Senin, 21 September 2020

SUNNAH NABI DALAM BERHUMOR

 Oleh: M. Khaliq Shalha

M. Zaim Muttaqin

Humor termasuk salah satu kebutuhan hidup umat manusia sepanjang masa untuk menyegarkan suasana, memecahkan keseriusan, melenturkan ketegangan, dan menghapus duka lara serta nestapa yang sedang melanda hati.  

Di samping itu pula, humor sebagai metode efektif dalam berdakwah yang sering kali digunakan oleh para penceramah di pelosok negeri untuk memancing antusiasme masyarakat dalam menyimak ceramah yang disampaikan agar tidak terkesan monoton dan membosankan. Hal semacam itu kerap disisipkan oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dalam ceramahnya, bahkan dalam setiap kesempatan, baik di dalam ataupun di luar negeri. Patut kiranya jika guru bangsa itu saya sebut sebagai Kiai Humor Indonesia karena sekian banyak kelakar beliau yang sangat populer yang bila kita menyimaknya membuat kita ngakak terhibur dan tercerahkan.


Humor di kalangan masyarakat pesantren dan NU bukan sekadar menjadi media penyegar suasana, pemecah kebuntuan pikiran, namun juga menjadi dalil (argumentasi) untuk menyangkal dalil-dalil lawan bicaranya sehingga penggunaannya kadang digelontorkan dengan serius, bukan sekadar guyonan belaka sehingga eksistensinya menjadi salah satu identitas mereka selain sarung dan kopiah.

Dalam buku Ulama Bercanda, Santri Tertawa yang ditulis Hamzah Sahal, dituturkan bahwa KH. Abdul Wahab Hasbullah--salah satu pendiri NU--terkenal pandai berkelakar. Ia bukan saja ingin melucu, tapi juga menjadikan humor sebagai dalil. Mbah Wahab, yang terkenal longgar dalam hukum fiqihnya sering diprotes kiai-kiai, ditanya dalilnya kenapa melakukan ini dan itu. Atas protes atau pertanyaan-pertanyaan yang susah dijawab, beliau hanya menjawab, “Kayak Muhammadiyah saja tanya dalil.” Kiai-kiai hanya tertawa mendengar jawaban tersebut, tapi tidak berani bertanya lagi.

Sampai di sini, dari judul tulisan di atas bisa jadi Anda juga bertanya, "Apa dalilnya bahwa berhumor termasuk sunnah Nabi? Satu pertanyaan itu saya jawab dengan dua jawaban. Pertama, meminjam jawabannya Mbah Wahab, “Kayak Muhammadiyah saja tanya dalil.”

Kedua, mari kita amati dalil di bawah ini. Hadits pertama berikut dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn Majah, sedangkan yang kedua dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi yang redaksi dari dua hadits dimaksud saya kutip dari kitab Sunan Abi Daud.

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَلِى أَخٌ صَغِيرٌ يُكْنَى أَبَا عُمَيْرٍ وَكَانَ لَهُ نُغَرٌ يَلْعَبُ بِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَرَآهُ حَزِينًا فَقَالَ « مَا شَأْنُهُ ». قَالُوا مَاتَ نُغَرُهُ فَقَالَ « يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ».


Anas bin Malik RA berkata, "Rasulullah SAW pernah berkunjung ke tempat kami, sementara saya punya adik yang bergelar Abu Umair. Dia (Abu Umair) punya hobi bermain dengan burung. Suatu ketika burung itu mati sehingga perasaan Abu Umair sedih. Rasulullah masuk dan berkata (kepada keluargaku), 'Mengapa dia bersedih?' Mereka menjawab, 'Burungnya mati.' Maka beliau berkata (menghibur), 'Wahai Abu Umair, apa yang telah diperbuat oleh si burung kecil itu?'"  

Ucapan Nabi, "Apa yang telah diperbuat oleh si burung kecil itu?" merupakan sebuah kelakar yang dimaksudkan untuk menghibur jiwa anak yang sedang murung karena burung kesukaannya telah tewas. Begitulah kebijaksanaan beliau memilih bahasa guyonan dalam menghibur anak yang sedang bersedih yang ada di hadapan beliau.

 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ احْمِلْنِى. قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ ». قَالَ وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلاَّ النُّوقُ ».


Diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik bahwa ada seseorang pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata (memohon kepadanya), "Wahai Rasulullah, berilah aku tumpangan." Nabi SAW menjawab, "Sesungguhnya kami akan mengendarakanmu ke atas seekor anak unta." Lalu orang itu berkata, "Apa yang aku dapat perbuat dengan anak unta itu?" Nabi menjawab (dengan maksud bercanda), "Bukankah unta itu anak dari induk unta?" 

Sikap humoris Nabi SAW yang tersirat dalam hadits tersebut memahamkan orang itu bahwa seekor unta sekuat apa pun dalam membawa muatan tetap saja ia seekor anak unta dari induk unta. Jawaban itu logis dan humoristis.

Dalam mencerna kalimat humor kadang membutuhkan logika yang mumpuni sehingga ditemukan makna humoristisnya. Humor seringkali lahir dari orang-orang yang tingkat intelektualitasnya hebat, semacam Gus Dur itu. Saya berasumsi, semakin berwawasan seseorang mestinya semakin kaya akan daya ledak humornya.

Untuk memperkaya landasan berhumor sebagai bagian dari sunnah Nabi, saya akan kemukakan sebuah hadits yang dikutip oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Munabbihat 'ala al-Isti'dat li Yaumil Ma'ad yang disyarahi oleh Imam Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya Nashaihul 'Ibad.

 

أَحَبُّ العِبَادِ إِلَى اللهِ تعالى أَنْفَعُ  النَّاسِ  لِلنَّاسِ ، وَأَفْضَلُ الأَعْمَالِ إِدْخَالُ السُرُوْرِ عَلَى قَلْبِ المُؤْمِنِ ، يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ  كَرْبًا  أَوْ يَقْضِي لَهُ دَيْنًا. 

Para hamba yang paling Allah cintai adalah manusia yang paling berguna bagi sesamanya. Dan, perbuatan yang paling utama adalah memasukkan kebahagiaan pada hati orang mukmin dengan menghilangkan rasa lapar darinya, menghibur pikiran galau, atau membayari hutangnya.  

Manfaat humor bagi sesama yang sedang dirundung nestapa adalah mampu menghiburnya hingga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan beban pikiran yang menderanya. Di situlah salah satu pentingnya humor dalam kehidupan yang masuk dalam kategori sunnah Nabi.

***

Ilahi, Engkalah tujuanku. Rida-Mu kucari. Anugerahkan kepadaku cinta dan makrifat-Mu. Besar harapan pula semoga kami meraih syafaat Nabi-Mu. Amin.  

Wallah a'lam bish shawab.

***

Sumenep, 21 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar