Oleh M. Khaliq
Shalha
A.
PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN WAHYU
1. Penertian Al-Qur’an
Pengertian
Al-Qur’an secara bahasa paling tidak ada lima pendapat ulama yang menerangkannya
sebagaimana dikutip oleh Abdul Djalal, HA. dalam bukunya, Ulumul Qur’an[1]
sebagai berikut:
a.
Al-Lihyani (w. 355 H) dan mayoritas ulama
mengatakan bahwa kata Al-Qur’an adalah lafal masdar yang setara dengan lafal qiraatan,
berwazan fu’lana yang di derivasi dari lafal qara’a-yaqra’u-qiratan dan
seperti lafal syakara-syukrana dan ghafara-ghufrana dengan arti
kumpul dan menjadi satu. Kata Al-Qur’an berupa mahmuz yang hamzahnya
asli dan nun-nya tambahan. Seperti dalam ayat 17-18 surat Al-Qiyamah:
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧)فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
(١٨)
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
b.
Az-Zujaj (w. 311 H) mengatakan bahwa
lafal Al-Qur’an berupa isim sifat, ikut wazan fu’la, yang diambil dari
kata al-qar’u yang berarti kumpul pula. Sebab semua ayat, surat, hukum-hukum, dan
kisah-kisah Al-Qur’an berkumpul menjadi satu. Al-Qur’an mengumpulkan intisari
semua kitab-kitab suci dan seluruh ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat
An-Nahl: 89 dan Al-An’am: 38.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ
Dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al- Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu.
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ .
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Dengan
demikian, kata Al-Qur’an berupa isim mahmuz yang hamzahnya asli dan nun-nya
tambahan.
c.
Abu Musa Al-Asy’ari (w. 324 H) mengatakan
bahwa lafal Al-Qur’an adalah isim musytaq ikut wazan fu’lan, yang
diambil dari kata al-qarnu seperti dari kalimat: Qarantu asy-syai’a bis
sya’i yang berarti: “Saya mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”.
Kitab Al-Qur’an dinamakan demikian, karena ayat-ayat, surat-surat, dan
huruf-hurufnya berkumpul menjadi satu dalam mushhaf Al-Qur’an. Jadi menurut
pendapat ini, lafal Al-Qur’an bukan isim mahmuz, sehingga nun-nya asli,
sedangkan hamzahnya tambahan.
d.
Al-Farra’ (w. 207) mengatakan bahwa kata
Al-Qur’an berupa isim musytaq ikut wazan fu’lan, diambil dari lafal al-qara’in,
bentuk jamak dari kata qarinah yang berarti bukti. Kitab Al-Qur’an dinamakan demikian, karena
sebagiannya membuktikan sebagian yang lain. Jadi menurut pendapat ini, lafal
Al-Qur’an juga bukan berupa isim mahmuz, sehingga hamzahnya zaidah dan nun-nya
asli.
e.
Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) berpendirian
bahwa lafal Al-Qur’an itu bukan isim musytaq yang diambil dari kata yang lain,
melainkan isim murtajal, yaitu isim yang sejak mula diciptakannya sudah
berupa isim alam (nama), yakni nama dari kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad dan selalu disertai dengan alif lam ata al. Jadi bukan isim mahmuz, dan bukan isim
musytaq, serta tidak pernah lepas dari al (alif lam).
Dari lima pendapat tersebut,
menurut penulis pendapat pertama yang lebih tepat, sebagaimana Abdul Djalal,
HA. pilih. Sebab pendapat pertama tersebut relevan dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab dan ilmu sharaf. Sedangkan empat pendapat yang lain tersebut lepas dari
kaidah-kaidah nahwu dan sharaf serta tidak relevan dengan ungkapan bahasa Arab.
Sedangkan
pengertian Al-Qur’an secara istilah telah dikemukakan pula oleh para
ulama dari berbagai disiplin keahliannya, baik dalam bidang bahasa, Ilmu Kalam,
Ushul Fiqih dan sebagainya. Pengertian yang mereka buat antara satu sama
lainnya ada sedikit perbedaan. Dalam hal ini tentu bertendensi pada
kecenderungan mereka masing-masing.
Syaikh
Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah mengemukakan pengertian Al-Qur’an dalam
bukunya, sebagai berikut:
اَلْقُرْاَنُ الْكَرِيْمُ : هُوَ كِتَا بُ
اللهِ – عَزَّ وَجَلَّ– اَلْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتِمِ أَنْبِيَائِهِ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ,
اَلْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتِرِ اَلْمُفِيْدُ لِلْقَطْعِ وَاْليَقِيْنِ
اَلْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ مِنَ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ إِلَى أَخِرِ
سُوْرَةِ النَّاسِ. [2]
Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab Allah–Azza wa Jall–yang
diturunkan kepada Nabi terakhir-Nya, Muhammad SAW secara lafal dan maknanya,
diriwayatkan secara mutawatir, berfaidah untuk memberi ketetapan dan keyakinan,
termaktub dalam mushaf-mushaf yang
diawali surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Sedangkan
Subhi As-Salih merumuskan pengertian Al-Qur’an yang dipandang dapat diterima
oleh para ulama terutama ahli bahasa, Fikih dan Usul Fikih sebagai berikut:
اَلْقُرْاَنُ هُوَ
اَلْكِتَا بُ اَلْمُعْجِزُ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَلْمَكْتُوْبُ فِى اْلَمصَاحِفِ
اَلْمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِاَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ.[3]
Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi)
mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf,
diriwayatkan secara mutawatir dan yang membacanya dipandang ibadah.
2. Pengertian Wahyu dan Macam-macamnya
Kata wahyu
mempunyai dua arti, yakni :
a. Wahyu dalam arti al-iha’, artinya memberi wahyu.
b. Wahyu dalam arti al-muha bih, artinya yang diwahyukan.
Wahyu menurut
pengertian bahasa ialah memberitahukan sesuatu denan cara yang samar dan cepat.
Sedangkan secara istilah wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi dan
Rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan
cara yang samar tetapi meyakinkan kepada Nabi dan Rasul yang bersangkutan bahwa
apa yang diterimanya dari Allah sendiri.
Allah telah
menerangkan dalam Al-Qur’an tentang cara pemberitahuan yang dikehendaki Tuhan
kepada Nabi-Nya, yaitu tersebut dalam surat
Asy-Syura ayat 5:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ
أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ
رَسُولا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ .
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir[4]
atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana.
Berdasarkan ayat
tersebut, maka wahyu itu ada tiga macam :
1) Pemberitahuan Tuhan dengan cara ilham tanpa perantara. Termasuk dalam
bagian ini adalah mimpi yang tepat dan benar (lamat: Maduranya),
misalnya Nabi Ihrahim pernah menerima perintah menyembelih putranya, Nabi
Ismail. Peristiwa ini diungkapkan kembail oleh Allah dalam Surat Ash-Shaffat
ayat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا
بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ
الصَّابِرِينَ .
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
2) Mendengar firman Allah di balik tabir, seperti yang dialami Nabi Musa
ketika menerima pengangkatan kenabiannya. Peristiwa ini disebutkan dalam surat Thaha ayat 11-13 :
فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَى (١١) إِنِّي أَنَا رَبُّكَ
فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (١٢)وَأَنَا
اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى (١٣)
Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil:
“Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua
terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa. Dan Aku telah
memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)”.
Demikian pula
peristiwa Mi‘raj Nabi Muhammad, di mana Nabi menerima perintah langsung dari
Tuhan untuk mendirikan salat lima
waktu, termasuk dalam kategori kedua ini.
3) Penyampaian wahyu (amanat) Tuhan dengan perantara Malaikat Jibril yang
dalam Al-Qur’an disebut “Ar-Ruhul Amin”. Ini ada tiga macam:
a) Malaikat Jibril dilihat dalam bentuknya yang asli tetapi ini jarang
sekali terjadi.
b) Malaikat Jibril menjelma sebagai manusia. Dia juga pernah menjelma
sebagai seorang laki-laki bernama Duhyah bin Khalifah.
c) Nabi tidak melihat Malaikat Jibril ketika menerima wahyu, tetapi beliau
mendengar pada waktu kedatangan Malaikat itu suaranya seperti suara lebah atau
gemerincing bel. Dalam hal ini hanyalah Tuhan yang mengetahui hakikatnya. Bagi
orang yang kebetulan menyaksikan, hanya melihat gejala-gejalanya yang bersifat
lahir saja, misalnya badan Nabi bertambah berat dan Nabi mengeluarkan keringat
yang banyak, sekalipun dalam cuaca yang sangat dingin. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari dari Aisayah diterangkan bahwa penerimaan
wahyu semacam terakhir ini adalah yang terberat.
عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ
هِشَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَأْتِيْكَ الْوَحْيُ ؟ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : « أَحْيَانًا يَأْتِيْنِيْ
ِمثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّيْ وَقَدْ
وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلاً
فَيُكَلِّمُنِيْ فَأَعْيِ مَا يَقُوْلُ »
قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ
عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيْدِ الْبَرَدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِيْنَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا .[5]
Dari Aisyah Ummin
Mu’minim RA bagwa Harits bin Hisyam RA bertama kepada Rasulullah SAW, ia
bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu itu datang kepadamu? Rasulullah
menjawab: “Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku seperti gemerincing bel, dan
bentuk seperti itu paling berat rasanya bagiku dan aku sungguh mengingatnya apa
yang dikatakan. Dan kadang-kadang Malaikat datang kepadaku menyerupai seseorang
kemudian ia berkata kepadaku lalu saya mengingat apa yang ia ucapkan.” Aisyah
RA berkata: Sungguh saya melihat Nabi sedang dituruni wahyu pada suatu waktu di
mana cuaca dalam keadaan sangat dingin namun keningnya bercucuran keringat.
Sedangkan wahyu
dalam arti al-muha bih, artinya yang diwahyukan, ada dua macam, yaitu
Al-Qur’an dan hadis. Hadis-hadis Nabi itu sekalipun dari segi susunan bahasanya
disusun oleh Nabi sendiri, tetapi dari segi makna datang dari Tuhan. Karena
itu, hadis-hadis Nabi itu pun dianggap sebagai wahyu pula.
Adapun dalil-dalil
yang menunjukkan bahwa hadis-hadis Nabi termasuk wahyu, antara lain surat An-Najm ayat 2-3 dan
hadis Nabi.
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (٢)وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي
كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ....[6]
Dari Miqdam bin Ma‘di Karib Al-Kindi berkata,
Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya saya diberi Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan seperti Al-Qur’an (hadis) bersamanya ….
Hanya perlu
diketahui bahwa sekalipun hadis-hadis Nabi itu dipandang sebagai wahyu, namun
pada hakikatnya masih ada perbedaan yang prinsipil antara hadis dan Al-Qur’an,
meskipun keduanya adalah wahyu Ilahi. Perbedaan tersebut penulis akan bahas di
bawah nanti.
B.
NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT
AL-QUR’AN
Al-Qur’an
memiliki beberapa nama selain nama Al-Qur’an itu sendiri. Penamaan tersebut
didasarkan pada firman Allah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an, terdapat dalam surat Al-Baqarah, ayat 185.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ….
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al- Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). ….
2. Al-Furqan, terdapat dalam surat
Al-Furqan, ayat 1.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى
عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا .
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan
(Al-Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.
3.
Al-Kitab, terdapat dalam surat An-Nahl, ayat 89.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ .
....Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.
4. Adz-Dzikr, terdapat dalam surat
Al-Hijr, ayat 9.
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ .
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
5. At-Tanzil , terdapat dalam surat
Fushshilat ayat 41-42.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا
جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ (٤١) لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ
وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (٤٢) .
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an
ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan
sesungguhnya Al- Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang
kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan (tanzil) dari Tuhan Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Dari beberapa
nama yang tersebut di atas yang paling populer adalah Al-Qur’an. Nama Al-Qur’an
menurut penulis memiliki keistimewaan (kekhususan) dibandingkan dengan nama
yang lain, yaitu kata Al-Qur’an hanya digunakan untuk sebutan nama kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan tidak digunakan pada sebutan
lain. Sedangkan nama-nama yang lain bersifat umum, selain digunakan untuk
sebutan Al-Qur’an juga digunakan pada sebutan lain.
Sedangkan
sifat-sifat Al-Qur’an terkait dengan fungsi Al-Qur’an sebagai berikut:
1.
Nur (cayaha), karena dengan
Al-Qur’an perkara yang halal dan haram menjadi terang atau jelas. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa’: 174.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ
بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا .
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti
kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan
kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an).
2.
Huda (petunjuk), karena Al-Qur’an
memberikan petunjuk yang jelas pada yang hak dan membedakan antara yang hak dan
batil. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat
Yunus: 57.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ.
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
3.
Majid (mulia), karena Al-Qur’an
terpelihara dari perubahan, penggantian, penambahan, dan pengurangan dan bahkan
Al-Qur’an secara internal memiliki keistimewaan yang tak tertandingi oleh
kalimat “sakti” karya manusia, siapa pun di mana pun dan kapan pun. Artinya
keindahan dan keaslian Al-Qur’an selalu kokoh tak tertandingi. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an surat
Al-Buruj: 21.
بَلْ
هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ .
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang
mulia.
4.
Syifa’ (obat), karena Al-Qur’an
bisa menjadi obat hati bagi orang yang beriman dan menjadi obat dari kebodohan
bagi orang yang mengkajinya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’: 82.
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ
وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا .
Dan Kami
turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian.
5.
‘Aziz (mulia atau wibawa), karena
Al-Qur’an tidak bisa tertandingi oleh siapa pun. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat
Fushshilat: 41.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا
جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ.
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an
ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan
sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia.
6.
Basyirun wa nadzirun (memberi
kabar gembira dan menakutkan), karena Al-Qur’an memberi informasi tentang
nikmat surga bagi orang beriman dan beramal saleh dan siksa neraka bagi orang
yang durhaka. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Fushshilat: 4.
بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ
فَهُمْ لا يَسْمَعُونَ.
Yang membawa berita gembira dan yang membawa
peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.
C.
SEJARAH RINGKAS TURUNNYA AL-QUR’AN
Al-Qur’an
diturunkan dengan dua tahap penurunan:
1. Al-Qur’an diturnukan oleh Allah sekaligus (secara lengkap) pada hari
Jum’at, 17 Ramadan malam Lailatul Qadar dari Al-Lauhul Mahfuzh ke
Baitul ‘Izza di Samaid Dunya (langit dunia).
2. Al-Qur’an diturunkan ke dunia secara berangsur-angsur berupa beberapa
ayat dari suatu surat atau berupa satu surat pendek lengkap.
Permulaan turunnya Al-Qur’an ke dunia juga pada malam nuzulul Qur’an, tepatnya
hari Jum’at, 17 Ramadan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar.[7]
Turunnya
Al-Qur’an kadang kala dilatarbelakangi oleh sesuatu (asbabun nuzul)
kadang kala tidak. Ayat-ayat yang memiliki asbabun nuzul pada umumnya
berupa ayat-ayat hukum (tasyri’iyyah). Turunnya ayat-ayat itu adakalanya
berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam, adakalanya pertanyaan dari
kalangan sahabat Nabi atau dari kalangan lainnya yang ditujukan pada Nabi.
Sedangkan ayat-ayat yang turun tanpa didahului asbabun nuzul lebih banyak
jumlahnya, misalnya ayat-ayat tentang ihwal umat-umat terdahulu beserta para
Nabinya, menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu,
menceritakan hal-hal yang ghaib yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan
hari kiamat beserta nikmat surga dan siksa neraka.[8]
Sedangkan
penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun,
yakni 12 tahun, 5 bulan, dan 13 hari ketika Nabi masih tinggal di Mekah,
sebelum hijrah ke Madinah (Yatsrib) dan
9 tahun, 9 bulan, dan 9 hari ketika beliau hijrah ke Madinah. Surat-surat yang
turun di Madinah meliputi : Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah,
Al-Anfal, At-Taubah, Al-Hajj, An-Nur, Al-Ahzab, Al-Qital, Al-Fath, Al-Hujurat,
Al-Hadid, Al-Mujadalah, Al-Hasyr, Al-Mumtahinah, Ash-Shaff, Al-Jumu’ah,
Al-Munafiqun, At-Taghabun, Ath-Thalaq, At-Tahrim, An-Nash. Sedangkan surat-surat selain yang
tersebut itu tergolong surat
Makkiyah.[9]
Surat atau ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi
hijrah disebut surat
atau ayat Makkiyah sebanyak 19 juz dari 30 juz. Ciri-cirinya; surat atau ayatnya
pendek-pendek (qashirah), bahasanya singkat padat (ijaz)
mengingat sasaran pertama dan utama pada periode Mekah adalah orang-orang Arab
Asli (seperti suku Quraisy dan suku Arab lainnya), mereka tentu sudah paham
betul terhadap bahasa Arab. Kalimatnya banyak diwali dengan ya ayyuhan nas.
Surat Makkiyah pada umumnya berupa ajakan untuk bertauhid secara murni (pure
monoteisme), juga tentang pembinaan mintal dan akhlak.
Sedangakan
Al-Qur’an yang diturunkan setelah hijrah disebut surat atau ayat Madaniyah yang terdiri
dari 11 juz dari 30 juz Al-Qur’an. Ciri-cirinya; ayat atau suratnya panjang-panjang
(thawilah), gaya bahasanya panjang lebar (ithnaf) dan lebih
jelas, karena sasarannya bukan saja orang-orang Arab asli, tapi juga orang
non-Arab dari berbagai bangsa yang sudah banyak masuk Islam, dan sudah tentu
mereka kurang menguasai bahasa Arab. Banyak ayat-ayatnya yang diawali dengan ya
ayyuhal ladzina amanu. Mengenai kandungan surat Madaniyah pada umumnya
berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan pranata sosial dan
negara yang adil dan makmur dimana kondisi masyarakat Madinah pada waktu itu
lebih berperadaban ketimbang penduduk Mekah yang hanya memiliki satu karakter,
satu lingkungan, agama yang homogen,[10]
sehingga sangat tepat agenda Rasulullah untuk periode ini membangun negara
Madinah.
Al-Qur’an
pertama kali diturunkan kepada Rasulullah berupa surat Al-Alaq dari ayat 1
sampai 5 sewaktu beliau sedang berkhalwat di gua Hira bertepatan dengan tanggal
17 Ramadhan/6 Agustus 610 M. Sedangkah wahyu terakhir yang diterima Nabi adalah
surat Al-Maidah ayat 3 saat Nabi berwukuf di Arafah melakukan haji Wada’ pada
tanggal 9 Dzulhijjah tahun kesepuluh hijriyah, 7 Maret 623 M. Antara wahyu
pertama dengan wahyu kedua yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.
D.
HIKMAH TURUNNYA AL-QUR’AN SECARA
BERANGSUR-ANGSUR
Hikmah
diturunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain :
1. Untuk meneguhkan hati Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya sekalipun
menghadapi berbagai tantangan (challanges) dan hambatan (contrains)
yang beraneka ragam, menghibur Nabi pada saat-saat sedang menghadapi kesulitan,
kesedihan, atau perlawanan dari orang-orang kafir. sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur’an, QS. Al-Furqan: 32-33, QS. Al-Ahqaf: 35, dan QS. Al-An’am: 34.
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ
عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا (٣٢)وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ
بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an
itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; Demikianlah[11]
supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur
dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya.[12]
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ
الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ
لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلا الْقَوْمُ
الْفَاسِقُونَ (٣٥)
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu
meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang
diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia)
melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka
tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ
فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا
مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ .
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul
sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan
(yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada
mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji)
Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita
Rasul-rasul itu.
2. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat Islam yang hidup di masa Nabi.
Mereka tentu mengalami pahit-getir perjuangan menegakkan kebenaran Islam
bersama-sama dengan Rasulullah, sebagaimana firman Allah, QS. An-Nur: 55.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ .
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
3. Untuk memudahkan Nabi menghafal Al-Qur’an, sebab beliau adalah ummi
(buta huruf), demikian juga untuk memudahkan para sahabat Nabi yang buta huruf.
4. Untuk memberikan alokasi waktu sebaik-baiknya kepada umat Islam agar
meninggalkan sikap dan mental juga tradisi-tradisi pra Islam (jaman Jahiliah)
yang negatif secara berangsur-angsur, karena mereka telah dapat menghayati
ajaran-ajaran Al-Qur’an secara bertahap (step by step) pula. Jika ayat
Al-Qur’an, terutama mengenai hukum kewajiban dan larangan diberikan sekaligus,
pasti akan mendapat tantangan dari masyarakat waktu itu yang akan mengganggu
terhadap keberhasilan dakwah Nabi. Dengan demikian, Al-Qur’an “berbica” sesuai
dengan metodenya.
E.
KANDUNGAN AL-QUR’AN
Isi ajaran
Al-Qur’an pada hakikatnya mengandung lima
prinsip,[13] sebab
tujuan pokok diturunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk diteruskan kepada
umat manusia untuk menyampaikan lima
prinsip yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:
1. Tauhid (doktrin tentang kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa)
Adam sebagai bapak manusia modern dan Nabi pertama adalah seorang yang
bertauhid dan mengajarkan tauhid kepada keturunan atau umatnya, tapi realitanya
tidak sedikit manusia keturunannya menyimpang dari ajaran tauhid. Mereka ada
yang menyembah api, matahari, dewa juga memperanak Tuhan dan sebagainya. Untuk
meluruskan kepercayaan mereka ke arah yang benar, yang diridhai Tuhan, maka
diutuslah Nabi dan Rasul secara silih berganti, mulai dari Nabi Adam AS sampai
Nabi Muhammad SAW sebagimana Allah berfirman, QS. An-Nahl: 36 dan QS. Al-Ahzab:
40.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا
فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ
فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ .
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[14]
itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah
dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (Rasul-rasul).
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ
أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا .
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan umat manusia pada
umumnya telah menyimpang dari ajaran tauhid Rasulnya, setelah Rasul mereka
wafat, sekalipun sebagian mereka ada pula yang mengaku bertauhid, namun
ketauhidan mereka tidak murni, sebab Tuhan dianggap tidak tunggal sepenuhnya,
melainkan Ia terdiri dari beberapa oknum, misalnya trinitas dari agama Kristen.
Jadi konsep ketauhidan mereka merupakan hasil kreasi mereka sendiri, sehingga
turunnya Al-Qur’an mengoreksi terhadap penyimpangan ini.
2. Janji (wa’ad) dan ancaman (wa’îd)
Allah menjanjikan kepada setiap manusia yang beriman dan beramal saleh,
akan mendapatkan kebahagian hidup, baik di dunia maupun di akhirat dan akan
dijadikan pelestari bumi (khalifah). Sebaliknya, Allah akan mengancam
pada setiap orang yang ingkar kepada-Nya dan Rasul-Nya, hidupnya akan
mendapatkan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana Firman
Allah, QS. An-Nur: 55 sebagaimana disebut di atas, dan QS. At-Taubah: 67-68.
الْمُنَافِقُونَ
وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٦٧) وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ
وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا هِيَ
حَسْبُهُمْ وَلَعَنَهُمُ اللَّهُ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ (٦٨).
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian
dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan
melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir).
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya
orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. Allah mengancam orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam,
mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati
mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.
3. Ibadah
Tujuan Allah menciptakan manusia untuk beribadah (mengabdi) kepada-Nya,
sebagaimana firman Allah, QS. Adz-Dzariyat: 56.
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ .
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Makna ibadah
secara proporsional memiliki arti luas, baik mencakup ibadah mahdhah
seperti shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian juga ibadah ghairu mahdhah,
yaitu segala aktifitas manusia yang memiliki motif (niat) baik akan dinilai
ibadah, seperti mencari nafkah untuk keluarga dan sebagainya. Ibadah bagi
manusia berfungsi sebagai manifestasi syukur manusia terhadap Tuhannya, atas
segala nikmat yang telah diberikan kepadanya. Ibadah juga berfungsi sebagai
realisasi dan konsekuensi logis manusia atas keimanannya kepada Tuhan, karena tidak
cukup bagi manusia hanya beriman tanpa disertai amal, sebagaimana pula tidak
cukup beramal tanpa didasari iman. Iman dan amal adalah satu
paket yang harus disejajarkan secara proporsional untuk mencapai kualitas insan
kamil.
4. Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
Setiap manusia
tentu memiliki cita-cita ingin mendapatkan kebahagian hidupnya, baik di dunia
maupun di akhirat. Untuk mencapai kebahagian itu, Allah memberikan petunjuk
kepada umat Islam dalam Al-Qur’an untuk dapat dijadikan pedoman hidup, sebagaimana
firman-Nya, QS. Al-Baqarah: 2.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ .
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
5. Kisah-kisah (qashash)[15]
umat manusia sebelum umat Nabi Muhammad
Potret kehidupan
(kisah) umat terdahulu sangat banyak
terdapat dalam Al-Qur’an, baik menyangkut peran manusia sebagai protaganis
seperti Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS dan sebagainya. Demikian
juga menyangkut peran manusia sebagai antagonis (penentang kebenaran), seperti
Fir’aun dan sebagainya. Kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an memiliki
nilai berharga bagi umat Nabi Muhammad untuk dapat dijadikan pelajaran (‘ibrah),
yaitu mereka dapat mengambil sisi positifnya dan menjauhi sisi negatifnya,
Allah berfirman, QS. Yusuf: 111.
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي
الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ
يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ .
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.
Kelima prinsip
tersebut di atas secara global tergambar dalam surat
Al-Fatihah, sebagai surat
pembuka (preambule). Oleh karena itu surat Al-Fatihah dapat disebut sinopsis atau
populer disebut ummul kitab (induk Al-Qur’an) karena dapat
memproyeksikan isi pokok Al-Qur’an secara global.
F.
FUNGSI AL-QUR’AN
Al-Qur’an
memiliki beberapa fungsi, diantara fungsi pentingnya adalah:
1. Sebagai sumber monumintal (pokok) segala macam aturan tentang akidah,
akhlak, hukum, ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya, yang harus
dijadikan way of life bagi seluruh umat manusia untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapinya. Allah berfirman, QS. Al-Ahzab: 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا .
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
Dia telah sesat, sesat yang nyata.
2. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Nabi Muhammad
adalah Nabi dan Rasul Allah dan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan
ciptaan Nabi Muhammad sendiri.
Setiap Rasul diberi mukjizat oleh Allah sebagai senjata untuk menunjang
suksesnya misi yang dibawanya. Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad, sebab Al-Qur’an berlaku sepanjang masa
untuk seluruh umat manusia. Perhatikan firman Allah, QS. Al-Baqarah: 23.
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي
رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an
yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
3. Sebagai hakim yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi keputusan
terakhir mengenai masalah yang diperselisihkan oleh pemimpin dari berbagai
macam agama sekaligus sebagai korektor terhadap kepercayaan yang menyimpang
dari yang sebenarnya yang dilakukan oleh pemeluk agama setelah Rasul mereka
wafat. Allah berfirman, QS. An-Nahl: 64.
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا
لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ .
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.
4. Sebagai penguat kebenaran keberadaan para Nabi dan Rasul sebelum Nabi
Muhammad. Hanya saja ajaran-ajaran mereka beserta kitab-kitab sucinya sudah
tidak orisinil lagi, karena tidak sedikit yang telah diubah oleh para pemimpin
mereka. Allah berfirman, QS. Al-Maidah: 48.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا
جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ
شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ .
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.
G.
PERBEDAAN ANTARA AL-QUR’AN DAN
HADIS
1. Pengertian Hadis
Sebelum
membahas lebih jauh tentang perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadits, penulis
memandang perlu mengurai terlebih dahulu tentang pengertian hadits. Hadis
secara bahasa adalah sesuatu yang baru, sedangkan secara istilah menurut
istilah ulama hadits adalah:
أَنَّهَا تُرَادِفُ
السُّنَّةَ ,
وَيُرَادُ بِهَا كُلُّ مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ وَبَعْدَهَا , وَلَكِنَّهُ إِذَا أُطْلِقَ لَفْظُ
الْحَدِيْثِ إِنْصَرَفَ فِى الْغَالِبِ إِلَى مَا يُرْوَى عَنِ الرَّسُوْلِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ النُّبُوَّةِ مِنْ قَوْلِهِ وَفِعْلِهِ
وَإِقْرَارِهِ . وَعَلَى هَذَا فَالسُّنَّةُ أَعَمُّ مِنَ الْحَدِيْثِ .[16]
Hadis-hadis sinonim dengan sunnah, sunnah adalah
setiap sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, baik sebelum diutus atau
sesudahnya, tetapi biasanya hadits digunakan terhadap apa yang diriwayatkan
dari Rasul SAW setelah kenabian, baik berupa perkataan, perbuatan dan
ketetapannya. Dengan begitu sunnah lebih umum ketimbang hadis.
Apabila hadis
disamakan dengan sunnah berarti itu dalam pengertian luas, dan jika hadis
diartikan lebih khusus dari sunnah, itu berarti hadis dalam arti sempit
(fokus), dan hadis dalam pengertian sempit inilah yang sering digunakan dalam
amplikasinya, baik dalam tataran teoritis atau praktis. Demikian juga
sebaliknya, apabila sunnah diartikan hadis dalam pengertian sempit, maka itu
berarti sunnah dalam arti sempit. Sama halnya menggunakan istilah “syari’ah” dengan maksud “hukum
Islam”.
2. Perbandingan antara Al-Qur’an dan Hadis
Selanjutnya, sekalipun
redaksi hadis-hadis Nabi disusun oleh Nabi sendiri, namun dari segi makna
(jiwa) merupakan wahyu pula dari Allah. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa
hadis-hadis Nabi termasuk wahyu di antaranya QS. An-Najm: 3-4 berikut dan hadis
Nabi SAW :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ
إِلا وَحْيٌ يُوحَى .
Nabi tidak berkata menurut kemauan hawa nafsunya,
tetapi apa yang dikatakan itu tidak lain adalah wahyu yang diberikan
(kepadanya).
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي
كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ....[17]
Dari Miqdam bin Ma‘di Karib Al-Kindi berkata,
Rasulullah SAW bersabda : “Ingatlah, sesungguhnya saya diberi Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan seperti Al-Qur’an (hadis) bersamanya ….
Perlu
diketahui, bahwa walaupun hadis-hadis Nabi dipandang sebagai wahyu, namun masih
ada perbedaan yang sangat prinsipil antara Al-Qur’an dan hadis, meskipun
keduanya adalah wahyu Allah. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
No
|
Al-Qur’an
|
No
|
Hadis
|
1
|
Al-Qur’an
diturunkan dengan lafal dan maknya dari Allah.
|
1
|
Hadis
diturunkan dengan makna saja dari Allah, sedangkan lafalnya dari Nabi
|
2
|
Al-Qur’an
tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sebab dapat mengurangi atau
menghilangkan mukjizat Al-Qur’an.
|
2
|
Hadits
boleh diriwayatkan dengan maksudnya saja. Sebab yang terpenting dalam hadis
adalah penyampaian maksudnya.
|
3
|
Al-Qur’an,
baik lafal atau maknanya merupak mukjizat
|
3
|
Hadis
bukan merupakan mukjizat
|
4
|
Al-Qur’an
diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu shalat atau di luar shalat
sebagai ibadah, baik orang yang membacanya mengerti pada maksudnya atau
tidak.
|
4
|
Hadis
tidak diperintahkan untuk dibaca sebagai ibadah. Yang terpenting dalam hadis
adalah untuk dipahami, dihayati dan diamalkan.
|
5
|
Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi dalam keadaan sadar
|
5
|
Hadis
diturunkan kepada Nabi dengan bermacam-macam cara.[18]
|
3. Perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadis Qudsi
Selain ada “hadits
Nabawi” (hadis biasa), sebagaimana terurai di atas, juga ada “hadits
Qudsi”. Hadis Qudsi adalah:
وَهُوَ مَا رَوَى
فِيْهِ الرَّسُوْلُ عَنِ اللهِ[19]
Hadis yang diriwayatkan oleh Rasul dari Allah.
Ada dua pendapat yang
menyikapi tentang hadis qudsi.[20]
Pendapat pertama mengatakan, bahwa hadis Qudsi termasuk firman Allah, bukan
sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a.
Hadis Qudsi selalu disandarkan kepada
Allah. Oleh karena itu hadis Qudsi juga dinamakan hadis Ilahi.
b.
Hadis Qudsi selalu memuat dhamir
mutakallim (ana atau nahnu), dalam hal ini yang dimaksudkan
adalah Allah, seperti:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- فِيمَا رَوَى عَنِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ « يَا
عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا يَا عِبَادِى
كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ .... » .[21]
Dari Abu Dzar Al-Ghifari, dari Nabi, beliau
meriwayatkan dari Tuhannya Azza wa Jalla, bahwa Tuhannya berfirman: “Wahai
hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, maka kamu jangan
saling menganiaya. Wahai hamba-Ku, setiap kamu tersesat kecuali orang yang Aku
tunjukkan padanya, maka mintalah petunjuk pada-Ku tentu Aku akan beri petunjuk
padamu…”
Sanad hadis
Qudsi tidak hanya berakhir pada Nabi tetapi sampai pada Allah melalui Nabi,
sedangkan sanad hadits Nabawi hanya sampai pada Nabi.
Menurut
pandapat ini, meskipun hadits Qudsi termasuk firman Allah, tetapi tidak
mempunyai status yang sama dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diterima secara mutawatir,
sedangkan hadis Qudsi seperti keadaan hadis Nabawi lainnya, yaitu pada umumnya
diterima secara ahad (perorangan).[22]
Pendapat kedua
mengatakan bahwa hadis Qudsi lafalnya dari Nabi sendiri seperti hadis Nabawi.
Pendapat ini menurut Abu Al-Baqa’ dan At-Thibi. Dari pendapat ini maka berlaku
perbedaan antara Al-Qur’an dengan hadis Qudsi sama halnya perbedaan antara
Al-Qur’an dengan hadis Nabawi sebagaimana pada tabel di atas. Hanya saja kalau
hadis Qudsi penisbatannya bisa pada Nabi menerima dari Tuhannya atau
dinisbatkan kepada Tuhannya yang diriwayatkan Nabi, seperti:
قَالَ النَّبِىُّ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ
رَبِّهِ
Nabi bersabda meriwayatkan
dari Tuhannya
قَالَ اللهُ
فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْهُ الرَّسُوْلُ
Allah berfirman yang diriwayatkan oleh Rasul.
H.
PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN
Penulisan
Al-Qur’an terdiri dari beberapa periode hingga pada tahap pembukuan serta
pembakuannya, yaitu:
1.
Periode Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad
menaruh perhatian serius untuk penulisan wahyu. Beliau menunjuk beberpa sahabat
untuk dijadikan sekretaris, penulis wahyu dengan menyusun tertib ayat sesuai
petunjuk beliau berdasarkan petunjuk Allah lewat Malaikat Jibril . Mereka
diantaranya adalah, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan,
Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Ubai bin Ka’ab, Muawiyah bin Abu Sufyan,
Zubair bin Awwam, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Rawahah dan lainnya. Namun
yang paling berkompeten diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit.
Semua ayat
Al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi ditulis di atas benda-benda yang bermacam-macam,
antara lain, batu, tulang, kulit binatang, pelepah kurma dan sebagainya,
disimpan di rumah Nabi dalam keadaan masih terpencar-pencar ayat-ayatnya, belum
terhimpun dalam suatu mushaf. Di samping itu, para penulis wahyu secara pribadi
masing-masing membuat naskah dari tulisan ayat-ayat tersebut untuk koleksi
pribadi masing-masing.
Naskah
Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat oleh naskah-naskah yang
dibuat oleh para penulis wahyu serta ditunjang oleh hafalan para sahabat yang
banyak jumlahnya akan dapat menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap
dan orisinil. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hijr : 9) bahwa
Allah akan menjaganya sepanjang masa:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا
لَهُ لَحَافِظُونَ .
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
2.
Periode Khalifah Abu Bakar
Setelah Nabi
Muhammad wafat, lalu Abu bakar dipilih sebagai khalifah, terjadilah gerakan
pembangkangan membayar zakat, dan gerakan keluar dari agama Islam (murtad)
dibawah pimpinan Musailamah Al-Kadzdzab. Gerakan ini segera disikapi oleh Abu
Bakar dengan mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Terjadilah
perang fisik di Yamamah pada tahun 12 hijriyah, yang menimbulkan korban tidak
sedikit dari kalangan muslimin, termasuk 70 sahabat yang hafal Al-Qur’an
terbunuh sebagai syuhada.
Peristiwa
tragis ini mendorong Umar bin Khattab untuk menyarankan kepada Abu Bakar agar segera dihimpun ayat-ayat Al-Qur’an
dalam bentuk mushaf, karena dikhawatirkan hilangnya sebagian Al-Qur’an dengan
wafatnya sebagian para penghafalnya. Inisiatif Umar dapat diterima oleh Abu
Bakar setelah diadakan diskusi dengan pertimbangan-pertimbangan yang saksama.
Kemudian Abu Bakar segera memerintah Zaid bin Tsabit untuk segera menghimpun
ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Namun Zaid merasa keberatan dengan
tawaran ini, karena hal ini menurut Zaid tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Tapi
berkat diplomasi yang dilakukan oleh Abu Bakar yang sepenuhnya didukung oleh
Umar bin Khattab, akhirnya Zaid menerimanya dengan lapang dada.
Zaid bin
Tsabit sangat hati-hati dalam menjalankan tugas berat ini, sekalipun ia seorang
penulis wahyu utama (profesional) dan hafal seluruh Al-Qur’an. Dia dalam
menjalankan tugasnya berpegang pada dua hal, yaitu:
a.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di
hadapan Nabi dan yang disimpan di rumah Nabi.
b.
Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat
yang hafal Al-Qur’an.
Zaid tidak mau
menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali dengan disaksikan oleh dua orang
saksi yang adil, bahwa ayat-ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi dan
atas perintah dan petunjuknya.
Tugas
penghimpunan Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang
lebih satu tahun, yakni antara setelah terjadinya peperang Yamamah dan sebelum
wafatnya Abu Bakar. Dengan demikian, tercatatlah dalam sejarah, bahwa Abu Bakar
sebagai orang yang pertama kali menghimpun Al-Qur’an dalam mushaf atas inisiatuf
Umar dan Zaid bin Tsabit yang ditunjuk
untuk menulisnya.
Mushaf
Al-Qur’an karya Zaid bin Tsabit itu disimpan oleh Abu Bakar kemudian Umar
setelah Abu Bakar wafat, lalu Hafsah, putri Umar selaku istri Rasulullah yang
ia hafal Al-Qur’an juga bisa baca-tulis.
3.
Periode Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan, terjadilah perbedaan bacaan Al-Qur’an di
kalangan umat Islam. Kalau hal ini dibiarkan akan mengganggu terhadap persatuan
dan kesatuan umat Islam. Karena itu, sahabat Hudzaifah menyarankan kepada
Utsman agar segera mengusahakan keseragaman bacaan Al-Qur’an dengan cara
menyeragamkan tulisan Al-Qur’an. Kalau misalnya masih terjadi perbedaan bacaan
diusahakan masih dalam batas-batas ma’tsur (diajarkan oleh Nabi),
mengingat Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan tujuh dialek bahasa Arab yang
hidup pada waktu itu.
Ustman bin
Affan dapat menerima ide pembakuan Al-Qur’an ini. Kemudian membentuk
panitia yang terdiri dari empat orang, yaitu, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin
Al-Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Panitia ini
diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang bertugas menyalin Al-Qur’an yang disimpan
oleh Hafsah, sebab mushaf Hafsah dipandang sebagai naskah Al-Qur’an standar.
Panitia
bekerja menyalin mushaf ini hingga menghasilkan lima buah mushaf untuk dikirim ke beberapa
daerah, dengan disertai instruksi bahwa mushaf Al-Qur’an yang berbeda dengan
mushaf Utsman yang dikirim tersebut harus dimusnahkan (dibakar). Publik pada
waktu itu, termasuk para sahabat Nabi menyambut baik terhadap terbitnya Mushhaf
Utsmani (Mushhaf Al-Imam) ini, dan mematuhi instruksi Utsman
bin Affan dengan senang hati.
Setelah tim
penyusun berhasil melaksanakan tugasnya, mushaf Hafsah yang dipinjamnya itu
dikembalikan kepada Hafsah. Marwan bin Hakam, seorang khalifah Dinasti Bani
Umayyah (w. 65 H) pernah meminta Hafsah agar mushafnya dibakar, tetapi ditolak
oleh Hafsah. Baru setelah Hafsah wafat, mushafnya diambil oleh Marwan, kemudian
dibakarnya. Tindakan Marwan ini dilakukan karena terpaksa, untuk menjaga
eksistensi keseragaman Al-Qur’an yang telah dibakukan oleh Utsman, juga untuk
menghindari keragu-raguan umat Islam di masa mendatang terhadap mushaf
Al-Qur’an jika masih terdapat dua macam mushaf, yaitu mushaf Hafsah dan mushaf Utsman.
Wallah a’lam bis shawab wal khataha’.
****
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muhith Ruba’i dkk., ‘Ulumut
Tafsir 1.Jakarta: Departemen Agama, 1996/1997.
Abu Daud
Sulaiman bin Asyats As-Sijintani, Sunan Abi Daud, Juz 4. Beirut: Darul
Kitab Al-Arabi, tt.
Abu Syahbah,
Muhammad ibn Muhammad, Al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an al-Karim. Maktabah
Sunnah, tt.
Abul Hasan ‘Ali al-Hasani An-Nadwi, Sejarah
Lengkap Nabi Muhammad SAW, terj. Muhammad Halabi Hamdi. Yogyakarta:
Mardhiyah Press, 2007.
Ahmad bin
Hanbal Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 4. Kairo:
Mu’assasah Qurthubah, tt.
Bukhari,
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-, Shahih Bukhari, Juz 1. Surabaya:
Al-Hidayah, tt.
H.A.,
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2008.
Khatib,
Muhammad ‘Ajjad, Al-, Ushulul Hadits: ‘Ulumuh wa Mushthalahuhuh. Beirut:
Dar al-Fikr, 1989.
Hudhari Bik, Muhammad, Tarikhut
Tasyri’ Al-Islami. Surabaya:
Al-Hidayah, tt.
Maliki,
Sayyid Alawi ibn Sayyid Abbas, Al-, Faidh al-Khabir wa Khalashah al-Taqrin
‘ala Nahj al- Taisir: Syarh Manzhumah al- Tafsir. Surabaya: Al-Hidayah, tt.
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi
‘Ulumil Qur’an. Madinah: Maktabatul Ma’arif, 2000.
Musim bin
Al-Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Nisaiburi, Shahih Muslim, Juz 7.
Beirut: Darul Jail, tt.
Nadwi, Abul Hasan ‘Ali al-Hasani, An-,
Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, terj.
Muhammad Halabi Hamdi. Yogyakarta: Mardhiyah
Press, 2007.
Rafzaf, Muhammad, Al-, Al-Ta’rif
bil Qur’an wal Hadits, tp., tt.
Sodiqin, Ali, Antropologi
Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu & Budaya. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Tim
Penyusun, “Ulumul Qur’an, Kitab” Ensiklopedi Islam, Suplemen Jilid 2. Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Zuhdi,
Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Karya Abditama, 1997.
****
Sumenep, 16 September
2014
[1] Abdul
Djalal, HA., Ulumul Qur’an. (Surabaya:
Dunia Ilmu, 2008), 4-6.
[2]
Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasatil Qur’an al-Karim.
(Maktabatus Sunnah, tt.), 7.
[3] Dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, Penganar
Ulumul Qur’an (Surabaya: Karya Abditama, 1997), 1.
[4] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat
mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang
terjadi kepada Nabi Musa a.s.
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 1 (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), 6. Lihat
juga Zuhdi, Penganar Ulumul Qur’an, 7.
[6] Abu Daud Sulaiman bin Asyast As-Sijintani,
Sunan Abi Daud, Juz 4 (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, tt.), 328. Ahmad
bin Hanbal Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 4
(Kairo: Mu’assasah Qurthubah, tt.), 130.
[7]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an (Madinah: Maktabatul
Ma’arif, 2000), 103. Lihat juga Muhammad Hudhari Bik, Tarikhut Tasyri’
Al-Islami (Surabaya:
Al-Hidayah, tt.), 7-8.
[8] Zuhdi, Penganar Ulumul Qur’an, 36 dan 38.
[9]
Muhammad Hudhari Bik, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami, 9-10.
[10]
Abul Hasan ‘Ali al-Hasani An-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, terj.
Muhammad Halabi Hamdi, (Yogyakarta: Mardhiyah
Press, 2007), 195.
[11] Maksudnya: Al-Qur’an itu tidak diturunkan sekaligus,
tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati Nabi
Muhammad SAW menjadi kuat dan tetap.
[12] Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi
Muhammad SAW membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah
menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata.
[13] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran,
17.
[15] Al-Qur’an menggunakan istilah qashash (kisah-kisah),
bukan tarikh (sejarah), hal itu menurut penulis adalah karena kisah
nyata dalam Al-Qur’an bersifat praktis dalam memotret ihwal suatu kehidupan
masa lalu.
[16]
Muhammad ‘Ajjad al-Khatib, Ushulul Hadits: ‘Ulumuh wa Mushthalahuhuh. (Beirut:
Darul Fikr, 1989), 26-27.
[17] Abu Daud Sulaiman bin Asyast As-Sijintani,
Sunan Abi Daud, Juz 4 (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, tt.), 328. Ahmad
bin Hanbal Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz 4
(Kairo: Mu’assasah Qurthubah, tt.), 130.
[18]
Lihat. QS. Asy-Syura: 51.
[19]
Muhammad Al-Rafzaf, Al-Ta’rif bil Qur’an wal Hadits, 196.
[21] Abul Husain Musim bin Al-Hajjaj
Al-Qusyairi An-Nisaiburi, Shahih Muslim, Juz 7 (Beirut: Darul Jail,
tt.), 16.
[22]
Alasan pendapat tersebut memiliki kelemahan, karena jika hadis Qudsi diterima
dengan mutawatir apakah status hadis tersebut sama dengan Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar