Minggu, 12 Juli 2015

BANG TOYIB INGIN MUDIK


M. Khaliq Shalha



Bang Toyib
 Bang Toyib
Mengapa tak pulang pulang
 Anakmu anakmu panggil panggil namamu

Bang Toyib
Bang Toyib
 Kapankah Abang kan pulang
Anakmu anakmu rindu ingin bertemu
Bang Toyib
Bang Toyib

Tiga kali puasa
Tiga kali lebaran
 Abang tak pernah pulang
Sepucuk surat pun tak datang

Sadar sadarlah Abang ingat anak istrimu
Cepat cepatlah pulang semua rindukan dirimu
Kalau di jalan yang benar selamatkanlah dia  
Kalau di jalan yang salah sadarkanlah dirinya.

(Ade Irma)


Mudik sudah menjadi khazanah bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Nusantara. Agenda pulang kampung jelang lebaran menyita perhatian serius bagi para perantau di berbagai akses: “dalam pulau dalam provinsi”, “dalam pulau antar provinsi”, “antar pulau dalam provinsi”, “antar pulau antar provinsi” dan “antar negara”. Tak pelak media massa ikut andil meramaikannya dengan mengambil segmen khusus mudik lebaran yang penuh warna untuk diliputnya, khususnya di tempat-tempat strategis dan jalur padat Pantai Utara (Pantura) Jawa yang bergerak dari pusatnya, ibukota Jakarta.

Kegiatan mudik adalah kegiatan integritas kemanusiaan dari berbagai aspeknya: jiwa, raga dan ekonomi. Dengan tujuan mengembalikan ke khitthah spirit tumpah darahnya di mana mereka dilahirkan dulu, sehingga tidak kehilangan wajah kemanusiaannya. Mereka rela mengorbankan banyak biaya, waktu dan tenaga. Hendaknya hati-hati sepenuhnya, menghindari terjadinya korban kecelakaan dan semacamnya.

Merayapnya para pemudik sejak H-7 bisa dimaknai sebagai bentuk ekspresi panggilan jiwa untuk segera menuju kampung halaman setelah mereka diberi cuti kerja oleh instansi di mana mereka bekerja atau setelah mereka berkelut dengan dunia usaha pribadinya. Target utama mereka bisa sampai ke kampung halaman dengan selamat dan bisa berkumpul bersama kerabat, tetangga dan teman sepergurauan dulu pada masa kecil.

Kampung halaman merupakan hakikat mendasar dan akar rumput dari slogan “Indonesia Tanah Airku”. Di kampung halamanlah mereka punya tanah sendiri di mana gubuknya mereka dirikan, dan air bersih begitu mudah didapat dengan gratis. Belum tentu di rantau sana kondisinya demikian. Lazimnya tempat tinggal mereka ngontrak dan air harus membeli.

Namun, tak semua perantau mudah untuk pulang kampung. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Suatu hal yang tak bisa dipungkiri oleh kita bahwa kehidupan ini dalam satu sisi misterius. Perolehan rezeki antara manusia yang satu dengan lainnya tidak sama. Pekerjaan boleh sama, namun untungnya belum tentu sepadan. Usaha orang lain mudah ditiru, tapi keberhasilan amat sulit disamkan. Orang kampung mengatakan: “Mun pangara padha, tape pangaro tak padha (Keinginan sama, tapi bejo tidak sama).” Jatah rezeki tergolong a misterius problem (perkara misteri). Tak percaya? Betapa banyak orang yang begitu getol berusaha, tapi selalu gagal. Banyak pula orang yang tak segetol itu, namun rezekinya lancar-lancar saja. Statemen ini saya maksudkan sekadar membaca fenomena sosial, bukan mengajak Anda untuk bermalas-malasan. Justru dengan ketidakpastian ini membuat kehidupan berjalan dinamis.

Pada saat-saat belum bejo dalam merintis usaha di rantau nan jauh di sana, kadang menjadi faktor utama bagi seseorang tidak bisa mudik, padahal sangat menginginkannya. Siapa yang tidak ingin mudik? Sekadar ongkos pulang tidak punya cukup anggaran. Terpaksa berhari raya di perantauan. Dia berusaha menahan jeritan jiwa dengan pikiran hampa, dan getir di momen di mana orang-orang lazimnya setelah turun dari shalat Idul Fitri segera beranjak ke rumah famili bersama keluarga, bersilaturrahmi dengan penuh riang gembira dan canda tawa. Sementara dia, mungkin hanya bisa menatap langit mendung dari celah jendela gubuk reot kontrakannya. Sudah tiga kali puasa, tiga kali lebaran tidak pulang pulang. Heks, heks…!!! *) Tisu, mana tisu?  Dalam kesunyiannya mungkin dia hanya bisa berdoa: “Tuhan, jadikan anak cucuku kelak murah rezeki.”

Lirik lagu Bang Toyib, gubahan Ade Irma  di atas, bukan sekadar lagu, tapi syarat kritik sosial dan nilai moral. Menampilkan sebuah potret kehidupan yang sangat mungkin masih dirasakan oleh sebagian saudara-saudara kita di rantau dan di kampung. Merindukan kedatangan sosok kepala rumah tangga, sebut saja Bang Toyib, dari rantau sana yang sudah begitu lama tidak pulang. Di tambah lagi putus kontak. Sepucuk surat pun tak melayang, SMS pun tak terkirim, apalagi pesan lewat inbox facebook. Mungkin Bang Toyib gagap teknologi. Keluarga yang baik di rumah tak putus harap mendoakannya dengan penuh dedikasi. Bila berada di jalan yang benar, semoga diselamatkan, mungkin dia tidak punya ongkos untuk pulang. Dan, bila berada di jalan yang salah, semoga disadarkan. Kondisi seperti ini membuat istrinya mati langkah. Tidak ada angin tidak ada hujan, ke mana dia hendak mergerak?! Sementara anaknya menangis terisak-isak di pangkuannya sambil memanggil nama bapaknya.

Bagi para perantau yang tidak memungkinkan mudik, apa pun alasannya, setidaknya tidak putus komunikasi dengan keluarganya di kampung. Menyapa lewat SMS, atau berbicara lewat telepon. Mengirim uang jika mungkin, walau kiriman materi tak cukup mengobati rasa rindu mereka, tak bisa sepadan kesempurnaannya ketika ia di sisi mereka. Jalinan komunikasi amat berarti dalam perantauan. Sebisa mungkin kondisinya tak separah nasib Bang Toyib.
  
Merupakan suatu kebahagiaan apabila di hari raya bisa berkumpul bersama keluarga besar dari masing-masing anggota keluarga dengan menampilkan dan menikmati apa adanya. Dan, merupakan suatu keironisan yang memilukan manakala hari fitri digunakan sebagai ajang pameran kekayaan yang diperoleh dari rantau sana. Pameran kendaraan, baju, perhiasan, gadget dan sebagainya. Momen hari raya tak ubahnya fashion show hampa nilai. Jika seperti itu suasananya, nilai-nilai silaturrahmi menjadi pupus berantakan, nyaris tak berkeping. Maka akan banyak sekat antara perantau yang bejo dengan yang tidak, demikian pula dengan penduduk yang bukan perantau.

Momen Idul Fitri mengembalikan jati diri kemanusiaan yang fitrah (alami) menjadi fitrah kembali, yang selama ini mungkin sudah terkontaminasi oleh sifat, sikap dan perilaku keangkuhan, keserakahan, kemunafikan di tengah-tengah memperjuangkan kepentingan pribadinya. Dulu, waktu kecil, di kampung halaman ini, kita hidup fitrah: polos, tak berdosa, apa adanya. Di saat Idul Fitri, kita mengembalikan kepolosan itu bersama keluarga tercinta, tetangga dan kawan lama. Dari itulah arti penting mudik menjadi sangat nyata. Wallah a’lam.   
***

Sumenep, 25 Ramadan 1436 H/12 Juli 2015 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar