M. Khaliq Shalha
Sekelumit Shalat Tarawih Masa Awal
Pada masa Nabi, ibadah sunnah Ramadan disebut qiyamu
Ramadhan, bukan shalat Tarawih, demikian juga pada masa tabi’in. Imam Malik
dalam kitabnya, Muwaththa’ menyebutnya
dengan qiyamu Ramadhan. Sekitar tiga abad setelah Imam Malik, Imam
Bukhari dalam kitabnya, Al-Jami’ Ash-Shahih menyebutnya dengan shalat Tarawih.
Nabi menyukai ibadah sunnah ini. Beliau bersabda: “Dari Abu Hurairah bahwa
Nabi menyukai qiyamu Ramadhan namun beliau tidak menegaskan (mewajibkan)
untuk dikerjakan. Sabda beliau: ‘Barangsiapa qiyamu Ramadhan dengan
penuh keimanan dan keikhlasan, niscaya dosanya yang telah lalu akan diampuni’.”
(HR. Malik bin Anas). Dalam Syarah Muwaththa’
yang ditulis oleh Abdul Hayyi Al-Kanawi, Imam Nawawi menjelaskan tafsir para
pakar fiqih (fuqaha) mengenai hadis ini bahwa dosa yang dimaksud adalah
dosa-dosa kecil, bukan dosa besar, tapi sebagian ulama mengatakan sah-sah saja (yajuz)
meringankan dosa besar bila dosa kecilnya sudah terampuni.
Dalam sejarah awal qiyamu Ramadhan (selanjutnya shalat Tarawih),
Nabi SAW hanya mengerjakan dua malam di masjid yang diikuti oleh para sahabat.
Dalam sebuah hadis dikatakan: “Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW melaksanakan
shalat (Tarawih) di masjid kemudian para sahabat juga mengerjakannya mengikuti
Nabi shalat. Malam kedua para sahabat semakin
banyak mengerjakannya. Pada malam ketiga atau keempat, para sahabat lebih
banyak lagi yang berkumpul, namun Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka. Setelah
tiba waktu Subuh beliau bersabda: ‘Tadi malam sungguh saya melihatmu ambisius
untuk shalat bersamaku, sungguh saya berkeinginan menghampirimu, cuma saya
khawatir shalat itu akan diwajibkan atasmu’.”. (HR. Malik bin Anas).
Ibn Syihab mengatakan bahwa setelah Rasulullah wafat, shalat Tarawih tetap
dikerjakan sebagaimana beliau mengerjakannya; di masa kepemimpinan Abu Bakar
dan berlanjut pada periode awal kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada
pemerintahan Umar selanjutnya, shalat Tarawih mulai terorganisir. Abdurrahman
bin Abdul Qari’ mengatakan: “Pada bulan Ramadan saya blusukan bersama Umar ke
masjid (Nabawi, tahun 14 hijriyah), ternyata orang-orang bercerai-berai,
melaksanakan shalat sendiri-sendiri beberapa rakaat, memantik Umar berreaksi,
ia berkata: ‘Demi Allah, tak terbayang (indahnya) di benakku andai mereka
berjemaah dalam komando satu imam, niscaya mirip dengan shalat Tarawih awal
zaman Nabi (yang dua malam itu). Kemudian umar menghalau jemaah untuk bermakmum
pada Ubai bin Ka’ab. Di lain malam, saya blusukan lagi—kata Abdurrahman—bersama Umar, orang-orang sedang
shalat Tarawih berjemaah dengan komando satu imam mereka. Umar berkata: ‘Ni’matul
bid’ah hadzih (Inilah sebaik-baik bid’ah). Orang-orang yang tidur setelah mengerjakan
shalat Tarawih ini lebih utama ketimbang orang-orang yang shalat Tarawih di
akhir malam nanti.’ ”. (HR. Malik bin Anas). Umar memerintahkan pada Ubai bin
Ka’ab untuk shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat. Para sahabat pada zaman Umar
mengerjakannya sebanyak 23 rakaat. Jumlah yang terakhir inilah yang berlaku
sampai sekarang.
Demikian sekelumit sejarah shalat Tarawih yang bisa saya tulis. Silakan Anda
kaji lebih detil lagi dalam kitab Muwaththa’.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa shalat Tarawih pada zaman Nabi
dinamakan qiyamu Ramadhan. Dalam literatur kitab hadis hukum, Muwaththa’, nama itu tetap digunakan. Sekitar tiga
abad berikutnya, Imam Bukhari menyebutnya shalat Tarawih. Nabi pernah
mengerjakan shalat Tarawih di masjid cuma dua malam yang diikuti oleh para
sahabat. Malam ketiga dan seterusnya Nabi sudah shalat di rumah beliau, karena
khawatir shalat Tarawih akan diwajibkan pada umatnya. Malam kedua jemaah makin
bertambah banyak dan malam ketiga atau keempat jemaah semakin membeludak lagi.
Sampai di sini, terkait dengan tema tulisan ini, ketika dikaitkan dengan
kondisi jemaah kita di masjid-masjid dan mushalla-mushalla, apakah dari malam
pertama, kedua dan seterusnya jemaah semakin membeludak? Bagaimana pula dengan
kondisi pengunjung pasar selama Ramadan, lebih-lebih saat-saat menjelang hari
raya, apakah semakin surut atau semakin pasang? Bandingkan jemaah Tarawih
dengan pengunjung pasar dari awal sampai akhir Ramadan! Jika terjadi
kontroversi, mengapa bisa terjadi?
Fenomena Jemaah Tarawih Versus Pengunjung Pasar
Suatu hal yang riil dalam masyarakat kita bahwa pasang
surut jemaah Tarawih lazim terjadi. Sepuluh malam pertama jemaah sangat ramai, ibarat
babak penyisihan dalam suatu perlombaan. Sepuluh malam pertengahan jemaah
semakin surut, sebagai babak semi final. Dan, sepuluh malam terakhir jemaah
semakin bertambah surut, sebagai babak final.
Banyak kontroversi yang terjadi kala shalat Tarawih. Sebagian jemaah dari
kalangan pemuda yang tegar-tegar, suka gempor di belakang yang semestinya lebih
fit ketimbang kakek-nenek, bapak-ibu pekerja keras itu. Idealnya pemuda, dengan
badan yang masih standar dan darah mudanya masih segar, merebut barisan depan full
time sampai Tarawih tuntas hingga akhir bulan. Bonus besar bagi pemuda yang
penting diketahui, kata Nabi, bahwa pemuda yang hatinya terpaut pada
masjid—untuk ibadah tentu, bukan untuk gempor-gemporan—kelak di mahsyar mendapat naungan dari Allah ketika tidak ada
naungan sama sekali kecuali naungan-Nya.
Tarawih maknanya istirahat. Generasi awal Islam dulu istirahat di antara shalat ke shalat dan mereka mengisinya dengan berzikir, mengaji Al-Qur’an, atau tawuf
bagi mereka yang ada di Masjidil Haram. Kalau pemuda kita istirahatnya digunakan
main HP, online mungkin, atau sekadar parkir biar tidak banyak shalat
supaya tidak capek. Dari 23 rakaat bisa mengambil separuhnya atau lebih sedikit
lagi. Sepertinya ada fenomena “mazhab baru” di kalangan masyarakat kita
mengenai jumlah rakaatnya. Masih lumayan ketimbang tidak sama sekali.
Hal ini menjadi kontroversi lagi dengan zaman Nabi, malam kedua lebih
banyak ketimbang malam pertama, ketiga lebih banyak lagi, sebagaimana di urai
di atas. Fenomena semacam ini apa latarnya? Faktor motivasi dan target yang
akan dicapai. Motivasinya adalah iman. Iman itu putus-nyambung, naik-turun (yanqush wa yazdad). Iman yang kokoh akan melahirkan cinta. Bila orang jatuh cinta
pada sesuatu, tidak ada kata capek dan menyerah. Semuanya indah saja sudah. Tapi
cinta ibadah itu jarang-jarang sekuat sinyal cinta pada lain jenis. Mencintai
sesuatu yang abstrak tak semua orang bisa nyambung. Di sinilah diperlukan
pendidikan keimanan dan pembiasaan diri. Dua objek sederhana perlu menjadi
konsentrasi, yaitu meraih kebaikan dunia dan akhirat. Shalat
Tarawih sudah jelas berbuah kebaikan dunia dan akhirat. Hanya masalahnya, kebaikan
itu tidak bisa dirasakan secara instan. Hal yang paling diganderungi manusia
pada umumnya adalah sesuatu yang riil, instan. Dunia ini memang penuh dengan
pragmatis-kongkret, tensinya mengalahkan pragmatis-abstrak. Seandainya manusia
tahu secara kongkret keutamaan Ramadan, niscaya mereka akan menginginkan
setahun dijadikan Ramadan semua. Andai Tarawih langsung dapat mobil, pasti
masjid penuh sesak dengan jemaah. Mungkin takmirnya harus menggelar tikar di
halaman masjid karena di dalam tidak muat. Andai pula ada tingkatan-tingkatan
hadiah sesuai tingkat kekhusyukannya, niscaya manusia berlomba-lomba untuk
khusyuk. Yang tak biasa khusyuk akan berusaha mengkhusyuk-khusyukkan diri
sampai nangis pun bisa diciptakan. Ibarat calon bintang sinetron yang belajar
ekting menangis. Coba bayangkan! Misal bonus yang tiwarkan Tuhan: yang
khusyuknya minim dapat becak motor Viar,
yang khusyuknya setengah-setengah dapat mobil Carry, yang khusyuknya
sangat bagus dapat mobil Avanza, yang di atas itu lagi dapat mobil Innova. Tak
terbayang, masjid akan ramai penuh sesak seperti sesaknya Kantor Pos ketika
sedang pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Harus dijadikan kesadaran bagi setiap kita bahwa kematian
itu nyata. Tarawih adalah salah satu pesangon ke alam kubur, alam penantian menuju akhirat, entah sampai berapa abad lamanya. Kemudian kehidupan di alam
akhirat tak akan mengenal ujung lagi, hanya ada dua hunian: surga atau neraka.
Target ibadah dengan mengharap surga dan takut neraka, masih sangat efektif dan
efisien untuk dipropagandakan pada masyarakat awam dalam menggugah nurani
mereka. Mempropagandakan konsep sufinya Rabi’ah Al-Adawiyah dirasa sangat sulit
untuk digubris, karena paradigma penghayatan keagamaan mereka masih
pragmatis-materealistis-imbalan. Level Rabi’ah sudah pada al-hubb (cinta).
Ibadahnya berlandaskan cinta Tuhan, bukan apa-apa. Andai ia beribadah karena
ingin surga-Nya, ia memohon untuk tidak dimasukkannya, dan bila ia beribadah
karena takut pada neraka-Nya, ia memohon untuk dimasukkan ke dalamnya. Target
ibadahnya hanya demi yang dicintai, yaitu Tuhan. Tuhan mau memberi balasan apa
saja padanya, dia rela menerima. Itulah gambaran cinta sejati seorang hamba
pada Tuhannya. Tak seperti cinta muda-mudi yang rada-raga gombal dan modus: ada
uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.
Selanjutnya, konsentrasi kita arahkan pada hal-hal yang pragmatis-kongkret,
ke pasar. Pada awal-awal Ramadan, volume pengunjung pasar normal, seperti
biasanya. Harga-harga pun relatif normal. Semakin tua umur Ramadan, pengunjung
pasar makin ramai. Data statistiknya tentu naik. Andai dibagi tiga juga seperti
Ramadan akan menunjukkan kekontrasan. Pada sepuluh terakhir Ramadan, pengunjung
pasar makin membeludak. Sepertinya pasar memiliki daya pikat yang luar biasa. Tak
peduli panas, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja berbagai
kebutuhan hari raya, dari kebutuhan dapur hingga baju baru buat fashion show
massal di hari raya nanti. Hari raya lazimnya sebagai momen serba fitri: jiwa
fitri dengan Ramadan dan zakat fitrah, dan raga pun difitrikan dengan baju
baru.
Daya tarik masyarakat untuk berbelanja baju baru jauh lebih menggoda
ketimbang keistimewaan pahala Tarawih yang abstrak. Mereka rela mengelurkan pundi-pundi
rupiahnya demi memborong baju baru. Hal ini menjadi kesempatan baik bagi para
pedagang untuk meraup untung besar. Pedagang kadang menjahili pembeli yang
rada-rada tidak tahu perkembangan harga barang dan keceplosan ketika menanyakan
harga baju. Saking ambisinya, salah cara menawar: “Ada baju yang mahal?” Kesalahan
inilah kadang dimanfaatkan oleh pedagang untuk mengelabuhi pembeli. Mestinya:
“Ada baju yang bagus dan murah?”.
Bisa dibayangkan, andai di hari raya sebagian masyarakat tidak punya baju
baru, khususnya kaum hawa, betapa galaunya dia. Nyaris tidak punya kebanggaan
diri. Sepertinya dunia ini tak memberi kebebasan banyak untuk berlambai-lambai
di hari raya. Puasanya seakan gagal
parah. Serasa tidak kembali ke fitrah. Ditambah lagi kesan: hari raya tak punya
baju baru, apa kata tetangga? Kesan semacam ini sudah mendarah-daging.
Inilah salah satu yang memotivasi masyarakat untuk berbondong-bondong berbelanja
ke pasar. Pasar ibarat musim haji di Mekkah, penuh sesak. Bahkan jadwal buka
pasar ditambah dari hari biasanya. Seumpama hari raya jatuh pada hari Jumat, dan
pasar itu jadwal bukanya hari Rabu, maka hari Kamis pasar tersebut digelar
kembali, sehari jelang hari raya. Orang kampung menamainya Pasar Katok.
Kecenderungan konsumtif itu saya kira normal, manusiawi, yang penting bisa
mengukur diri.
Begitulah fenomena sebagian banyak masyarakat kita. Belum mencapai
keseimbangan antusiasme kebutuhan rohani dengan menghidupkan ibadah Ramadan secara
maksimal bibandingkan kebutuhan jasmani untuk berbelanja ke pasar. Terjadi
kontroversi pasang surut di antara keduanya. Shalat Tarawih makin hari makin
ditinggalkan jemaah, sedangkan pasar makin dipenuhi pengunjung. Langkah untuk
menggapai keseimbangan di antara keduanya harus membangun kesadaran bahwa kita
makhluk jasmani-rohani dan makhluk dunia-akhirat. Ingat, kefitrahan seseorang tidak ditentukan oleh baju baru, tapi oleh bertambahnya ketakwaan. Ada sebuah ayat sebagai
pegangan dan pilihan: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman
dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa
mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [07]:
96). Wallah a’lam.
Sumenep, 19 Ramadan 1436 H/6 Juli 2015 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar