M. Khaliq Shalha
Berjiwa dedikasi merupakan salah satu anugerah Tuhan. Tak semua orang punya
bekal cukup dalam hidupnya dengan jiwa pengabdian, sehingga dalam berkarya
cenderung banyak perhitungan untung rugi buat dirinya, bukan kepuasan orang
banyak baru dirinya. Tegaknya suatu
peradaban bermula dari para perintis dengan jiwa besar untuk kemaslahatan
sosial. Mereka tak pernah menggerutu pada orang-orang sebelahnya, atau pada
generasi berikutnya dengan capaian jasa yang diraih.
Mengabdi paralel dengan ikhlas. Mirip iman dan malu. Mengabdi dalam bidang
apa saja harus didasarkan pada keikhlasan. Sifat ikhlas sama artinya dengan
profesionalisme, mempersembahkan yang terbaik, baik ada apa atau siapa atau
tidak ada apa atau siapa. Bekerja dengan bekal keahlian mengantarkannya
menggapai karya yang relatif memuaskan. Bekerja sepenuh hati membuat pelakunya
menikmati pekerjaannya sehingga sangat mungkin bisa produktif.
Pengabdian tidak serta merta dimaknai sebagai aktivitas tanpa pamrih. Bisa
dengan pamrih dan bisa pula tanpa ada pamrih. Tergantung di mana seseorang menambatkan
pengabdiannya. Salah satu contoh menarik adalah pengabdian yang bergerak dalam
bidang jasa, yaitu profesi guru untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.
Status kepegawaian guru ada yang PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan ada yang
NonPNS. Keduanya sama-sama memiliki tugas mulia, yaitu memanusiakan manusia.
Guru yang berstatus PNS disebut pula sebagai ‘abdi negara’. Di sebuah toko
kain di Pamekasan, waktu saya mencari kain seragam siswa, teman bertanya
tentang salah satu motif batik yang diletakkan di tempat khusus. Tuan toko
menjawab dengan mantap, ‘Itu baju seragam khusus abdi negara. Tidak saya
jual secara umum dengan harga berapa pun.” Wah!!
Guru PNS kesejahteraannya lebih terjamin. Dapat gaji pokok rutin setiap
bulan plus tunjangan. Bagi mereka ada hak dan kewajiban. Di tengah-tengah
melaksanakan kewajibannya, butuh jiwa pengabdian untuk mendidik para siswa
sepenuh hati, bukan sekadar formalitas. Mengerahkan segala kemampuan sepenuh
hati untuk memberikan yang terbaik kepada negara sesuai bidang yang diampu,
baik ketika diperhatikan oleh atasannya atau tidak. Sebaliknya, ada yang hanya
sebatas berjiwa formalitas. Mengisi absen, bekerja sekenanya, kerja tidak
produktif kecuali sebatas penampilan luarnya saja. Jiwa-jiwa pendidik tipe ini
tidak bisa diharapkan banyak menggugah jiwa besar para anak didiknya.
Sedangkan guru NonPNS, misal di madrasah, tak ada jaminan kesejahteraan
menentu. Pengabdian di jalur ini betul-petul menguji nyali mereka. Membuktikan
jiwa besar mereka. Profesionalisme tetap diutamakan. Kepentingan diri dan
keluarga tidak menjadi pertimbangan. Pasrah yang menjadi handalannya bahwa
mengajar dan mendidik adalah amal baik yang oleh Tuhan akan diberi balasan
setimpal. Banyak guru senior yang saya tahu bahwa lama pengabdiannya sudah
puluhan tahun tanpa kenal lelah. Murid-muridnya sudah banyak yang menjadi dosen
dengan bergelar doktor. Betapa banyak dan besar jasa para guru lewat jalur ini.
Apapun karirnya merupakan sebuah pilihan. Menjatuhkan pilihan seyogiyanya
didasarkan pada nilai-nilai pengabdian. Suatu hal yang jangan sampai dipahami
keliru tentang pengabdian bahwa pengabdian itu artinya
profesionalisme-produktif. Sungguh tidak diinginkan bila kita menjatuhkan
pilihan, misal, mengabdi di madrasah yang minim anggaran kesejahteraan, kita
setengah hati bekerja, sesempatnya dan semaunya.
Madrasah sebagai kendaraan sosial, idealnya dijalankan oleh orang-orang
yang punya dedikasi tinggi. Bagi pengelola, hendaknya selektif dalam merekrut
guru atau karyawan. Keterbukaan di awal-awal perekrutan, penting untuk
disampaikan tentang kondisi madrasah yang sebenarnya, termasuk kondisi sumber
dana. Masalah dominan yang dihadapi madrasah, khususnya di pedesaan, adalah
rendahnya kedisiplinan guru. Faktornya, mereka kurang punya jiwa mengabdi
secara total. Di samping itu, kesejahteraan mereka kurang terjamin. Bila Kepala
Madrasah sudah tepat dalam memposisikan hak-hak para guru, hendaknya melakukan teguran
dan pembinaan. Guru ibarap sopir kendaraan umum. Bila sopirnya tidak disiplin,
maka yang dirugikan para anak didiknya. Kepala madrasah harus berani melakukan
penonaktifan guru yang rendah disiplin setelah terlebih dahulu dilakukan
pembinaan, namun tidak ada respons.
Namun, kadang kala rendahnya kedisiplinan—sebagai buah dari jiwa
dedikasi—karena faktor Kepala Madrasah tidak profesional secara luas. Sikap
tidak transparan, khususnya tentang keuangan, menjadi faktor dominan rusaknya
kesemangatan para guru untuk menjalankan kewajiban. Suatu hal yang diminta oleh
guru adalah keterbukaan. Bila ada anggaran untuk guru, berikan pada mereka,
bila mimang tidak ada, katakan tidak ada. Sikap seperti ini tidak akan
mengganggu pada semangat pengabdian guru. Sebaliknya, bila madrasah yang
dikelola sebagai sarana memperkaya diri sendiri dan keluarganya, ini yang
menjadi penyakit. Dana cukup, namun acuh tak acuh pada kesejahtaraan guru.
Tunjangan dari pemerintah ada, misalnya, namun sebagian digelapkan untuk
kepentingan pribadi. Tak ada apresiasi pada guru. Guru ibarat sapi perah yang
hanya diambil hasilnya tanpa diberi pakan yang seimbang, atau ibarat sapi kerap
yang dipaksa lari tanpa diimbangi pakan dan jamu. Kepala seperti ini tergolong
orang zalim.
Pemupupak kader-kader tegana pendidik dengan memiliki jiwa pengabdian
tinggi, bagi kalangan pengelola madrasah swasta bisa memanfaatkan alumninya
yang dipandang mampu dan punya kepribadian mulia. Para alumni memiliki banyak
kelebihan ketimbang lainnya. Di antaranya, memiliki hubungan emosional yang
erat dengan lembaga. Hubungan emosional inilah yang bisa memicunya untuk
mengembangkan lembaga sepenuh hati tanpa kenal lelah. Wallah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar