Sabtu, 19 September 2020

KEBAIKAN TAK TERTANDINGI

 Oleh: M. Khaliq Shalha


Relasi pokok manusia dalam menjalankan ajaran agamanya ada dua, yakni berhubungan dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan dengan sesama (hablun minannas). Dua tugas pokok ini merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jika salah satunya ada kesenjengan, berarti dalam diri umat beragama terjadi keeroran. Beriman dan beramal saleh harus berjalan seiya sekata, sebagaimana sekian banyak ayat al-Qur'an dan hadits menggandengkan saleh ritual dan saleh sosial.

Semakin dekat seseorang dengan Tuhannya, semakin berguna pulalah ia pada sesamanya. Atau semakin manusiawi tindakan seseorang semakin dekatlah dirinya dengan Sang Ilahi karena keduanya tidak saling bertentangan tapi saling menguatkan dan berjalan secara padu.  

Imam Ibn Hajar al-Asqalani mengutip sebuah hadits dalam kitabnya, al-Munabbihat 'ala al-Isti'dad li Yaumil Ma'ad berkaitan dengan perkara pokok dalam beragama yang keutamaannya tak tertandingi sebagai berikut.

 

خَصْلَتَانِ لَا شَيْئَ أَفْضَلُ مِنْهُمَا اَلْإِمَانُ بِاللهِ وَالنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ .   

Dua perkara keutamaannya tak tertandingi, yaitu beriman kepada Allah dan bermanfaat bagi kaum muslimin.

Iman sebagai pondasi utama manusia dalam membangun segala tindakan amal salehnya. Oleh karena itu, eksistensinya harus selalu dijaga dengan baik. Sedangkan memberikan kemaslahatan (daya guna, manfaat) bagi sesama ragamnya banyak. Dalam hal ini Imam Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashaihul 'Ibad--sebagai syarah dari kitab karya Imam Ibn Hajar al-Asqalani tersebut--menafsiri an-naf'u lil muslimin (bermanfaat bagi kaum muslimin) dalam hadits tersebut berupa ucapan, jabatan, harta, atau badan.

Mari kita jabarkan ragam daya guna itu untuk sesama. Pertama, ucapan. Dalam kehidupan sosial komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan. Kita bisa membantu orang lain lewat kata-kata yang berguna. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kompetensi diplomasi dan retorika yang mumpuni karena dengan ucapan yang benar dan baik serta padat makna kita bisa menyampaikan kebenaran yang mudah diterima oleh orang lain.

Dalam masalah kompetensi berbicara, Rasulullah SAW memberikan dua alternatif jitu pada kita, yaitu fal yaqul khairan, berbicaralah dengan baik, aw liyashmut, atau diam saja jika tidak bisa. Tentu, memilih alternatif diam termasuk golongan orang yang lemah, namun masih bisa selamat ketimbang tidak bisa menahan diri untuk berbica yang berekses negatif, seperti berbicara bidang ilmu yang bukan bidangnya hingga menyesatkan orang lain, ujaran kebencian, hoaks (bohong), adu dompa, memfitnah, menggibah, dan sejenisnya. Manusia bisa selamat apabila mampu menjaga lisannya. Dalam konteks dunia maya sekarang di media sosial (medsos) ungkapan itu bisa dikembangkan menjadi manusia bisa selamat apabila mampu menjaga jari-jarinya.

Kedua, jabatan. Dengan jabatannya dalam semua skopnya, seseorang akan leluasa menebarkan manfaat untuk orang banyak. Kebijakan yang dibuat akan mampu mengangkat keterbelakangan orang-orang yang dipimpinnya dalam banyak hal. Pemimpin adalah pengayom dan mengemban penderitaan rakyat. Sejatinya para pemimpin dalam membuat kebijakan dan bertindak demi kemaslahan orang-orang yang dipimpinnya. Sejalan dengan kaidah fiqih yang sangat populer berikut ini.

 

تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ .

Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.

 

Dalam kitab al-Asybah wa an-Nazhair karya Imam Suyuthi dituturkan bahwa kaidah tersebut berasal dari ucapan Imam Syafi’i yang bersumber pula dari ucapan Umar bin Khatthab.

مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ .

Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim. (Imam Syafi'i).

 

اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَااسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ .

Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan, apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya (menahan diri padanya). (Sahabat Umar bin Khatthab).

 

Kita berharap, semoga jabatan publik yang diperebutkan oleh banyak orang dewasa ini didasari oleh keinginan tulus mereka demi mewujudkan kemaslahatan umat. Tipe pemimpin yang adil (baik) akan mendapat perlingungan khusus dari Allah kelak di Hari Mahsyar di mana kala itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah SWT.

Ketiga, harta. Dengan hartanya, seseorang akan bisa berbagi manfaat buat orang lain yang membutuhkan. Sudah menjadi rumus kehidupan dunia bahwa ada yang kaya dan ada yang miskin. Adanya kesenjangan itu sungguh memiliki hikmah yang besar sehingga kehidupan ini bisa berjalan dengan dinamis. Orang kaya patut bersyukur karena ada orang miskin sehingga menjadi objek ladang amal. Demikian pula orang miskin layak berterima kasih atas uluran tangan orang kaya sehingga beban hidupnya dapat terbantu. Adanya kewajiban orang kaya untuk membantu si miskin adalah untuk mempersempit kesenjangan itu, bukan membuat yang kaya makin kaya yang miskin makin melarat.

Ada barometer tersendiri masing-masing di antara keduanya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa bagi orang kaya mengamalkan sabda: tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima). Dengan demikian, orang yang berharta termotivasi untuk menginfakkan kekayaannya dan tidak terjangkiti penyakit kikir yang sangat tercela. Sedangkan orang yang miskin mengamalkan sabda Nabi: pandanglah orang yang ada di bawahmu (lebih miskin) dan jangan memandang orang yang ada di atasmu (lebih kaya). Dengan begitu, akan melahirkan sifat kanaah dan tidak haus harta, karena jika haus harta ibarat orang yang meminum air laut. Semakin diminun ia semakin haus.


Perlu diingat. Kaya dan miskin dapat dikatan tidak ada tolok ukur yang jelas. Hal itu kembali kepada rasa masing-masing individu. Dengan demikian, tidak perlu menunggu kaya seperti orang-orang untuk mendermakan hartanya. Setiap orang memiliki peluang untuk menebarkan manfaat bagi orang lain dengan hartanya menurut kadar kemampuan masing-masing.

Keempat, badan. Dengan badan atau fisik yang kuat akan bisa mewujudkan manfaat untuk orang lain. Peradadan bisa dibangun. Fisik adalah aset yang sangat berharga untuk melahirkan karya yang berguna bagi kehidupan. Untuk melatih produktivitas badan dalam menggarap kemanfaatan, kita harus membiasan diri berbuat kebaikan mulai dari perkara kebaikan recehan yang remeh temeh, misalnya menyingkirkan duri  atau rintangan di tengah jalan, membuang sampah pada tempatnya. Jika kita peduli pada kebaikan kecil sangat dimungkinkan kita bisa mampu dan antusias untuk berbuat kebaikan yang lebih besar.

Nah, agenda mulia hidup kita yang utama adalah memelihara keimanan dan menebar manfaat buat sesama. Kedua-duanya harus kita raih sabaik mungkin. Dari agenda itu, pada akhirnya hanya rida Allah yang kita harap dan syafaat Rasulullah yang kita dambakan.

Wallah a'lam bish shawab.

***

Sumenep, 19 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar