Jumat, 22 April 2016

SISI LAIN KEHARAMAN MEROKOK


M. Khaliq Shalha



Hukum me(rokok) sudah benderang di kalangan kita, tapi hukum yang satu ini kadang saling ditarik-ulur dalam tubuh antar organisasi pegiat sosial keagamaan. Dari mubah menjadi haram, dari haram menjadi mubah. Gayung bersambut inilah dalam satu sisi menarik disimak yang terskesan cerdas plus lucu. Namun tulisan remeh-temeh ini akhirnya akan mengulas sisi keharaman merokok dalam sisi lain.

Kita lihat sekelumit tentang hukum rokok dalam pandangan bahtsul masail NU. Permasalahan rokok hampir tidak dibahas dalam forum penetapan hukum pada level pusat organisasi, kemungkinan besar status hukum rokok, menurut NU, tidak perlu dibahas lagi. NU memahami sepenuhnya bahwa status rokok telah dibahas oleh para ahli fiqih melalui karya-karya tulisnya yang tertuang dalam kitab kuning sejak sebelum NU lahir. Pada muktamar Makassar tahun 2010, Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah, KH. Saefuddin Amsir menyatakan bahwa NU tak perlu meninjau kembali hukum merokok karena tidak ada ilat (alasan) baru yang menyebabkan perubahan hukum.

Keputusan Muktamar NU ke-2 di Surabaya, 9 Oktober 1927 memutuskan jual beli mercon (petasan) hukumnya sah. Hukum petasan ini dianalogikan (ilhaq) pada hukum rokok, dengan landasan beberapa kitab yang di antaranya Al-Jamal ‘ala Fithil Wahhab: “Dan yang benar dalam ta’lil, bahwa rokok itu bermanfaat sesuai dengan tujuan dibelinya yaitu untuk menghisapnya, dan mengingat rokok itu termasuk barang mubah karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka saling memberi rokok berarti memanfaatkannya dalam bentuk yang mubah.”

Alkisah, tahun 1990-an di kota Kretek Kudus digelar bahtsul masail oleh para kiai NU yang ditempatkan di Masjid Menara Kudus. Seorang kiai kharismatik, Mbah Tur (Turaichan Adjhuri, 1915-1999) yang disegani mendatangi forum bahtsul masail yang sedang berlangsung itu. Ketika mengetahui bahwa yang dibahas adalah hukum rokok, Mbah Tur langsung meminta rokok, menyalakan api dan menghisap, kemudian beliau berkata, “Kalau begitu, ayo silakan dibahas.” Apa yang dilakukan oleh beliau merupakan aksi simbolis bahwa rokok bukan perkara haram. Dalam forum itu tidak ada kiai yang berpendapat bahwa rokok itu haram. Entah segan dengan Mbah Tur, atau memang tak ada kiai dalam forum tersebut yang berpendapat bahwa rokok itu haram.

Sebenarnya hukum rokok ini sudah tergolong lagu lama dan hukumnya sudah benderang dengan beberapa kategori, tapi pada tahun 2010 menjadi isu aktual kembali terkait adanya “kriminalisasi kretek” (pinjam bahasanya penulis buku NU Smoking). Apa itu? Di Indonesia terjadi polemik hukum rokok terkait rentetan kampanye antirokok (kretek) yang sudah lebih dulu diawali sejak tahun 1980-an. Beberapa lembaga swadaya masyarakat pada tahun 2009 dan 2010 terlibat dalam proyek kampanye antirokok tersebut. Kampanye tersebut terkait rentetan antirokok pada tingkat global. Banyak lembaga donor mengucurkan dana ke Indonesia untuk membiayai kampanye antirokok itu, beberapa sudah berjalan sejak 2007. Di antara lembaga donor internasional yang turut membiayai gerakan antirokok di Indonesia adalah Bloomberg Initiative, sebuah yayasan yang didirikan mantan walikota New York, Michael Bloomberg pada tahun 2006 yang mengelontorkan dana 125 juta dolar AS—dana itu ya, bukan daun—untuk secara khusus membiayai kampanye antirokok di negara-negara berkembang, temasuk Indonesia.

Ada beberapa LSM dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia ikut andil dalam kampanye antirokok, termasuk organisasi keagamaan untuk digunakan pengaruhnya dalam mendorong kepentingan kampanye tersebut, salah satunya mengeluarkan fatwa haram rokok. Salah satunya yang menuai polemik hukum rokok adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat. Tahun 2009, MUI menggelar pertemuan (ijtima’) di Padang Panjang Sumatera Barat, guna membuat fatwa haram merokok.

Muhammadiyah, kata penulis NU Smoking, merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang mendapat kucuran dana dari Bloomberg untuk proyek “Mobilisasi Dukungan Publik Terhadap Fatwa Agama untuk Pengendalian Tembakau dan untuk Mendukung Petisi FCTC (Fremework Convention on Tobacco and Contol)”. Pada Kongres Muhammadiyah tahun 2010 di Malang, organisasi ini mengambil keputusan melalui Majelis Tarjih tentang hukum haram merokok. Ada hal lucu setelah kongres tersebut, yaitu teman saya guyonan dengan Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur. Prof. Syafiq, dosen saya ini, merokok di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Teman saya menegurnya, “Kok merokok Pak?” “Supaya tidak dianggap Muhammadiyah, he he he,” jawab beliau.

Terkait dengan semaraknya keputusan MUI tersebut, ada satu forum kegamaan lain yang jusru melawan arus, lewat forum bahtsul masail para kiai NU di Surabaya tahun 2010. Forum ini katanya diinisiasi oleh KH Aziz Masyhuri, seorang ulama kharismatik, ketua PBNU dan pengasuh pesantren Al-Aziziyah, Denanyar Jombang. Keputusan hukum dalam forum ini bahwa rokok hukumnya mubah. Ada beberapa hukum yang dilontarkan oleh para peserta di hotel Surabaya ini: wajib, mubah, makruh, dan haram. Tidak ada yang sunah ya, he he he.

Pada dasarnya (asal) rokok itu mubah. Dengan kata lain, secara dzati (inheren) rokok itu mubah. Sedangkan mengenai varian hukum lainnya, sesuai situasi dan kondisi atau bersifat sababi (sebab yang melatarinya). Haram, misal, bila ada keyakinan kuat bahwa dengan merokok akan merugikan kesehatan. Ibarat orang yang mengidap penyakit hipertensi, haram mengkonsumsi daging kambing. Orang yang menderita kencing manis, haram mengkonsumsi gula. Ingat, bahaya rokok dilihat hanya sebatas dugaan (mawhum), karena data tentang bahaya merokok lebih banyak didasarkan pada riset yang bersifat hospital-based, bukan populatian-based.

Contoh lainnya, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok atau membayar biaya pendidikan anaknya, ternyata digunakan untuk mengkonsumi rokok. Sebaliknya, rokok menjadi wajib, misal, ketika orang tidak merokok, tidak bisa berpikir dan beraktivitas dengan normal. Kasus KH. Hambali ketika menyela waktu bahtsul masail di Kudus tahun 1990-an, sebagaimana tersebut di atas bahwa beliau bila tidak menghisap rokok tidak bisa mengajar. Menanggapi hal tersebut, Mbah Tur mengatakan bahwa jika seperti itu kondisinya maka merokok wajib hukumnya bagi KH. Hambali.

Jadi, sudah kril bahwa pada dasarnya me(rokok) mubah hukumnya, sedangkan varian hukum lainnya sesuai kondisi konsumen yang bersangkutan. Selanjutnya, sisi lain dari keharaman merokok, sebagaimana dalam judul tulisan sederhana ini adalah lain dari yang disebutkan di atas, yaitu karena faktor tidak bertanggungjawabnya konsumen rokok pada orang lain dan lingkungan sekitar. Sebagaimana peribahasa mengatakan bahwa habis manis sepah dibuang. Banyak dari para perokok di sekitar kita kurang pertanggung jawab atas perbuatanya. Pertama, tidak ada toleransi bagi orang lain selaku perokok pasif, alis orang yang hanya ketiban asap dari semburannya. Misalnya dalam acara undangan yang bertempat di ruang tertutup, para perokok seenaknya merokok sehingga ruangan tebal dari asap, dan membuat orang lain sesak napas. Tak ada toleransi pada orang lain. Kedua, perokok aktif seenaknya membuang kotoran rokok di sembarang tempat. Ketika di kantor, misal, lolong rokoknya dikocar-kacirkan di bawah laci, sebelah komputer, di pojok ruangan dan semacamnya. Bahkan ironis, ketika ada acara di emper masjid, salah seorang jamaah merokok dan membuang lolong rokoknya ke kramik masjid. Lantai masjid itu dijadikan asbak, lalu ditinggalkan tunggang langgang. Semua hal itu terlaknat, haram. Hal-hal semacam inilah kurang begitu mendapat perhatian oleh produsen dan konsumen hukum. Padahal lebih krusial ketimbang memperdebatkan hukum yang sebenarnya sudah dulu klir. Wallah a’lam.

Sumenep, 22 April 2016

***



Referensi

Badruddin dkk, NU Smoking: Kedaulatan Islam Nusantara dalam Fatwa Kretek. Yogyakarta: Cakrawala Media, tt.
Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Kuputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1927-1999 M). Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN)) Jawa Timur, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar