Rabu, 17 September 2014

TINJAUAN UMUM TENTANG AL-QUR’AN


Oleh M. Khaliq Shalha



A.     PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN WAHYU
1.     Penertian Al-Qur’an
Pengertian Al-Qur’an secara bahasa paling tidak ada lima pendapat ulama yang menerangkannya sebagaimana dikutip oleh Abdul Djalal, HA. dalam bukunya, Ulumul Qur’an[1] sebagai berikut:

a.      Al-Lihyani (w. 355 H) dan mayoritas ulama mengatakan bahwa kata Al-Qur’an adalah lafal masdar yang setara dengan lafal qiraatan, berwazan fu’lana yang di derivasi dari lafal qara’a-yaqra’u-qiratan dan seperti lafal syakara-syukrana dan ghafara-ghufrana dengan arti kumpul dan menjadi satu. Kata Al-Qur’an berupa mahmuz yang hamzahnya asli dan nun-nya tambahan. Seperti dalam ayat 17-18 surat Al-Qiyamah:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧)فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (١٨)
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

b.      Az-Zujaj (w. 311 H) mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an berupa isim sifat, ikut wazan fu’la, yang diambil dari kata al-qar’u yang berarti kumpul pula. Sebab semua ayat, surat, hukum-hukum, dan kisah-kisah Al-Qur’an berkumpul menjadi satu. Al-Qur’an mengumpulkan intisari semua kitab-kitab suci dan seluruh ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl: 89 dan Al-An’am: 38.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al- Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu. 

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ .
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

Dengan demikian, kata Al-Qur’an berupa isim mahmuz yang hamzahnya asli dan nun-nya tambahan.

c.       Abu Musa Al-Asy’ari (w. 324 H) mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an adalah isim musytaq ikut wazan fu’lan, yang diambil dari kata al-qarnu seperti dari kalimat: Qarantu asy-syai’a bis sya’i yang berarti: “Saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Kitab Al-Qur’an dinamakan demikian, karena ayat-ayat, surat-surat, dan huruf-hurufnya berkumpul menjadi satu dalam mushhaf Al-Qur’an. Jadi menurut pendapat ini, lafal Al-Qur’an bukan isim mahmuz, sehingga nun-nya asli, sedangkan hamzahnya tambahan.
d.      Al-Farra’ (w. 207) mengatakan bahwa kata Al-Qur’an berupa isim musytaq ikut wazan fu’lan, diambil dari lafal al-qara’in, bentuk jamak dari kata qarinah yang berarti bukti.  Kitab Al-Qur’an dinamakan demikian, karena sebagiannya membuktikan sebagian yang lain. Jadi menurut pendapat ini, lafal Al-Qur’an juga bukan berupa isim mahmuz, sehingga hamzahnya zaidah dan nun-nya asli.  
e.       Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) berpendirian bahwa lafal Al-Qur’an itu bukan isim musytaq yang diambil dari kata yang lain, melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak mula diciptakannya sudah berupa isim alam (nama), yakni nama dari kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan selalu disertai dengan alif lam ata al.  Jadi bukan isim mahmuz, dan bukan isim musytaq, serta tidak pernah lepas dari al (alif lam).

Dari lima pendapat tersebut, menurut penulis pendapat pertama yang lebih tepat, sebagaimana Abdul Djalal, HA. pilih. Sebab pendapat pertama tersebut relevan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ilmu sharaf. Sedangkan empat pendapat yang lain tersebut lepas dari kaidah-kaidah nahwu dan sharaf serta tidak relevan dengan ungkapan bahasa Arab.

Sedangkan pengertian Al-Qur’an secara istilah telah dikemukakan pula oleh para ulama dari berbagai disiplin keahliannya, baik dalam bidang bahasa, Ilmu Kalam, Ushul Fiqih dan sebagainya. Pengertian yang mereka buat antara satu sama lainnya ada sedikit perbedaan. Dalam hal ini tentu bertendensi pada kecenderungan mereka masing-masing.

Syaikh Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah mengemukakan pengertian Al-Qur’an dalam bukunya, sebagai berikut: 

اَلْقُرْاَنُ الْكَرِيْمُ : هُوَ كِتَا بُ اللهِ – عَزَّ وَجَلَّ– اَلْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتِمِ أَنْبِيَائِهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ, اَلْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتِرِ اَلْمُفِيْدُ لِلْقَطْعِ وَاْليَقِيْنِ اَلْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ مِنَ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ إِلَى أَخِرِ سُوْرَةِ النَّاسِ. [2]
Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab AllahAzza wa Jallyang diturunkan kepada Nabi terakhir-Nya, Muhammad SAW secara lafal dan maknanya, diriwayatkan secara mutawatir, berfaidah untuk memberi ketetapan dan keyakinan, termaktub dalam mushaf-mushaf  yang diawali surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.

Sedangkan Subhi As-Salih merumuskan pengertian Al-Qur’an yang dipandang dapat diterima oleh para ulama terutama ahli bahasa, Fikih dan Usul Fikih sebagai berikut:

اَلْقُرْاَنُ هُوَ اَلْكِتَا بُ اَلْمُعْجِزُ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمَكْتُوْبُ فِى اْلَمصَاحِفِ  اَلْمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِاَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ.[3]
Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, diriwayatkan secara mutawatir dan yang membacanya dipandang ibadah.

2.     Pengertian Wahyu dan Macam-macamnya

Kata wahyu mempunyai dua arti, yakni :
a.       Wahyu dalam arti al-iha’, artinya memberi wahyu.
b.      Wahyu dalam arti al-muha bih, artinya yang diwahyukan.

Wahyu menurut pengertian bahasa ialah memberitahukan sesuatu denan cara yang samar dan cepat. Sedangkan secara istilah wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada Nabi dan Rasul yang bersangkutan bahwa apa yang diterimanya dari Allah sendiri.

Allah telah menerangkan dalam Al-Qur’an tentang cara pemberitahuan yang dikehendaki Tuhan kepada Nabi-Nya, yaitu tersebut dalam surat Asy-Syura ayat 5:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ .
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir[4] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

Berdasarkan ayat tersebut, maka wahyu itu ada tiga macam :
1)      Pemberitahuan Tuhan dengan cara ilham tanpa perantara. Termasuk dalam bagian ini adalah mimpi yang tepat dan benar (lamat: Maduranya), misalnya Nabi Ihrahim pernah menerima perintah menyembelih putranya, Nabi Ismail. Peristiwa ini diungkapkan kembail oleh Allah dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ .
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

2)      Mendengar firman Allah di balik tabir, seperti yang dialami Nabi Musa ketika menerima pengangkatan kenabiannya. Peristiwa ini disebutkan dalam surat Thaha ayat 11-13 :

فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَى (١١) إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (١٢)وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى (١٣)
Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)”.

Demikian pula peristiwa Mi‘raj Nabi Muhammad, di mana Nabi menerima perintah langsung dari Tuhan untuk mendirikan salat lima waktu, termasuk dalam kategori kedua ini.

3)      Penyampaian wahyu (amanat) Tuhan dengan perantara Malaikat Jibril yang dalam Al-Qur’an disebut “Ar-Ruhul Amin”. Ini ada tiga macam:

a)    Malaikat Jibril dilihat dalam bentuknya yang asli tetapi ini jarang sekali terjadi.
b)    Malaikat Jibril menjelma sebagai manusia. Dia juga pernah menjelma sebagai seorang laki-laki bernama Duhyah bin Khalifah.
c)    Nabi tidak melihat Malaikat Jibril ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar pada waktu kedatangan Malaikat itu suaranya seperti suara lebah atau gemerincing bel. Dalam hal ini hanyalah Tuhan yang mengetahui hakikatnya. Bagi orang yang kebetulan menyaksikan, hanya melihat gejala-gejalanya yang bersifat lahir saja, misalnya badan Nabi bertambah berat dan Nabi mengeluarkan keringat yang banyak, sekalipun dalam cuaca yang sangat dingin. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari dari Aisayah diterangkan bahwa penerimaan wahyu semacam terakhir ini adalah yang terberat.

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَأْتِيْكَ الْوَحْيُ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : « أَحْيَانًا يَأْتِيْنِيْ ِمثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّيْ وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِيْ فَأَعْيِ مَا يَقُوْلُ »  قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيْدِ الْبَرَدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِيْنَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا .[5]
Dari Aisyah Ummin Mu’minim RA bagwa Harits bin Hisyam RA bertama kepada Rasulullah SAW, ia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu itu datang kepadamu? Rasulullah menjawab: “Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku seperti gemerincing bel, dan bentuk seperti itu paling berat rasanya bagiku dan aku sungguh mengingatnya apa yang dikatakan. Dan kadang-kadang Malaikat datang kepadaku menyerupai seseorang kemudian ia berkata kepadaku lalu saya mengingat apa yang ia ucapkan.” Aisyah RA berkata: Sungguh saya melihat Nabi sedang dituruni wahyu pada suatu waktu di mana cuaca dalam keadaan sangat dingin namun keningnya bercucuran keringat.

Sedangkan wahyu dalam arti al-muha bih, artinya yang diwahyukan, ada dua macam, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Hadis-hadis Nabi itu sekalipun dari segi susunan bahasanya disusun oleh Nabi sendiri, tetapi dari segi makna datang dari Tuhan. Karena itu, hadis-hadis Nabi itu pun dianggap sebagai wahyu pula.

Adapun dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hadis-hadis Nabi termasuk wahyu, antara lain surat An-Najm ayat 2-3 dan hadis Nabi.

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (٢)وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ....[6]
Dari Miqdam bin Ma‘di Karib Al-Kindi berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya saya diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan seperti Al-Qur’an (hadis) bersamanya ….
Hanya perlu diketahui bahwa sekalipun hadis-hadis Nabi itu dipandang sebagai wahyu, namun pada hakikatnya masih ada perbedaan yang prinsipil antara hadis dan Al-Qur’an, meskipun keduanya adalah wahyu Ilahi. Perbedaan tersebut penulis akan bahas di bawah nanti.

B.     NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT AL-QUR’AN

Al-Qur’an memiliki beberapa nama selain nama Al-Qur’an itu sendiri. Penamaan tersebut didasarkan pada firman Allah sebagai berikut:

1.     Al-Qur’an, terdapat dalam surat Al-Baqarah, ayat 185.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ….
 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al- Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). ….

2.     Al-Furqan, terdapat dalam surat Al-Furqan, ayat 1.

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا .
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.

3.      Al-Kitab, terdapat dalam surat An-Nahl, ayat 89.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ .
   ....Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

4.     Adz-Dzikr, terdapat dalam surat Al-Hijr, ayat 9.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ .
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

5.     At-Tanzil , terdapat dalam surat Fushshilat ayat 41-42.

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ (٤١) لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (٤٢)  .
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al- Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan (tanzil) dari Tuhan Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

Dari beberapa nama yang tersebut di atas yang paling populer adalah Al-Qur’an. Nama Al-Qur’an menurut penulis memiliki keistimewaan (kekhususan) dibandingkan dengan nama yang lain, yaitu kata Al-Qur’an hanya digunakan untuk sebutan nama kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan tidak digunakan pada sebutan lain. Sedangkan nama-nama yang lain bersifat umum, selain digunakan untuk sebutan Al-Qur’an juga digunakan pada sebutan lain.

Sedangkan sifat-sifat Al-Qur’an terkait dengan fungsi Al-Qur’an sebagai berikut:

1.      Nur (cayaha), karena dengan Al-Qur’an perkara yang halal dan haram menjadi terang atau jelas. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’: 174.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا .
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an).

2.      Huda (petunjuk), karena Al-Qur’an memberikan petunjuk yang jelas pada yang hak dan membedakan antara yang hak dan batil. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Yunus: 57.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ.
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

3.      Majid (mulia), karena Al-Qur’an terpelihara dari perubahan, penggantian, penambahan, dan pengurangan dan bahkan Al-Qur’an secara internal memiliki keistimewaan yang tak tertandingi oleh kalimat “sakti” karya manusia, siapa pun di mana pun dan kapan pun. Artinya keindahan dan keaslian Al-Qur’an selalu kokoh tak tertandingi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Buruj: 21.

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ .
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia.

4.      Syifa’ (obat), karena Al-Qur’an bisa menjadi obat hati bagi orang yang beriman dan menjadi obat dari kebodohan bagi orang yang mengkajinya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’: 82.

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا .
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.

5.      ‘Aziz (mulia atau wibawa), karena Al-Qur’an tidak bisa tertandingi oleh siapa pun. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Fushshilat: 41.

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ.
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia.

6.      Basyirun wa nadzirun (memberi kabar gembira dan menakutkan), karena Al-Qur’an memberi informasi tentang nikmat surga bagi orang beriman dan beramal saleh dan siksa neraka bagi orang yang durhaka. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Fushshilat: 4.

بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لا يَسْمَعُونَ.
Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.

C.     SEJARAH RINGKAS TURUNNYA AL-QUR’AN

Al-Qur’an diturunkan dengan dua tahap penurunan:
1.     Al-Qur’an diturnukan oleh Allah sekaligus (secara lengkap) pada hari Jum’at, 17 Ramadan malam Lailatul Qadar dari Al-Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izza di Samaid Dunya (langit dunia).
2.     Al-Qur’an diturunkan ke dunia secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari suatu surat atau berupa satu surat pendek lengkap. Permulaan turunnya Al-Qur’an ke dunia juga pada malam nuzulul Qur’an, tepatnya hari Jum’at, 17 Ramadan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar.[7]

Turunnya Al-Qur’an kadang kala dilatarbelakangi oleh sesuatu (asbabun nuzul) kadang kala tidak. Ayat-ayat yang memiliki asbabun nuzul pada umumnya berupa ayat-ayat hukum (tasyri’iyyah). Turunnya ayat-ayat itu adakalanya berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam, adakalanya pertanyaan dari kalangan sahabat Nabi atau dari kalangan lainnya yang ditujukan pada Nabi. Sedangkan ayat-ayat yang turun tanpa didahului asbabun nuzul lebih banyak jumlahnya, misalnya ayat-ayat tentang ihwal umat-umat terdahulu beserta para Nabinya, menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, menceritakan hal-hal yang ghaib yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksa neraka.[8] 

Sedangkan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 12 tahun, 5 bulan, dan 13 hari ketika Nabi masih tinggal di Mekah, sebelum hijrah ke  Madinah (Yatsrib) dan 9 tahun, 9 bulan, dan 9 hari ketika beliau hijrah ke Madinah. Surat-surat yang turun di Madinah meliputi : Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, Al-Hajj, An-Nur, Al-Ahzab, Al-Qital, Al-Fath, Al-Hujurat, Al-Hadid, Al-Mujadalah, Al-Hasyr, Al-Mumtahinah, Ash-Shaff, Al-Jumu’ah, Al-Munafiqun, At-Taghabun, Ath-Thalaq, At-Tahrim,  An-Nash. Sedangkan surat-surat selain yang tersebut itu tergolong surat Makkiyah.[9]

Surat atau ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi hijrah disebut surat atau ayat Makkiyah sebanyak 19 juz dari 30 juz. Ciri-cirinya; surat atau ayatnya pendek-pendek (qashirah), bahasanya singkat padat (ijaz) mengingat sasaran pertama dan utama pada periode Mekah adalah orang-orang Arab Asli (seperti suku Quraisy dan suku Arab lainnya), mereka tentu sudah paham betul terhadap bahasa Arab. Kalimatnya banyak diwali dengan ya ayyuhan nas. Surat Makkiyah pada umumnya berupa ajakan untuk bertauhid secara murni (pure monoteisme), juga tentang pembinaan mintal dan akhlak.

Sedangakan Al-Qur’an yang diturunkan setelah hijrah disebut surat atau ayat Madaniyah yang terdiri dari 11 juz dari 30 juz Al-Qur’an. Ciri-cirinya; ayat atau suratnya panjang-panjang (thawilah), gaya bahasanya panjang lebar (ithnaf) dan lebih jelas, karena sasarannya bukan saja orang-orang Arab asli, tapi juga orang non-Arab dari berbagai bangsa yang sudah banyak masuk Islam, dan sudah tentu mereka kurang menguasai bahasa Arab. Banyak ayat-ayatnya yang diawali dengan ya ayyuhal ladzina amanu. Mengenai kandungan surat Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan pranata sosial dan negara yang adil dan makmur dimana kondisi masyarakat Madinah pada waktu itu lebih berperadaban ketimbang penduduk Mekah yang hanya memiliki satu karakter, satu lingkungan, agama yang homogen,[10] sehingga sangat tepat agenda Rasulullah untuk periode ini membangun negara Madinah.

Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Rasulullah berupa surat Al-Alaq dari ayat 1 sampai 5 sewaktu beliau sedang berkhalwat di gua Hira bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus 610 M. Sedangkah wahyu terakhir yang diterima Nabi adalah surat Al-Maidah ayat 3 saat Nabi berwukuf di Arafah melakukan haji Wada’ pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun kesepuluh hijriyah, 7 Maret 623 M. Antara wahyu pertama dengan wahyu kedua yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.

D.    HIKMAH TURUNNYA AL-QUR’AN SECARA BERANGSUR-ANGSUR

Hikmah diturunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain :
1.     Untuk meneguhkan hati Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya sekalipun menghadapi berbagai tantangan (challanges) dan hambatan (contrains) yang beraneka ragam, menghibur Nabi pada saat-saat sedang menghadapi kesulitan, kesedihan, atau perlawanan dari orang-orang kafir. sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, QS. Al-Furqan: 32-33, QS. Al-Ahqaf: 35, dan QS. Al-An’am: 34.

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; Demikianlah[11] supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[12]

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ (٣٥)
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ .
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita Rasul-rasul itu.

2.     Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat Islam yang hidup di masa Nabi. Mereka tentu mengalami pahit-getir perjuangan menegakkan kebenaran Islam bersama-sama dengan Rasulullah, sebagaimana firman Allah, QS. An-Nur: 55.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ .
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.

3.     Untuk memudahkan Nabi menghafal Al-Qur’an, sebab beliau adalah ummi (buta huruf), demikian juga untuk memudahkan para sahabat Nabi yang buta huruf.

4.     Untuk memberikan alokasi waktu sebaik-baiknya kepada umat Islam agar meninggalkan sikap dan mental juga tradisi-tradisi pra Islam (jaman Jahiliah) yang negatif secara berangsur-angsur, karena mereka telah dapat menghayati ajaran-ajaran Al-Qur’an secara bertahap (step by step) pula. Jika ayat Al-Qur’an, terutama mengenai hukum kewajiban dan larangan diberikan sekaligus, pasti akan mendapat tantangan dari masyarakat waktu itu yang akan mengganggu terhadap keberhasilan dakwah Nabi. Dengan demikian, Al-Qur’an “berbica” sesuai dengan metodenya.


E.     KANDUNGAN AL-QUR’AN

Isi ajaran Al-Qur’an pada hakikatnya mengandung lima prinsip,[13] sebab tujuan pokok diturunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk diteruskan kepada umat manusia untuk menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:

1.     Tauhid (doktrin tentang kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa)

Adam sebagai bapak manusia modern dan Nabi pertama adalah seorang yang bertauhid dan mengajarkan tauhid kepada keturunan atau umatnya, tapi realitanya tidak sedikit manusia keturunannya menyimpang dari ajaran tauhid. Mereka ada yang menyembah api, matahari, dewa juga memperanak Tuhan dan sebagainya. Untuk meluruskan kepercayaan mereka ke arah yang benar, yang diridhai Tuhan, maka diutuslah Nabi dan Rasul secara silih berganti, mulai dari Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW sebagimana Allah berfirman, QS. An-Nahl: 36 dan QS. Al-Ahzab: 40.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ .
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[14] itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul).

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا .
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Sebelum kedatangan Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan umat manusia pada umumnya telah menyimpang dari ajaran tauhid Rasulnya, setelah Rasul mereka wafat, sekalipun sebagian mereka ada pula yang mengaku bertauhid, namun ketauhidan mereka tidak murni, sebab Tuhan dianggap tidak tunggal sepenuhnya, melainkan Ia terdiri dari beberapa oknum, misalnya trinitas dari agama Kristen. Jadi konsep ketauhidan mereka merupakan hasil kreasi mereka sendiri, sehingga turunnya Al-Qur’an mengoreksi terhadap penyimpangan ini.

2.     Janji (wa’ad) dan ancaman (wa’îd)

Allah menjanjikan kepada setiap manusia yang beriman dan beramal saleh, akan mendapatkan kebahagian hidup, baik di dunia maupun di akhirat dan akan dijadikan pelestari bumi (khalifah). Sebaliknya, Allah akan mengancam pada setiap orang yang ingkar kepada-Nya dan Rasul-Nya, hidupnya akan mendapatkan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana Firman Allah, QS. An-Nur: 55 sebagaimana disebut di atas, dan QS. At-Taubah: 67-68.

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٦٧) وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا هِيَ حَسْبُهُمْ وَلَعَنَهُمُ اللَّهُ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ (٦٨).
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.

3.     Ibadah

Tujuan Allah menciptakan manusia untuk beribadah (mengabdi) kepada-Nya, sebagaimana firman Allah, QS. Adz-Dzariyat: 56.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ .
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Makna ibadah secara proporsional memiliki arti luas, baik mencakup ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian juga ibadah ghairu mahdhah, yaitu segala aktifitas manusia yang memiliki motif (niat) baik akan dinilai ibadah, seperti mencari nafkah untuk keluarga dan sebagainya. Ibadah bagi manusia berfungsi sebagai manifestasi syukur manusia terhadap Tuhannya, atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya. Ibadah juga berfungsi sebagai realisasi dan konsekuensi logis manusia atas keimanannya kepada Tuhan, karena tidak cukup bagi manusia hanya beriman tanpa disertai amal, sebagaimana pula tidak cukup beramal tanpa didasari iman. Iman dan amal adalah satu paket yang harus disejajarkan secara proporsional untuk mencapai kualitas insan kamil.

4.     Jalan dan cara mencapai kebahagiaan

Setiap manusia tentu memiliki cita-cita ingin mendapatkan kebahagian hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai kebahagian itu, Allah memberikan petunjuk kepada umat Islam dalam Al-Qur’an untuk dapat dijadikan pedoman hidup, sebagaimana firman-Nya, QS. Al-Baqarah: 2.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ .
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

5.     Kisah-kisah (qashash)[15] umat manusia sebelum umat Nabi Muhammad

Potret kehidupan (kisah) umat terdahulu  sangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an, baik menyangkut peran manusia sebagai protaganis seperti Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS dan sebagainya. Demikian juga menyangkut peran manusia sebagai antagonis (penentang kebenaran), seperti Fir’aun dan sebagainya. Kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an memiliki nilai berharga bagi umat Nabi Muhammad untuk dapat dijadikan pelajaran (‘ibrah), yaitu mereka dapat mengambil sisi positifnya dan menjauhi sisi negatifnya, Allah berfirman, QS. Yusuf: 111.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ .
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Kelima prinsip tersebut di atas secara global tergambar dalam surat Al-Fatihah, sebagai surat pembuka (preambule). Oleh karena itu surat Al-Fatihah dapat disebut sinopsis atau populer disebut ummul kitab (induk Al-Qur’an) karena dapat memproyeksikan isi pokok Al-Qur’an secara global.

F.      FUNGSI AL-QUR’AN

Al-Qur’an memiliki beberapa fungsi, diantara fungsi pentingnya adalah:
1.     Sebagai sumber monumintal (pokok) segala macam aturan tentang akidah, akhlak, hukum, ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya, yang harus dijadikan way of life bagi seluruh umat manusia untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Allah berfirman, QS. Al-Ahzab: 36.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا .
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.

2.     Sebagai mukjizat Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah dan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan ciptaan Nabi Muhammad sendiri.

Setiap Rasul diberi mukjizat oleh Allah sebagai senjata untuk menunjang suksesnya misi yang dibawanya. Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad, sebab Al-Qur’an berlaku sepanjang masa untuk seluruh umat manusia. Perhatikan firman Allah, QS. Al-Baqarah: 23.

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

3.     Sebagai hakim yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi keputusan terakhir mengenai masalah yang diperselisihkan oleh pemimpin dari berbagai macam agama sekaligus sebagai korektor terhadap kepercayaan yang menyimpang dari yang sebenarnya yang dilakukan oleh pemeluk agama setelah Rasul mereka wafat. Allah berfirman, QS. An-Nahl: 64.

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ .
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

4.     Sebagai penguat kebenaran keberadaan para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad. Hanya saja ajaran-ajaran mereka beserta kitab-kitab sucinya sudah tidak orisinil lagi, karena tidak sedikit yang telah diubah oleh para pemimpin mereka. Allah berfirman, QS. Al-Maidah: 48.

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ .
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

G.    PERBEDAAN ANTARA AL-QUR’AN DAN HADIS

1.     Pengertian Hadis

Sebelum membahas lebih jauh tentang perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadits, penulis memandang perlu mengurai terlebih dahulu tentang pengertian hadits. Hadis secara bahasa adalah sesuatu yang baru, sedangkan secara istilah menurut istilah ulama hadits adalah:

أَنَّهَا تُرَادِفُ السُّنَّةَ , وَيُرَادُ بِهَا كُلُّ مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ وَبَعْدَهَا , وَلَكِنَّهُ إِذَا أُطْلِقَ لَفْظُ الْحَدِيْثِ إِنْصَرَفَ فِى الْغَالِبِ إِلَى مَا يُرْوَى عَنِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ النُّبُوَّةِ مِنْ قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ وَإِقْرَارِهِ . وَعَلَى هَذَا فَالسُّنَّةُ أَعَمُّ مِنَ الْحَدِيْثِ .[16]
Hadis-hadis sinonim dengan sunnah, sunnah adalah setiap sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, baik sebelum diutus atau sesudahnya, tetapi biasanya hadits digunakan terhadap apa yang diriwayatkan dari Rasul SAW setelah kenabian, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya. Dengan begitu sunnah lebih umum ketimbang hadis.

Apabila hadis disamakan dengan sunnah berarti itu dalam pengertian luas, dan jika hadis diartikan lebih khusus dari sunnah, itu berarti hadis dalam arti sempit (fokus), dan hadis dalam pengertian sempit inilah yang sering digunakan dalam amplikasinya, baik dalam tataran teoritis atau praktis. Demikian juga sebaliknya, apabila sunnah diartikan hadis dalam pengertian sempit, maka itu berarti sunnah dalam arti sempit. Sama halnya menggunakan istilah syari’ah” dengan maksud “hukum Islam”.

2.     Perbandingan antara Al-Qur’an dan Hadis

Selanjutnya, sekalipun redaksi hadis-hadis Nabi disusun oleh Nabi sendiri, namun dari segi makna (jiwa) merupakan wahyu pula dari Allah. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa hadis-hadis Nabi termasuk wahyu di antaranya QS. An-Najm: 3-4 berikut dan hadis Nabi SAW :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى .

Nabi tidak berkata menurut kemauan hawa nafsunya, tetapi apa yang dikatakan itu tidak lain adalah wahyu yang diberikan (kepadanya).

عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ....[17]
Dari Miqdam bin Ma‘di Karib Al-Kindi berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Ingatlah, sesungguhnya saya diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan seperti Al-Qur’an (hadis) bersamanya ….

Perlu diketahui, bahwa walaupun hadis-hadis Nabi dipandang sebagai wahyu, namun masih ada perbedaan yang sangat prinsipil antara Al-Qur’an dan hadis, meskipun keduanya adalah wahyu Allah. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :

No
Al-Qur’an
No
Hadis
1
Al-Qur’an diturunkan dengan lafal dan maknya dari Allah.
1
Hadis diturunkan dengan makna saja dari Allah, sedangkan lafalnya dari Nabi
2
Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sebab dapat mengurangi atau menghilangkan mukjizat Al-Qur’an.
2
Hadits boleh diriwayatkan dengan maksudnya saja. Sebab yang terpenting dalam hadis adalah penyampaian maksudnya.
3
Al-Qur’an, baik lafal atau maknanya merupak mukjizat
3
Hadis bukan merupakan mukjizat
4
Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu shalat atau di luar shalat sebagai ibadah, baik orang yang membacanya mengerti pada maksudnya atau tidak.
4
Hadis tidak diperintahkan untuk dibaca sebagai ibadah. Yang terpenting dalam hadis adalah untuk dipahami, dihayati dan diamalkan.
5
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi dalam keadaan sadar
5
Hadis diturunkan kepada Nabi dengan bermacam-macam cara.[18]

3.     Perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadis Qudsi

Selain ada “hadits Nabawi” (hadis biasa), sebagaimana terurai di atas, juga ada “hadits Qudsi”. Hadis Qudsi adalah:

وَهُوَ مَا رَوَى فِيْهِ الرَّسُوْلُ عَنِ اللهِ[19]
Hadis yang diriwayatkan oleh Rasul dari Allah.

Ada dua pendapat yang menyikapi tentang hadis qudsi.[20] Pendapat pertama mengatakan, bahwa hadis Qudsi termasuk firman Allah, bukan sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

a.       Hadis Qudsi selalu disandarkan kepada Allah. Oleh karena itu hadis Qudsi juga dinamakan hadis Ilahi.
b.      Hadis Qudsi selalu memuat dhamir mutakallim (ana atau nahnu), dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Allah, seperti:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِيمَا رَوَى عَنِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ « يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ .... » .[21]
Dari Abu Dzar Al-Ghifari, dari Nabi, beliau meriwayatkan dari Tuhannya Azza wa Jalla, bahwa Tuhannya berfirman: “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, maka kamu jangan saling menganiaya. Wahai hamba-Ku, setiap kamu tersesat kecuali orang yang Aku tunjukkan padanya, maka mintalah petunjuk pada-Ku tentu Aku akan beri petunjuk padamu…”

Sanad hadis Qudsi tidak hanya berakhir pada Nabi tetapi sampai pada Allah melalui Nabi, sedangkan sanad hadits Nabawi hanya sampai pada Nabi.

Menurut pandapat ini, meskipun hadits Qudsi termasuk firman Allah, tetapi tidak mempunyai status yang sama dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diterima secara mutawatir, sedangkan hadis Qudsi seperti keadaan hadis Nabawi lainnya, yaitu pada umumnya diterima secara ahad (perorangan).[22]

Pendapat kedua mengatakan bahwa hadis Qudsi lafalnya dari Nabi sendiri seperti hadis Nabawi. Pendapat ini menurut Abu Al-Baqa’ dan At-Thibi. Dari pendapat ini maka berlaku perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadis Qudsi sama halnya perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadis Nabawi sebagaimana pada tabel di atas. Hanya saja kalau hadis Qudsi penisbatannya bisa pada Nabi menerima dari Tuhannya atau dinisbatkan kepada Tuhannya yang diriwayatkan Nabi, seperti:

قَالَ النَّبِىُّ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ
Nabi bersabda meriwayatkan dari Tuhannya
قَالَ اللهُ  فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْهُ الرَّسُوْلُ
Allah berfirman yang diriwayatkan oleh Rasul.

H.    PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN

Penulisan Al-Qur’an terdiri dari beberapa periode hingga pada tahap pembukuan serta pembakuannya, yaitu:

1.     Periode Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad menaruh perhatian serius untuk penulisan wahyu. Beliau menunjuk beberpa sahabat untuk dijadikan sekretaris, penulis wahyu dengan menyusun tertib ayat sesuai petunjuk beliau berdasarkan petunjuk Allah lewat Malaikat Jibril . Mereka diantaranya adalah, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Ubai bin Ka’ab, Muawiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Rawahah dan lainnya. Namun yang paling berkompeten diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit.

Semua ayat Al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi ditulis di atas benda-benda yang bermacam-macam, antara lain, batu, tulang, kulit binatang, pelepah kurma dan sebagainya, disimpan di rumah Nabi dalam keadaan masih terpencar-pencar ayat-ayatnya, belum terhimpun dalam suatu mushaf. Di samping itu, para penulis wahyu secara pribadi masing-masing membuat naskah dari tulisan ayat-ayat tersebut untuk koleksi pribadi masing-masing. 

Naskah Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat oleh naskah-naskah yang dibuat oleh para penulis wahyu serta ditunjang oleh hafalan para sahabat yang banyak jumlahnya akan dapat menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan orisinil. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hijr : 9) bahwa Allah akan menjaganya sepanjang masa:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ .
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

2.     Periode Khalifah Abu Bakar

Setelah Nabi Muhammad wafat, lalu Abu bakar dipilih sebagai khalifah, terjadilah gerakan pembangkangan membayar zakat, dan gerakan keluar dari agama Islam (murtad) dibawah pimpinan Musailamah Al-Kadzdzab. Gerakan ini segera disikapi oleh Abu Bakar dengan mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Terjadilah perang fisik di Yamamah pada tahun 12 hijriyah, yang menimbulkan korban tidak sedikit dari kalangan muslimin, termasuk 70 sahabat yang hafal Al-Qur’an terbunuh sebagai syuhada.

Peristiwa tragis ini mendorong Umar bin Khattab untuk menyarankan kepada Abu Bakar  agar segera dihimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk mushaf, karena dikhawatirkan hilangnya sebagian Al-Qur’an dengan wafatnya sebagian para penghafalnya. Inisiatif Umar dapat diterima oleh Abu Bakar setelah diadakan diskusi dengan pertimbangan-pertimbangan yang saksama. Kemudian Abu Bakar segera memerintah Zaid bin Tsabit untuk segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Namun Zaid merasa keberatan dengan tawaran ini, karena hal ini menurut Zaid tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Tapi berkat diplomasi yang dilakukan oleh Abu Bakar yang sepenuhnya didukung oleh Umar bin Khattab, akhirnya Zaid menerimanya dengan lapang dada.

Zaid bin Tsabit sangat hati-hati dalam menjalankan tugas berat ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu utama (profesional) dan hafal seluruh Al-Qur’an. Dia dalam menjalankan tugasnya berpegang pada dua hal, yaitu:

a.       Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan yang disimpan di rumah Nabi.
b.      Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafal Al-Qur’an.

Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang adil, bahwa ayat-ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi dan atas perintah dan petunjuknya.

Tugas penghimpunan Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih satu tahun, yakni antara setelah terjadinya peperang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar. Dengan demikian, tercatatlah dalam sejarah, bahwa Abu Bakar sebagai orang yang pertama kali menghimpun Al-Qur’an dalam mushaf atas inisiatuf Umar  dan Zaid bin Tsabit yang ditunjuk untuk menulisnya.

Mushaf Al-Qur’an karya Zaid bin Tsabit itu disimpan oleh Abu Bakar kemudian Umar setelah Abu Bakar wafat, lalu Hafsah, putri Umar selaku istri Rasulullah yang ia hafal Al-Qur’an juga bisa baca-tulis.

3.      Periode Khalifah Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, terjadilah perbedaan bacaan Al-Qur’an di kalangan umat Islam. Kalau hal ini dibiarkan akan mengganggu terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam. Karena itu, sahabat Hudzaifah menyarankan kepada Utsman agar segera mengusahakan keseragaman bacaan Al-Qur’an dengan cara menyeragamkan tulisan Al-Qur’an. Kalau misalnya masih terjadi perbedaan bacaan diusahakan masih dalam batas-batas ma’tsur (diajarkan oleh Nabi), mengingat Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan tujuh dialek bahasa Arab yang hidup pada waktu itu.

Ustman bin Affan dapat menerima ide pembakuan Al-Qur’an ini. Kemudian membentuk panitia yang terdiri dari empat orang, yaitu, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Al-Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Panitia ini diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang bertugas menyalin Al-Qur’an yang disimpan oleh Hafsah, sebab mushaf Hafsah dipandang sebagai naskah Al-Qur’an standar.

Panitia bekerja menyalin mushaf ini hingga menghasilkan lima buah mushaf untuk dikirim ke beberapa daerah, dengan disertai instruksi bahwa mushaf Al-Qur’an yang berbeda dengan mushaf Utsman yang dikirim tersebut harus dimusnahkan (dibakar). Publik pada waktu itu, termasuk para sahabat Nabi menyambut baik terhadap terbitnya Mushhaf Utsmani (Mushhaf Al-Imam) ini, dan mematuhi instruksi Utsman bin Affan dengan senang hati.

Setelah tim penyusun berhasil melaksanakan tugasnya, mushaf Hafsah yang dipinjamnya itu dikembalikan kepada Hafsah. Marwan bin Hakam, seorang khalifah Dinasti Bani Umayyah (w. 65 H) pernah meminta Hafsah agar mushafnya dibakar, tetapi ditolak oleh Hafsah. Baru setelah Hafsah wafat, mushafnya diambil oleh Marwan, kemudian dibakarnya. Tindakan Marwan ini dilakukan karena terpaksa, untuk menjaga eksistensi keseragaman Al-Qur’an yang telah dibakukan oleh Utsman, juga untuk menghindari keragu-raguan umat Islam di masa mendatang terhadap mushaf Al-Qur’an jika masih terdapat dua macam mushaf, yaitu mushaf Hafsah dan mushaf  Utsman.
Wallah a’lam bis shawab wal khataha’.
****


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Muhith Ruba’i dkk., ‘Ulumut Tafsir 1.Jakarta: Departemen Agama, 1996/1997.
Abu Daud Sulaiman bin Asyats As-Sijintani, Sunan Abi Daud, Juz 4. Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, tt.
Abu Syahbah, Muhammad ibn Muhammad, Al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an al-Karim. Maktabah Sunnah, tt.
Abul Hasan ‘Ali al-Hasani An-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, terj. Muhammad Halabi Hamdi. Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2007.
Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 4. Kairo: Mu’assasah Qurthubah, tt.
Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-, Shahih Bukhari, Juz 1. Surabaya: Al-Hidayah, tt.
H.A., Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2008.
Khatib, Muhammad ‘Ajjad, Al-, Ushulul Hadits: ‘Ulumuh wa Mushthalahuhuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Hudhari Bik, Muhammad, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami. Surabaya: Al-Hidayah, tt.
Maliki, Sayyid Alawi ibn Sayyid Abbas, Al-, Faidh al-Khabir wa Khalashah al-Taqrin ‘ala Nahj al- Taisir: Syarh Manzhumah al- Tafsir. Surabaya: Al-Hidayah, tt. 
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Madinah: Maktabatul Ma’arif, 2000.
Musim bin Al-Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Nisaiburi, Shahih Muslim, Juz 7. Beirut: Darul Jail, tt.
Nadwi, Abul Hasan ‘Ali al-Hasani, An-, Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, terj. Muhammad Halabi Hamdi. Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2007.
Rafzaf, Muhammad, Al-, Al-Ta’rif bil Qur’an wal Hadits, tp., tt.
Sodiqin, Ali, Antropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu & Budaya. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Tim Penyusun, “Ulumul Qur’an, Kitab” Ensiklopedi Islam, Suplemen Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Karya Abditama, 1997.
****
Sumenep, 16 September 2014


[1] Abdul Djalal, HA., Ulumul Qur’an. (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), 4-6.
[2] Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasatil Qur’an al-Karim. (Maktabatus Sunnah, tt.), 7.
[3]  Dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, Penganar Ulumul Qur’an (Surabaya: Karya Abditama, 1997), 1.
[4] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 1 (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), 6. Lihat juga Zuhdi, Penganar Ulumul Qur’an, 7.
[6] Abu Daud Sulaiman bin Asyast As-Sijintani, Sunan Abi Daud, Juz 4 (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, tt.), 328. Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 4 (Kairo: Mu’assasah Qurthubah, tt.), 130.
[7] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an (Madinah: Maktabatul Ma’arif, 2000), 103. Lihat juga Muhammad Hudhari Bik, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), 7-8.
[8] Zuhdi, Penganar Ulumul Qur’an,  36 dan 38.
[9] Muhammad Hudhari Bik, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami, 9-10.
[10] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani An-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, terj. Muhammad Halabi Hamdi, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2007), 195.
[11] Maksudnya: Al-Qur’an itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati Nabi Muhammad SAW menjadi kuat dan tetap.
[12] Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad SAW membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.
[13] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran, 17.
[14] Thaghut ialah setan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT.
[15] Al-Qur’an menggunakan istilah qashash (kisah-kisah), bukan tarikh (sejarah), hal itu menurut penulis adalah karena kisah nyata dalam Al-Qur’an bersifat praktis dalam memotret ihwal suatu kehidupan masa lalu.
[16] Muhammad ‘Ajjad al-Khatib, Ushulul Hadits: ‘Ulumuh wa Mushthalahuhuh. (Beirut: Darul Fikr, 1989), 26-27.
[17] Abu Daud Sulaiman bin Asyast As-Sijintani, Sunan Abi Daud, Juz 4 (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, tt.), 328. Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 4 (Kairo: Mu’assasah Qurthubah, tt.), 130.
[18] Lihat. QS. Asy-Syura: 51.
[19] Muhammad Al-Rafzaf, Al-Ta’rif bil Qur’an wal Hadits, 196.
[20] Lihat Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran,  9.
[21] Abul Husain Musim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Nisaiburi, Shahih Muslim, Juz 7 (Beirut: Darul Jail, tt.), 16.
[22] Alasan pendapat tersebut memiliki kelemahan, karena jika hadis Qudsi diterima dengan mutawatir apakah status hadis tersebut sama dengan Al-Qur’an. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar