Oleh : M. Khaliq
Shalha
Suatu hal yang menakjubkan dalam
lembaran kehidupan Nabi SAW di antaranya tentang pernikahan beliau dengan hamba
sahaya bernama Maria Al-Qibtiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis,
Gubernur Iskandariyah, Mesir. Dari pernikahan tersebut beliau berdua dikaruniai seorang putra yang diberi nama Ibrahim yang wafat pada usia anak-anak (ada yang mengatakatan hanya berumur tujuh puluh malam, ada pula yang mengatakan tujuh bulan atau delapan bulan).
Secara kelas sosial beliau berdua
tidak selevel; Nabi versus budak. Tapi, di sinilah letak keluhuran profetik
beliau untuk membesarkan Islam lewat jalur domestik keluarga dan demi
mengangkat harkat martabat wanita serta untuk menghapuskan perbudakan di dunia
secara perlahan karena perbudakan--sungguh, sumpah--tidak sejalan dengan
perikemanusiaan secara primordial (fitrah, azali). Pembeda manusia dengan
manusia lainnya di hadapan Tuhan, Pemilik jagat raya ini adalah kualitas
SDM-nya yang dalam terminologi Al-Qur'an disebut takwa dalam arti luas.
Perkara kemudian dalam perkembangan
hukum Islam (fiqih) ulama merumuskan hukum keluarga yang di antaranya ada
konsep kafaah atau kufu' (kesetaraan, selevel) dalam berbagai aspeknya. Misalnya,
laki-laki kaya menikahi wanita kaya, laki-laki miskin menikahi wanita miskin,
laki-laki tampan menikahi wanita cantik, laki-laki terhormat menikahi wanita
terpandang. Rumusan ini dibuat untuk menciptakan keharmonisan dalam mengarungi
bahtera rumah tangga dan memanimalisir kecemburuan sosial. Bisa Anda bayangkan
sendiri, umpama ada laki-laki non-rupawan menikahi wanita rupawati (kata orang
Madura, bisa ekibe ke to'petto', tidak malu-maluin dibawa melayat
ke tujuh harinya orang meninggal dunia, tidak memalukan dibawa ke acara undangan),
atau sebaliknya, ada laki-laki rupawan kemudian menikahi wanita non-rupawati,
dua tipe pasangan itu akan menjadi pembicaraan negatif publik karena tidak kafaah.
Perlu menjadi catatan bahwa di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat
tentang konsep mukafaah ini, yang perlu diupayakan setara itu dalam
aspek apanya.
Hanya, konsep kafaah itu
tidak menjadi keharusan. Justru malah "melawan" konsep itu akan
menjadi kemaslahatan jangka panjang untuk memperbaiki status sosial, ekonomi,
atau keturunan. Ada anekdot yang mengatakan, "Jika Anda ingin
kaya mendadak, nikahilah wanita kaya raya."
Usulan Bapak Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan (PMK) kepada Menteri Agama Fachrul Razi untuk menerbitkan fatwa perkawinan lintas
tingkat perekonomian untuk membendung masalah kemiskinan baru (CNN Indonesia,
19/02/2020), kiranya perlu diapresiasi oleh semua kalangan, khususnya para
pegiat hukum Islam kontemporer untuk dilakukan ijtihad baru dalam fiqih
keluarga sebagai antitesis dari konsep kafaah atau kufu' sejalan
dengan dinamika kehidupan bangsa. Sebagaimana pula disebutkan kaidah ushul
fiqih, "Al-Hukmu yaduru ma'a 'illatih wujudan wa 'adaman (Berlaku
tidaknya suatu hukum sejalan dengan ada tidaknya ilat hukum).
Bapak
Muhadjir Effendy menyarankan bahwa yang miskin wajib mencari pasangan
yang kaya dan yang kaya mencari pasangan yang miskin. Dengan alasan, karena jika sama-sama miskin lahirlah
keluarga miskin baru, inilah problem di Indonesia. Usalan Bapak Muhadjir Effendy tentu banyak yang menyanggahnya. Itu hal biasa. Termasuk yang disampaikan oleh salah satu aktivis perempuan Yogyakarta yang mengatakan, "Perempuan
miskin itu punya harga diri juga."
Saya sendiri menanggapi usulan Bapak Muhadjie
Effendy dengan rincian: jangan menggunakan kata "wajib" karena hal
itu terlalu ekstrem, tapi cukup "sunnah" (anjuran) bersyarat. Apa
syaratnya? Apabila kedua belah pihak sama-sama merasa nyaman dengan pilihan
itu. Dalam kitab fiqih, konsep kafaah paling banter hukumnya sunnah,
bukan wajib. Jadi, sunnah si kaya menikahi si miskin, demikian juga sebaliknya.
Jika
kita memperhatikan peristiwa pernikahan Rasulullah SAW dengan seorang hamba sahaya,
Maria Al-Qibtiyah, sebagaimana saya sebutkan di atas, mengajarkan kepada kita
bahwa dalam berkeluarga kita amat perlu mempertimbangkan kemaslahatan jangka
panjang. Konsep kafaah (kesetaraan) dalam satu sisi perlu, sebagaimana
tertera dalam kitab-kitab fiqih dalam berbagai mazhab, namun hal itu bukan
sebuah keharusan, tapi sifatnya kondisional. Hal terpenting dalam berkeluarga
adalah adanya niat baik yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam setelah
kedua belah pihak merasa ada kenyamanan dan kecocokan perasaan untuk mengarungi
bahtera rumah tangga yang dibangun atas dasar mahabbah wasy-syauqah (cinta serta rindu yang membara).
Allahumma
shalli 'ala Muhammad.
Wallah
a'lam bish shawab.
Sumenep, 23 Februari 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar