Sabtu, 04 Juli 2015

SELAMAT ULANG TAHUN AL-QUR’AN


M. Khaliq Shalha


Memori Nuzulul Qur’an
Sebagaimana kita maklum, dalam literatur Ulumul Qur’an dan Sejarah Islam bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan dua tahap penurunan. Pertama,  diturunkan oleh Allah sekaligus (secara lengkap) pada 17 Ramadan malam Lailatul Qadar dari Al-Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izza di Samaid Dunya (Langit Dunia). Kedua, diturunkan dari Langit Dunia ke Dunia secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari suatu surat atau berupa satu surat pendek lengkap. Permulaan turunnya pada malam itu juga.

Selama bulan Ramadan, sekitar tahun 620 M, seorang pedagang asal Mekkah mengalami sesuatu luar biasa yang akan mengubah sejarah dunia. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah. Pada setiap tahun, Muhammad bersama istri dan keluarganya pergi ke gua Hira’ di lembah Mekkah untuk berkhalwat. Hal ini merupakan kebiasaan umum di Jazirah Arab pada saat itu. Muhammad Mengisi waktu sebulan itu dengan berdoa dan memberi sedekah kepada kaum miskin yang mengunjunginya dalam penyucian itu.

Sebagian orang Arab percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang juga dipuja oleh orang Yahudi dan Nasrani. Namun berbeda dengan penganut Injil, orang Arab sadar bahwa Tuhan tidak pernah mengirim mereka suatu wahyu atau kitab sendiri, meskipun mereka memiliki tempat suci-Nya—berupa Ka’bah—di tengah-tengah mereka sejak waktu yang tak dapat diperkirakan. Orang Arab yang berhubungan dengan orang Yahudi merasa rendah diri: kesannya Tuhan menyisihkan bangsa Arab dari rencana Agung-Nya. Namun kesan ini berubah pada malam ke-17 Ramadan, ketika Muhammad terbangun dari tidurnya di gua Hira’ dan merasakan kehadiran sesuatu yang agung. Pada saatnya nanti dia akan menjelaskan pengalaman yang sukar dilukiskan ini dengan mengatakan bahwa sesosok malaikat telah menyelubunginya dalam pelukan yang erat sehingga terasa sesak nafas. Malaikat itu memberikan perintah tegas: “Iqra! (Bacalah!): Muhammad memprotes karena dia tidak dapat membaca, dia bukan kahin (orang pintar), bukan pula Nabi Arab. Namun, katanya, malaikat itu terus memeluknya sampai batas ketahanannya hampir habis, kata-kata suci seperti wahyu keluar dari mulutnya. Kalam Tuhan terucap pertama kalinya di Arab dan Tuhan akhirnya mewahyukan kepada bangsa Arab dengan bahasa mereka.

Pelukan erat malaikat Jibril kepada Muhammad—kalau dibahasakan dengan bahasa teknologi kontemporer sekarang—ibaratnya Jibril sedang mengaktifkan perangkat bluetooth Muhammad untuk selanjutnya dilakukan transfer data (wahyu) dalam benaknya. Karena data itu kapasitasnya amat besar, maka perangkat diri Muhammad hampir kehilangan kekuatan untuk menerimanya. Pada waktu itu wahyu pertama yang berhasil ditransfer surat Al-‘Alaq [96]: 1-5: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” Dengan turunnya wahyu pertama ini, Muhammad telah resmi dilantik Tuhan menjadi Nabi, “Nabi Muhammad”, tapi belum menjadi Rasul karena belum ditugaskan untuk menyampaikan apa yang ia terima. Baru setelah turun wahyu kedua beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, berupa surat Al-Muddatstsir [74]: 1-7: “Wahai orang yang berkemul (berselimut)! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan agungkanlah Tuhanm, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) dosa yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” Dengan turunnya wahyu kedua ini Muhammad resmi dilantik oleh Tuhan sebagai “Muhammad Rasulullah”.

Turunnya Al-Qur’an kadang kala dilatarbelakangi oleh sesuatu (asbabun nuzul) kadang kala tidak. Ayat-ayat yang memiliki asbabun nuzul pada umumnya berupa ayat-ayat hukum (tasyri’iyyah). Turunnya ayat-ayat itu adakalanya berupa peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam, adakalanya pertanyaan dari kalangan sahabat Nabi atau dari kalangan lainnya yang ditujukan pada Nabi. Sedangkan ayat-ayat yang turun tanpa didahului asbabun nuzul lebih banyak jumlahnya, misalnya ayat-ayat tentang ihwal umat-umat terdahulu beserta para Nabinya, menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, menceritakan hal-hal yang gaib yang akan terjadi atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksa neraka. Sedangkan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 12 tahun, 5 bulan, dan 13 hari ketika Nabi masih tinggal di Mekah, sebelum hijrah ke Madinah (Yatsrib) dan 9 tahun, 9 bulan, dan 9 hari ketika beliau hijrah ke Madinah.

Mengenal Al-Qur’an Lebih Dekat
Selamat ulang tahun (happy birthday) untuk Al-Qur’an tidak lumrah kita dengar. Tidak lazim kita ucapkan: “Selamat ulang tahun Al-Qur’an. Semoga panjang umur!” Al-Qur’an dijamin oleh Tuhan berumur panjang, unlimited sampai akhir zaman kelak. Berbeda dengan umur manusia yang sangat terbatas (limited). “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9). Keterpeliharaan Al-Qur’an dapat dilihat secara antropologis: dengan banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang mampu menjaga keotentikan Al-Qur’an; banyaknya mushaf standar yang dicetak dan dikenal secara mutawatir seantero dunia di kalangan umat Islam hingga tidak ada peluang adanya pemalsuan dari orang-orang yang sengaja jahil sekalipun. Kemudian secara teologis: bahwa Tuhan tidak akan membiarkan orang-orang yang ingin memalsukan dan memusnahkan Al-Qur’an di muka bumi ini. Usaha manusia ke arah itu akan sia-sia belaka. Aspek antropologis memiliki korelasi yang kokoh dengan teologis, di antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Itulah wujud pemeliharaan Tuhan terhadap Al-Qur’an.

Sudah menjadi budaya di kalangan umat Islam bahwa setiap tanggal 17 Ramadan diperingati hari ulang tahun turunnya Al-Qur’an yang disebut dengan Peringatan Nuzulul Qur’an. Tujuannya, saya kira, untuk memupuk kecintaan umat pada ajaran Al-Qur’an. Secara fisik, Al-Qur’an terjamin keberadaannya, tetapi secara penghayatan pada ajarannya perlu selalu dipupuk agar kecintaan umat padanya tidak pupus di tengah-tengah globalisasi dengan pernak-perniknya yang semakin menjadi-jadi.

Tak cukup Al-Qur’an sekadar pajangan di rumah, sebagai azimat pengusir jin dan kuntilanak, dan baru dibaca apabila ada undangan di tetangga pada acara selamatan empat bulan kehamilan, misalnya, sementara perilaku umat semakin jauh dari tuntunannya. Nilai-nilai Al-Qur’an perlu dibumikan, karena tujuan pokok Al-Qur’an memang untuk penduduk bumi sebagai petunjuk hidup dalam persoalan akidah, akhlak dan hukum, sebagaimana disimpulkan oleh ulama tafsir Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an. Nilai-nilai Al-Qur’an bisa mendarah-daging bila Al-Qur’an itu dicintai oleh manusia. Semakin dalam cinta manusia padanya, semakin hidup nilai-nilai Al-Qur’an dalam dirinya. Saya rasa energi cinta itu luar biasa menggerakkan jiwa dan raga manusia dalam situasi dan kondisi apa pun.

Bagaimana menumbuhkan rasa cinta pada Al-Qur’an? Banyak cara. Konsepnya sederhana dan populer. Peribahasa lama mengatakan “Laisal mahabbah bi ghairit ta’aruf (Tak kenal maka tak sayang).” Pengertian baliknya, untuk bisa mencintai sesuatu harus mengenalnya. Mengenal profil Al-Qur’an dalam berbagai aspeknya akan menumbuhkan kecintaan pada Al-Qur’an.

Dari mana akan dimulai perkenalan dengan Al-Qur’an? Dari doktrin dulu pada anak semenjak usia dini bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci sebagai pedoman hidup. Bersamaan dengan itu anak diajari membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai kaidah yang berlaku. Setelah itu anak sudah bisa belajar Ulumul Qur’an dari berbagai aspeknya.

Kalangan kita paling populer berkenalan dengan Al-Qur’an pada level minimalis, yaitu mahir membaca. Itu sudah untung, ketimbang tidak mengenal sama sekali. Membaca Al-Qur’an tanpa tahu maknanya—apalagi paham—sudah bernilai ibadah. Efeknya pun besar pada kepribadian dan kesehatan daya pikir seseorang sampai tua renta. Ibarat dalam dunia komputer, membaca Al-Qur’an itu bagai anti virus yang menjaga keeroran otak. Bahkan orang yang istikamah membaca Al-Qur’an selama hidupnya, mayatnya di alam kubur akan awet, tak dimakan ulat dan tanah. Ada bukti—kasuistik, butuh penelitian lebih lanjut—pada mayat guru ngaji Al-Qur’an generasi kakek-nenek saya, ketika keburannya diperbaiki karena puruk (lubang akibat air hujan) dan akan diganti batu nisan yang permanen, ternyata mayat itu masih utuh. Di samping itu pula, membaca Al-Qur’an bisa mendatangkan ketenangan jiwa.

Untuk menambah rasa cinta, setelah bisa rajin membaca, walau tidak tahu pada artinya, selayaknya ditingkatkan pada pemahaman makna. Bisa mengambil cara instan, jika tidak punya kesempatan, atau secara lebih detil bagi kalangan pelajar atau santri yang masih punya banyak waktu mempelajari ilmu Al-Qur’an. Cara instan dimaksud, menggunakan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan terjemahnya. Zaman sekarang mempelajari makna Al-Qur’an dengan cara ini sudah sangat mudah, asal mau saja. Banyak terbitan Al-Qur’an yang kontennya komplit. Dari terjemah perkata, perkalimat dan tafsirnya. Selain itu pula dilengkapi panduan tajwid dan warna-warni untuk kata-kata tertentu. Sangat membantu pecinta Al-Qur’an untuk lebih mengenalnya secara dekat.

Bagi kalangan yang masih cukup banyak waktu mempelajarai sastra Arab dan Ulumu Qur’an, hendaknya gunakan waktu sebaik-baiknya. Sangat diperlukan pula kemampuan membaca kitab-katab tafsir dengan ragam jenisnya, baik kitab tafsir yang menggunakan metode (manhaj) tafsir bil ma’tsur (riwayat) atau tafsir bir ra’y (penalaran) yang bentuk-bentuknya meliputi metode tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Selain metodenya beragam, juga aspek kecenderungan (ittijah) beragam pula, misalnya kecenderungan pada lughawi (Nahwu-Sharaf, misal), tasawuf, hukum, filsataf, logika, ilmiah (sains) atau lainnya. Salah satu contoh, Tafsir Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhruddin Ar-Razi, metodenya tahlili-muqaran dan kecenderungannya pada filsafat, logika dan ilmiah.

Ada salah satu cara pula yang sangat mungkin ditempuh, dengan mengkaji buku-buku tafsir dan kajian Al-Qur’an karangan M. Quraish Shihab, seperti Tafsir Al-Mishbah, 1-15, Membumikan Al-Qur’an, 1-2, Mukjizat Al-Qur’an, Wawasan Al-Qur’an, Secercah Cahaya Al-Qur’an, dan Lentera Al-Qur’an. Buku-buku ini sangat membantu secara mudah mengenal Al-Qur’an lebih dekat. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana, namun sangat argumentatif, informatif sekaligus inspiratif mampu membuat pengkaji buku-buku ini menjadi betah membacanya, sekalipun beratus-ratus halaman. Dijamin tensi cinta Anda pada Al-Qur’an makin dalam dan kokoh. Menghasilkan karya-karya seperti itu bukan pekerjaan yang mudah hingga bisa dikonsumsi secara instan oleh masyarakat umum.

Bila setiap kita bisa menginstal nilai-nilai Al-Qur’an dalam jiwa dan raga, niscaya hidup kita menjadi berkah. Haqqul yaqin. Demikian tulisan sederhana ini sebagai kado Peringatan Nuzulul Qur’an tahun 1436 H. Wallah a’lam.

Sumenep, 17 Ramadan 1436 H/04 Juli 2015 M













Tidak ada komentar:

Posting Komentar