M. Khaliq Shalha
Tak bisa dipungkiri bahwa Islam begitu getol memberikan sensasi bernas pada
umatnya lewat pedoman andalannya, Al-Qur’an dan hadis. Hal itu menjadi nyata
bahwa ajaran Islam itu manusiawi-transenden yang kontekstual untuk
membangkitkan ghirah (gairah) keberagamaan mereka. Tak pelak bila di
pusat-pusat perbelanjaan banyak dijumpai diskon-diskon istimewa, lebih-lebih
jelang hari raya, walau versi ini kadang hanya kemuflase, untuk memantik gairah
para konsumen berbelanja di situ. Salah satu contoh sensasi yang diberikan
Tuhan adalah paket istimewa berupa Lailatul Qadar (LQ). LQ adalah malam
istimewa yang apabila manusia bisa memperolehnya, nilai kebaikannya sama dengan
ibadah seribu bulan. Tak berlebihan bila kita katakan, woow...!!!
Turunnya LQ mengalami perubahan jadwal dari semula ketika Al-Qur’an
diturunkan pertama kali secara utuh dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul
‘Izza di Sama’ Al-Dunya dan dari Sama’ Al-Dunya ke Gua Hira’
untuk paket surat Al-‘Alaq [96]: 1-5, yaitu tanggal 17 Ramadan, bertepatan
dengan turunnya LQ. Bisa Anda perdalam lagi kajiannya dalam kitab-kitab tafsir
tentang surat Al-Qadr yang menuturkan turunnya Al-Qur’an di malam LQ, salah
satu contoh dalam Tafsir Ibn Katsir, banyak menjelaskan itu lewat
riwayat sahabat ahli takwil, Ibn Abbas. Berdasarkan literatur hadis sahih bahwa
LQ tidak lagi “cair” pada malam 17 Ramadan, tapi sekitar malam sepuluh terakhir
bulan Ramadan. Dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Carilah ia pada sepuluh
terakhir (Ramadan), yakni Lailatul Qadar. Jika salah seorang dari Anda
tidak mampu, maka jangan lewatkan tujuh malam terakhir.” (HR. Muslim). Dari
Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Incarlah Lailatul Qadar di malam
ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadan.” (HR. Bukhari).
Selanjutnya, yang terpenting dari itu bagi kita tentang penghayatannya.
Bagaimana cara menantikan pencairan LQ yang lebih tepat? Turunnya paket
istimewa LQ merupakan suatu kepastian dalam ketidakpastian. Pasti
diturunkan, cuma kapan akan turun, tidak tentu. Dalam banyak hadis sahih
diceritakan mengenai hal ini, secara umum ada tiga penekanan pada saat-saat
malam siaga, yang dapat dijelaskan melalui teori batas (pinjam istilah Muhammad
Syahrur): batas maksimal, sedang dan minimal. Batas maksimal pada semua malam sepuluh
terakhir Ramadan, batas sedang pada malam-malam ganjilnya, sejalan dengan
banyak hadis yang memberi penekanan pada malam ganjil, dan batas minimal pada
malam ke tujuh, tepatnya tanggal 27 Ramadan, bagi orang-orang yang tak berdaya
memaksimalkan semua malam.
Pada masa-masa penungguan inilah, menurut saya, signifikansi LQ diturunkan.
Meraih LQ tak semudah membalikkan telapak tangan, tak seringan menyantap
semangkok bakso dan tak sesantai menyeruput secangkir kopi. Tapi butuh daya
upaya untuk mengincarnya dengan berproses yang benar dengan begadang (saharul
layali), lalu mengisinya dengan bermunajat kepada Allah berupa shalat
malam, zikir, baca Al-Qur’an, salawat atau bentuk taqarrub lainnya. Bagi
yang memungkinkan datang ke masjid untuk iktikaf dalam rangka munajat itu,
bukan numpang tidur gratis. Bila tidak memungkinkan, sah-sah saja munajat di
rumah masing-masing.
Sebuah penantian dengan proses munajat inilah inti ajaran sensasi LQ itu
disyariatkan. Dengan proses yang benar akan terbentuk jiwa-jiwa besar yang bisa
menggerakkan transformasi spiritual dan sosial, sebagaimana Nabi SAW
melakukannya, dan keberhasilan beliau begitu mantap dalam membangun sebuah
tatanan kehidupan lahir batin umatnya. Sangat naif tentu bila penantian LQ
sekadar dimaknai bagai menantikan pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari
Pemerintah di dekat pintu Kantor Pos, atau Tunjangan Hari Raya (THR) dari
juragan. Suatu penantian yang kering nilai. Setelah cair habis perkara! Tuhan tidak
main-main, lebay apalagi alay dalam menggelar paket amat istimewa ini tanpa
adanya maqashidus syari’ah (tujuan utama syariah) yang ditargetkan pada
kemaslahatan hamba-Nya. Adanya batas-batas di atas cukup menggugah kita sebenarnya
untuk senantiasa berproses. Ketidakpastian turunnya merupakan sebuah ajang uji
nyali manusia meraih kecerahan spiritual. Hidup ini butuh proses, proses
merupakan sebuah perjuangan. Pemenangnya adalah orang-orang yang
bersungguh-sungguh dan tepat dalam berproses, bukan orang-orang yang
bermalas-malasan yang berjiwa konsumtif belaka. Wallah a’lam.
Sumenep, 21 Ramadan 1436 H/8 Juli 2015 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar