dalam obyek pendidikan. Karena pendidikan adalah masalah manusia, jadi seluruh
segi kehidupan manusia akan menjadi tolok ukur pemikiran. Dengan kata lain,
pendidikan dipikirkan sejauh hakikat keberadaan manusia.
Manusia sebagai pribadi atau pun sebagai
masyarakat, sebagai bangsa dan negara hidup di dalam sosio-budaya. Aktivitas
untuk mewariskan dan mengembangkan sosio-budaya tersebut terutama melalui
pendidikan. Untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif,
menurut Mohammad Noor Syam[7]
dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan-landasan ilmiah sebagai
asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan. Dengan demikian kedua asas
tersebut, filosofis dan ilmiah tak dapat dipisahkan, sebab pendidikan sebagai
usaha membina dan mewariskan kebudayaan, mengemban satu kewajiban yang luas dan
menentukan prestasi suatu bangsa; bahkan tingka sosio-budaya mereka. Sehingga
pendidikan bukanlah usaha dan aktivitas spekulatif semata. Pendidikan harus
secara fundamental didasarkan atas asas-asas filosofis dan ilmiah yang menjamin
pencapaian tujuan, yakni meningkatkan sosio-budaya bahkan martabat bangsa,
kewibawaan dan kejayaan negara.
Bidang ilmu pendidikan dengan berbagai
cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan yang terus
berkembang secara dinamis. Sedangkan filsafat pendidikan sesuai denga
peranannya, merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan
dan pelaksanaan pendidikan. Kedua bidang di atas harus menjadi pengerahuan
dasar (basic knowledge) bagi setiap pelaksana pendidikan. Untuk itu,
perlu dipahami secara mendalam arti dan fungsi filsafat pendidikan di samping
ilmu pendidikan dengan berbagai cabangnya.
Selanjtunya, proses pendidikan adalah
proses perkembagan dengan suatu tujuan. Tujuan proses perkembangan tersebut
secara alamiah adalah kedewasaan dan kematangan. Sebab potensi manusia yang
paling alamiah adalah tumbuh menuju ke tingkat kedewasaan dan kematangan.
Potensi ini akan berwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia
memungkinkan, misalnya iklim, makanan, kesehatan, keamanan relatif sesuai
dengan kebutuhan manusia.
Apakah makna kedewasaan dan kematangan
tersebut bersifat biologis-jasmaniah atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa),
ataukan secara moral dalam arti bertanggung jawab atau sadar normatif.
Realitanya tidak semua manusia berkembang sebagaimana diharapkan. Maka akan lahir
dalam pikiran manusia problem-problem beberapa kemungkinan perkembagan potensi
manusia itu. Lalu manakah yang lebih menentukan, apakah potensi yang kodrati,
faktor-faktor alam sekitar, atau faktor luar khususnya pendidikan.
Adanya aktivitas dan lembaga-lembaga
pendidikan merupakan jawaban manusia atas problem itu. Karena diproyeksikan
bahwa pendidikan itu mungkin dan mampu mewujudkan potensi manusia sebagai
aktualitas, maka pendidikan itu digelar. Timbulnya problem sekaligus solusi
alternatifnya adalah bidang pemikiran filsafat, dalam hal ini filsafat
pendidikan. Ini berarti bahwa pendidikan adalah pelaksana dari ide-ide
filsafat. Dengan kata lain ide filsafat memberikan asas kepastian nilai perenan
pendidikan untuk pembinaan manusia
sehingga melahirkan ilmu pendidikan, lembagai pendidikan, dan aktifitas
penyelenggaraan pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidikan merupakan sumber
pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuknya yang lebih terperinci, filsafat
pendidikan menjadi ruh dan pedoman asasi pendidikan.
C.
DOMINASI FILSAFAT
BARAT DI DUNIA PENDIDIKAN MODERN
Sebagaimana
penulis kupas pada pendahuluan di atas bahwa munculnya teori-teori pendidikan
menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari konteks peradaban Barat,
baik pada periode klasik maupun setelah periode Renaissance. Tak bisa
dipungkiri bahwa pendidikan merupakan ranah praksis di mana berbagai nilai,
norma, dan kepentingan bertemu untuk merebut pengaruh. Dalam kondisi seperti
ini pendidikan lantas menjadi suatu ladang kompetisi berbagai pandangan, dan
tak jarang saling berseberangan dan berkontradiksi.
Ditelisik dari
perjalanan sejarah munculnya teori pendidikan, secara teori siklus,[8] Barat menempati posisi
strategis setelah nenek moyangnya (Yunani Kuno) meniggalkan warisan luar biasa.
Dunia Islam mengalami kemunduran setelah mempergunakan warisan Yunani Kuno
dengan baik. Kalangan Barat segera bangun dari tidurnya yang sudah berabad-abad
lamanya terpuruk, dengan memberikan kritik dan respon terhadap kondisinya yang
menyebabkannya terpuruk di zaman kegelapan. Tawaran teori yang cerdas,
pragmatis, menjanjikan, dan rasional yang dibangun di atas filsafat yang mereka
anut menjadi laris manis di bursa pasar ide pendidikan hingga saat ini.
M. Jindar
Wahyudi mendeskripsikan munculnya teori-teori pendidikan Barat mulai setelah
munculnya Renaissance hingga abad 20.[9] Adanya suatu gerakan yang
tumbuh pertama kali menghasilkan sebuah teori yang disebut dengan teori Humanisme.
Tujuan pendidikan dengan teori ini diarahkan pada pembentukan manusia berani,
bebas, dan gembira. Berani berarti manusia percaya pada dirinya sendiri, bukan
taat pada kekuasaan Tuhan seperti pada zaman pertengahan. Bebas berarti lepas
dari ikatan Gereja dan tradisi. Gembira berarti menunjukkan dirinya pada
kenikmatan duniawi bukan pada ukhrawi.
Rasa bebas dan
merdeka merupakan ciri khas dari zaman Renaissance yang lambat laun
mendorong para ilmuwan melakukan eksprimen-eksprimen dan observasi-observasi
sehingga menghasilkan metode ilmiah yang dicetuskan oleh Francis Bacon yang terkenal
dengan metode induktif. Perubahan cara-cara berfikir induktif ini berpengaruh
pada bidang pendidikan sehingga memunculkan teori baru dalam pendidikan yang
disebut teori Realisme. Teori ini berusaha untuk meninggalkan cara-cara
dan usaha yang segala sesuatunya dikembalikan pada masa klasik seperti
pandangan teori humanisme, akan tetapi Realisme berpegang pada masa
lampau dan berorientasi pada masa depan dengan perhatian pada dunia nyata dan
realita alam yang ada.
Memasuki abad
18 M muncul usaha-usaha manusia yang segala sesuatunya ditunjukkan pada
usaha-usaha pencerahan, Aufklarung terhadap abad kegelapan. Pada abad ini manusia hanya percaya pada
akal manusia saja, sehingga abad ini desebut abad Rasionalisme. Pada
abad ini paling tidak ada dua teori pendidikan yang satu sama liannya saling
mempengaruhi, yaitu teori Empirisme dan terori Rasionalisme.
Empirisme berangapan bahwa sumber dari segala pengetahuan dan kebenaran
adalah empiri atau pengalaman. Oleh karena itu, segala sesuatu harus
dicari dari bahan-bahan yang telah diperoleh dari pengalaman. Paham ini berasal
dari Inggris yang dipelopori oleh Bacon (1561-1626), ajaran ini diperluas oleh
kaum empiri bangsa Inggris lainnya seperti John Locke, Berkeley, dan Hume. Sedangkan Rasionalisme
beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika sesuai dengan akal pikiran.
Teori ini dipelopori oleh Descartes dari Prancis (1596-1650).
Pada abad ke-19 M peradaban Barat mengalami
perkembangan sangat pesat. Pada abad ini muncul teori Liberalisme (Subyektifisme),
suatu perkembagan dari Rasionalisme dan Nativisme. Orang ingin
bebas, merdeka, dan ingin mengikuti pikirannya sendiri. Pola pikir semacam ini
bukan hanya dalam bidang pendidikan, namun juga dalam bidang agama, politik,
dan ekonomi.
Memasuki abad
ke-20 M muncul teori-teori dalam
pendidikan dan pengajaran sebagai reaksi terhadap Liberalisme tersebut.
Teori-teori tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa aliran, yaitu aliran
sosial, kepribadian, dan pembaharuan pengajaran. Aliran Sosial muncul
sebagai reaksti terhadap teori Subyektifisme (Individualisme)
yang terlalu ekstrim dalam mengabaikan unsur-unsur sosial dalam pendidikan.
Aliran Kepribadian
memberikan rekasi terhadap pendidikan yang dirasakan terlalu intelektualistik,
yang hanya megutamakan pembentukan kecerdasan tanpa mengindahkan pendidikan
watak. Sementara itu, aliran Pembaharuan Pengajaran muncul karena ketidakpuasan
terhadap pelaksanaan pengajaran yang sedang berlaku pada waktu itu, melalui
aliran ini mereka mulai mengadakan percobaan-percobaan dan mencari jalan baru
dalam bidang pengajaran yang dipadukan dalam bidang pisikologi.
Memasuki abad
ke-20 M juga muncul teori-teori pendidikan yang menurut Brameld
diklasifikasikan menjadi empat aliran: Progressivisme, Esensialisme, Perenealisme,
dan Rekonstruksionisme.[10] Progresivisme
berpendirian bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar untuk
menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menahan atau menggancam
keberadaan manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progres).
Sedangkan sarana utamanya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman yang
dibantu dengan kecerdasan. Esensialisme
berpendirian bahwa pendidikan berfungsi sebagai pemelihara kebudayaan, karena
itu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia.
Sedangkan Perenealisme
muncul sebagai reaksi terhadap kebudayaan manusia yang sedang krisis. Aliran
ini memberikan pemecahan dengan jalan kembali pada prinsip umum yang telah
menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan. Dalam
arti, kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas dan
nilai dari zaman ke zaman tersebut. Berbeda dengan Perenialisme yang
memilih jalan kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku
dan perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan, maka Rekonstruksionisme
ingin merombak tatanan hidup kebudayaan yang sama sekali baru, melalui lembaga
dan proses pendidikan yang dipandang sebagai suatu kebutuhan mendesak untuk
kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang ini.
D.
DAMPAK NEGATIF DAN
ALTERNATIF JALAN KELUARNYA
Pendidikan dan
kehidupan adalah dua hal yang identik tak terpisahkah, bagaikan air dengan
ikannya. Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan
kehidupan manusia. Demikian juga sebailiknya, berbicara tentang kehidupan
manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan.
Perkembangan
filsafat pendidikan sebagaimana terurai di atas dari waktu ke waktu selalu
dinamis. Namun di balik itu, dalam satu sisi memiliki dampak negatif yang cukup
serius. Sampai dewasa ini masalah pendidikan tetap menjadi persoalan manusia
dan bangsa manapun. Jika pendidikan mengalami krisis, berarti semua orang atau
bangsa di dunia ini sedang mengalami krisis kependidikan yang pasti menyebabkan
krisis multi dimensi. Bila disimak
secara saksama masalah pendidikan dalam masyarakat, tampak jelas bahwa komersialisasi
pendidikan berbanding lurus dengan krisis moral. Hal ini terjadi
karena ada pendangkalan orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem
ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik ini melekat mulai dari titik
kebijakan hingga pada praktik penyelenggaraan pendidikan.
Beberapa abad
yang lalu, di Eropa mengalir dua arus revolusi, yaitu revolusi industri di Inggris
dan revolusi politik di Prancis. Ketika dua arus revolusi ini bertemu,
terbentuklah suatu sistem kekuasaan politik kolonial dan sistem perekonomian
kapitalistik. Secara revolusioner pula, kedua sistem itu memfasilitasi potensi
nafsu manusia baik secara individual maupun sosial, yang berkembang menjadi
watak dan perilaku serakah.[11]
Revolusi
industri tersebut mempengaruhi terhadap aliran filsafat pendidikan, misalnya
Progressivisme.[12]
Era industrialisasi pengaruhnya sangat besar atas sikap manusia terutama pada
masalah-masalah kekuatan manusia atas alam dalam rangka eksplorasi alam (bumi)
dan penggunaan tenaga mesin untuk produksi. Secara psikologis memberikan dasar
kepercayaan pada diri sendiri di mana manusia mempu menguasai alam. Manusia
mulai sensitif atas kebebasan dan kemerdekaan dalam sistem ekonomi yang
didasarkan pada kompetisi dan persaingan bebas. Ujung-ujungnya akan menciptakan
kepribadian manusia ke arah serakah sebagaimana disebut di atas sehingga
terciptalah apa yang disebut dehumanisasi dan demoralisasi, sehingga sekarang
pun masih dirasakan.
Bertitik tolak
dari problematika tersebut maka perlu adanya alternatif jalan keluarnya, yaitu
salah satunya merubah orientasi pendidikan. Penulis menawarkan sebuah
solusinya, yaitu Ilmu Pendidikan Profetik yang diproyeksikan mampu
memberikan keseimbangan bagi manusia dalam menjalankan hidupnya.
Ilmu
Pendidikan Profetik penulis derivasi dari gagasan Kuntowijoyo, yaitu Ilmu
Sosial Profetik. Gagasan ini muncul untuk transformasi sosial dan
memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh
siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak sekedar merubah demi
perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profeti tertentu.
Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan
nilai dari cita-cita perubahan yang
diidamkan masyarakatnya. Perubahan tersebut didasarkan pada cita-cita
humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang
diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110,
surat Ali Imran :[13]
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ .
Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf
(humanisasi), dan mencegah dari yang munkar (liberasi), dan beriman kepada
Allah (transendensi).
Tiga muatan
nilai inilah menurut Kuntowijoyo yang mengkateristikkan ilmu sosial profetik. Dengan
kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial
profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di
masa depan. Gagasan ini menurutnya diilhami oleh Muhammad Iqbal, khususnya
ketika Iqbal bercerita tentang peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, kata Iqbal, tentu beliau tidak
ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan
berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial ,
untuk menggarakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau
memulai sesuatu transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.[14]
Tujuan
humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa era sekarang sudah
mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial menjadikan kita
sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami
obyektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politk dan mesin-mesin
pasar. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan,
keangkuhan teknologi. Menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang
terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh
kekuatan ekonomi raksasa, ingin bebas secara bersama-sama dari
belenggu-belenggu yang dibangun sendiri. Tujuan transendensi adalah menambahkan
dimensi transendental dalam kebudayaan. Kehidupan ini sudah banyak menyerah
kepada arus hedonisme, matearilisme. Kita percaya bahwa sesuatu harus
dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi
transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin
merasakan kembali sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana
yang lepas dari ruang dan waktu, kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.[15]
Gagasan
cemerlang inilah sepatutnya kita jadikan sebagai paradigma untuk membangun sebuah
orientasi pendidikan ke arah humanisasi, liberasi, dan transendensi.
E.
PENUTUP
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan
prosesnya efektif, dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan-landasan
ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.
Munculnya teori-teori
pendidikan Barat dimulai setelah munculnya Renaissance hingga abad 20
Munculnya
teori-teori pendidikan menurut perspektif historis tak bisa dilepaskan dari
konteks pandangan filsafat Barat mulai setelah munculnya Renaissance
hingga abad ini masih mendominasi dunia pendidikan.
Bila disimak
secara saksama masalah pendidikan dalam masyarakat, tampak jelas bahwa komersialisasi
pendidikan berbanding lurus dengan dehumanisasi dan demoralisasi dengan
landasan fisafat Progressivisme. Hal ini terjadi karena ada pendangkalan
orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang
material-kapitalistik ini melekat mulai dari titik kebijakan hingga pada
praktik penyelenggaraan pendidikan. Secara revolusioner pula, kedua sistem itu
memfasilitasi potensi nafsu manusia baik secara individual maupun sosial, yang
berkembang menjadi watak dan perilaku serakah. Solusinya adalah perlu merubah
orientasi pendidikan. Solusi yang penulis tawarkan adalah ilmu pendidikan
profetik yang memiliki dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi.
*****
Sumenep,
28 November 2014
Tulisan ini juga bisa dibuka di: http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/28/problema-filosofis-dalam-pendidikan-modern-693961.html
DAFTAR
PUSTAKA
Azhar, Muhammad, Filsafat Politi: Perbandingan antara
Islam dan Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi.
Bandung: Mizan.
Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar
Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Mustofa, A., Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2007.
Shofan, Moh., Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya
Konstruktif Membongkar Dekotomi Pendidikan. Jogjakarta: IRCiSoD, 2004.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Suhartono, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu
Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Wahyudi, M. Jindar, Nalar Pendidikan Qur’ani.
Yogyakarta: 2006.
Zubaedi dkk., Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene
Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
*****
[1] Muhammad
Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat. (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996), 29-30, M.
Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani. (Yogyakarta:
2006), 13.
[2] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan
Qur’ani, 14.
[3] A. Mustofa, Filsafat Islam. (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2007), 287.
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan.
(Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007), 37.
[5] Ibid., 37-38.
[6] Ibid., 47-48.
[7] Mohammad Noor Syam, Filsafat
Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha
Nasional, 1988), 39.
[8] Teori Siklus
berendapat bahwa sejarah itu bergerak melingkar. Setiap peristiwa historis akan
akan selalu berulang kembali. Semboyan terkenal dalam teori ini adalah I’histoire se
repete, artinya sejarah itu berulang. Apa yang dulu pernah terjadi akan
terulang kembali, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Teori
Siklus kadang juga disebut teori Biologis yaitu bahwa kebudayaan itu memiliki
mempunyai fase-fase umur seperti halnya manusia, yaitu masa kanak-kanak, masa
remaja dan masa dewasa. Teori Siklus juga disebut Teori Lingkaran Abadi (eternal
return), bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam peristiwa sejarah. Segala
sesuatunya akan terus berulang secara abadi. Menurut Moh. Ali, sejarah dalam
teori Siklus digerakkan oleh sesuatu kekuatan gaib yang disebut fatum (qadar
atau nasib). Baca Toto Suhatono, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun.
(Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003), 92-93.
[10] Mohammad Noor Syam, 224.
[11] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan,
66.
[12] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan
dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila., 231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar