M. Khaliq Shalha
Krisis multidimensi sangat terasa di negeri ini
sampai ke akar rumput, akibat lunturnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah
sehingga rakyat kehilangan antusiasme dalam mendukung pembangunan negeri ini.
Mendukung pembangunan dimaksud adalah ikut serta memelihara fasilitas umum,
minimal yang ada di lingkungan sekitar, seperti jalan umum desa, selokan,
jembatan dan sejenisnya.
Sangat ironis bila rakyat tidak punya rasa memiliki
pada fasilitas umum desa. Sepertinya hal itu milik pemerintah, dan rakyat hanya
sebagai tamu di daerahnya sendiri. Bila rakyat ogah pada lingkungannnya
sendiri, mana mungkin daerahnya makin berkembang cepat. Memasrahkan semua
urusan fasilitas desa kepada pemerintah merupakan bentuk pemasrahan yang salah
besar. Karena semakin dipasrahkan kepada pemerintah, semakin lamban fasilitas
umum itu makin baik dan terpelihara.
Rakyat begitu enggan dan tega membiarkan jalan umum
rusak begitu saja ketika diguyur hujan terus menerus. Tak ada kepedulian dari
mereka untuk sekadar membuatkan selokan supaya air tidak menggenangi di jalan
umum. Sepertinya bukan urusan mereka, tapi urusan pemerintah desa dan
kebupaten.
Bukanlah solusi jika rakyat hanya bisa memaki-maki
pemerintah karena fasilitas umum di desa cepat rusak, sementara mereka sendiri
berpangku tangan. Memelihara fasilitas umum tidak bisa hanya dengan kritikan
pedas kepada pemerintah, sementara mereka abai pada kewajibannya selaku rakyat
yang baik. Ibarat genting rumah mereka bocor tapi dibiarkan begitu saja, cuma
menunggu uluran tangan dari orang lain. Tentu hal tersebut tergolong tindakan
tidak bijak.
Faktor merosotnya gairah rakyat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan dengan bentuk ikut memelihara fasilitas yang
sudah ada, setidaknya ada dua. Pertama, lunturnya budaya gotong-royong,
dan menguatnya budaya baru berupa individualistik, sehingga terlalu mematen
segala job (tugas) hanya urusan orang yang bersangkutan. Tak mau tahu
dengan kondisi di luar job-nya, padahal cara berpikir yang demikian
bukanlah sikap orang-orang dewasa. Tak ubahnya anak kecil yang merasa bahwa
segala urusan kehidupannya sepenuhnya di bawah pengawasan orang tuanya,
sehingga untuk sekadar membersihkan tiga butir nasi yang hinggap di pipinya ia
abai.
Kedua, menjamurnya krisis kepercayaan
dari rakyatt terhadap pemerintah gara-gara banyak oknum melakukan penyimpangan
dengan menyalahgunakan wewenang demi kepentingan sendiri dan kelompoknya. Program
yang dikucurkan ke pelosok tak ubahnya drama kurang menarik bagi rakyat. Mereka
beranggapan bahwa anggaran yang ideal terlalu banyak disunat oleh pihak-pihak
terkait. Alasan tersebut logis, karena kualitas dari fasilitas yang dibangun
semakin tidak berumur. Kadang, sebelum pekerja proyeknya pulang, tembok yang
dibangun di pinggir jalan kena senggol sedikit sudah mengelupas cukup serius.
Lain lagi pengaspalan yang pengerjaannya sekadar formalitas. Yang penting
selesai walau aspalnya ibarat gincu tipis menempel di bibir perempuan. Kena
gerimis saja mudah luntur.
Kondisi semacam ini memantik kuat lunturnya
kepercayaan rakyat terhadap program pemerintah. Akhirnya rakyat cuek. Rusak
tidaknya fasilitas umum bukanlah urusan mereka, tapi urusan pemerintah dan
metra kerjanya yang memborong proyek tersebut. Jarak antara pemerintah dan
rakyat makin lebar. Akibatnya, laju pembangunan di negeri ini menjadi tidak
kondusif.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, pertama-tama
pemerintah harus memberi teladan yang baik dengan menjalankan program yang ideal
dan adanya transparansi pembangunan. Sebagai suatu saran, hendaknya orang-orang
baik penentu kebijakan mengganti oknum-oknum bermasalah dengan orang-orang
baik. Niscaya akan tercipta nuansa saling sadar dan menyadara terhadap hak dan
kewajiban antara rakyat dengan pemerintah. Wallah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar