Minggu, 24 April 2016

RAKYAT MAKIN ASING DENGAN LINGKUNGANNYA (Ogah dengan Kondisi Prasarana Umum)


M. Khaliq Shalha


Krisis multidimensi sangat terasa di negeri ini sampai ke akar rumput, akibat lunturnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah sehingga rakyat kehilangan antusiasme dalam mendukung pembangunan negeri ini. Mendukung pembangunan dimaksud adalah ikut serta memelihara fasilitas umum, minimal yang ada di lingkungan sekitar, seperti jalan umum desa, selokan, jembatan dan sejenisnya.

Sangat ironis bila rakyat tidak punya rasa memiliki pada fasilitas umum desa. Sepertinya hal itu milik pemerintah, dan rakyat hanya sebagai tamu di daerahnya sendiri. Bila rakyat ogah pada lingkungannnya sendiri, mana mungkin daerahnya makin berkembang cepat. Memasrahkan semua urusan fasilitas desa kepada pemerintah merupakan bentuk pemasrahan yang salah besar. Karena semakin dipasrahkan kepada pemerintah, semakin lamban fasilitas umum itu makin baik dan terpelihara.

Rakyat begitu enggan dan tega membiarkan jalan umum rusak begitu saja ketika diguyur hujan terus menerus. Tak ada kepedulian dari mereka untuk sekadar membuatkan selokan supaya air tidak menggenangi di jalan umum. Sepertinya bukan urusan mereka, tapi urusan pemerintah desa dan kebupaten.

Bukanlah solusi jika rakyat hanya bisa memaki-maki pemerintah karena fasilitas umum di desa cepat rusak, sementara mereka sendiri berpangku tangan. Memelihara fasilitas umum tidak bisa hanya dengan kritikan pedas kepada pemerintah, sementara mereka abai pada kewajibannya selaku rakyat yang baik. Ibarat genting rumah mereka bocor tapi dibiarkan begitu saja, cuma menunggu uluran tangan dari orang lain. Tentu hal tersebut tergolong tindakan tidak bijak.

Faktor merosotnya gairah rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dengan bentuk ikut memelihara fasilitas yang sudah ada, setidaknya ada dua. Pertama, lunturnya budaya gotong-royong, dan menguatnya budaya baru berupa individualistik, sehingga terlalu mematen segala job (tugas) hanya urusan orang yang bersangkutan. Tak mau tahu dengan kondisi di luar job-nya, padahal cara berpikir yang demikian bukanlah sikap orang-orang dewasa. Tak ubahnya anak kecil yang merasa bahwa segala urusan kehidupannya sepenuhnya di bawah pengawasan orang tuanya, sehingga untuk sekadar membersihkan tiga butir nasi yang hinggap di pipinya ia abai.

Kedua, menjamurnya krisis kepercayaan dari rakyatt terhadap pemerintah gara-gara banyak oknum melakukan penyimpangan dengan menyalahgunakan wewenang demi kepentingan sendiri dan kelompoknya. Program yang dikucurkan ke pelosok tak ubahnya drama kurang menarik bagi rakyat. Mereka beranggapan bahwa anggaran yang ideal terlalu banyak disunat oleh pihak-pihak terkait. Alasan tersebut logis, karena kualitas dari fasilitas yang dibangun semakin tidak berumur. Kadang, sebelum pekerja proyeknya pulang, tembok yang dibangun di pinggir jalan kena senggol sedikit sudah mengelupas cukup serius. Lain lagi pengaspalan yang pengerjaannya sekadar formalitas. Yang penting selesai walau aspalnya ibarat gincu tipis menempel di bibir perempuan. Kena gerimis saja mudah luntur.

Kondisi semacam ini memantik kuat lunturnya kepercayaan rakyat terhadap program pemerintah. Akhirnya rakyat cuek. Rusak tidaknya fasilitas umum bukanlah urusan mereka, tapi urusan pemerintah dan metra kerjanya yang memborong proyek tersebut. Jarak antara pemerintah dan rakyat makin lebar. Akibatnya, laju pembangunan di negeri ini menjadi tidak kondusif.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, pertama-tama pemerintah harus memberi teladan yang baik dengan menjalankan program yang ideal dan adanya transparansi pembangunan. Sebagai suatu saran, hendaknya orang-orang baik penentu kebijakan mengganti oknum-oknum bermasalah dengan orang-orang baik. Niscaya akan tercipta nuansa saling sadar dan menyadara terhadap hak dan kewajiban antara rakyat dengan pemerintah. Wallah a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar