M. Khaliq Shalha
Wahyu secara bahasa memiliki banyak cakupan
dilihat dari subjeknya. Pertama, ilham fitrah (al-ilham al-fithri)
untuk manusia biasa, seperti yang diberikan Allah pada ibu Nabi Musa. “Dan Kami
wahyukan (ilhamkan) kepada ibunya Musa: ‘Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau
khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil)...’.” (QS.
Al-Qashash [28]: 7).
Kedua, ilham naluri (al-ilham al-gharizi) untuk
hewan, seperti pada lebah. “Dan Tuhanmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah:
“Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat
yang dibikin manusia’.” (QS. An-Nahl [16]: 68).
Ketiga, isyarat cepat berupa suatu petunjuk, seperti
yang dilakukan Nabi Zakaria pada kaumnya. “Maka dia keluar dari mihrab menuju
kaumnya, lalu dia mewahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; bertasbihlah kamu
pada waktu pagi dan petang.” (QS. Maryam [19]: 11).
Keempat, rayuan negatif setan dalam jiwa manusia. “Sesungguhnya
setan-setan akan mewahyukan (membisikkan) kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu…” (QS. Al-An’am [06]: 121).
Kelima, suatu instruksi Allah kepada para malaikat-Nya
untuk melakukan sesuatu. “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang
telah beriman...”. (QS. Al-Anfal [08]: 12).
Sedangkan wahyu menurut istilah, Muhammad Abduh
mengatakan, pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya dan orang itu
yakin bahwa ia dari Allah, baik dengan perantara atau tidak. Muhammad Abdul
Azhim Az-Zarqani mengartikan, pemberitahuan Allah pada hamba-hamba pilihan-Nya
atas setiap yang Dia kehendaki untuknya berupa ragam hidayah dan ilmu secara cepat
serta rahasia di luar kebiasaan manusia.
Di atas juga disebut kata ilham, artinya pentransferan
sesuatu ke dalam hati yang membuat dada menjadi lapang yang Allah khususkan
pada hamba pilihan-Nya. Ilham dimaksudkan pada setiap sesuatu yang tertransfer
ke dalam hati, baik berupa makna-makna atau pikiran. Menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani
dalam Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an dikatakan, transfer sesuatu yang
khusus ke dalam hati, datangnya dari Allah atau malaikat.
Lalu apa perbedaan antara wahyu dan ilham? Secara
umum keduanya merupakan jalan pengajaran Allah pada hamba-Nya. Secara khusus,
wahyu tertentu pada para nabi dan rasul-Nya, sedangkan ilham berlaku umum pada
setiap mukmin menurut kadar dan tingkat keimanannya, seperti halnya ulama dan
aulia. Begitulah menurut sebagian ulama.
Wahyu secara istilah, terbatas pada para nabi dan
rasul. Apabila masa kenabian dan kerasulan telah selesai pengangkatannya,
secara otomatis wahyu tersebut selesai. Dengan terutusnya Nabi SAW sebagai nabi
dan rasul terakhir, maka wahyu Tuhan rampung pula sampai di situ. Kumpulan
wahyu Nabi SAW termuat dalam Al-Qur’an dan hadis sebagai warisan beliau untuk
pedoman umat manusia sampai kiamat tiba. Sedangkan ilham dengan bahasa lain:
gagasan, ide, inspirasi atau yang semakna dengannya tetap diturunkan hingga
akhir zama. Melihat makna wahyu secara bahasa di atas, ada al-ilham
al-fithri (selanjutnya saya sebut inspirasi) untuk manusia secara umum. Hal
ini penting untuk dibahas, melihat turunnya untuk siapa saja dan di mana saja.
Walaupun kesimpulan di atas hanya pada hamba Allah yang beriman, seperti ulama
dan ualia, namun kenyataannya tidak, mengingat cakupan inspirasi itu umum dan
berlaku umum bagi semua manusia selaku hamba Allah, baik yang taat atau tidak.
Salah satu bukti inspirasi ini berlaku umum, misal,
munculnya para penulis atau peneliti dengan karya monumental mereka dari
kalangan muslim dan non muslim. Inspirasi bisa muncul secara tiba-tiba atau karena
dicari melalui observasi yang dilakukan, namun keinginan untuk melakukan
observasi tersebut termasuk inspirasi pula. Dengan begitu, cara pandang
teologis Qadariyah dan Jabariyah harus kita kolaborasikan agar
tidak bingung di tengah-tengah kenyataan, sehingga apa yang tampak merupakan pertautan
Kuasa Tuhan dan kuasa manusia yang diberikan Tuhan berupa suatu potensi dalam
dirinya. Terciptanya berbagai teori ilmiah dan teknologi mutakhir dengan
berbagai bentuknya merupakan buah dari inspirasi. Tak terbayang hebatnya, misal,
penemuan di bidang alat transportasi (darat, laut dan udara) dan alat informasi
juga komunikasi yang ada di depan mata kita, lagi-lagi, itu karena inspirasi
tiada henti diberikan kepada manusia.
Selanjutnya, pembahasan saya arahkan pada aktivitas
sepele umat Islam sehari-hari. Ada dua hal secara otomatis memantik derasnya
inspirasi, yaitu ketika sedang shalat dan di WC. Yang pertama, muncul tidak
pada tempatnya. Hal ini mengherankan, kenapa sebelum shalat pikiran tidak ke
mana-mana, namun ketika mulai takbiratul ihram, hati dan pikiran
langsung menonton “tayangan layar lebar” berbagai peristiwa? Bisa pikiran langsung
terbayang ke pasar, tegalan, toko, kampus dan sebagainya. Bisa pula muncul
sebuah gagasan untuk merintis usaha dan lainnya. Tidak ada kaitannya dengan
kemaslahatan shalat. Apakah inspirasi semacam ini termasuk inspirasi liar versi
setan, seperti pada nomor empat di atas, atau malaikat pada nomor satu itu? Inspirasi dalam shalat yang bukan kepentingan shalat tergolong inspirasi
negatif. Inspirasi itu dari setan yang disebut yuwaswis (bisikan). Hendaknya
segera tepis jauh-jauh. Jika konten inspirasinya baik dan bisa ditindaklanjuti,
bukan sebatas lamunan belaka, hal itu tetap setan yang membawanya, hasil
mencuri data (copy paste ilegal) dari malaikat, lalu “diputar” pada
benak orang yang sedang shalat. Perlu diingat, melaksanakan shalat itu bukan
untuk mencari inspirasi, tapi murni taqarrub pada Allah dengan penuh
khusyuk. Shalat adalah barometer utama kualitas seorang muslim. Allah mengecam celaka
pada orang-orang yang lalai dalam shalatnya, seperti yang terdapat dalam surat
Al-Ma’un [107]: 5.
Demikian pula halnya ketika sedang di WC. Heran! Inspirasi
lancar mengalir, bahkan membuat orang betah di dalamnya, jauh lebih betah
ketimbang iktikaf di masjid. Lumayan untuk mengonsep puisi, cerpen, novel atau
karya tulis ilmiah, atau agenda kerja lainnya. Berlama-lama di WC itu makruh, terutama di WC
umum. Banyak orang antre di luar. Afdalnya, bila sudah selesai “print out”
secara sempurna, segeralah keluar.
Inspirasi yang mucul di WC yang dominan berupa lamunan,
sulit ada tindak lanjutnya, dan ada kemungkinan pula inspirasi bagus dari
malaikat, karena tidak kontroversi dengan ritual syariat lainnya, beda dengan
ketika shalat. Seandainya Anda mendapat inspirasi jitu di WC lalu Anda tindak
lanjuti dengan menulis buku, ketika diadakan acara bedah buku, tak terlalu malu
bila Anda mengatakan: “Inspirasi awal buku ini saya peroleh ketika saya sedang
di WC,” ketimbang “sedang shalat.” Versi terakhir, Anda berarti lalai dalam
shalat.
Suatu hal yang perlu saya tawarkan dalam tulisan
sederhana ini, yaitu upaya mengkonversi kondisi psikologi dalam shalat dan WC yang
kaya inspirasi liar pada tempat yang benar, yaitu ke depan laptop, tablet,
HP, buku harian dan lainnya, sehingga bisa produktif berkarya ataupun bijaksana
dalam menyikapi persoalan hidup yang membutuhkan penanganan serius. Selamat
mencoba! Wallah a’lam.
***
Sumenep, 24 Ramadan 1436 H/11 Juli 2015 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar