Jumat, 21 Februari 2020

PEREBUTAN WACANA SALAF

Oleh : M. Khaliq Shalha


Dalam dunia pesantren yang berkultur NU dikenal istilah "salaf". Akhir-akhir ini istilah salaf diperebutkan di kalangan umat Islam sebagai paradigma dan aksi keagamaan mereka.

Pengertian dan substansi salaf dalam tradisi pesantren yang berkultur NU sangat berbeda dengan salaf dalam versi pengertian kaum modernis Islam atau kelompok Islam radikal. Pesantren salaf, misalnya, dalam pengertian NU dimaksudkan sebagai pesantren yang mengikuti dan mengajarkan pemikiran ulama terdahulu (salaf) yang tertera dalam kitab-kitab rujukan (al-kutub al-mu'tabarah) yang lazim disebut kitab kuning, atau dalam istilah yang lebih sensitif disebut kitab gundul.

Sedangkan salaf dalam pengertian kaum modernis atau Islam radikal ialah aliran gerakan pemurnian Islam yang bermaksud membersihkan Islam dari tradisi yang dianggap menyimpang dengan jargon (semboyan) kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Gerakan salaf tipe kedua inilah yang banyak melahirkan radikalisme, termasuk terorisme, tindakan sadis atas nama membela agama.

Kok bisa begitu? Mereka tersesat di jalan yang salah karena bangunan paradigmanya dalam semboyan kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah berpijak pada pondasi pemahaman yang dangkal dan labil. Ironisnya, para pengikut salaf versi kedua ini mereka memiliki loyalitas tinggi namun miskin ilmu. Akibatnya, mereka gampang diperalat untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Mereka mudah terlena dengan label, simbol, bendera tanpa tahu substabsi ajaran Islam yang sejati, yaitu rahmatan lil alamamin.

Sayang, bila kita menyaksikan aktivis salaf tipe kedua itu, termasuk golongan ustaz tivi, ustaz karbitan dan sejenisnya, ketika menyuarakan ayo kembali kepada Al-Qur'an. Ketika ditelisik aspek kapasitas ilmu keislamannya, referensinya hanya Al-Qur'an terjemahan, tapi hebatnya, sudah berani berfatwa dan menilai ulama-ulama beneran dengan berbagai tradisi keagamaannya dianggap salah, tidak ada dalilnya, bid'ah, dan semacamnya. Lucu bukan?

"Ayo kembali kepda Al-Qur'an...!!"

"Memangnya selama ini saya menjauh dari Al-Qur'an? Jangan-jangan Anda sendiri yang bingung karena jauh dari pemahaman Al-Qur'an yang komprehensif!"

Supaya tidak bingung untuk berada di jalan yang benar, ikutilah manhaj kultur keagamaan para ulama-kiai di pesantren-pesantren NU. Anda akan lebih terjamin dalam ber-Al-Qur'an dan ber-Sunnah.

Produk-produk pemikiran ulama salaf versi NU yang tertera dalam kitab-kitab kuning dengan konten tauhid, fiqih dan tasawuf merupakan bentuk konkret dari pemahaman dan pengamalan Al-Qur'an dan Sunnah.

Suatu contoh berikut dari aspek fiqih saja supaya mudah. Orang yang berwudhu bisa sah bila ia tahu fardhunya. Untuk tahu fardhunya wudhu secara praktis sebagaimana diterapkan kita saat ini, itu dapat dari mana? Dari Al-Qur'an dan Sunnah? Kalau Anda menjawab terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah secara mentah-mentah, Anda berarti jauh dari Al-Qur'an dan Sunnah. Karena fardhunya wudhu itu produk pemikiran ulama yang diolah secara kombinasi antara Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam mazhab Syafi'iyyah fardhunya wudhu ada enam: (1) niat, (2) membasuh muka, (3) membasuh kedua tangan sampai siku, (4) mengusap sebagian kepala, (5) membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, dan (6) tertib.  Nomor 1 terdapat dalam Sunnah (hadits) riwayat Bukhari Muslim: Innamal a'malu binniyyat..., nomor 2-5 terdapat dalam Al-Qur'an (Al-Maidah [5]: 6), sedangkan nomor 6 hasil kesimpulan dari pemahaman terhadap ayat Al-Qur'an tentang wudhu itu yang menyiratkan adanya tuntutan untuk berurutan.

Jadi, mengamalkan fardhunya wudhu yang enam tersebut memang sedang mengamalkan Al-Qur'an dan Sunnah. Begitulah caranya ulama yang kita ikuti. Bukan dibuat gampang-gampangan secara serampangan "ayo kembali kepada Al-Qur'an" padahal modalnya hanya Al-Qur'an terjemahan tanpa mengerti kandungan Al-Qur'an ditinjau dari ilmu keislaman dengan berbagai aspeknya. Tidak bisa "kor meddel" (asal bunyi).

Saya pribadi risih dengan slogan "Ayo kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" yang dilontarkan oleh oknum yang sok-sokan agamis dengan maksud menyalahkan ulama-kiai yang sudah mapan keilmuannya dengan tuduhan bid'ah dan semacamnya. Baru saya manggut-manggut dan me-like bila slogan itu datang dari ulama dengan kapasitas keilmuan yang betul-betul mumpuni, semisal, Sulthanul Auliya' (Pemimpin Para Wali), Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (470-561 H) dalam kitabnya, Futuhul Ghaib. Beliau menghimbau untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Beliau moderet lho sekalipun ungkapan-ungkapannya berdosis tinggi dalam mengajak para salik untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi efek negatif dunia sejauh-jauhnya.


Maka, sebagaimana tradisi pesantren salaf dalam beragama dengan mengikuti ulama-kiai dengan referensi kitab kuning tentu lebih selamat caranya dalam kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Rujukan mereka lebih bisa dipertanggungjawabkan secara ilahiah dan ilmiah.

Dalam konteks sosiologi agama orang Madura lebih sederhana lagi. Ada anekdot, orang Madura ditanya oleh orang Jawa, "Agamamu apa?"

Si Madura menjawab, "Agamaku NU."

Jawaban ini bagi oknum kalangan salaf tipe kedua akan diklaim sesat, bid'ah, bahkan kafir. Tapi bagi kalangan pesantren sendiri yang alim ilmu balaghah, jawaban itu sangat diplomatis dan amat tawadhu, karena maksud si Madura itu adalah Islam 'ala thariqati (berdasarkan pola pikir dan amaliah) NU yang secara ilahiah dan ilmiah bisa dipertanggungjawabkan.

Anda berminat pada tipe salaf yang mana?

Wallah a'lam bish shawab.

Sumenep, 21 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar