Rabu, 17 September 2014

SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN MAZHAB


Oleh : M. Khaliq Shalha


A.    PENDAHULUAN

Kehidupan akan senantiasa ditandai dengan gerak dan dinamika. Berawal dari gerak dan dinamika itulah perubahan dan perkembangan hidup dengan beragam variannya terjadi secara terus menerus tanpa mengenal finis. Jika perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari gerak dan dinamika itu tidak tampak dalam kehidupan, maka berarti telah sirna pulalah tanda-tanda kehidupan itu sendiri. Demikianlah dalam agama, keberadaan suatu agama akan dinilai memiliki fungsi bagi sebuah kehidupan, jika agama dalam prakteknya terbuka ruang lebar  bagi tuntutan gerak dan dinamika kehidupan manusia sebagaimana yang dimaksud.

Demikian juga dalam agama Islam, pada suatu sisi ia dianggap sebagai sistem nilai yang direkonstruksi di atas dasar-dasar norma, fondasi yang tertanam kuat dalam batin populisme masyarakat yang memiliki hakikat kebenaran universal, namun pada sisi lain ia meniscayakan adanya ruang dinamis yang membuatnya ia mampu memberikan pedoman dan arahan bagi kehidupan manusia. Sebab dalam kehidupan senantiasa memerlukan gerak dan perubahan terus-menerus dari situasi ke situasi lain dan dari kondisi ke kondisi lain. Atas dasar itulah agama pada hakikatnya memuat nilai-nilai normativitas dan historisitas yang saling berkelindan. Hubungan antara keduanya adalah  hubungan yang saling tarik ulur, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Dalam agama pasti ada pesan teks maupun konteksnya. Pola relasi keduanya adalah pola relasionalitas yang berdialektika. Kuantitas nash ushuli (nas pokok) terbatas adanya sementara realitas kehidupan selalu dinamis, maka meniscayakan adanya upaya ke arah ijtihad. Produk ijtihad dari mereka yang memiliki kapasitas tentangnya pastilah didapati suatu perbedaan (ikhtilaf). Adanya ikhtilaf itu dilatarbelakangi di antaranya oleh kuantitas sekaligus kualitas keilmuan, kecenderungan, sosio-kultural yang melingkupi mereka.

Tulisan sederhana ini akan menguraikan sebab-sebab terjadinya ikhtilaf atau perbedaan mazhab dalam hukum Islam. 

B.     IKHTILAF DENGAN BERBAGAI ASPEKNYA
1.      Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan. Berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah khalafa, yakhlufu, khilafa, mukhalafah dan ikhtalafa, yakhtalifu, ikhtilafa yang makna keduanya, tidak adanya kecocokan. Dua perkara berbeda apabila tidak ada kecocokan.[1] Maknanya lebih umum dari pada al-didd (lawan), sebab setiap hal yang berlawanan pasti akan saling bertentangan.[2]

Manusia yang sedang berdebat (berbeda pendapat) seringkali berkobar api amarah di dadanya. Mereka saling berbantah yang biasa disebut dengan perang mulut. Terhadap perkara seperti ini Allah menegaskan dalam Alquran:
فَاخْتَلَفَ الأحْزَابُ مِنْ بَيْنِهِمْ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ مَشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيمٍ .[3]
Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ .[4]
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُخْتَلِفٍ .[5]
Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat.
إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ.[6]
Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
Pernyataan Allah dalam beberapa ayat tersebut di atas sering terjadi pada diri manusia, karena ikhtilaf memang sering kali menimbulkan perbadaan total, baik dalam ucapan, pendapat, sikap maupun pendirian.

Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara diametral.[7]

Jadi, ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian hukum terhadap suatu obyek hukum. Ketika perbedaan tersebut dikaitkan dengan konteks mazhab hukum Islam berarti tidak samanya atau bertentangannya penilaian hukum terhadap suatu obyek hukum oleh masing-masing ulama mazhab.

Ikhtilaf yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat di antara fukaha dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah, bukan pada masalah yang bersifat ushuliyah, disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan suatu hukum.

2.      Sebab-sebab Timbulnya Ikhtilaf
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah SAW. Setelah beliau wafat, maka perbedaan pendapat sering timbul di kalangan sahabat dalam menetapkan hukum kasus tertentu, misalnya Zaid ibn Tsabit, Ali, dan Ibn Mas’ud memberikan harta warisan antara al-jadd (kakek) dan ikhwah (saudara), sedangkan Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, jika mereka mewarisi bersama-sama dengan kakek si mayat, karena kakek dia jadikan seperti ayah.[8]

Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi itu, relatif tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya.

Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang awam.

Mahmud Isma’il Muhammad Misy’al dalam bukunya, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif fiha [9] menyebutkan ada empat sebab pokok terjadinya ikhtilaf di kalangan fukaha: (a) Perbedaan dalam penggunaan kaidah ushuliyah dan penggunaan sumber-sumber istinbath (penggalian) lainnya, (b) Perbedaan yang mencolok dari aspek kebahasaan dalam memahami suatu nash, (c) Perbedaan dalam ijtihad tentang ilmu hadis, (d) Perbedaan tentang metode kompromi hadis (al-jam’u) dan mentarjihnya (al-tarjih) yang secara zahir maknanya bertentangan.

Sedangkan Muhammad al-Madani dalam bukunya, Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha, sebagaimana dikutip Huzaemah,[10] membagi sebab-sebab ikhtilaf menjadi empat macam juga, yaitu: (a) Pemahaman Alquran dan Sunnah Rasulullah, (b) Sebab-sebab khusus tentang Sunnah Rasulullah, (c) Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyah, (d) Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.  

Sebab-sebab yang dikemukakan dua ulama tersebut tidak jauh berbeda, demikian juga dalam buku lain yang penulis sempat baca.[11] Penulis akan menspesifikkan penjelasan sebab-sebab ikhtilaf tersebut sebagai berikut:

a.      Pemahaman Alquran dan Sunnah

 Sebagaimana kita maklumi bahwa sumber utama syariat Islam adalah Alquran dan Sunnah Rasul. Keduanya berbahasa Arab. Di antara kata-katanya ada yang memiliki arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu, dalam ungkapannya terdapat kata  umum tetapi yang dimaksudkan khusus. Ada pula perbedaan perspektif dari aspek lughawi (kebahasaan) dan ‘urfi (tradisi) serta dari segi manthuq, mafhum dan lainnya.

Berikut ini akan dikemukakan contoh mengenai kata musytarak dalam nas Alquran yang meimbulkan ikhtilaf:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ .[12]
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.

Sebagian ulama menafsiri kata quru’ dengan suci, sedangkan yang lain menafsiri haid. Dengan demikian, ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa wanita yang ditalak harus beridah dengan tiga kali suci, sedangkan kalangan ulama Hanafiyah dengan tiga kali haid.[13]

Selanjutnya akan dikemukakan contoh pemahaman terhadap Sunnah terkait dengan isinya yang umum dan khusus.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang nisab zakat pertanian. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap jenis hasil pertanian yang sedikit atau banyak wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan pada keumuman suatu hadis:[14]

فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عثريا اَلْعُشُرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشُرِ.[15]
Sesuatu (hasil pertanian) yang pengairannya dengan air hujan, air sumber atau menyerap air hujan, zakatnya sepersepuluh, sedangkan yang diairi dengan jasa unta zakatnya setengah dari sepersepuluh.

Sedangkan pendapat jumhur fukaha berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bahwa hasil pertanian yang tidak mencapai satu nisab tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Satu nisab adalah lima awsaq (± 300 gantang). Mereka berhujah bahwa hadis tersebut dikhususkan dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi SAW bersabda:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ .[16]
Sesuatu yang kurang dari lima awsaq tidak wajib zakat.

Golongan Hanafi menakwili bahwa hadis ini tertuju pada zakat harta perdagangan, bukan pertanian.[17]

b.      Sebab-sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasul

Sebab-sebab khusus mengenai Sunnah Rasul yang menonjol antara lain: (1) Perbedaan dalam penerimaan hadis; sampai atau tidaknya suatu hadis kepada sebagian sahabat, (2) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadis, (3) Perbedaan mengenai kedudukan kepribadian Rasul.

1)     Perbedaan dalam Penerimaan Hadis

Para sahabat yang menerima dan menyampaikan hadis, kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majis Rasul, tentunya mereka inilah yang banyak menerima hadis sekaligus meriwayatkannya. Tetapi bayak pula di antara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis Rasul, padahal dalam majlis itulah Rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu. Contoh mengenai ini sebagai berikut:

بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ
Aisyah mendengar bahwa Abdullah ibn Umar memberi fatwa bahwa wanita yang mandi janabah hendaknya membuka (mengudar) sanggulnya.

Setelah mendengar fatwa ini Aisyah merasa heran dan berkata:

فَقَالَتْ يَا عَجَبًا لاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلاَ أَزِيدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِى ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ. [18]
Aisyah berkata, “Sungguh aneh Ibn Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambutnya saja? Sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah SAW dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.

Contoh kasus pada kalangan ulama mujtahid, yaitu tentang Abu Hanifah dan kawan-kawannya dalam memutuskan suatu hukum. Ada suatu cerita dari Abdul Warits ibn Sa’id: Pada suatu waktu saya berada di Makkah bertemu dengan Abu Hanifah, Ibn Abi Laila dan Ibn Syabramah. Saya berkata kepada Abu Hanifah: “Bagaimana pendapatmu tentang orang menjual sesuatu dengan syarat tertentu?’’ Abu Hanifah menjawab: “Jual belinya batal dan syaratnya juga batal.” Kemudian saya bertanya kepada Ibn Abi Laila lalu ia menjawab: “Jual belinya sah dan syaratnya batal.’’ Kemudian saya bertanya kepada Ibn Syabramah lalu ia menjawab: “Jual belinya sah dan syaratnya juga sah.’’ Lalu saya berucap: “Subhanallah! Tiga fukaha Irak berbeda pendapat begitu tentang satu masalah.’’

Saya kembali kepada mereka, menanyakan alasan mereka masing-masing. Abu Hanifah berkata: “Aku tidak tahu apa alasan mereka berdua, yang jelas saya menerima hadis dari Amr ibn Syu’ab dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW melarang jual beli bersyarat; jual belinya batal syaratnya juga batal.

Saya kembali kepada Ibn Abi Laila menginfokan tentang itu, dia berkata: “Aku tidak tahu alasan mereka berdua, namun yang jelas aku menerima hadis dari Hisyam ibn Urwah dari bapaknya dari Aisyah ia berkata, ‘Aku pernah disuruh Rasulullah membeli budak dan ada syarat dari keluarganya supaya nanti dimerdekakan, maka Nabi SAW membatalkan syarat itu dan meneruskan jual itu.’ Jadi jual beli itu sah dan syaratnya batal.”

Kemudian saya mendatangi Ibn Syabramah mengabarkan tentang hal itu, ia berkata: “Aku tidak tahu alasan mereka berdua, aku pernah mendengar tentang hadis  Jabir bahwa ia pernah menjual unta kepada Nabi SAW lalu beliau mensyaratkan agar unta itu dibawakannya ke Madinah. Berarti jual beli itu sah dan syarat juga sah.”[19]

2)      Perbedaan dalam Menilai Periwayatan Hadis

Perbedaan pendapat di kalangan fukaha terkait dengan hadis dari berbagai segi. Perbedaan itu terjadi setidak-tidaknya ada tiga sebab.[20] Pertama, perbedaan mereka tentang keterbatasannya dalam memiliki kuantitas koleksi hadis secara penuh, sebagaimana contoh di atas. Sebagaimana kita maklum bahwa tidak semua tokoh-tokoh sahabat Nabi selalu mengetahui terhadap semua apa yang disabdakan Nabi pada suatu waktu. Kedua, perbedaan mereka dalam memberi penilaian terhadap kualitas suatu hadis. Ketiga, perbedaan mereka dalam menerima-tidaknya terhadap kualitas hadis daif.

3)     Perbedaan tentang Kedudukan Rasulullah SAW

Rasulullah SAW di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya. Misalnya mengenai hadis berikut:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِىَ لَهُ .[21]
Barangsiapa menggarap tanah tak bertuan, maka dialah pemiliknya.
Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap kepemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada negara di mana orang itu hidup. Sebaliknya, jumhur fukaha memandang hadis yang dinyatakan Rasul itu dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.[22]

c.       Sebab-sebab Berkenaan dengan Kaidah Ushuliyah

Kaidah ushuliyah merupakan metodologi hukum Islam yang digunakan oleh ulama untuk menggali suatu hukum pada abad kedua hijriyah. Keberadaannya efektif untuk menghasilkan suatu produk hukum. Metodologi ini digagas oleh Imam Syafii, bermula dari sebuah inspirasi setelah beliau menelaah keilmuan yang diwarisi oleh para sahabat Nabi, tabiin dan ulama fikih sebelumnya, terutama ketika adanya persinggungan yang dinamis antara model fikih Madinah yang diperoleh dari Imam Malik dengan fikih Irak yang diperoleh dari Imam Ibn Al-Hasan, demikian juga fikih Makkah yang beliau pernah hidup dan bermukim di situ. Hal itulah yang melatarbelakangi Imam Syafii mengadakan standarisasi untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Standarisasi itulah yang disebut ushul fiqh[23] (usul fikih).

Sejarawan, seperti Ibn Khaldun mencatatat bahwa orang pertama kali yang mengkodifikasi ilmu usul fikih  adalah Imam Syafii.  Sebelum Imam Syafii tidak didapati secara jelas di kalangan ulama mujtahid adanya model penggunaan usul fikih  dalam ijtihad mereka, artinya mereka tidak mempublikasikan model usul fikih yang mereka gunakan dalam berijtihad. Imam Syafiilah satu-satunya orang yang memulainya dan memiliki pengaruh setelah itu sehingga banyak bermunculan kitab-kitab usul fikih di tataran mazhab-mazhab yang ada dengan sistematika penulisannya menurut perkembangan zaman. Banyak dari kalangan peneliti berpendapat bahwa usul fikih kalangan Hanafi berpijak pada apa yang digagas Imam Syafii.[24]

Berikut akan dikemukakan contoh ikhtilaf di kalangan ulama dalam memahami suatu teks berdasarkan metode mereka masing-masing:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ .[25]
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .[26]
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari  surat An-Nur ayat ke-4 itu dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi orang yang menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi adalah : (a) dera 80 kali, (b) dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun, (c) orang itu dinyatakan fasik. Sedangkan ayat ke-5 mengkhususkan dengan pengecualian ayat ke-4 itu.  Para ulama berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian itu. Mayoritas ulama memahami pengecualian itu menyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan yang dimaksud adalah sesudah pemcambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi b dan c. Dengan demikian, apabila terbukti dia bertaubat dan melakukan perbaikan, maka kesaksiannya dapat diterima dan dia tidak lagi wajar dinamai fasik.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu hanya tertuju kepada yang terakhir disebut, walau dia bertaubat dan berbuat baik, kesaksiannya tetap tidak dapat diterima. Sanksi pencambukan yang disebut di sini, ada yang memahaminya—antara lain Abu Hanifah—sebagai hak Allah. Sehingga yang dicemarkan nama baiknya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan tetap harus dicambuk. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafii menilainya hak yang dicemarkan namanya, sehingga bila ia memaafkan maka gugurlah pencambukan itu.[27]

d.     Perbedaan Penggunaan Dalil di Luar Alquran dan Sunnah

Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih juga disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar Alquran dan Sunnah, seperti amal ahli madinah, dijadikan dasar fikih oleh Imam Malik, tidak dijadikan dasar oleh Imam yang lain. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijmak, kias, istislah, istihsan, sad adz-dzari’ah, tradisi dan sebagainya, yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedangkan sebagian ulama yang lain tidak menjadikannya dasar dalam menggali hukum.

3.      Hikmah Adanya Ikhtilaf dan Implementasinya dalah Kehidupan Masyarakat

Khilafiah dalam hukum Islam merupakan khazanah. Bagi orang yang memahami watak-watak kitab fikih yang memuat masalah-masalah yang diperselisihkan hukumnya, sering menganggap bahwa fikih itu sebagai pendapat pribadi yang ditransfer ke dalam agama. Padahal jika mereka mau mengkaji secara mendalam, pasti mereka menemukan bahwa ketentuan hukum Islam itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ikhtilaf merupakan suatu hal yang lumrah dalam dunia fikih, sehingga benar apa yang dikatakan Qatadah: “Barangsiapa tidak mengetahui ikhtilaf maka hudungnya belum pernah mencium bau fikih’’, Hisyam Ar-Razi juga mengatakan: “Barangsiapa tidak mengetahui perselisihan fukaha, maka ia bukan ahli fikih.’’[28]

Fikih sebagai hasil ijtihad ulama dan tidak lepas dari sumbernya, yaitu Alquran dan Sunnah, otomatis akan mengandung keragaman hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri ulama mazhab adanya sikap sportif dan toleran apabila dihadapkan pada fenomina tersebut, serta tetap konsisten kepada prinsip firman Allah bahwa apabila terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

4.      Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf

Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka  dalam penetapan hukum suatu masalah. Dengan demikian, akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam kajian tentang hal yang diperselisihkan, meneliti sistem dan cara yang baik dalam menggali suatu hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam hukum fikih bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.

C.    KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah, bukan pada masalah yang bersifat ushuliyah, disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan suatu hukum.

Fikih sebagai hasil ijtihad, otomatis akan mengandung keragaman hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri ulama mazhab adanya sikap sportif dan toleran apabila dihadapkan pada fenomina tersebut, serta tetap konsisten kepada prinsip firman Allah bahwa apabila terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab sangat penting untuk mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga akan terbuka kemungkinan meneliti sistem dan cara yang baik dalam menggali suatu hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam bidang fikih bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.

Wallah  a’lam bish  shawab.
*****





DAFTAR PUSTAKA


Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997.
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shahih al-Bukhari, Juz 2. Beirut: Dar ibn Katsir, 1987.
Ibn Al-Hajjaj, Abu Al-Husain Muslim, Shahih  Muslim, Juz 1. Beirut: Dar al-Jail, tt.
Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh Muqaaran. Jakarta: Erlangga, 1991.
Misy’al, Mahmud Isma’il Muhammad, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif fiha. Kairo: Dar As-Salam, 2007.
Salam Madkur, Muhammad, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar an-Nahdhah al-Mishriyah, 1984.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 9. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
as-Sijistani, Abu Daud Sulaiman ibn al-Asyats, Sunan Abi Daud, Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
*****

Sumenep, 15 September 2014


[1] Mahmud Isma’il Muhammad Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif fiha. (Kairo: Dar as-Salam, 2007), 43.
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 47.
[3]  Alquran, 19 (Maryam): 37.
[4]  Ibid., 11 (Hud): 118.
[5]  Ibid.,  51 (ad-Dhariyat): 8.
[6]  Ibid., 10 (Yunus): 93.
[7] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 48.
[8] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 59.
[9] Ibid., 91.
[10] Ibid., 51.
[11] Lihat misalnya Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran. (Jakarta: Erlangga, 1991), 21.
[12] Alquran, 2 (al-Baqarah): 228.
[13] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 99-100.
[14] Ibid., 102.
[15] Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 2. (Beirut: Dar ibn Katsir, 1987), 540.
[16] Ibid., 540.
[17] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 103.
[18]  Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih  Muslim, Juz 1. (Beirut: Dar al-Jail, tt.), 179.
[19] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 108.
[20] Ibid., 106.
[21] Abu Daud Sulaiman ibn al-Asyats As-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz 3. (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt), 143.
[22] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 58.
[23] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1997), 14.
[24] Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi, 94.
[25] Alquran, 24 (An-Nur): 4.
[26] Ibid., : 5.
[27] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 9. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 289-290.
[28] Muhammad Salam Madkur, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami. (Kairo: Dar An-Nahdhah al-Mishriyah, 1984), 111.

Catatan : Makalah di atas boleh disalin tempel dengan syarat memperhatikan kejujuran intelektual (mencantumkan sumber dari blog ini, m-khaliq-shalha.blogspot.com/2014/09/sebab-sebab-terjadinya-perbedaan-mazhab.html)

6 komentar: