Senin, 14 September 2020

KESUKSESAN ANAK DIPENGARUHI TIRAKAT ORANG TUA

Oleh: M. Khaliq Shalha

 

Dalam Islam, tidak ada dosa warisan, tapi gen atau watak orang tua memiliki pengaruh terhadap karakter anak. Demikian pula, daya upaya--meminjam istilah tasawuf pesantren disebut tirakat--orang tua sedikit banyak mempengaruhi kesuksesan masa depan anak. Dengan demikian, keberkahan investasi kebaikan orang tua akan terwariskan kepada anak, baik orang tua tersebut mengkhususkan tirakatnya kepada anaknya atau tidak, misalnya hanya semata-mata berbuat baik.

Dari paragraf awal di atas ada dua hal yang perlu saya jabarkan lebih detil dalam tulisan sederhana ini, yaitu tirakat dan kesuksesan. Secara bahasa tirakat bermakna jalan (thariqah), metode atau cara yang ditempuh untuk menggapai sesuatu. Tirakat yang dimaksudkan di sini bukan sekadar bermakna meditasi di tempat sepi dengan beragam wirid yang dibaca untuk menunggu sebuah keajaiban dari langit, tapi mencakup banyak pola laku yang ditempuh manusia untuk meraih rida Allah hingga bisa memantik munculnya karamah dari-Nya. Salah satu contohya; istikamah menjalankan puasa sunnah, shalat tahajud, mengkhatamkan Al-Qur'an, bersedekah, mendidik dan mengayomi para santri dengan telaten, berjasa kepada umat, memperjuangkan hak-hak manusia dan sebagainya.

Kesuksesan banyak ragamnya. Dalam pandangan masyarakat umum, seseorang dikatakan memperoleh kesuksesan apabila yang bersangkutan meraih materi, pangkat, jabatan bergengsi, berpendidikan tinggi, karir mapan, mampu menjalankan amanah dengan baik, punya wibawa di hadapan publik, bahagia bersama keluarga dan sejenisnya. Makna kesuksesan yang lebih sederhana adalah tercapainya kesejahteraan hidup lahir batin.

Orang biasa yang memiliki karir melejit seringkali membuat orang lain dibuat berdecak kagum. Kok bisa? Apa rahasianya? Padahal ia orang biasa, bukan keturunan bangsawan dan bukan pula anaknya cendekiawan! Jika seseorang memiliki kesuksesan dengan latar keluarga orang besar, perlu juga dipertanyakan, mengapa dia juga bisa menjadi orang besar, padahal setiap anak terlahir ke dunia dengan kondisi yang sama, sama-sama telanjang, sama-sama tidak tahu apa-apa, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl [16]: 78:

 

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Dari itulah, perlu kita mencari tahu rahasia di balik kesuksesan seseorang untuk menemukan puspa ragam hikmah, apa kira-kira jerih payah tirakat orang tuanya sehingga bisa mendongkrak kesuksesan anak.

Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim mengutip sebuah hikayat tentang Imam Halwani dengan latar ekonomi di bawah garis kemiskinan. Ia kesehariannya berjualan manisan (halwa). Produk manisan yang ia hasilnyan tidak dijual semua, tapi ia masih menyisakan untuk disedekahkan kepada ahli fiqih dengan harapan berkah sedekahnya dan doa para ahli fiqih mengalir deras kepada anaknya kelak. Ketika Imam Halwani mensedekahkan manisan, ia memohon kepada para ahli fiqih, "Mohon doamu sekalian untuk anakku."

Apa yang terjadi pada anaknya dengan tirakat Imam Halwani tersebut? Berkat kedermawanan, keyakinan dan ketawaduaannya, anaknya meraih apa yang diraih oleh Imam Halwani. Imam Halwani termasuk orang yang rajin mengkaji ilmu. Dengan hartanya ia membelanjakannya untuk mengoleksi banyak kitab kemudian ia juga aktif menulis sehingga ia terbantu untuk sukses belajar sampai menjadi pakar.  

Hikayat lain yang dikupas pula oleh Syekh az-Zarnuji adalah perkataan gurunya, Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin mengutip perkataan para gurunya bahwa ada seorang guru memiliki anak yang alim. Kealiman anak tersebut berkat jasa orang tuanya karena selalu berupaya untuk mencetak para muridnya alim Al-Qur'an.


Hikayat pertama di atas bisa kita tarik lebih dekat pada realitas masyarakat kita masa kini. Orang-orang kampung bisa dibilang lumrah bersedekah demi kepekaan anaknya dalam menyerap pendidikan di bangku madrasah, surau atau masjid. Sedekah itu biasanya dikeluarkan untuk guru ngajinya setiap bulan pada hari kelahirannya. Sedekah itu bisa berbentuk beras dan telur bahkan kadang ayam kampung. Upaya seperti ini tergolong selamatan untuk anak dengan istilah yang lebih populer jailanian. Kebanyakan orang tua melakukan hal demikian apabila anaknya sulit berkembang dalam mengenyam pendidikan karena otaknya lemot dalam menerima sinyal pendidikan dari gurunya. Untuk mempercanggih kepekaan memori otak anaknya maka orang tua menginstalkan perangkat lunak berupa berkah sedekah. Sependek pengamatan saya, cara seperti ini terbukti manjur secara signifikan. Prestasi anak yang asalnya nyaris di bawah standar akhirnya menjadi menonjol ketimbang teman-temannya yang lain.

Kemudian, hikayat kedua di atas dapat pula kita tarik pada realita masyarakat pesantren. Rata-rata putra putri kiai di pesantren prestasinya bagus. Pakar dalam banyak bidang. Apa rahasianya? Sebelum saya bongkar rahasianya, terlebih dahulu saya menyampaikan pengamatan dan penilaian saya terhadap putra putri kiai di pesantren. Banyak--oknum--di antara putra putri kiai sewaktu masih anak-anak bisa dibilang cara belajarnya biasa-biasa saja bahkan banyak yang malas, nakal, mbeling dan kadang menyebalkan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terkadang mengejutkan. Santri-santri dibuat decak kagum. Prestasinya melejit. Belajar tidak butuh waktu lama-lama. Bahkan sebagian putra kiai bisa hapal secara progresif nazaman Alfiah Ibn Malik yang seribu bit itu dalam waktu sekejab. Tak tanggung-tanggung hapal luar kepala: dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan. Menanggapi hal ini para santri mungkin bisa berkata secara diplomatis: maklum, putra kiai!

Ketimbang sekadar tanggapan diplomatis itu, perlu kita buka rahasia di balik kehebatan putra putri kiai itu. Rahasianya adalah karena jasa-jasa orang tuanya kepada para santri yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang. Bagaimana santri-santri itu menjadi orang yang berguna kelak setelah pulang ke masyarakat. Jadi, hari-hari para kiai di pesantren itu dipenuhi dengan pikiran dan usaha-usaha tanpa kenal lelah untuk mengantarkan para santri menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Bisa jadi anaknya sendiri kurang diperhatikan gara-gara memperjuangkan para santrinya. Karena Allah tidak pernah buta terhadap kebaikan seseorang, maka Allah tentu memberikan karamah kepada putra putri kiai tersebut yang salah satu bentuknya membukakan jalan dalam meraih prestasi yang gemilang dengan mudah tanpa diduga-duga. Peribahasa Arab mengatakan, "Man yahshud yazra' (Barang siapa menanam maka ia akan memanen)."

Agar lebih menukik pada anda tentang korelasi kesuksesan anak karena tirakat orang tua, saya akan kemukakan kisah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengantarkannya menjadi Presiden Republik Indonesia karena tirakat sang ayah, KH. Abdul Wahid Hasyim.


Alkisah, dalam buku Bukti-bukti Gus Dur Wali yang ditulis oleh Ahmad Mukafi Niam & Syaifullah Amin di dalamnya diulas bahwa suatu ketika KH. Hasib Wahab, Pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang pernah mendapat cerita dari ayahnya, KH. Wahab Hasbullah tentang KH. Wahid Hasyim yang memiliki cita-cita besar menjadi pemimpin bangsa, entah menjadi presiden atau perdana menteri.

Dalam mewujudkan cita-cita itu, ia diminta oleh seorang kiai sepuh untuk melakukan sebuah tirakat berupa upaya-upaya spiritual (riyadhah). Riyadhah yang harus dijalani adalah melakukan puasa selama lima tahun penuh, di luar hari tasyrik atau hari-hari besar yang dilarang menjalankan puasa.

Kemudian, KH. Wahid Hasyim menjalani riyadhah itu dengan baik. Setiap hari ia melakukan puasa, apa pun kondisinya. Bahkan ia sampai berpura-pura makan bersama tamu untuk menghormatinya. Ketika mengalami kecelakaan di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 di usia 38 tahun, puasa itu sudah dijalaninya selama 3 tahun 8 bulan.

Pada saat meninggal dunia, ia belum sempat menyelesaikan riyadhah-nya atau mencapai cita-citanya. Akan tetapi, putra pertamanya, KH. Abdurrahman Wahid telah berhasil mewujudkan cita-cita orang tuanya dan menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia.

Dalam buku itu dituturkan pula bahwa pada suatu kesempatan di istana, ketika Gus Dur masih menjadi presiden, Gus Hasib pernah mengkonfirmasi kebenaran cerita itu dari Mbah Wahab tersebut, dan Gus Dur mengiyakan.

Wallah a'lam bish shawab.

 ***

Sumenep, 14 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar