Senin, 06 Juli 2015

JEMAAH TARAWIH VERSUS PENGUNJUNG PASAR


M. Khaliq Shalha



Sekelumit Shalat Tarawih Masa Awal
Pada masa Nabi, ibadah sunnah Ramadan disebut qiyamu Ramadhan, bukan shalat Tarawih, demikian juga pada masa tabi’in. Imam Malik dalam kitabnya, Muwaththa’ menyebutnya dengan qiyamu Ramadhan. Sekitar tiga abad setelah Imam Malik, Imam Bukhari dalam kitabnya, Al-Jami’ Ash-Shahih menyebutnya dengan shalat Tarawih.

Nabi menyukai ibadah sunnah ini. Beliau bersabda: “Dari Abu Hurairah bahwa Nabi menyukai qiyamu Ramadhan namun beliau tidak menegaskan (mewajibkan) untuk dikerjakan. Sabda beliau: ‘Barangsiapa qiyamu Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, niscaya dosanya yang telah lalu akan diampuni’.” (HR. Malik bin Anas). Dalam Syarah Muwaththa’ yang ditulis oleh Abdul Hayyi Al-Kanawi, Imam Nawawi menjelaskan tafsir para pakar fiqih (fuqaha) mengenai hadis ini bahwa dosa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa besar, tapi sebagian ulama mengatakan sah-sah saja (yajuz) meringankan dosa besar bila dosa kecilnya sudah terampuni.

Dalam sejarah awal qiyamu Ramadhan (selanjutnya shalat Tarawih), Nabi SAW hanya mengerjakan dua malam di masjid yang diikuti oleh para sahabat. Dalam sebuah hadis dikatakan: “Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat (Tarawih) di masjid kemudian para sahabat juga mengerjakannya mengikuti Nabi shalat. Malam kedua para sahabat semakin banyak mengerjakannya. Pada malam ketiga atau keempat, para sahabat lebih banyak lagi yang berkumpul, namun Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka. Setelah tiba waktu Subuh beliau bersabda: ‘Tadi malam sungguh saya melihatmu ambisius untuk shalat bersamaku, sungguh saya berkeinginan menghampirimu, cuma saya khawatir shalat itu akan diwajibkan atasmu’.”. (HR. Malik bin Anas).

Ibn Syihab mengatakan bahwa setelah Rasulullah wafat, shalat Tarawih tetap dikerjakan sebagaimana beliau mengerjakannya; di masa kepemimpinan Abu Bakar dan berlanjut pada periode awal kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada pemerintahan Umar selanjutnya, shalat Tarawih mulai terorganisir. Abdurrahman bin Abdul Qari’ mengatakan: “Pada bulan Ramadan saya blusukan bersama Umar ke masjid (Nabawi, tahun 14 hijriyah), ternyata orang-orang bercerai-berai, melaksanakan shalat sendiri-sendiri beberapa rakaat, memantik Umar berreaksi, ia berkata: ‘Demi Allah, tak terbayang (indahnya) di benakku andai mereka berjemaah dalam komando satu imam, niscaya mirip dengan shalat Tarawih awal zaman Nabi (yang dua malam itu). Kemudian umar menghalau jemaah untuk bermakmum pada Ubai bin Ka’ab. Di lain malam, saya blusukan lagi—kata  Abdurrahman—bersama Umar, orang-orang sedang shalat Tarawih berjemaah dengan komando satu imam mereka. Umar berkata: ‘Ni’matul bid’ah hadzih (Inilah sebaik-baik bid’ah). Orang-orang yang tidur setelah mengerjakan shalat Tarawih ini lebih utama ketimbang orang-orang yang shalat Tarawih di akhir malam nanti.’ ”. (HR. Malik bin Anas). Umar memerintahkan pada Ubai bin Ka’ab untuk shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat. Para sahabat pada zaman Umar mengerjakannya sebanyak 23 rakaat. Jumlah yang terakhir inilah yang berlaku sampai sekarang.

Demikian sekelumit sejarah shalat Tarawih yang bisa saya tulis. Silakan Anda kaji lebih detil lagi dalam kitab Muwaththa’. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa shalat Tarawih pada zaman Nabi dinamakan qiyamu Ramadhan. Dalam literatur kitab hadis hukum, Muwaththa’, nama itu tetap digunakan. Sekitar tiga abad berikutnya, Imam Bukhari menyebutnya shalat Tarawih. Nabi pernah mengerjakan shalat Tarawih di masjid cuma dua malam yang diikuti oleh para sahabat. Malam ketiga dan seterusnya Nabi sudah shalat di rumah beliau, karena khawatir shalat Tarawih akan diwajibkan pada umatnya. Malam kedua jemaah makin bertambah banyak dan malam ketiga atau keempat jemaah semakin membeludak lagi. Sampai di sini, terkait dengan tema tulisan ini, ketika dikaitkan dengan kondisi jemaah kita di masjid-masjid dan mushalla-mushalla, apakah dari malam pertama, kedua dan seterusnya jemaah semakin membeludak? Bagaimana pula dengan kondisi pengunjung pasar selama Ramadan, lebih-lebih saat-saat menjelang hari raya, apakah semakin surut atau semakin pasang? Bandingkan jemaah Tarawih dengan pengunjung pasar dari awal sampai akhir Ramadan! Jika terjadi kontroversi, mengapa bisa terjadi?

Fenomena Jemaah Tarawih Versus Pengunjung Pasar
Suatu hal yang riil dalam masyarakat kita bahwa pasang surut jemaah Tarawih lazim terjadi. Sepuluh malam pertama jemaah sangat ramai, ibarat babak penyisihan dalam suatu perlombaan. Sepuluh malam pertengahan jemaah semakin surut, sebagai babak semi final. Dan, sepuluh malam terakhir jemaah semakin bertambah surut, sebagai babak final.

Banyak kontroversi yang terjadi kala shalat Tarawih. Sebagian jemaah dari kalangan pemuda yang tegar-tegar, suka gempor di belakang yang semestinya lebih fit ketimbang kakek-nenek, bapak-ibu pekerja keras itu. Idealnya pemuda, dengan badan yang masih standar dan darah mudanya masih segar, merebut barisan depan full time sampai Tarawih tuntas hingga akhir bulan. Bonus besar bagi pemuda yang penting diketahui, kata Nabi, bahwa pemuda yang hatinya terpaut pada masjid—untuk ibadah tentu, bukan untuk gempor-gemporan—kelak di mahsyar mendapat naungan dari Allah ketika tidak ada naungan sama sekali kecuali naungan-Nya.

Tarawih maknanya istirahat. Generasi awal Islam dulu istirahat di antara shalat ke shalat dan mereka mengisinya dengan berzikir, mengaji Al-Qur’an, atau tawuf bagi mereka yang ada di Masjidil Haram. Kalau pemuda kita istirahatnya digunakan main HP, online mungkin, atau sekadar parkir biar tidak banyak shalat supaya tidak capek. Dari 23 rakaat bisa mengambil separuhnya atau lebih sedikit lagi. Sepertinya ada fenomena “mazhab baru” di kalangan masyarakat kita mengenai jumlah rakaatnya. Masih lumayan ketimbang tidak sama sekali.

Hal ini menjadi kontroversi lagi dengan zaman Nabi, malam kedua lebih banyak ketimbang malam pertama, ketiga lebih banyak lagi, sebagaimana di urai di atas. Fenomena semacam ini apa latarnya? Faktor motivasi dan target yang akan dicapai. Motivasinya adalah iman. Iman itu putus-nyambung, naik-turun (yanqush wa yazdad). Iman yang kokoh akan melahirkan cinta. Bila orang jatuh cinta pada sesuatu, tidak ada kata capek dan menyerah. Semuanya indah saja sudah. Tapi cinta ibadah itu jarang-jarang sekuat sinyal cinta pada lain jenis. Mencintai sesuatu yang abstrak tak semua orang bisa nyambung. Di sinilah diperlukan pendidikan keimanan dan pembiasaan diri. Dua objek sederhana perlu menjadi konsentrasi, yaitu meraih kebaikan dunia dan akhirat. Shalat Tarawih sudah jelas berbuah kebaikan dunia dan akhirat. Hanya masalahnya, kebaikan itu tidak bisa dirasakan secara instan. Hal yang paling diganderungi manusia pada umumnya adalah sesuatu yang riil, instan. Dunia ini memang penuh dengan pragmatis-kongkret, tensinya mengalahkan pragmatis-abstrak. Seandainya manusia tahu secara kongkret keutamaan Ramadan, niscaya mereka akan menginginkan setahun dijadikan Ramadan semua. Andai Tarawih langsung dapat mobil, pasti masjid penuh sesak dengan jemaah. Mungkin takmirnya harus menggelar tikar di halaman masjid karena di dalam tidak muat. Andai pula ada tingkatan-tingkatan hadiah sesuai tingkat kekhusyukannya, niscaya manusia berlomba-lomba untuk khusyuk. Yang tak biasa khusyuk akan berusaha mengkhusyuk-khusyukkan diri sampai nangis pun bisa diciptakan. Ibarat calon bintang sinetron yang belajar ekting menangis. Coba bayangkan! Misal bonus yang tiwarkan Tuhan: yang khusyuknya minim dapat becak motor Viar,  yang khusyuknya setengah-setengah dapat mobil Carry, yang khusyuknya sangat bagus dapat mobil Avanza, yang di atas itu lagi dapat mobil Innova. Tak terbayang, masjid akan ramai penuh sesak seperti sesaknya Kantor Pos ketika sedang pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Harus dijadikan kesadaran bagi setiap kita bahwa kematian itu nyata. Tarawih adalah salah satu pesangon ke alam kubur, alam penantian menuju akhirat, entah sampai berapa abad lamanya. Kemudian kehidupan di alam akhirat tak akan mengenal ujung lagi, hanya ada dua hunian: surga atau neraka. Target ibadah dengan mengharap surga dan takut neraka, masih sangat efektif dan efisien untuk dipropagandakan pada masyarakat awam dalam menggugah nurani mereka. Mempropagandakan konsep sufinya Rabi’ah Al-Adawiyah dirasa sangat sulit untuk digubris, karena paradigma penghayatan keagamaan mereka masih pragmatis-materealistis-imbalan. Level Rabi’ah sudah pada al-hubb (cinta). Ibadahnya berlandaskan cinta Tuhan, bukan apa-apa. Andai ia beribadah karena ingin surga-Nya, ia memohon untuk tidak dimasukkannya, dan bila ia beribadah karena takut pada neraka-Nya, ia memohon untuk dimasukkan ke dalamnya. Target ibadahnya hanya demi yang dicintai, yaitu Tuhan. Tuhan mau memberi balasan apa saja padanya, dia rela menerima. Itulah gambaran cinta sejati seorang hamba pada Tuhannya. Tak seperti cinta muda-mudi yang rada-raga gombal dan modus: ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.

Selanjutnya, konsentrasi kita arahkan pada hal-hal yang pragmatis-kongkret, ke pasar. Pada awal-awal Ramadan, volume pengunjung pasar normal, seperti biasanya. Harga-harga pun relatif normal. Semakin tua umur Ramadan, pengunjung pasar makin ramai. Data statistiknya tentu naik. Andai dibagi tiga juga seperti Ramadan akan menunjukkan kekontrasan. Pada sepuluh terakhir Ramadan, pengunjung pasar makin membeludak. Sepertinya pasar memiliki daya pikat yang luar biasa. Tak peduli panas, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja berbagai kebutuhan hari raya, dari kebutuhan dapur hingga baju baru buat fashion show massal di hari raya nanti. Hari raya lazimnya sebagai momen serba fitri: jiwa fitri dengan Ramadan dan zakat fitrah, dan raga pun difitrikan dengan baju baru.

Daya tarik masyarakat untuk berbelanja baju baru jauh lebih menggoda ketimbang keistimewaan pahala Tarawih yang abstrak. Mereka rela mengelurkan pundi-pundi rupiahnya demi memborong baju baru. Hal ini menjadi kesempatan baik bagi para pedagang untuk meraup untung besar. Pedagang kadang menjahili pembeli yang rada-rada tidak tahu perkembangan harga barang dan keceplosan ketika menanyakan harga baju. Saking ambisinya, salah cara menawar: “Ada baju yang mahal?” Kesalahan inilah kadang dimanfaatkan oleh pedagang untuk mengelabuhi pembeli. Mestinya: “Ada baju yang bagus dan murah?”.

Bisa dibayangkan, andai di hari raya sebagian masyarakat tidak punya baju baru, khususnya kaum hawa, betapa galaunya dia. Nyaris tidak punya kebanggaan diri. Sepertinya dunia ini tak memberi kebebasan banyak untuk berlambai-lambai di hari raya. Puasanya seakan  gagal parah. Serasa tidak kembali ke fitrah. Ditambah lagi kesan: hari raya tak punya baju baru, apa kata tetangga? Kesan semacam ini sudah mendarah-daging. Inilah salah satu yang memotivasi masyarakat untuk berbondong-bondong berbelanja ke pasar. Pasar ibarat musim haji di Mekkah, penuh sesak. Bahkan jadwal buka pasar ditambah dari hari biasanya. Seumpama hari raya jatuh pada hari Jumat, dan pasar itu jadwal bukanya hari Rabu, maka hari Kamis pasar tersebut digelar kembali, sehari jelang hari raya. Orang kampung menamainya Pasar Katok. Kecenderungan konsumtif itu saya kira normal, manusiawi, yang penting bisa mengukur diri.

Begitulah fenomena sebagian banyak masyarakat kita. Belum mencapai keseimbangan antusiasme kebutuhan rohani dengan menghidupkan ibadah Ramadan secara maksimal bibandingkan kebutuhan jasmani untuk berbelanja ke pasar. Terjadi kontroversi pasang surut di antara keduanya. Shalat Tarawih makin hari makin ditinggalkan jemaah, sedangkan pasar makin dipenuhi pengunjung. Langkah untuk menggapai keseimbangan di antara keduanya harus membangun kesadaran bahwa kita makhluk jasmani-rohani dan makhluk dunia-akhirat. Ingat, kefitrahan seseorang tidak ditentukan oleh baju baru, tapi oleh bertambahnya ketakwaan. Ada sebuah ayat sebagai pegangan dan pilihan: Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [07]: 96). Wallah a’lam.


Sumenep, 19 Ramadan 1436 H/6 Juli 2015 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar