M. Khaliq Shalha
Menjelang keberangkatan ke Malang, tanggal
4 Desember 2014 dalam rangka berburu buku-buku murah pada pagelaran Malang
Islamic Book Fair 2014 ke-21 tanggal 5-11 Desember 2014, SMS dan telpon
masuk dari teman-teman yang akan ikut ke acara ini. Intinya menanyakan, jam
berapa akan berangkat. Saya jawab, persiapan jam 21.00 WIB. Tak lama dari
komunikasi dengan teman, ada telpon masuk dari sepupu bahwa keponakan sepupu
saya yang masih kecil sedang sawan dan memaksa saya untuk menjenguknya segera,
dan belum ada solusi untuk menyembuhkannya. Saya segera mengiyakan untuk
menjenguk. Dalam benakku mengatakan, ini lagi masalah! Tergolong tak
disangka-sangka, kalau bahasa santrinya, min haitsu la yahtasib.
Saya bingung, apa yang akan saya lakukan
dan berikan untuk kesembuhan keponakan kecil itu? Spontan saya ambil air
mineral botolan, saya bacakan Al-Fatihah dengan harapan Allah menjadikannya
obat untuk kesembuhan keponakan. Sebenarnya air botolan itu saya konversi dari
tujuan awal buat persiapan untuk dibawa ke Malang, mengingat membeli air di
terminal harganya luar dari kewajaran, dari Rp1.000,00 di rumah menjadi
Rp3.000,00. Sungguh bisnis yang kurang berkah. Sekitar jam 20.30 saya
berangkat ke rumah keponakan. Sesampainya di rumahnya ternyata sudah di bawa ke
rumah sakit Polindes desa sebelah, langsung saya kejar. Sampai di Polindes,
melihat keponakan makin ada perkembangan positif. Bibi butuh air buat kompres
si sakit, langsung saya berikan air botolan yang saya bawa tersebut. Saya hanya
bisa memberikan sugesti pada para keluarga, Insya Allah sembuh.
Jam 21.00 teman sudah telpon bahwa
sudah sampai di rumah. Saya jawab untuk ditunggu sebentar sambil santai di
kantor madrasah. Sebenarnya saya getar-getir, jadi apa tidak ke Malang?
Sementara sebelumnya saya sudah mencapai kata sepakat dengan tiga teman untuk
berangkat malam itu. Saya punya pegangan perkataan seorang guru bahwa apabila
punya tujuan baik lalu dalam perjalanannya ada hambatan, itu pertanda akan
sukses. Saya pegangi petuah itu. Alhamdulillah, keponakan sudah bisa
tidur nyenyak. Teman masih telpon lagi dengan nada sinis, jadi nggak ke
Malang? Saya jawab, jadi, tunggu sebentar. Tak lama dari itu saya pamitan
pulang.
Menunggu adalah perbuatan yang
membosankan. Begitulah kira-kira yang ada di pikiran teman-teman. Mereka
khawatir ketinggalan bis malam. Saya sendiri tidak khawatir karena lumayan
hapal jadwal bis berdasarkan pengalaman saya sewaktu kuliah ke Surabaya tahun
2009 sampai 2011 pulang-pergi.
Sekitar jam 23 kami sampai di jalan raya
yang jaraknya ± 1 km dari rumah. Menunggu bis malam lumayan lama, sampai jam 00.00
lewat sedikit baru datang dari arah timur, Prenduan Sumenep. Kami naik. Tarif
bis sudah naik, semula trayek Prenduan-Surabaya Rp36.000,00 perorang menjadi
Rp40.000,00. Gara-gara BBM dinaikkan oleh pemerintah. Tapi kata Jokowi, BBM
tidak dinaikkan hanya memindahkan subsidi. Itu namanya racun bermerek madu. Ada
status lucu dari teman, ada oknum TNI menembak mati warga. Dia katanya tidak
membunuh tapi memindahkan kehidupannya dari dunia ke alam kubur. Kacau kalau
begini su, kata murid-murid. Jam tigaan kami sampai di terminal terbesar
Jawa Timur, Bungurasih Surabaya. Dari segala penjuru, sayup-sayup kiraah mulai
terdengar sebagai pertanda waktu Subuh segera tiba. Kami persiapan salat di
mushalla pojok barat terminal bagian utara, di belakang tempat antre bis patas
jurusan Madura. Mushalla langganan saya ini menunya lengkap, ada kamar mandi,
ces HP., dan warung makan. Kami salat Subuh di tempat ini.
Usai salat, teman ngajak cari makan. Saya
ajak cari-cari warung di terminal dengan harga termurah. Mutar-mutar sampai agak
lama, akhirnya tidak dapat yang cocok. Saya ajak saja teman-teman menuju
stasiun kerata api Waru yang tak jauh dari terminal Bungurasih. Ke timur sedikit.
Urusan makan nanti saja di kereta atau di Malang. Sesampainya di stasiun Waru
saya agak bingung karena jadwal keberangkatan sepertinya ada perubahan. Papan
informasinya sepertinya berubah dari sebelumnya. Saya tidak cukup paham dengan
jadwal yang ada. Memaksa saya bertanya pada calon penumpang dan petugas.
Ternyata jadwal tidak berubah. Langsung saya beli tiket dengan tujuan Malang
Kota Baru dengan tarif kelas ekonomi Rp5.500,00 perorang. Hanya naik Rp1.500,00
dari sebelumnya. Kereta berangkat jam 05.00 sampai di Malang jam 07.30.
Jadwal keberangkatan dan kedatangan Surabaya-Malang relatif padat, hampir tiap
tiga jam.
Biasanya di kereta banyak lalu lalang
penjual nasi dan air, ternyata mereka tak satupun ada. Mungkin ada peraturan baru
yang melarang pedagang asongan keluar masuk kereta. Saya sangat setuju karena
kebersihan lebih terjamin dan suasana lebih kondusif. Sesampainya di stasiun
Kota Baru masih cukup waktu untuk mencari makan. Saya mencari warung murah yang
kelas ekonomi. Sesuai prinsip dalam perjalanan wisata literasi ini, yaitu
berprinsip ekonomi. Semuanya harus serba ekonomi, dari kendaraan, makan dan
buku, yang penting tujuan tercapai, yaitu mendapatkan buku-buku murah yang
berkualitas. Kami mendapati warung makan di deretan stasiun lengkap dengan menu
dan harganya. Nasi pecel dan sejenisnya Rp8.500,00. Kami pesan nasi pecel empat
porsi. Pagi-pagi dirasa sangat pas makan yang hangat-hangat apalagi di Kota
Malang. Nasi pecel sangat aktual. Semuanya menikmatinya dengan kepedasan, haheho
bunyinya. Kami sepakat nanti sore jelang pulang kalau makan lagi pesan selain
nasi pecel. Tidak kuat pedasnya.
Beranjak dari warung makan menuju lokasi
bazar buku, tepatnya di Aula Skodam Brawijaya, berhadapan dengan Balai Kota
Malang. Dari stasiun kami cukup berjalan kaki. Jam masih menunjukkan pukul 8,
bazar biasanya buka pukul 9. Kami gunakan waktu buat foto-foto di taman kota
yang begitu indah dengan hiasan bunga teratai dan monumen Kota Malang yang
menjulang. Sambil saya lihat baleho dan umbul-umbul bazar mengecek kebenarannya,
ternyata benar-benar ada. Saya tahu informasi momen ini lewat internet.
Setelah dari taman kota, kami beranjak ke
lokasi bazar buku. Para penjual sudah mulai mempersiapkan dagangannya. Di
halaman aula didirikan tarup untuk menjual baju-baju dan aneka aksesoris, juga
makanan seperti bakso dan lainnya. Di dalam gedung digelar bazar buku. Jam
masih belum pukul 9, saya menuju mushalla di pojok barat bagian selatan sambil mengintip-intip
harga obral buku, rupanya ada yang Rp5.000,00. Sound sudah mulai berbunyi untuk
aneka acara yang akan digelar panitia. Dalam pagelaran Islamic Book Fair
aneka ragam acara digelar di pentas utama, seperti lomba kiraah, pentas seni
untuk anak-anak, forum kajian ilmiah dan lainnya.
Setalah bazar buku di buka, kami seharian
mencari buku. Jelang salat Jumat kami berhenti dulu untuk salat. Setelah
selesai salat pembelian dimemulai lagi. Saya membeli buku dalam kesempatan ini
untuk perpustakaan madrasah yang saya tangani. Harga perbuku yang saya beli
dari Rp3.000,00, Rp5.000,00, Rp10.000,00, dan
Rp15.000,00 dapat dua. Saya belanja dua jutaan dapat lima kardus dan teman
saya belanja satu jutaan dapat dua kardus besar. Jadi, semuanya tiga jutaan
dapat tujuh kardus.
Suatu hal yang terkesan dalam acara ini bagi
saya, selain berbelanja buku dengan harga yang memuaskan, juga nuansanya
menyejukkan hati. Sesuai label dari acara ini, Islamic, acara yang
disugungkan panitia bernuansa islami. Didukung para pengunjung dan para peserta
yang hadir dalam acara yang di gelar setiap sekmennya, mereka menunjukkan
manusia yang berperadaban mulia. Seperti inilah contoh kongkret manusia yang
berperadaban. Cara berpakaian, bertutur dan berperilaku sampai pada anak kecil
sekalipun. Suatu indikasi yang sempat saya baca penuh berkesan, ketika azan
Asar tiba, para pengunjung bergegas menuju mushalla untuk salat jamaah. Karena
mushallanya kecil sehingga harus antre. Salat Asar digelar empat kali jamaah.
Anak-anak kecilpun yang sedang ikut lomba Juz ‘Amma di situ kompak berjamaah.
Orangtua dan guru mereka peduli mendidiknya untuk melaksanakan salat jamaah. Di
lokasi ini mushalla pria dan wanitia beda tempat. Persediaan air terjamin. Di
sinilah enaknya berkunjung ke bazar ini. Saya sudah empat kali hadir ke momen
seperti ini. Insya Allah pada acara-acara yang akan datang saya akan hadir
untuk tetap menambah koleksi buku perpustakaan dan pribadi.
Jam 16.00 kami sudah mengemas buku-buku
ke dalam kardus untuk segera menuju stasiun, karena jadwal kereta tujuan
Surabaya jam 17.00. Kala itu hujan turun membasahi persada Kota Malang.
Rencana awal buku-buku yang dibeli akan dibawa sendiri ke stasiun untuk
menghemat biaya, akhrinya diangkut menggunakan becak karena hujan betah
berlama-lama, tak kunjung reda. Di samping itu, kardus yang akan di bawa
terlalu banyak, tujuh kardus, sementara kami hanya empat orang. Bukunya saja
satu becak penuh ditambah satu orang, Moh. Yusuf. Saya bertiga, Moh. Imron dan
Syafi’ie mengendarai becak lain. Tumpang tindih dalam satu becak, semoga becaknya
tidak penyok. Ongkos becak yang mengangkut buku plus satu orang Rp15.000,00 dan
yang ditumpangi kami Rp10.000,00.
Sesampainya di stasiun kami segera membeli
tiket, karena tidak begitu lama lagi kereta akan tiba. Tiket sudah dibeli namun
sial, tidak punya jatah tempat duduk. Sudah dipesan oleh para calon penumpang
lainnya yang lebih awal. Di Kota Baru Malang memang bisa dibilang stasiun
terramai untuk jalur ke selatan Surabaya. Kami pasrah sudah. Selesai beli tiket
kami segera mengisi perut, kembali ke warung yang tadi pagi dikujungi dengan
memesan nasi campur, tobat dulu untuk sementara nasi pecel. Jam di HP selalu saya
perhatikan khawatir ketinggalan kereta. Setelah makan kami langsung bergegas ke
stasiun, siap-siap menuju peron. Tak lama pintu masuk ke peron di buka. Kami
segera mengangkut buku tujuh kardus itu tergopoh-gopoh. Satu orang ada yang membawa
dua kardus dan ada yang satu kardus besar. Siap-siap menunggu kedatangan kereta
di jalur tiga. Untuk menuju jalur tiga ini kami dan penumpang lainnya lewat
terongongan. Sejauh mata memandang, para calon penumpang di stasiun ini memang
ramai, bejibun. Kami sudah siap-siap berdiri sepanjang perjalanan
Malang-Surabaya karena tidak dapat jatah tempat duduk.
Jam 17 lewat sedikit kereta Penataran
kelas ekonomi yang ditunggu-tunggu datang. Kami siap-siap masuk kereta, memilih
gerbong tengah karena kami bebas memilih gerbong yang mana saja karena tidak
dapat jatah tempat duduk. Setelah masuk di kereta kursi masih banyak yang
kosong. Para penumpang lainnya masih lalu-lalang mencari nomor kursinya. Kami
berdiri dulu khawatir diusir orang yang punya jatah tempat duduk. Setelah
semuanya tenang, saya lihat di dekat saya kursi masih ada yang kosong, langsung
saya duduk, teman saya juga duduk sambil tertawa. Nanti kalau ada orang mengusir
kami siap berdiri. Sepanjang berjalanan tidak ada orang yang mencari kursi
tempat kami duduk. Artinya, kami dari Malang-Surabaya duduk santai dan kadang
terlelap tidur. Kadang antara tidur dan tidak, khawatir kelewat stasiun Waru
Sidoarjo.
Sampai di stasiun Waru setelah azan Isyak.
Buku dimuat becak dengan Moh. Yusuf. Kami bertiga jalan kaki menuju pintu
keluar bis yang tak jauh dari stasion. Sampai di pintu keluar, bis jurusan
Madura bergerak dari arah barat. Kami segera mencegatnya. Kardus dimasukkan ke bagasi
dan kami naik. Bis Akas ini penuh sesak penumpang. Moh. Imron dan Moh. Yusuf
duduk di kursi belakang, saya dan Syafi’ie duduk di kursi bantalan atas mesin,
dekat sopir. Baru sampai di Sampang bisa duduk dikursi yang layak karena
penumpang sudah mulai banyak yang turun. Sampai di pertigaan selatan rumah
sekitar jam 24.00. Syafi’ie segera memarani sepedanya di tempat parkir.
Sepedanya setelah dinyalakan sedang ngambek. Agak lama untuk bisa menyala.
Maklum sepeda perjuangan yang sudah peteran. Akhirnya menyala juga. Selain itu, seorang teman menjemput kami bolak-balik dua kali. Kami pulang
sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillah!
Sebuah perjalanan bisa menarik bila
diniati dan dinikmati. Semoga memberikan inspirasi positif kepada Anda. Harapan
inilah yang menjadi dasar dari penulisan catatan perjalanan kami, Wisata
Literasi di Malang.
*****
Sumenep, 13 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar