M. Khaliq Shalha
Hukum me(rokok) sudah benderang di kalangan kita,
tapi hukum yang satu ini kadang saling ditarik-ulur dalam tubuh antar
organisasi pegiat sosial keagamaan. Dari mubah menjadi haram, dari haram
menjadi mubah. Gayung bersambut inilah dalam satu sisi menarik disimak yang
terskesan cerdas plus lucu. Namun tulisan remeh-temeh ini akhirnya akan
mengulas sisi keharaman merokok dalam sisi lain.
Kita lihat sekelumit tentang hukum rokok dalam
pandangan bahtsul masail NU. Permasalahan rokok hampir tidak
dibahas dalam forum penetapan hukum pada level pusat organisasi, kemungkinan
besar status hukum rokok, menurut NU, tidak perlu dibahas lagi. NU memahami
sepenuhnya bahwa status rokok telah dibahas oleh para ahli fiqih melalui
karya-karya tulisnya yang tertuang dalam kitab kuning sejak sebelum NU lahir.
Pada muktamar Makassar tahun 2010, Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyah
Waqiiyah, KH. Saefuddin Amsir menyatakan bahwa NU tak perlu meninjau kembali
hukum merokok karena tidak ada ilat (alasan) baru yang menyebabkan perubahan
hukum.
Keputusan Muktamar NU ke-2 di Surabaya, 9 Oktober
1927 memutuskan jual beli mercon (petasan) hukumnya sah. Hukum petasan ini
dianalogikan (ilhaq) pada hukum rokok, dengan landasan beberapa kitab yang
di antaranya Al-Jamal ‘ala Fithil Wahhab: “Dan yang benar dalam ta’lil,
bahwa rokok itu bermanfaat sesuai dengan tujuan dibelinya yaitu untuk
menghisapnya, dan mengingat rokok itu termasuk barang mubah karena tidak ada
dalil yang mengharamkannya, maka saling memberi rokok berarti memanfaatkannya
dalam bentuk yang mubah.”
Alkisah, tahun 1990-an di kota Kretek Kudus digelar
bahtsul masail oleh para kiai NU yang ditempatkan di Masjid Menara
Kudus. Seorang kiai kharismatik, Mbah Tur (Turaichan Adjhuri, 1915-1999) yang
disegani mendatangi forum bahtsul masail yang sedang berlangsung itu.
Ketika mengetahui bahwa yang dibahas adalah hukum rokok, Mbah Tur langsung
meminta rokok, menyalakan api dan menghisap, kemudian beliau berkata, “Kalau
begitu, ayo silakan dibahas.” Apa yang dilakukan oleh beliau merupakan aksi
simbolis bahwa rokok bukan perkara haram. Dalam forum itu tidak ada kiai yang
berpendapat bahwa rokok itu haram. Entah segan dengan Mbah Tur, atau memang tak
ada kiai dalam forum tersebut yang berpendapat bahwa rokok itu haram.
Sebenarnya hukum rokok ini sudah tergolong lagu
lama dan hukumnya sudah benderang dengan beberapa kategori, tapi pada tahun
2010 menjadi isu aktual kembali terkait adanya “kriminalisasi kretek” (pinjam
bahasanya penulis buku NU Smoking). Apa itu? Di Indonesia terjadi polemik
hukum rokok terkait rentetan kampanye antirokok (kretek) yang sudah lebih dulu
diawali sejak tahun 1980-an. Beberapa lembaga swadaya masyarakat pada tahun
2009 dan 2010 terlibat dalam proyek kampanye antirokok tersebut. Kampanye
tersebut terkait rentetan antirokok pada tingkat global. Banyak lembaga donor
mengucurkan dana ke Indonesia untuk membiayai kampanye antirokok itu, beberapa
sudah berjalan sejak 2007. Di antara lembaga donor internasional yang turut
membiayai gerakan antirokok di Indonesia adalah Bloomberg Initiative, sebuah
yayasan yang didirikan mantan walikota New York, Michael Bloomberg pada tahun
2006 yang mengelontorkan dana 125 juta dolar AS—dana itu ya, bukan daun—untuk
secara khusus membiayai kampanye antirokok di negara-negara berkembang, temasuk
Indonesia.
Ada beberapa LSM dan organisasi kemasyarakatan di
Indonesia ikut andil dalam kampanye antirokok, termasuk organisasi keagamaan
untuk digunakan pengaruhnya dalam mendorong kepentingan kampanye tersebut,
salah satunya mengeluarkan fatwa haram rokok. Salah satunya yang menuai polemik
hukum rokok adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat. Tahun 2009, MUI menggelar
pertemuan (ijtima’) di Padang Panjang Sumatera Barat, guna membuat fatwa
haram merokok.
Muhammadiyah, kata penulis NU Smoking,
merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang mendapat kucuran dana dari
Bloomberg untuk proyek “Mobilisasi Dukungan Publik Terhadap Fatwa Agama untuk
Pengendalian Tembakau dan untuk Mendukung Petisi FCTC (Fremework Convention
on Tobacco and Contol)”. Pada Kongres Muhammadiyah tahun 2010 di Malang,
organisasi ini mengambil keputusan melalui Majelis Tarjih tentang hukum haram
merokok. Ada hal lucu setelah kongres tersebut, yaitu teman saya guyonan dengan
Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur. Prof. Syafiq,
dosen saya ini, merokok di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Teman saya menegurnya,
“Kok merokok Pak?” “Supaya tidak dianggap Muhammadiyah, he he he,” jawab
beliau.
Terkait dengan semaraknya keputusan MUI tersebut,
ada satu forum kegamaan lain yang jusru melawan arus, lewat forum bahtsul
masail para kiai NU di Surabaya tahun 2010. Forum ini katanya diinisiasi
oleh KH Aziz Masyhuri, seorang ulama kharismatik, ketua PBNU dan pengasuh
pesantren Al-Aziziyah, Denanyar Jombang. Keputusan hukum dalam forum ini bahwa
rokok hukumnya mubah. Ada beberapa hukum yang dilontarkan oleh para peserta di
hotel Surabaya ini: wajib, mubah, makruh, dan haram. Tidak ada yang sunah ya,
he he he.
Pada dasarnya (asal) rokok itu mubah. Dengan kata
lain, secara dzati (inheren) rokok itu mubah. Sedangkan mengenai varian
hukum lainnya, sesuai situasi dan kondisi atau bersifat sababi (sebab
yang melatarinya). Haram, misal, bila ada keyakinan kuat bahwa dengan merokok
akan merugikan kesehatan. Ibarat orang yang mengidap penyakit hipertensi, haram
mengkonsumsi daging kambing. Orang yang menderita kencing manis, haram
mengkonsumsi gula. Ingat, bahaya rokok dilihat hanya sebatas dugaan (mawhum),
karena data tentang bahaya merokok lebih banyak didasarkan pada riset yang
bersifat hospital-based, bukan populatian-based.
Contoh lainnya, ketika uang yang seharusnya
digunakan untuk membeli kebutuhan pokok atau membayar biaya pendidikan anaknya,
ternyata digunakan untuk mengkonsumi rokok. Sebaliknya, rokok menjadi wajib,
misal, ketika orang tidak merokok, tidak bisa berpikir dan beraktivitas dengan
normal. Kasus KH. Hambali ketika menyela waktu bahtsul masail di Kudus
tahun 1990-an, sebagaimana tersebut di atas bahwa beliau bila tidak menghisap
rokok tidak bisa mengajar. Menanggapi hal tersebut, Mbah Tur mengatakan bahwa
jika seperti itu kondisinya maka merokok wajib hukumnya bagi KH. Hambali.
Jadi, sudah kril bahwa pada dasarnya me(rokok)
mubah hukumnya, sedangkan varian hukum lainnya sesuai kondisi konsumen yang
bersangkutan. Selanjutnya, sisi lain dari keharaman merokok, sebagaimana dalam
judul tulisan sederhana ini adalah lain dari yang disebutkan di atas, yaitu
karena faktor tidak bertanggungjawabnya konsumen rokok pada orang lain dan
lingkungan sekitar. Sebagaimana peribahasa mengatakan bahwa habis manis sepah
dibuang. Banyak dari para perokok di sekitar kita kurang pertanggung jawab atas
perbuatanya. Pertama, tidak ada toleransi bagi orang lain selaku perokok
pasif, alis orang yang hanya ketiban asap dari semburannya. Misalnya dalam
acara undangan yang bertempat di ruang tertutup, para perokok seenaknya merokok
sehingga ruangan tebal dari asap, dan membuat orang lain sesak napas. Tak ada
toleransi pada orang lain. Kedua, perokok aktif seenaknya membuang kotoran
rokok di sembarang tempat. Ketika di kantor, misal, lolong rokoknya dikocar-kacirkan
di bawah laci, sebelah komputer, di pojok ruangan dan semacamnya. Bahkan
ironis, ketika ada acara di emper masjid, salah seorang jamaah merokok dan
membuang lolong rokoknya ke kramik masjid. Lantai masjid itu dijadikan asbak,
lalu ditinggalkan tunggang langgang. Semua hal itu terlaknat,
haram. Hal-hal semacam inilah kurang begitu mendapat perhatian oleh
produsen dan konsumen hukum. Padahal lebih krusial ketimbang memperdebatkan
hukum yang sebenarnya sudah dulu klir. Wallah a’lam.
Sumenep, 22 April 2016
***
Referensi
Badruddin dkk, NU Smoking: Kedaulatan Islam Nusantara
dalam Fatwa Kretek. Yogyakarta: Cakrawala Media, tt.
Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Kuputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1927-1999 M).
Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN)) Jawa Timur, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar