Selasa, 06 Agustus 2019

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (Solusi Mengentaskan Krisis Multidimensi)


Betapa bingung dan sibuknya negeri ini merevisi kurikulum dari kurikulum ini ke kurikulum itu sesuai kebutuhan yang mendesak. Tiada lain untuk mencetak lulusan yang baik (sebagai tujuan utama) dan pandai. Mengingat SDM anak negeri ini kurang membanggakan, khususnya keringnya spiritual hingga menimbulkan krisis multidimensi.

Tergerusnya nilai-nilai akhlak yang mungkin dominan melanda kalangan birokrasi dan anak kota memantik pemangku kebijakan mencarikan solusi lewat dunia pendidikan dengan menyajikan kurikulum yang aktual.

Munculnya persoalan (kasuistik) terjadi di jauh sana namun berimbas ke sini dari penyeragaman kurikulum. Namanya kurikulum nasional, tentu berlaku se-nasional.

Bagi kalangan madrasah yang berbasis pesantren, penekanan pendidikan akhlak di atas kecerdasan bukanlah porsi yang baru, tapi itu lagu lama yang senantiasa dijunjung tinggi dalam keseharian selama 24 jam. Setidaknya kompetensi yang diusung Kurikulum 2013 (K13) yang utama Kompetensi Inti (KI 1) berupa kecakapan spiritual, lalu KI 2 berupa kecakapan sosial yang keduanya oleh kalangan pesantren/madrasah disebut hablun minallah dan hablun minannas, dapat membangunkan sebagian kalangan pesantren/madrasah yang mulai kehilangan rasa bangga pada almamaternya, padahal orang luar mulai mengadopai model pendidikannya.

Munculnya wacana Full Day School bagi kebanyakan masyarakat Jawa Timur (khususnya kalangan pesantren) terkesan lucu, karena sepertinya pelampiasan kebingunan orang atas sana mencari model pengajaran dan pendidikan ala pesantren tapi tanggung.

Kembali pada persoalan moral. Generasi orang tua kita benar-benar mewanti-wanti pada anaknya untuk memelihara moral dan mengamalkan ilmunya hingga sampai kehilangan keseimbangan dalam berwejangan. "Walau punya ilmu sedikit yang penting diamalkan." Mereka berfatwa demikian bukan tanpa alasan, tapi menyikapi realita. Banyak orang berilmu tapi moralnya tidak karuan. Orang pandai banyak tapi orang baik sedikit.

Ungkapan ini dalam satu sisi baik, tapi dalam sisi lain kurang memotivasi generasi muda untuk meningkatkan keilmuannya. Idealnya ungkapan yang optimis, ilmu selalu ditingkatkan sambil diamalkan.

Pendidikan yang mapan akan menjadi pilar kokohnya kebangsaan, sebagaimana visi Ki Hajar Dewantara dalam membangun bangsa ini tempo dulu.

Persoalan bangsa ini semakin komplit. Maka, perpaduan unsur dari target pendidikan antara afektif (akhlak), kognitif (kecerdasan) dan psikomotorik (keterampilan) sebagai bentengnya. Semoga saja tumbuh jiwa-jiwa santri-akademisi.

Modal utama dari kombinasi capaian itu adalah kehadiran sang guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Dibutuhkan kesiapan lahir batin.

Ingat, warning Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno, "Musuhku lebih ringan ketimbang musuhmu karena musuhku penjajah, sedangkan musuhmu bangsa Indonesia sendiri."

Merdeka!

Wallah a'lam.

M. Khaliq Shalha

1 komentar: