Kamis, 09 Juli 2015

MENANTIKAN PENCAIRAN LAILATUL QADAR


M. Khaliq Shalha


Tak bisa dipungkiri bahwa Islam begitu getol memberikan sensasi bernas pada umatnya lewat pedoman andalannya, Al-Qur’an dan hadis. Hal itu menjadi nyata bahwa ajaran Islam itu manusiawi-transenden yang kontekstual untuk membangkitkan ghirah (gairah) keberagamaan mereka. Tak pelak bila di pusat-pusat perbelanjaan banyak dijumpai diskon-diskon istimewa, lebih-lebih jelang hari raya, walau versi ini kadang hanya kemuflase, untuk memantik gairah para konsumen berbelanja di situ. Salah satu contoh sensasi yang diberikan Tuhan adalah paket istimewa berupa Lailatul Qadar (LQ). LQ adalah malam istimewa yang apabila manusia bisa memperolehnya, nilai kebaikannya sama dengan ibadah seribu bulan. Tak berlebihan bila kita katakan, woow...!!!

Turunnya LQ mengalami perubahan jadwal dari semula ketika Al-Qur’an diturunkan pertama kali secara utuh dari Al-Lauh Al-Mahfuzh ke Baitul ‘Izza di Sama’ Al-Dunya dan dari Sama’ Al-Dunya ke Gua Hira’ untuk paket surat Al-‘Alaq [96]: 1-5, yaitu tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan turunnya LQ. Bisa Anda perdalam lagi kajiannya dalam kitab-kitab tafsir tentang surat Al-Qadr yang menuturkan turunnya Al-Qur’an di malam LQ, salah satu contoh dalam Tafsir Ibn Katsir, banyak menjelaskan itu lewat riwayat sahabat ahli takwil, Ibn Abbas. Berdasarkan literatur hadis sahih bahwa LQ tidak lagi “cair” pada malam 17 Ramadan, tapi sekitar malam sepuluh terakhir bulan Ramadan. Dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Carilah ia pada sepuluh terakhir (Ramadan), yakni Lailatul Qadar. Jika salah seorang dari Anda tidak mampu, maka jangan lewatkan tujuh malam terakhir.” (HR. Muslim). Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Incarlah Lailatul Qadar di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadan.” (HR. Bukhari).

Selanjutnya, yang terpenting dari itu bagi kita tentang penghayatannya. Bagaimana cara menantikan pencairan LQ yang lebih tepat? Turunnya paket istimewa LQ merupakan suatu kepastian dalam ketidakpastian. Pasti diturunkan, cuma kapan akan turun, tidak tentu. Dalam banyak hadis sahih diceritakan mengenai hal ini, secara umum ada tiga penekanan pada saat-saat malam siaga, yang dapat dijelaskan melalui teori batas (pinjam istilah Muhammad Syahrur): batas maksimal, sedang dan minimal. Batas maksimal pada semua malam sepuluh terakhir Ramadan, batas sedang pada malam-malam ganjilnya, sejalan dengan banyak hadis yang memberi penekanan pada malam ganjil, dan batas minimal pada malam ke tujuh, tepatnya tanggal 27 Ramadan, bagi orang-orang yang tak berdaya memaksimalkan semua malam.

Pada masa-masa penungguan inilah, menurut saya, signifikansi LQ diturunkan. Meraih LQ tak semudah membalikkan telapak tangan, tak seringan menyantap semangkok bakso dan tak sesantai menyeruput secangkir kopi. Tapi butuh daya upaya untuk mengincarnya dengan berproses yang benar dengan begadang (saharul layali), lalu mengisinya dengan bermunajat kepada Allah berupa shalat malam, zikir, baca Al-Qur’an, salawat atau bentuk taqarrub lainnya. Bagi yang memungkinkan datang ke masjid untuk iktikaf dalam rangka munajat itu, bukan numpang tidur gratis. Bila tidak memungkinkan, sah-sah saja munajat di rumah masing-masing.

Sebuah penantian dengan proses munajat inilah inti ajaran sensasi LQ itu disyariatkan. Dengan proses yang benar akan terbentuk jiwa-jiwa besar yang bisa menggerakkan transformasi spiritual dan sosial, sebagaimana Nabi SAW melakukannya, dan keberhasilan beliau begitu mantap dalam membangun sebuah tatanan kehidupan lahir batin umatnya. Sangat naif tentu bila penantian LQ sekadar dimaknai bagai menantikan pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Pemerintah di dekat pintu Kantor Pos, atau Tunjangan Hari Raya (THR) dari juragan. Suatu penantian yang kering nilai. Setelah cair habis perkara! Tuhan tidak main-main, lebay apalagi alay dalam menggelar paket amat istimewa ini tanpa adanya maqashidus syari’ah (tujuan utama syariah) yang ditargetkan pada kemaslahatan hamba-Nya. Adanya batas-batas di atas cukup menggugah kita sebenarnya untuk senantiasa berproses. Ketidakpastian turunnya merupakan sebuah ajang uji nyali manusia meraih kecerahan spiritual. Hidup ini butuh proses, proses merupakan sebuah perjuangan. Pemenangnya adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dan tepat dalam berproses, bukan orang-orang yang bermalas-malasan yang berjiwa konsumtif belaka. Wallah a’lam.

Sumenep, 21 Ramadan 1436 H/8 Juli 2015 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar