Jumat, 11 September 2020

SIKLUS KEBUDAYAAN: Dari Gaya Baru Kembali ke Gaya Lama

 Oleh: M. Khaliq Shalha



Siklus merupakan putaran waktu yang di dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur. Begitulah makna siklus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam bahasa teologi (ilmu tauhid) disebut daur, sedangkan dalam bahasa ekonomi kreatif disebut daur ulang.

Dari masa ke masa manusia tidak pernah merasakan kepuasan dalam pencapaian peradabannya sehingga senantiasa berkreasi untuk meraih peradaban yang lebih maju. Dalam laju kebudayaan yang manusia bangun, mereka ternyata mengalami titik jenuh sehingga kerap kali ingin kembali pada budaya lama yang sudah sekian waktu mereka tinggalkan untuk bisa romantisme.

Dalam hal tersebut dapat kita kemukakan beberapa contoh. Pertama, jenis pakaian pelajar. Bagi murid-murid madrasah formal swasta di kampung  tahun 1990-an mereka mengenakan sarung dan sandal sebagaimana lazimnya pakaian para santri sehari-hari di pondok pesantren. Setelah tahun itu para pengelola pendidikan madrasah punya inisiatif untuk mengubah pakaian para murid, yaitu mengkonversi sarung dan sandal ke seragam celana dan sepatu yang di antara pertimbangannya agar murid-murid madrasah swasta terkesan lebih rapi dan maju sebagaimana sekolah-sekolah negeri, juga menghilangkan kesan kampungan, kolot dan tertinggal dari peradaban modern dalam ranah pendidikan. Aganda perubahan ini berjalan lancar hingga kini.

Namun, dewasa ini timbul gejala publik bahwa beberapa pengelola madrasah, khususnya yang berbasis pesantren, mulai merekonstruksi kebijakannya untuk kembali ke pengaturan awal dengan mengkonversi celana sepatu ke sarung sandal. Inisiatif semacam ini menurut saya dilatari beberapa hal. Di samping bosan dengan budaya baru itu yang dulu diadobsi karena keterpaksaan keadaan, juga ada alasan lain yang lebih krusial, yaitu mengembalikan spirit kesalehan para anak didik lewat simbol pakaian setelah lama tercerabut dari kearifan lokal hingga diharapkan moralitas dan spiritualitas mereka lebih bisa terjaga. Dan, dewasa ini pola pikir masyarakat sudah semakin maju bahwa dalam mengapresiasi potensi dan prestasi bukan diukur dari celana dan sepatu, tapi dari kualitas manusianya. Lagi-lagi pakaian sarung sudah tidak dianggap pakaian orang-orang kolot yang ketinggalan zaman, tapi sebagai simbol kesalehan dan kualitas diri. Jangan sampai terlupakan pula bahwa kaum bersarung banyak memberikan kontribusi dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, kaum bersarung sudah saatnya tampil ke publik untuk mengisi tempat-tempat strategis dalam membangun kemaslahat umat, termasuk di istana negara.

Akhir-akhir ini bukan hanya di kalangan pelajar madrasah yang kembali menggunakan sarung pada hari-hari tertertu, tapi juga sebagian para petinggi civitas akademika kampus Islam bergengsi mulai mengenakan sarung pada hari-hari tertentu, misalnya di Universitas Islam Malang (UNISMA), Jawa Timur. Waktu zaman saya kuliah betapa tabunnya jika ada orang kampus mengenakan sarung. Bisa jadi akan dijadikan bahan olokan rekannya atau akan ditegur oleh pihak pengelola kampus.


Kedua
, model pakaian. Sebagai contoh, model rok yang digunakan para murid perempuan. Dulu pernah ngetren model rok cimisan, yaitu potongan rok yang begitu longgar hingga para murid dapat leluasa berjalan menuju madrasah. Setelah itu digeser oleh model rok meksi, yaitu model rok  sepan di mana ruang geraknya sangat sempit sehingga penggunanya tidak bisa leluasa ketika berjalan. Umpama si murid yang bersangkutan dikejar orang gila tentu ia sulit untuk berlari kencang. Dewasa ini sudah kembali ke model lama itu berupa rok cimisan.

Ketiga, dari desa ke kota lalu dari kota ke desa. Di negara berkembang yang sedang membangun dalam berbagai bidang seperti Indonesia tentu mayoritas rakyat berharap negaranya berkemajuan dalam berbagai sektor. Yang menjadi titik kemajuan tentu di kota-kota besar semisal Jakarta dan Surabaya sebagai pusat segala sektor sehingga dalam ilmu sosial ada sebutan migrasi (perpindahan) penduduk yang diistilahkan dengan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota karena kota memiliki daya tarik yang kuat, sedangkan desa memiliki daya dorong penduduknya untuk hijrah. Lagi-lagi terjadi kebosanan budaya yang dialami masyarakat kota yang selama ini diidentikkan dengan kemodernan sehingga sebagian mereka mendambakan suasa desa bisa terangkat ke kota. Lalu, apa yang dilakukan mereka? Sebagian mereka ada yang mendirikan restoran di kota besar--misalnya di Surabaya--dengan suasana pedesaan yang diberi nama Dapur Desa.

Keempat, model kendaraan. Zaman dulu ada motor merek Vespa dengan bentuk yang unik. Dalam perkembangan motor di Indonesia, Vespa tersebut bisa dibilang ketinggalan zaman, baik dalam bentuk maupun kecepatannya sehingga masuk barang antik dan kadang orang menyebutnya motor jadul (jaman doeloe, zaman dulu). Dewasa ini motor jadul itu dirindukan kembali kehadirannya oleh para konsumen setelah bosan dengan model motor baru yang melimpah ruah. Produsen sangat peka dengan selera konsumen sehingga menciptakan Scoopy besutan Honda sebagai solusi kebosanan tersebut. Scoopy bisa disebut sebagai "reinkarnasi" dari Vespa dari segi modelnya.

Kelima, mode kendaraan. Tahun 1990-an dan sebelumnya sepeda ontel atau sepeda gunung menjadi kendaraan primadona rakyat. Sekitar tahun 1997 saya merasakan sendiri gowes Pragaan-Pamekasan (pulang-pergi, tepatnya pergi-pulang) dengan menempuh jarak sekitar 50 kilometer sekitar 4 jam perjalanan. Motor dan mobil kala masih tergolong elite sehingga hanya orang-orang yang beruang tebal sajalah yang memilikinya. Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan meningkatnya perekonomian masyarakat sehingga mereka berbondong-bondong membeli kendaraan bermotor. Sekarang, motor atau mobil bukan kendaraan ilite lagi, malah sebaliknya, sebagian masyarakat kantoran dan sejenisnya yang dilanda kestresan dengan tensi cukup tinggi mulai bosan dengan suana kendaraan motor atau mobil sehingga dalam momen tertentu mereka kembali ke budaya lama dengan gowes bersama sepeda ontelnya.

Begitulah siklus kebudayaan sesuai dengan karakteristik psikologi manusia, yaitu meresa bosan dan jenuh dengan capaian peradabannya sehingga salah satu solusinya meninggalkan budaya baru lalu kembali ke budaya lama dengan kadar tertentu. 

Manusia sebagai makhluk sosial, sedikit banyak terpengaruh dengan siklus budaya tertentu di sekitarnya yang sedang menjadi tren. Ada sebuah prinsip yang penting menjadi pegangan bagi manusia yang berbudaya dan berperadaban agar merasa nyaman dengan kondisi siklus budaya yang terjadi dan tak latah begitu saja tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatannya, yaitu pola pikir proporsional berdasarkan ushul fiqih ala ulama Nusantara, khususnya kalangan nahdliyyin berikut ini.


اَلْمُحَافَظَةُ عَلىَ الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ .

Melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lehih baik.

***

Wallah a'lam bish shawab.

 

Sumenep, 11 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar