M. Khaliq Shalha
“Bang
Toyib
Bang Toyib
Mengapa tak pulang
pulang
Anakmu anakmu panggil panggil namamu
Bang Toyib
Bang Toyib
Kapankah Abang kan pulang
Anakmu anakmu rindu ingin bertemu
Bang Toyib
Bang Toyib
Bang Toyib
Kapankah Abang kan pulang
Anakmu anakmu rindu ingin bertemu
Bang Toyib
Bang Toyib
Tiga kali puasa
Tiga kali lebaran
Abang tak pernah pulang
Sepucuk surat pun tak datang
Tiga kali lebaran
Abang tak pernah pulang
Sepucuk surat pun tak datang
Sadar sadarlah
Abang ingat anak istrimu
Cepat cepatlah pulang semua rindukan dirimu
Kalau di jalan yang benar selamatkanlah dia
Kalau di jalan yang salah sadarkanlah dirinya.”
Cepat cepatlah pulang semua rindukan dirimu
Kalau di jalan yang benar selamatkanlah dia
Kalau di jalan yang salah sadarkanlah dirinya.”
(Ade Irma)
Mudik sudah menjadi khazanah
bangsa Indonesia,
khususnya umat Islam Nusantara. Agenda pulang kampung jelang lebaran menyita
perhatian serius bagi para perantau di berbagai akses: “dalam pulau dalam
provinsi”, “dalam pulau antar provinsi”, “antar pulau dalam provinsi”, “antar
pulau antar provinsi” dan “antar negara”. Tak pelak media massa
ikut andil meramaikannya dengan mengambil segmen khusus mudik lebaran yang
penuh warna untuk diliputnya, khususnya di tempat-tempat strategis dan jalur
padat Pantai Utara (Pantura) Jawa yang bergerak dari pusatnya, ibukota Jakarta.
Kegiatan mudik adalah kegiatan
integritas kemanusiaan dari berbagai aspeknya: jiwa, raga dan ekonomi. Dengan
tujuan mengembalikan ke khitthah spirit tumpah darahnya di mana mereka
dilahirkan dulu, sehingga tidak kehilangan wajah kemanusiaannya. Mereka rela mengorbankan
banyak biaya, waktu dan tenaga. Hendaknya hati-hati sepenuhnya, menghindari
terjadinya korban kecelakaan dan semacamnya.
Merayapnya para pemudik sejak H-7
bisa dimaknai sebagai bentuk ekspresi panggilan jiwa untuk segera menuju
kampung halaman setelah mereka diberi cuti kerja oleh instansi di mana mereka
bekerja atau setelah mereka berkelut dengan dunia usaha pribadinya. Target
utama mereka bisa sampai ke kampung halaman dengan selamat dan bisa berkumpul
bersama kerabat, tetangga dan teman sepergurauan dulu pada masa kecil.
Kampung halaman merupakan hakikat
mendasar dan akar rumput dari slogan “Indonesia Tanah Airku”. Di kampung
halamanlah mereka punya tanah sendiri di mana gubuknya mereka dirikan, dan air bersih
begitu mudah didapat dengan gratis. Belum tentu di rantau sana kondisinya demikian. Lazimnya tempat
tinggal mereka ngontrak dan air harus membeli.
Namun, tak semua perantau mudah
untuk pulang kampung. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhinya. Suatu hal yang tak bisa dipungkiri oleh
kita bahwa kehidupan ini dalam satu sisi misterius. Perolehan rezeki antara
manusia yang satu dengan lainnya tidak sama. Pekerjaan boleh sama, namun
untungnya belum tentu sepadan. Usaha orang lain mudah ditiru, tapi keberhasilan
amat sulit disamkan. Orang kampung mengatakan: “Mun pangara padha, tape
pangaro tak padha (Keinginan sama, tapi bejo tidak sama).” Jatah rezeki
tergolong a misterius problem (perkara misteri). Tak percaya? Betapa
banyak orang yang begitu getol berusaha, tapi selalu gagal. Banyak pula orang
yang tak segetol itu, namun rezekinya lancar-lancar saja. Statemen ini saya
maksudkan sekadar membaca fenomena sosial, bukan mengajak Anda untuk
bermalas-malasan. Justru dengan ketidakpastian ini membuat kehidupan berjalan
dinamis.
Pada saat-saat belum bejo dalam
merintis usaha di rantau nan jauh di sana,
kadang menjadi faktor utama bagi seseorang tidak bisa mudik, padahal sangat menginginkannya.
Siapa yang tidak ingin mudik? Sekadar ongkos pulang tidak punya cukup anggaran.
Terpaksa berhari raya di perantauan. Dia berusaha menahan jeritan jiwa dengan
pikiran hampa, dan getir di momen di mana orang-orang lazimnya setelah turun
dari shalat Idul Fitri segera beranjak ke rumah famili bersama keluarga, bersilaturrahmi
dengan penuh riang gembira dan canda tawa. Sementara dia, mungkin hanya bisa
menatap langit mendung dari celah jendela gubuk reot kontrakannya. Sudah tiga
kali puasa, tiga kali lebaran tidak pulang pulang. Heks, heks…!!! *) Tisu,
mana tisu? Dalam kesunyiannya mungkin
dia hanya bisa berdoa: “Tuhan, jadikan anak cucuku kelak murah rezeki.”
Lirik lagu Bang Toyib, gubahan
Ade Irma di atas, bukan sekadar lagu,
tapi syarat kritik sosial dan nilai moral. Menampilkan sebuah potret kehidupan
yang sangat mungkin masih dirasakan oleh sebagian saudara-saudara kita di rantau
dan di kampung. Merindukan kedatangan sosok kepala rumah tangga, sebut saja
Bang Toyib, dari rantau sana
yang sudah begitu lama tidak pulang. Di tambah lagi putus kontak. Sepucuk surat pun tak melayang,
SMS pun tak terkirim, apalagi pesan lewat inbox facebook. Mungkin Bang
Toyib gagap teknologi. Keluarga yang baik di rumah tak putus harap mendoakannya
dengan penuh dedikasi. Bila berada di jalan yang benar, semoga diselamatkan,
mungkin dia tidak punya ongkos untuk pulang. Dan, bila berada di jalan yang
salah, semoga disadarkan. Kondisi seperti ini membuat istrinya mati langkah.
Tidak ada angin tidak ada hujan, ke mana dia hendak mergerak?! Sementara anaknya
menangis terisak-isak di pangkuannya sambil memanggil nama bapaknya.
Bagi para perantau yang tidak
memungkinkan mudik, apa pun alasannya, setidaknya tidak putus komunikasi dengan
keluarganya di kampung. Menyapa lewat SMS, atau berbicara lewat telepon.
Mengirim uang jika mungkin, walau kiriman materi tak cukup mengobati rasa rindu
mereka, tak bisa sepadan kesempurnaannya ketika ia di sisi mereka. Jalinan
komunikasi amat berarti dalam perantauan. Sebisa mungkin kondisinya tak separah
nasib Bang Toyib.
Merupakan suatu kebahagiaan
apabila di hari raya bisa berkumpul bersama keluarga besar dari masing-masing anggota
keluarga dengan menampilkan dan menikmati apa adanya. Dan, merupakan suatu
keironisan yang memilukan manakala hari fitri digunakan sebagai ajang pameran
kekayaan yang diperoleh dari rantau sana.
Pameran kendaraan, baju, perhiasan, gadget dan sebagainya. Momen hari
raya tak ubahnya fashion show hampa nilai. Jika seperti itu suasananya,
nilai-nilai silaturrahmi menjadi pupus berantakan, nyaris tak berkeping. Maka
akan banyak sekat antara perantau yang bejo dengan yang tidak, demikian pula
dengan penduduk yang bukan perantau.
Momen Idul Fitri mengembalikan
jati diri kemanusiaan yang fitrah (alami) menjadi fitrah kembali, yang selama
ini mungkin sudah terkontaminasi oleh sifat, sikap dan perilaku keangkuhan,
keserakahan, kemunafikan di tengah-tengah memperjuangkan kepentingan pribadinya.
Dulu, waktu kecil, di kampung halaman ini, kita hidup fitrah: polos, tak
berdosa, apa adanya. Di saat Idul Fitri, kita mengembalikan kepolosan itu
bersama keluarga tercinta, tetangga dan kawan lama. Dari itulah arti penting
mudik menjadi sangat nyata. Wallah a’lam.
***
Sumenep, 25 Ramadan
1436 H/12 Juli 2015 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar