Minggu, 23 Februari 2020

KETIKA NABI MENIKAHI BUDAK (Potret Misi Luhur Profetik Sepanjang Zaman)


Oleh : M. Khaliq Shalha


Suatu hal yang menakjubkan dalam lembaran kehidupan Nabi SAW di antaranya tentang pernikahan beliau dengan hamba sahaya bernama Maria Al-Qibtiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis, Gubernur Iskandariyah, Mesir. Dari pernikahan tersebut beliau berdua dikaruniai seorang putra yang diberi nama Ibrahim yang wafat pada usia anak-anak (ada yang mengatakatan hanya berumur tujuh puluh malam, ada pula yang mengatakan tujuh bulan atau delapan bulan).


Secara kelas sosial beliau berdua tidak selevel; Nabi versus budak. Tapi, di sinilah letak keluhuran profetik beliau untuk membesarkan Islam lewat jalur domestik keluarga dan demi mengangkat harkat martabat wanita serta untuk menghapuskan perbudakan di dunia secara perlahan karena perbudakan--sungguh, sumpah--tidak sejalan dengan perikemanusiaan secara primordial (fitrah, azali). Pembeda manusia dengan manusia lainnya di hadapan Tuhan, Pemilik jagat raya ini adalah kualitas SDM-nya yang dalam terminologi Al-Qur'an disebut takwa dalam arti luas.

Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban Karya Fazlur Rahman

Perkara kemudian dalam perkembangan hukum Islam (fiqih) ulama merumuskan hukum keluarga yang di antaranya ada konsep kafaah atau kufu' (kesetaraan, selevel) dalam berbagai aspeknya. Misalnya, laki-laki kaya menikahi wanita kaya, laki-laki miskin menikahi wanita miskin, laki-laki tampan menikahi wanita cantik, laki-laki terhormat menikahi wanita terpandang. Rumusan ini dibuat untuk menciptakan keharmonisan dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan memanimalisir kecemburuan sosial. Bisa Anda bayangkan sendiri, umpama ada laki-laki non-rupawan menikahi wanita rupawati (kata orang Madura, bisa ekibe ke to'petto', tidak malu-maluin dibawa melayat ke tujuh harinya orang meninggal dunia, tidak memalukan dibawa ke acara undangan), atau sebaliknya, ada laki-laki rupawan kemudian menikahi wanita non-rupawati, dua tipe pasangan itu akan menjadi pembicaraan negatif publik karena tidak kafaah. Perlu menjadi catatan bahwa di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang konsep mukafaah ini, yang perlu diupayakan setara itu dalam aspek apanya.

Hanya, konsep kafaah itu tidak menjadi keharusan. Justru malah "melawan" konsep itu akan menjadi kemaslahatan jangka panjang untuk memperbaiki status sosial, ekonomi, atau keturunan. Ada anekdot yang mengatakan, "Jika Anda ingin kaya mendadak, nikahilah wanita kaya raya." 

Usulan Bapak Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) kepada Menteri Agama Fachrul Razi untuk menerbitkan fatwa perkawinan lintas tingkat perekonomian untuk membendung masalah kemiskinan baru (CNN Indonesia, 19/02/2020), kiranya perlu diapresiasi oleh semua kalangan, khususnya para pegiat hukum Islam kontemporer untuk dilakukan ijtihad baru dalam fiqih keluarga sebagai antitesis dari konsep kafaah atau kufu' sejalan dengan dinamika kehidupan bangsa. Sebagaimana pula disebutkan kaidah ushul fiqih, "Al-Hukmu yaduru ma'a 'illatih wujudan wa 'adaman (Berlaku tidaknya suatu hukum sejalan dengan ada tidaknya ilat hukum).

Bapak Muhadjir Effendy menyarankan bahwa yang miskin wajib mencari pasangan yang kaya dan yang kaya mencari pasangan yang miskin. Dengan alasan, karena jika sama-sama miskin lahirlah keluarga miskin baru, inilah problem di Indonesia. Usalan Bapak Muhadjir Effendy tentu banyak yang menyanggahnya. Itu hal biasa. Termasuk yang disampaikan oleh salah satu aktivis perempuan Yogyakarta yang mengatakan, "Perempuan miskin itu punya harga diri juga."

Saya sendiri menanggapi usulan Bapak Muhadjie Effendy dengan rincian: jangan menggunakan kata "wajib" karena hal itu terlalu ekstrem, tapi cukup "sunnah" (anjuran) bersyarat. Apa syaratnya? Apabila kedua belah pihak sama-sama merasa nyaman dengan pilihan itu. Dalam kitab fiqih, konsep kafaah paling banter hukumnya sunnah, bukan wajib. Jadi, sunnah si kaya menikahi si miskin, demikian juga sebaliknya.

Jika kita memperhatikan peristiwa pernikahan Rasulullah SAW dengan seorang hamba sahaya, Maria Al-Qibtiyah, sebagaimana saya sebutkan di atas, mengajarkan kepada kita bahwa dalam berkeluarga kita amat perlu mempertimbangkan kemaslahatan jangka panjang. Konsep kafaah (kesetaraan) dalam satu sisi perlu, sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fiqih dalam berbagai mazhab, namun hal itu bukan sebuah keharusan, tapi sifatnya kondisional. Hal terpenting dalam berkeluarga adalah adanya niat baik yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam setelah kedua belah pihak merasa ada kenyamanan dan kecocokan perasaan untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang dibangun atas dasar mahabbah wasy-syauqah (cinta serta rindu yang membara).

Allahumma shalli 'ala Muhammad.

Wallah a'lam bish shawab.

Sumenep, 23 Februari 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar